Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 011

◄◄◄◄ Kembali

Doa dari pelayan ini memang perlu sekali bagi Han Sin dan Bi Eng, karena memang dua orang muda ini turun gunung untuk menghadapi bahaya yang selalu mengancam keselamatan mereka.

Mereka ini boleh diumpamakan dua ekor burung muda yang baru saja meninggalkan sarang, baru belajar terbang dan tidak tahu dari mana kemungkinan datangnya bahaya, belum mengenal apa-apa dan belum tahu bahwa dibalik segala keindahan yang mereka lihat bersembunyi bahaya-bahaya maut yang selalu mengintai.

Beberapa hari kemudian setelah menuruni puncak Min-san, dua orang kakak beradik ini terhalang perjalanan mereka oleh sebatang sungai yang jernih airnya. Inilah sungai Cia-leng yang mengalir ke selatan untuk kemudian menggabungkan airnya dengan sungai Yang-ce-kiang yang besar.

Karena tidak pandai berenang dan di situ amat sunyi tidak tampak sebuahpun perahu, terpaksa Han Sin dan Bi Eng lalu membuat alat penyeberang dengan batang-batang bambu yang mereka jajar-­jajar dan ikat dengan akar-akar pohon. Dengan hati-hati mereka lalu menggunakan getek atau rakit istimewa ini untuk menyeberangi sungai yang tenang airnya dan jernih itu. Siauw-ong amat gembira melihat banyak ikan-ikan berenang di dekat perahu. Beberapa kali ia menyambar dengan tangannya, mengira ikan-ikan itu dekat, akan tetapi sebetulnya jauh di bawah sehingga selalu ia hanya menangkap air saja. Akhirnya Siauw-ong menjadi marah dan terjun ke air!

“Siauw-ong, hati-hati .....!” kata Bi Eng cemas.

“Jangan khawatir, dia pandai berenang. Lihat!”

Kata Han Sin. Betul saja. Monyet kecil itu ternyata pandai menyelam, malah ketika ia muncul kembali, di kedua tangannya sudah mencengkeram empat ekor ikan yang menggelepar-gelepar.

Bi Eng bersorak girang. “Bagus, Siauw-ong. Kau hebat sekali!” Cepat ia menerima ikan itu dan terus menggunakan sebatang pisau kecil yang dibawahnya untuk membelek perut ikan dan membersihkannya. Setelah mereka tiba di seberang, Bi Eng lalu memanggang empat ekor ikan itu tanpa bumbu apa-apa. Akan tetapi baunya amat sedap dan menimbulkan selera. Siauw-ong sudah tidak sabar dan beberapa kali hendak menyambar ikan di pemanggangan kalau saja tidak dibentak oleh Bi Eng. Setelah ikan-ikan itu matang, mereka bertiga makan ikan panggang dengan enaknya.

Perjalanan mereka tidak mudah, akan tetapi hati mereka selalu gembira. Tentang makanan, mereka tidak kuatir. Kalau ada orang menjual makanan, mereka cukup membawa bekal sekantung emas peninggalan uwak Lui hasil dari penjualan sebagian barang perhiasan. Seandainya kehabisan bekal, Bi Eng masih menyimpan hiasan rambut dari batu kemala dan dua buah gelang emas bertabur intan peninggalan ibunya.

Kalau tidak ada dusun, mereka sudah puas makan buah-buahan atau Bi Eng menangkap binatang-binatang kecil seperti kijang atau kelinci dengan menggunakan batu-batu yang ia sambitkan. Kepandaiannya dalam menyambit dengan batu cukup tinggi berkat kekuatan lweekangnya.

Empat pekan kemudian Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki sebuah bukit yang kelihatannya menyeramkan. Kaki bukit itu, berbeda dengan gunung-gunung lainnya, amat sunyi tidak ada dusunnya. Di puncaknya kelihatan hutan-hutan besar yang menyeramkan, akan tetapi di antara pohon-pohon kelihatan atap rumah-rumah besar, bahkan tampak pula pagar tembok seperti benteng.

