Ads

Wednesday, September 5, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 066 ( TAMAT )

◄◄◄◄ Kembali

"Han Sin ......, apakah kau masih tetap dengan cintamu? Masih tetap mencinta dia seperti pengakuanmu dulu?"

Han Sin mengangguk pasti.

".... ahhh ..., kalau begitu...., kalian saling mencinta .... dan aku ... aku ......bagaimana.....?"

Han Sin tak dapat menjawab, hanya berdiri lemas, hatinya terharu bukan main. Bi Eng melihat hal ini dan dia yang menjawab,

"Salahmu sendiri, cici Tilana. Kau menggunakan akal busuk dan rendah. Cinta tak dapat dipaksa melalui segala obat racun, melalui segala alat kecantikan. Cinta demikian hanyalah cinta palsu ....."

"Tapi kau dulu membantuku .....”

"Ya, tapi bukan dengan maksud rendah seperti maksudmu. Aku membantumu karena kusangka dia kakak kandungku sendiri, aku malah takut kalau-kalau jatuh cinta kepadanya ....." Cekalannya kepada lengan Han Sin dipererat.

"Keparat .....!" Tilana mencabut pedangnya, sikapnya mengancam. Matanya beringas. "Han Sin, kalau aku bunuh Bi Eng, bagaimana?"

"Aku akan melindunginya, kalau perlu aku akan lebih dulu membunuhmu."

"Kalau aku membunuhnya secara diam-diam, di luar dugaanmu?"

"Kalau begitu, aku akan membunuh diri sendiri ...."

Tilana menjerit ngeri, meloncat ke depan dan mengangkat pedangnya. Han Sin melindungi Bi Eng, akan tetapi ia segera berteriak kaget sekali ketika melihat darah menyembur, disusul robohnya tubuh Tilana yang ternyata telah menggorok leher sendiri dengan pedangnya!

"Tilana ......!"

"Cici Tilana ......!”

Han Sin dan Bi Eng sudah lupa akan kebencian mereka. Keduanya berlutut dekat tubuh Tilana, Bi Eng menangis dan Han Sin kelihatan terharu sekali. Tilana masih dapat tersenyum dan hanya matanya yang memandang mereka dengan sinar mata menyatakan harapan,

"Semoga kalian berbahagia." Beberapa menit kemudian, nampak Han Sin dan Bi Eng mengubur jenazah Tilana dengan khidmat.

****

"Anak durhaka! Anak tidak berbakti! Kau mau ikut dengan jahanam ini? Dia sudah melakukan perbuatan zina dengan adik kandungnya sendiri. Ha ha ha, dia anak Cia Sun sudah berzina dengan adik kandungnya sendiri ...."

"Tidak, ibu. Dugaanmu meleset. Cici Tilana itu bukanlah adik kandung melainkan anak Ang-jiu Toanio. Sebelum ibu menukarkan aku dengan anak keluarga Cia, ibu sudah didahului Ang-jiu Toanio. Adik kandung Sin-ko jatuh di tangan Hoa Hoa Cinjin, menjadi nona Hoa-ji gadis berkedok."

"Apa ......??” Balita membentak dan menatap wajah Han Sin dengan penuh keheranan.

"Betul demikian," kata Han Sin. "Kami, aku dan adik Bi Eng, saling mencinta dan tidak ada kekuasaan di dunia ini yang dapat memisahkan kami. Akan tetapi, sudah sepatutnya kami menghadap locianpwe untuk mohon ijin agar kami dapat menghapus permusuhan orang-orang tua dahulu dengan sebuah pernikahan."

"Apa .....? Anakku ..... darahku ....menikah dengan anak nyonya Cia ......?” Matanya melotot, rambutnya riap-riapan di antara matanya.

Han Sin mendapat pikiran bagus. "Bukan hanya anak nyonya Cia, locianpwe, melainkan anak darah keturunan Cia Sun sendiri. Alangkah baiknya, puteri dari Jim-cam-khoa Balita menikah dengan putera dari taihiap Cia Sun."

Balita menggerakkan kepalanya dan rambut yang riap-riapan ke depan itu kini ke belakang pundak semua. Matanya bersinar, mulutnya bergerak-gerak, kemudian ia berseru,

"Bagus sekali! Seluruh dunia kang-ouw akan mendengar, akan melihat. Lihat akhirnya putera Cia Sun mengawini puteri Balita. Hi hi hi, Cia Sun, tengoklah. Kau dulu menolakku, sekarang puteramu memaksa mengawini anakku. Hi hi hi, kau masih bilang tidak mencinta aku? Lihat puteramu yang lebih tampan dari pada engkau, sekarang mencinta anakku yang tidak secantik aku. Bukankah ini pembalasan namanya? Ha ha!"
Pada saat itu Siauw-ong meloncat turun dari pohon dan hinggap di pundak Han Sin. Hal ini membuyarkan pikiran Balita yang cepat berubah dan berteriak,

"Monyet keparat!" Memang perempuan ini aneh. Selama Bi Eng pergi, monyet itu ditinggalkan di situ dan Balita selalu bersikap baik. Sekarang mendadak ia membenci. ”Monyet bedebah! Eh, Cia Han Sin anak Cia Sun, kau bilang betul-betul mencinta Bi Eng? Mau berkorban apa saja?"

"Betul, aku bersumpah bahwa aku mencinta Bi Eng, bersiap mengorbankan apa saja demi cintaku."

"Tapi tidak akan sah kalau tidak mendapat perkenanku, bukan? Hi hi hi. Bi Eng ini adalah Tilana, puteriku yang kukandung sembilan bulan lamanya, hi hi!"