“Koko. Lihat. Ada orang-orang lain yang mempunyai rumah di puncak gunung seperti kita. Mari kita lihat ke sana!”

“Rumah di puncak gunung saja apa sih anehnya, moi-moi. Perjalanan kita masih jauh. Akan tetapi untuk menuju ke timur, terpaksa kita harus melalui bukit ini. Baiknya kita mencari jalan lain supaya tidak melalui rumah-rumah di atas itu.”

Bukit yang menghalang perjalanan mereka itu adalah bukit Cin-ling-san. Dan orang-orang yang tinggal di puncak Cin-ling-san bukanlah orang-orang sembarangan. Mereka itu adalah tosu-tosu dari Cin-ling-pai, sebuah partai yang cukup besar, mempunyai banyak anggauta dan kuat kedudukannya. Memang, sebelum kerajaan Beng roboh, ketidak puasan rakyat dan orang-orang gagah menimbulkan banyak pemberontakan dan di sana sini tumbuh perkumpulan-perkumpulan rahasia yang dibentuk oleh orang-orang gagah di dunia kang-ouw. Yang terkenal di antaranya adalah Cin-ling-pai, Pek-lian-pai, Sin-tung Kai-pang dan masih banyak perkumpulan- perkumpulan lain.

Cin-ling-pai adalah perkumpulan rahasia yang terdiri dari tosu-tosu pemeluk aliran Im-yang-kauw. Cin-ling-pai ini diketuai oleh seorang tosu tua yang terkenal sebagai seorang ciang-bun-jin yang cakap mengatur perkumpulan sehingga semua anak buahnya amat berdisiplin dan taat, bernama Giok Thian Cin Cu, seorang kakek ahli kebatinan yang sudah berusia enam puluh tahun lebih namun masih nampak muda dan sehat.

Giok Thian Cin Cu tidak pelit dalam kepandaian silatnya. Dia menurunkan ilmu silatnya kepada para anggauta Cin-ling-pai sehingga para tosu Cin-ling-pai terkenal amat lihai. Tentu saja kedudukan para tosu itu disesuaikan dengan tingkat kepandaian mereka yang juga merupakan tingkat kedudukan mereka sebagai murid Giok Thian Cin Cu. Ada murid kepala, murid dalam dan murid luar. Murid dalam adalah mereka yang secara langsung dilatih oleh Giok Thian Cin Cu sendiri sedangkan murid luar adalah para tosu yang dilatih oleh murid-murid kepala. Betapapun juga tidak ada seorang tosu anggauta Cin-ling-pai yang tidak berkepandaian tinggi!

Karena kedudukan yang amat kuat inilah maka setelah kerajaan bangsa Boan (Mancu) berdiri, yaitu kerajaan Ceng, kerajaan baru inipun tidak berani mengganggu Cin-ling-pai. Partai-partai atau perkumpulan-perkumpulan rahasia gurem (yang kecil-kecil) sudah dibasmi oleh bala tentara Mancu, akan tetapi mereka tidak berani mengganggu Cin-ling-pai, malah dengan secara pandai sekali pembesar-pembesar Ceng mendekati dan membaiki Cin-ling-pai untuk sedapat mungkin menarik mereka ini menjadi pembantu atau setidaknya pendukung pemerintah baru.

Giok Thian Cin Cu cukup maklum kerajaan baru ini amat kuat dan tidak mungkin dilawan, maka ia memberi perintah kepada anak muridnya agar jangan membuat ribut dan memancing permusuhan dengan pemerintah. Akan tetapi bagaimanapun juga, tosu tua ini berpesan dengan keras agar anak muridnya, jangan sekali-kali membantu pemerintah baru dan biarlah perkumpulan hidup menyendiri, jangan sampai diperalat oleh pemerintah penjajah.

Sikap Giok Thian Cin Cu ini sama benar dengan sikap banyak partai besar yang tidak diganggu oleh pemerintah Ceng. Oleh karena ini, pemerintah Mancu lalu mencari akal, menggunakan siasat adu domba di antara partai besar ini agar kedudukan mereka menjadi lemah. Pelbagai cara dan tipu muslihat licin dijalankan untuk membakar api permusuhan di antara mereka agar siasat adu domba ini berhasil baik.

Pada waktu Han Sin dan Bi Eng tiba di kaki gunung Cin-ling-san, keadaan di antara partai-partai besar sudah mulai genting dan panas. Malah partai Cin-ling-pai sudah menaruh curiga terhadap partai-partai lain yang disangkanya berkhianat dan membantu pemerintah Ceng. Penjagaan markas mereka diperkuat dan mereka semua sudah siap siaga menghadapi pertempuran dengan siapapun juga yang dianggap mengganggu dan merupakan ancaman bagi pendirian Cin-ling-pai.

Tentu saja gerak-gerik Han Sin dan Bi Eng di kaki gunung sudah diketahui oleh tosu-tosu Cin-ling­pai dan menarik perhatian mereka. Kehati-hatian Han Sin yang mencari jalan lain untuk melewati gunung itu malah mendatangkan curiga kepada para tosu penjaga.

Kalau saja Han Sin menurut kehendak Bi Eng dan langsung naik ke gunung itu lalu menyatakan maksudnya hendak melewati gunung, kiranya para tosu malah tidak menaruh curiga dan tidak akan mengganggu. Akan tetapi ketika melihat betapa dua orang muda bersama seekor monyet kecil itu mencari jalan yang sunyi dan menjauhi bangunan rumah-rumah Cin-ling-pai, mereka menjadi bercuriga sekali dan mengira bahwa dua orang muda itu memata-matai dan menyelidiki keadaan Cin-ling-pai.

Betapa heran dan kagetnya hati Han Sin dan Bi Eng ketika mereka sedang mendaki bukit itu melalui jalan hutan yang kecil, tiba-tiba dari depan mendatangi tosu-tosu dalam barisan yang teratur rapi. Sikap para tosu itu keren sekali dan mereka menghadang perjalanan Han Sin dan Bi Eng. Di depan sendiri berdiri tiga orang tosu yang rambutnya digelung menjadi lima dan paling belakang berdiri belasan orang tosu, berjajar seperti pasukan. Mereka ini mempunyai gelung kecil-kecil dan banyak, ada yang tujuh ada yang delapan sehingga mereka kelihatan lucu.

Bi Eng tertawa, tak tertahankan lagi geli hatinya melihat kepala tosu-tosu itu demikian aneh gelungnya.

“Heran, kenapa gelung rambut mereka begitu banyak?” katanya di antara tawa.

“Bi Eng, jangan bicara sembarangan.” Han Sin mencegah adiknya, akan tetapi karena Bi Eng bicara dengan keras, semua tosu mendengarnya dan mendelik kepadanya. Bi Eng dan Han Sin tentu saja tidak tahu bahwa gelung-gelung itu merupakan tanda kedudukan para tosu Cin-ling-pai. Banyaknya gelung menunjukkan tinggi rendahnya kedudukan.

Tosu bergelung tujuh adalah murid-murid tingkat ke tujuh, yang bergelung lima adalah murid-murid tingkat ke lima dan begitu seterusnya. Makin sedikit gelungnya makin tinggi tingkatnya dan tiga orang tosu paling depan adalah murid-­murid tingkat empat, termasuk murid-murid “luar” yang paling tinggi tingkatnya. Hanya tosu gelung tiga, dua, dan satu adalah murid-murid “dalam” atau murid langsung dari Giok Thian Cin Cu.

“Eh, orang-orang muda, siapa kalian dan mengapa lancang mengambil jalan ini tanpa minta perkenan dari kami lebih dulu?” tanya seorang di antara tiga tosu gelung empat itu, yang mukanya burik (bopeng).

Pertanyaan ini diajukan dengan sikap memandang rendah dan tanpa sopan santu. Han Sin menerimanya dengan tenang-tenang saja akan tetapi tidak demikian dengan Bi Eng. Dengan mata bersinar marah gadis ini menjawab,

“Kalian ini berpakaian seperti pendeta tapi bersikap seperti perampok, mau apakah menghadang perjalanan kami? Orang lewat di gunung ini harus minta perkenan darimu, apakah kalian ini termasuk setan-setan penjaga gunung?”