"Betul kata-kata cianpwe, memang kami datang menghadap untuk mohon perkenan."

"Aku tidak memberi ijin."

"Ibu .....!" Bi Eng memeluk kaki ibunya dan menangis. "Aku lebih baik mati ......"

"Harap cianpwe ingat bahwa perjodohan ini akan menghapus segala permusuhan, akan menebus segala kesalahan ayah dahulu."

"Betul ....., betul. Tapi aku masih tidak percaya. Kau betul mencintanya?"

"Aku bersumpah!"

"Lebih mencinta anakku dari pada mencinta monyet ini?"

"Sudah tentu saja ......”

"Nah, kalau begitu penggal kepala monyet ini! Ayoh penggal, sebagai bukti cintamu!"

Bukan main kagetnya Han Sin dan Bi Eng. Mereka memandang kepada Siauw-ong yang melongo-­longo tidak tahu apa-apa. Bi Eng menjerit dan memeluk Siauw-ong.

"Ibu, kau kejam sekali! Tarik kembali permintaanmu."

Balita tertawa. "Tidak bisa. Sekali kata-kata dikeluarkan, tak dapat ditarik kembali. Eh, Cia Han Sin, kau pilih satu antara dua, kau boleh mendapat persetujuanku setelah kau memenggal batang leher monyetmu sebagai tanda cintamu terhadap Bi Eng. Kalau kau lebih sayang monyetmu dari pada Bi Eng, nah, kau pergilah bawa monyetmu dan tinggalkan anakku di sini."

Han Sin menjadi pucat dan bingung. Beberapa kali ia memandang kepada Bi Eng yang lalu berdiri dengan tubuh menggigil, matanya tajam menatap wajah ibunya.

"Ibu, kalau kau memaksa aku selamanya takkan mengakuimu sebagai ibu! Kau kejam sekali!"

"Bi Eng, jangan kau berkata demikian!" Han Sin mencela. Betapapun juga, ia tidak mau melihat Bi Eng menjadi seorang anak yang mendurhakai ibunya.

"Cianpwe, apakah syaratmu itu sudah pasti. Apakah kau hendak menggunakan kekejamanku terhadap monyetku sebagai bukti cintaku kepada anakmu?"

"Ayoh penggal, tak usah banyak cakap. Penggal lehernya dan kau akan kuambil menantu!"

Han Sin. mencabut pedangnya, menghadapi Siauw-ong yang berdiri bingung. "Siauw-ong, seorang laki-laki harus berani mengambil keputusan. Aku harus memilih dan keputusanku tidak bisa aku mengorbankan kebahagiaan kami berdua untuk hidupmu. Kau hanya seekor monyet dan siapa tahu kematianmu hanya akan membebaskan aku dari pada hukuman karma. Siauw-ong, kau ampunkanlah aku. Aku Cia Han Sin bersedia menerima hukuman, bersedia kelak menerima pembalasanmu, demi cinta kasihku terhadap nonamu."

Secepat kilat, sebelum Siauw-ong dapat menyangkanya, pedangnya berkelebat dan Im-yang-kiam sudah membabat putus leher Siauw-ong yang tewas tanpa dapat mengeluh lagi. Han Sin cepat menyambar kepala monyetnya yang melayang, mencium muka itu, kemudian dengan hati-hati ia menaruh kepala itu di atas saputangannya. Bi Eng menjerit dan menangis terisak-isak, menutupi mukanya.

"Inilah, gak-bo (ibu mertua), inilah emas kawin yang kau minta," kata Han Sin menyerahkan kepala Siauw-ong di atas saputangan itu, sambil memasukkan pedangnya. Bi Eng menangis dan merangkul pundak Han Sin.

"Sin-ko, mari kita pergi saja ..... tak tahan aku berada di sini lebih lama ...... marilah, Sin-ko ....." Mereka berdua tak dapat menahan bercucurnya air mata.

Tiba-tiba Balita menangis. "Kau betul-betul membunuh Siauw-ong? Celaka! Kalau Tilana pergi, dia kawanku satu-satunya sekarang kau bunuh pula. Kalian orang-orang celaka, ayoh pergi dari sini. Minggat! Dan jangan muncul lagi di hadapanku!"

Setelah berkata demikian Balita lalu memondong tubuh dan kepala Siauw-ong yang sudah terpisah itu, dibawa masuk ke dalam pondoknya! Han Sin dan Bi Eng lalu pergi meninggalkan tempat itu. Mereka tidak tahu betapa dari belakang pintu, Balita memandang mereka sambil bercucuran air mata. Memandang ke arah bayangan dua orang muda yang berjalan sambil saling memeluk pinggang, sampai bayangan itu lenyap di balik gunung batu.

Demikianlah, sebagai suami isteri yang penuh kasih sayang, Han Sin dan Bi Eng hidup berdua di Min-san. Hubungan mereka dengan dunia ramai hanya ketika mereka menghadiri pernikahan Pangeran Yong Tee dan Hoa-ji, kemudian pernikahan antara Yan Bu dan Li Goat.

Han Sin menolak keras ketika Pangeran Yong Tee berusaha mengangkatnya menjadi seorang pembesar di kota raja. Betapapun juga, di lubuk hatinya Han Sin masih tetap memandang pemerintah Mancu sebagai musuhnya, sebagai musuh bangsanya yang kembali terjajah. Betapapun baik bangsa Mancu menjalankan pemerintahan, namun mereka tetap bangsa penjajah dan Han Sin diam-diam menanti saat baik, saat di mana para patriot bangsa akan bangkit dan dengan semangat menggelora akan mengusir penjajah itu dari tanah air.

TAMAT

No comments:

Post a Comment