“Eng-moi ....!” Han Sin menegur adiknya yang surut kembali ketika ditegur oleh kakaknya.

Bi Eng bersungut-sungut dan membela diri.

“Biarlah Sin-ko. Sikap mereka kurang ajar dan keterlaluan, dikiranya aku takut kepada mereka? Cih!”

Sementara itu, Siauw-ong yang melihat sikap Bi Eng memusuhi para tosu itu, tentu saja membela nonanya. Ia dari pundak Han Sin lalu membuat panas hati para tosu itu dengan ejekan-ejekan, menyengir-nyengir mencebi-cebi dan kedua tangannya dikepal dan diacung-acungkan seperti orang menantang berkelahi!

“Eng-moi, biar orang berlaku kasar kepada kita, jangan membalas dengan kekerasan. Biar orang menyerang kita, kita jangan menggunakan kekerasan,” Han Sin menegur adiknya yang tunduk terhadap peringatan kakaknya ini, biarpun hatinya mendongkol bukan main terhadap tosu-tosu itu.

Adapun para tosu itu yang biasanya amat ditakuti dan disegani orang, ketika melihat sikap Bi Eng dan monyet kecil, menjadi marah. Bala tentara kaisar asing masih menaruh hormat dan segan kepada mereka, masa bocah perempuan ini berani bersikap galak? Datang-datang mereka dimaki perampok dan setan penjaga gunung, tentu saja para tosu menjadi marah dan memandang dengan mata mendelik.

“Suheng, biar siauwte menangkap bocah-bocah gunung ini, tentu mereka ini mata-mata partai lain yang sengaja hendak menyelidik dan mencari perkara!” berkata dua orang tosu gelung lima yang melompat maju. Ketika tosu-tosu gelung empat mengangguk, dua orang tosu gelung lima yang bertubuh gemuk-gemuk ini melangkah lebar menghampiri Han Sin dan Bi Eng, lalu menudingkan telunjuk mereka yang besar. Seorang di antara mereka membentak,

“Kalau orang baik-baik, lekas berlutut minta maaf atas kelancangan kalian, terangkan nama dan tujuan!”

Bi Eng hampir tak dapat mengendalikan kemarahannya lagi. Siauw-ong yang melihat sinar mata nonanya, maklum bahwa ia berhadapan dengan musuh-musuh, maka sambil mengeluarkan suara pekik dahsyat monyet kecil ini melompat maju. Cepat bukan main gerakannya sehingga di lain saat ia telah menangkap lengan yang diacungkan itu dan menggigit telunjuk yang menuding.

“Auuu .... aduuuuhh ...! Tosu gemuk yang digigit telunjuknya itu marah sekali dan tangan kirinya dikepal terus menghantam kepala monyet kecil itu.

Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Jelek-jelek iapun “murid” Ciu-ong Mo-kai maka begitu kepalan menyambar, ia telah berpindah ke pundak tosu yang kedua. Sebelum tosu ini tahu apa yang terjadi, rambutnya sudah dijambak-jambak dan gelungnya yang lima buah banyaknya itu terlepas dan awut-awutan! Lebih celaka lagi, kuku-kuku tangan Siauw-ong mencakar dan berdarahlah telinganya.

“Binatang jahat!” seru mereka berdua dan dengan pukulan-pukulan berat mereka menyerang monyet itu.

Siauw-ong berlompatan ke sana ke mari sambil menyeringai dan mengejek. Ketika monyet itu meloncat turun ke atas tanah, payah juga kedua orang tosu itu mengejar dalam usaha mereka memukul dan menangkap, karena mereka harus membungkuk- bungkuk dan tubuh yang gemuk itu betul-betul membuat gerakan mereka kurang leluasa.

Siauw-ong memiliki gerakan yang amat cepat dan lincah. Monyet ini menari-nari dan mulai menggunakan pukulan-pukulan ilmu silat yang aneh karena ilmu silat yang ia tiru-tiru dari Bi Eng itu bercampur dengan gerakan asli monyet itu. Namun harus diakui kehebatannya karena berkali­-kali ia telah dapat menampar, menendang, mencakar bahkan menggigit pakaian dua orang tosu itu sampai robek-robek.

Bi Eng tak dapat menahan kegembiraan hatinya. Gadis itu tertawa-tawa terkekeh sambil bertepuk-­tepuk tangan.

“Bagus, Siauw-ong, bagus! Cakar mukanya, pukul perutnya yang gendut-gendut itu. Hi hi hi!”

“Siauw-ong, mundur!” Bentakan Han Sin ini ternyata berpengaruh sekali karena sambil cecowetan takut Siauw-ong lalu meloncat ke atas pundak Han Sin.

Bi Eng kecewa. “Koko, mengapa tidak biarkan Siauw-ong menghajar mereka? Agaknya orang-orang macam inilah yang dikatakan orang-orang jahat oleh suhu.”

“Diamlah, adikku, biar aku yang menghadapi mereka,” kata Han Sin yang melangkah maju dan menjura kepada dua orang tosu yang masih mencak-mencak saking marahnya. Tubuh mereka sakit­sakit, kulit lecet-lecet karena cakaran Siauw-ong dan pakaian mereka robek-robek sedangkan rambut awut-awutan. Han Sin menjura dan berkata,

“Harap cuwi taisu memaafkan monyetku ini dan maklum bahwa monyet tentu saja tidak sesopan manusia.”

Kata-kata ini keluar dari hati jujur tanpa terkandung sesuatu, namun para tosu itu mengira Han Sin mengejek mereka dan memaki mereka menyatakan bahwa mereka sebagai manusia-manusia juga tidak sopan seperti monyet.

“Eh, bocah-bocah kurang ajar. Kalian berani main gila terhadap tosu-tosu Cin-ling-pai? Ayoh lekas berlutut minta ampun, baru kami masih pikir-pikir untuk meringankan hukumanmu,” kata tosu yang mukanya bopeng.

Biarpun Han Sin seorang pemuda aneh yang amat sabar dan rendah hati namun ia keturunan orang gagah dan dalam pelajaran-pelajaran di kitabnya terdapat pantangan untuk orang berlaku merendah dan menjilat. Bagaimana ia bisa berlutut minta ampun tanpa kesalahan? Hal serendah dan sehina ini tentu saja tak mungkin ia mau melakukan. Hanya orang bersalah yang wajib minta ampun terhadap siapapun juga. Selagi ia ragu-ragu, Bi Eng mendamprat tosu itu.

“Pendeta bopeng! Terhadap manusia macam kau, mana bisa kakakku berlutut minta ampun? Kami tidak bersalah apa-apa, kalian yang sengaja menghadang perjalanan kami. Ayoh, minggir dan biarkan kami meneruskan perjalanan kalau kalian memang tidak mempunyai niat busuk.”

“Bocah bermulut lancang! Kalau tidak mau minta ampun, terpaksa pinto menggunakan kekerasan menangkap kalian!” Si tosu bopeng lalu mengulur tangan hendak mencengkeram pundak Bi Eng. Akan tetapi sambil mengeluarkan suara tertawa mengejek, Bi Eng mengelak dan begitu kaki kirinya yang kecil bergerak, ujung sepatunya yang keras telah mencium tulang kering tosu itu, mengeluarkan bunyi “tak!” yang keras.

Tosu Bopeng itu megap-megap menahan sakit sambil berjingkrak dengan sebelah kaki. Tulang keringnya retak terkena tendangan tadi, sakitnya bukan alang kepalang, sampai menusuk ke jantung.

Kawannya, tosu bergelung lima yang kedua, marah sekali. “Berani kau merobohkan tosu Cin-ling­pai?” katanya sambil menubruk maju dengan sikap beringas.

Han Sin kuatir sekali melihat ini, takut kalau adiknya mengalami celaka. Mana adiknya bisa menang menghadapi tosu yang begini galak dan beringas?

“Harap taisu jangan celakai adikku ....!” katanya memohon sambil mengangkat tangan untuk menahan serangan tosu itu.

Tosu kedua yang botak kepalanya dan empat gelungnya amat kecil-kecil karena rambutnya hanya sedikit ini, maka ia robah cengkeramannya ke arah Bi Eng dan memukul lengan pemuda itu untuk merobohkannya.

“Plakk ....!” Aneh sekali. Tosu yang bergelung empat ini, begitu tangannya bertemu dengan lengan Han Sin yang diangkat untuk mencegahnya menyerang Bi Eng, tiba-tiba menjerit, tubuhnya terpental dan ia roboh dengan tulang lengannya patah! Ia menyeringai kesakitan dan memandang kepada Han Sin dengan heran dan terkejut sekali. Bi Eng tidak tahu bahwa tosu itu roboh oleh tangkisan kakaknya. Ia terkejut sekali melihat Han Sin maju, takut kalau kakaknya terluka. Maka ia lalu menerjang maju dan berkata keras,

“Tosu-tosu bau! Jangan ganggu kakakku yang tidak bisa ilmu silat. Kalau mau berkelahi, lawanlah aku!” Siauw-ong yang melihat sikap nonanya ini lalu melompat turun dan berdiri di dekat Bi Eng sambil angkat dada, lalu tangan kanannya menepuk-nepuk dadanya dengan sikap menantang sekali.

Semua tosu mengira bahwa robohnya tosu gelung empat tadi karena serangan gelap dari Bi Eng, malah si tosu sendiri mulai ragu-ragu apakah betul ia roboh dan patah lengannya oleh pemuda lemah itu. Apa lagi ketika semua tosu melihat betapa dalam usahanya mencegah Bi Eng, Han Sin maju tergesa-gesa sampai kakinya tersandung batu yang membuat ia jatuh terjungkal!

Bi Eng menjerit, menghampiri kakaknya. “Koko, kau jatuh? Sakitkah?”

Dengan muka merah Han Sin merayap bangun sambil menggeleng kepalanya. “Tidak apa-apa, moi=­moi. Janganlah kau mencari perkara dengan para taisu ini .....”

Sementara itu, para tosu Cin-ling-pai sudah memuncak marahnya. Dua orang tosu gelung lima sudah dihina seekor monyet, dua orang tosu gelung empat sudah dikalahkan oleh seorang gadis cilik, kemana mereka harus menaruh muka kalau tidak bisa membalas kekalahan ini?

Tosu tingkat rendahan tidak berani lancang maju, hanya memperlihatkan sikap waspada dan mengurung, sedangkan tosu gelung lima yang masih ada tiga orang bersama seorang tosu gelung empat, maju bersama, sikapnya mengancam.

Di pihak Bi Eng, nona inipun berdiri dengan sikap gagah, memasang kuda-kuda dan di sebelahnya Siauw-ong juga memasang kuda-kuda sambil meringis-ringis memperlihatkan giginya yang runcing!

Han Sin menarik napas panjang pendek, tidak berdaya mencegah pertempuran yang akan terjadi ini. Ia amat kuatir, apa lagi ketika melihat empat orang tosu itu tiba-tiba mencabut pedang dari punggung mereka.

“Cih, tak tahu malu!” Bi Eng memaki dengan suara menyindir. “Empat orang tosu tua bangka hendak mengeroyok, malah menggunakan senjata tajam. Gagah amat!”

Memang sengaja ia menyindir karena diam-diam ia bingung juga melihat empat orang lawan hendak mengeroyoknya dengan pedang di tangan, biarpun di dalam hatinya sama sekali ia tidak takut.

Mendengar ini, empat orang tosu itu saling pandang dengan muka merah. Mereka jadi tidak berani maju, karena memang amat memalukan kalau empat orang tosu Cin-ling-pai yang sudah terkenal gagah perkasa harus maju mengeroyok seorang gadis cilik yang bertangan kosong.

“Suheng, biar siauwte menghajarnya!” kata tosu gelung lima sambil melangkah maju. Akan tetapi baru saja ia maju, Siauw-ong sudah menyerangnya dengan cakaran dan gigitan, bukan sembarangan melainkan dengan gerakan teratur, gerakan yang dipengaruhi gerakan-gerakan ilmu silat!

“Binatang ini harus dimampuskan dulu!” seru tosu gelung lima itu dan pedangnya kini berkelebatan menyambar, menghujankan serangan kepada tubuh monyet yang kecil itu.

Akan tetapi Siauw-ong gesit luar biasa. Setelah tosu Cin-ling-pai ini memegang pedang, memang ia hebat sekali. Kepandaian khas dari para tosu Cin-ling-pai memang dalam penggunaan pedang yang menjadi senjata khusus ketua mereka Giok Thian Cin Cu. Maka menghadapi sambaran pedang yang berputar-putar dan berkelebatan seperti kilat menyambar-nyambar itu, Siauw-ong menjadi kecil hatinya, tidak dapat menyerang kembali.

Akan tetapi, bagi tosu itupun merupakan hal yang luar biasa sukarnya untuk mengenai tubuh si monyet. Bukan main lincahnya, meloncat ke sana ke mari dan selalu bacokan-bacokan dan tusukan-­tusukan hanya mengenai angin belaka! Ini masih belum seberapa kalau si monyet tidak mengeluarkan suara seperti orang mentertawakan dan mengejek. Tosu gelung lima itu menjadi makin marah, seperti bernyala api sinar matanya, berbusa mulutnya dalam nafsu besarnya untuk mencacah-cacah tubuh monyet nakal ini.

Si tosu sudah senen-kemis napasnya karena selalu ia membacok dan menusuk angin. Juga Siauw­ong nampak lelah biarpun gerakan-gerakannya tidak menjadi lambat. Hal ini amat mencemaskan hati Bi Eng. Biarpun ia harus mengakui bahwa ilmu pedang tosu itu lihai, namun setelah melihat tosu itu menyerang Siauw-ong, dalam hati kecilnya ia sanggup menghadapi tosu ini dengan tangan kosong saja. Ia dapat mengelak selincah Siauw-ong untuk menghindarkan diri dari hujan senjata dan di samping ini, tidak seperti Siauw-ong, ia melihat kesempatan-kesempatan dan lowongan-lowongan untuk menyerang kembali.

“Siauw-ong, mundurlah!” serunya kepada monyet itu yang cepat melompat ke belakang, langsung naik ke pundak Han Sin sambil meleletkan lidah dan memanjangkan hidungnya kepada tosu tadi.

Beberapa orang tosu di belakang menahan ketawa mereka. Betapapun gemas dan mendongkol hati mereka, didalam hati mereka geli juga melihat kenakalan monyet yang ternyata amat lihai itu. Masa suheng mereka yang bertingkat lima tidak mampu mmbacok leher monyet dalam puluhan jurus tadi? Benar-benar aneh sekali. Padahal, suheng mereka itu menghadapi seekor harimau ganas sekalipun, pedangnya tentu akan dapat membunuh harimau itu tidak lebih dari dua puluh jurus.

Tosu itu biarpun napasnya sudah senen-kemis, akan tetapi saking marahnya dipermainkan oleh monyet itu, begitu melihat Bi Eng, maju, ia lalu menyerang dengan tusukan yang ganas.

“Moi-moi, awas!” Han Sin berteriak ngeri.

Namun gerakan Bi Eng tidak kalah gesitnya oleh Siauw-ong. Ia dengan mudah mengelak. Tosu itu kini tidak mau gagal lagi, ia menggerakkan pedang cepat sekali dan mengirim serangan bertubi-­tubi. Kini para tosu melihat hal yang aneh dan lucu. Gadis cantik jelita itu mulai berloncat-loncatan, persis seperti gerakan-gerakan monyet cilik tadi, begitu cepat, begitu lucu dan selalu dapat menghindarkan ancaman pedang!

Tidak seperti Siauw-ong tadi yang hanya bisa mengelak tanpa dapat membalas menyerang. Bi Eng sekarang mempergunakan setiap lowongan untuk balas menyerang lawannya sehingga tosu itu makin sibuk dan serangan-serangannya mengendur.

“Sute, lepaskan pedangmu. Mari kubantu kau menangkap gadis liar ini!” seru tosu gelung empat yang menjadi penasaran sekali melihat bahwa sutenya ini tak lama lagi tentu akan dirobohkan gadis cilik itu. Ia teringat bahwa andaikata sutenya dapat merobohkan gadis cilik itu yang bertangan kosong, hal ini tidak akan mengharumkan nama Cin-ling-pai yang sudah terkenal. Maka lebih baik menangkap gadis ini dan kakaknya untuk diseret kepada suhu-suhu mereka dan menanti keputusan. Asal dapat menangkap mereka berdua dan monyet itu, sudah tertebuslah kekalahan-kekalahan tadi dan nama baik Cin-ling-pai takkan tercemar.

Tosu gelung lima itu girang sekali mendengar suhengnya hendak membantu. Ia lalu menyimpan pedangnya dan melompat ke belakang sambil terengah-engah.

“Biar kuganti kau, sute!” kata seorang kawannya, tosu gelung lima lain lagi yang maju mengawani si tosu gelang empat. Dua orang tosu ini tanpa banyak cakap lalu menyerbu dan berusaha menangkap atau menotok jalan darah Bi Eng.

Bi Eng mengelak cepat dan serangan-serangan ini dan ia menjadi terdesak. Tingkat kepandaian tosu-tosu itu sebetulnya sudah amat tinggi dan Bi Eng baru belajar silat dua tahun saja, mana dia bisa melawan mereka? Hanya karena semenjak kecil ia belajar menari-nari dengan monyet yang gesit maka ia memiliki kegesitan luar biasa, ditambah lagi biarpun hanya belajar dua tahun namun ia belajar langsung dari tangan seorang sakti seperti Ciu-ong Mo-kai, maka tadi ia dapat menghadapi pedang tosu tingkat lima dan empat, gadis ini benar-benar hanya dapat mengelak dan berloncatan ke sana ke mari menggunakan kegesitannya dalam tari monyet, sama sekali tidak mampu membalas serangan lawan.

Tiba-tiba terdengar suara Han Sin yang membuat gadis itu girang sekali.

“Eng-moi, Pek-in-koan-goat (Awan Putih Tutup Bulan) ke kiri!”

Setelah mendengar seruan ini, barulah terbuka mata Bi Eng dan secara membuta ia lalu melakukan gerakan yang disebutkan oleh kakaknya itu. Dua orang tosu itu terkejut sekali karena tiba-tiba gerakan Bi Eng berubah dan tahu-tahu telah menyerang mereka dengan dahsyat. Mereka terpaksa mengelak sambil melompat mundur, baru berani menyerang lagi dari kanan kiri.

“Hui-in-ci-tiam (Awan Terbang Keluarkan Kilat)!” Lagi-lagi Han Sin berseru sambil memandang pertempuran itu dengan penuh perhatian.

“In-mo-sam-bu (Payung Awan Tiga Kali Menari)!”

Seruan-seruan ini adalah gerak tipu yang paling tepat untuk dimainkan dalam keadaan seperti Bi Eng. Han Sin memang tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, akan tetapi ilmu silat Liap-hong Sin-hoat telah ia pelajari teorinya sampai hafal benar, sampai sempurna sehingga ia dapat melihat bagaimana gerak tipu itu harus dimainkan sungguhpun kalau dia sendiri disuruh main, tentu gerakan-gerakan kaki tangannya kaku dan tidak biasa.

Bi Eng percaya penuh kepada kakaknya yang memang ia anggap manusia paling pintar di dunia ini, maka secara membuta ia dengan girang mentaati seruan-seruan itu dan berturut-turut ia mainkan Hui-in-ci-tiam disusul Im-mo-sam-bu yang mempunyai tiga jurus gerakan. Makin girang hatinya ketika dalam jurus kedua dari gerak tipu ini, jari-jari tangannya telah mengenai sasaran dengan tepat, yaitu di iga kiri tosu gelung lima.

Lanjut ke jilid 012 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment