Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 001

◄◄◄◄ Kembali

“KANDA Cia Sun ......! Kanda ...... tunggulah .....!!” Suara
wanita ini terdengar amat memilukan hati penuh permohonan dan kehancuran hati.

“Balita, perempuan rendah. Pergilah kau, jangan ganggu aku!”
terdengar suara laki-laki menjawab penuh kegemasan dan kebencian.

“Kanda Cia Sun ....... ohhh ..... kanda Cia Sun ...... Ingatlah
anakmu ini ......” Suara wanita ini sekarang bercampur tangis.

Kalau ada orang lain berada di dalam hutan itu, tentu dia akan
menjadi seram dan takut, mengira bahwa itu adalah suara iblis-iblis hutan.
Memang aneh. Suaranya terdengar dekat, bergema di seluruh hutan, baik suara
wanita maupun suara pria itu. Akan tetapi orang-orangnya tidak kelihatan.

Setelah sunyi beberapa lamanya, akhirnya terdengar derap kaki kuda
memasuki hutan. Penunggangnya seorang laki-laki tampan tegap, gagah perkasa dan
dipundaknya duduk seekor monyet kecil yang sudah tua. Monyet betina ini agaknya
sudah biasa ikut tuannya menunggang kuda. Tubuhnya tegak tidak bergoyang
biarpun tuannya membalapkan kuda itu. Sebentar-sebentar monyet itu menengok ke
belakang dan akhirnya mengeluarkan bunyi cecowetan seperti ketakutan.

Yang ditakuti oleh monyet itu adalah seorang wanita muda berlari
cepat sekali, mengejar dari belakang. Wanita ini masih muda dan cantik jelita.
Rambutnya panjang halus dan amat hitam, riap­riapan karena tidak terpelihara
dan ikatan rambutnya agaknya terlepas sehingga rambut itu tertiup angin,
berkibar di belakang kepalanya. Dia memondong seorang bayi perempuan yang
usianya baru beberapa bulan.

Baru mendengar suara mereka tadi saja yang amat nyaring dan
bergema di dalam hutan sedangkan orang-orangnya masih jauh, sudah dapat diduga
bahwa mereka bukanlah orang-orang sembarangan, melainkan orang-orang yang
mempunyai kepandaian tinggi sehingga khikang mereka membuat suara mereka
terdengar sampai jauh. Apalagi sekarang, melihat wanita muda itu berlari cepat
sekali sehingga bisa menyusul larinya kuda yang dibalapkan, benar-benar luar
biasa sekali.

Orang muda itu masih
mencoba untuk menangkan perlombaan lari itu, namun wanita yang menggendong anak
itu lebih cepat lagi bagaikan terbang saja larinya dan di sebuah tikungan dia
telah dapat menyusul, mendahului kuda dan sekali mengangkat tangan menahan
kepala kuda. Binatang itu berhenti berlari.

Monyet yang duduk di
pundak orang muda itu mengeluarkan pekik ketakutan dan dari atas pundak ia
meloncat ke sebuah cabang pohon yang terdekat. Adapun orang muda itu dengan
muka merah dan mata melotot lalu melompat turun.

“Perempuan hina, kau mengejar-ngejarku mau apakah?” bentaknya

Sambil menangis wanita itu menjatuhkan diri berlutut di depan
orang muda itu, memegangi sepatunya.

“Sun-ko ...... pujaan hatiku ..... di dunia ini hanya kau seorang
yang kucinta. Sun-ko, kasihanilah aku, kasihanilah anakmu ini ..... bawa aku
serta, biar aku akan menjadi bujangmu, menjadi pelayan di rumahmu. Biar aku
akan merawat isteri dan anak-anakmu ...... asal aku selalu bisa berdekatan
dengan kau .....,” ratap tangis itu tentu akan melumpuhkan kekerasan hati pria.
Namun laki-laki yang bernama Cia Sun itu malah memperlihatkan muka penuh
kebencian.

Wanita ini memang cantik sekali. Usianya juga tidak lebih dari dua
puluh lima tahun. Rambutnya yang kini tidak digelung riap-riapan karena
terlepas ikatannya, menutupi sebagian lehernya yang berkulit putih kekuningan.
Rambut yang panjang, gemuk dan hitam sekali. Mukanya manis dan tidak akan
membosankan siapa saja yang memandangnya, dengan sepasang mata lincah dan
bening, tajam ujungnya membuat lirikan mata seperti itu setajam tusukan pedang,
hidungnya mancung dan bibirnya merah segar tanpa gincu. Karena tadi berlari
cepat, sepasang pipinya yang putih halus itu agak kemerahan dan rambut di dekat
telinganya yang agak basah terkena peluh itu menambah manisnya. Keindahan
tubuhnya muda dibayangkan karena pakaiannya robek di sana sini. Namun orang
muda berusia tiga puluh tahun itu tidak menghiraukan semua keindahan ini,
agaknya malah tidak melihat kecantikan wanita ini yang dalam pandangan matanya
malah merupakan seorang wanita jahat yang menyeramkan.

“Siluman betina!” makinya marah. “Jangan coba menipuku. Anak ini
bukan anakku! Kau kira aku tidak tahu? Untuk menuruti nafsu jahatmu, kau
mempergunakan ilmu siluman membuat aku lupa diri, kemudian kau malah tidak
segan-segan untuk membunuh suamimu. Cih, perempuan macam apa kau ini? Anak ini
bukan anakku dan aku Cia Sun telah bersumpah selama hidupku takkan sudi berdekatan
denganmu. Pergilah!”

“Kanda Cia Sun ......., begitu kejamkah hatimu? Biarlah, kalau kau
tidak mau mengaku menjadi ayah anak ini ... tidak apa, asal aku kau bolehkan
selalu dekat denganmu. Aku ..... aku cinta padamu, Sun-ko ....., aku cinta
padamu dengan seluruh jiwaku ......” Kembali wanita itu memeluk kedua kaki Cia
Sun dan kini malah menciumi kaki itu.

Cia Sun menjadi makin marah. Digerakkan kaki kanannya dan
ditendangnya wanita itu. Tendangan yang keras sekali, dilakukan oleh seorang
ahli silat kelas tinggi. Kalau orang lain yang terkena tendangan ini, tentu
akan mati di saat itu juga. Akan tetapi wanita itu hanya terlempar dan
berjungkir balik dengan anak bayinya masih dalam pondongan. Jangankan terluka,
menangispun tidak anak bayi itu! Kembali wanita itu maju berlutut.

“Kanda Cia Sun, aku benar-benar cinta padamu. Lebih baik mati dari
pada harus berpisah darimu .....”

“Kalau begitu mampuslah!” Cia Sun melangkah maju dan mengerahkan
tenaganya memukul dengan tangan kiri ke arah kepala wanita itu.

Pukulan ini bukan sembarangan pukulan, melainkan pukulan dengan
gerak tipu yang disebut Bu-siong-phak-houw (Bu-siong menghantam macan).
Dilakukan dengan tenaga ratusan kati dan kiranya kepala seekor macan akan pecah
kalau terkena pukulan ini. Namun wanita itu hanya mengangkat lengan melindungi
kepalanya dan ketika kepalan laki-laki itu bertemu dengan lengannya, Cia Sun
mengeluh kesakitan dan terhuyung mundur ke belakang. Ia menghela napas dan
memaki,

“Memang kau siluman! Ilmu kepandaianmu amat tinggi, luar biasa
sekali, akan tetapi kau pergunakan untuk hal-hal yang tidak patut. Balita,
jangan kau ganggu aku. Kau kembalilah kepada bangsamu, di sana kau adalah
puteri yang dimuliakan orang. Kenapa kau begitu gila hendak mengejar-ngejar aku
dan rela menjadi bujang?”

“Sun-ko, sudah kukatakan tadi. Aku cinta kepadamu dan cintaku
inilah yang membuat aku akan merasa jauh lebih berbahagia menjadi bujangmu dari
pada menjadi seorang puteri akan tetapi jauh darimu. Sun-ko ......, kau bawalah
aku. Selain menjadi bujang, akupun sanggup membelamu, sanggup melindungimu dari
semua musuh-musuhmu.”

Cia Sun kelihatan bimbang. Akan tetapi ia teringat akan isterinya.
Terbayang wajah isterinya yang lembut, isterinya yang dikasihinya sepenuh jiwa.
Tidak tega ia menyakiti hati isterinya dengan mengambil seorang selir seperti
iblis wanita ini. Hatinya mengeras kembali.

“Tidak, sekali lagi tidak! Biarpun kau hendak membunuhku sekarang
juga aku tidak sudi berdekatan denganmu. Pergilah! Di mana ada perempuan yang
lebih tak tahu malu seperti engkau? Aku tidak sudi padamu, Balita!” Setelah
berkata demikian, Cia Sun mencengklak kudanya lagi dan membalapkan kudanya.

Monyet kecil tua yang sejak tadi menongkrong di atas dahan,
sekarang meloncat amat ringannya di atas pundak Cia Sun.

Wanita cantik jelita yang disebut Balita itu bangun berdiri,
wajahnya pucat, matanya sayu. Ia berdiri seperti patung, ia hendak mengejar lagi,
akan tetapi tiba-tiba anak yang digendongnya menangis keras. Berubahlah raut
wajah wanita ini. Mata yang tadi sayu sekarang menjadi beringas, mulut yang
tadinya seperti hendak menangis dan bermohon minta dikasihani itu, sekarang
tersenyum pahit, menyeringai menyeramkan. Sepasang matanya berkilat memandang
bayangan Cia Sun yang membalapkan kudanya.

Tangan kanan wanita ini bergerak memukul ke depan. Terdengar
ringkik kuda mengerikan dan kuda itu terguling roboh. Cia Sun terlempar jauh
dan baiknya dia memiliki kepandaian tinggi sehingga dengan cara membuat poksai
(salto) sampai tiga kali ia dapat berdiri di atas tanah dengan selamat. Monyet
di pundaknya sudah meloncat lebih dulu dengan sigapnya.

Cia Sun membalikkan tubuh dan memandang ke arah Balita yang
tersenyum lebar, malah kini wanita ini tertawa merdu namun baginya menyeramkan
sekali seperti mendengar siluman tertawa. Tanpa banyak cakap lagi Cia Sun lalu
menggerakkan kaki melarikan diri dari situ, diikuti oleh monyetnya. Ia masih
mendengar suara ketawa Balita yang disusul kata-kata mengejek,

”Laki-laki tidak berjantung! Kalau aku menghendaki nyawamu, apa
sukarnya? Akan tetapi, membunuhmu pun masih belum cukup untuk membalas hinaan
dan sakit hati yang kau jatuhkan kepadaku. Hi hi, Cia Sun, kau tunggulah saja
pembalasanku!” Setelah tertawa lagi cekikikan, tiba-tiba wanita itu lalu
menangis sedih sambil menyusui anaknya. Benar-benar lakunya seperti seorang
yang sudah miring otaknya. “Hi hi hik, Cia Sun. Aku memang cinta padamu, sangat
cinta padamu karena kau tampan dan gagah. Kau tidak mau mengakui anak ini ....
ha ha, memang bukan anakmu. Tapi kau berani menolakku .... setelah kau berhasil
menjatuhkan hatiku. Awas kau ..... awas binimu dan anak-­anakmu ......”
Demikianlah, wanita itu sambil menyusui anaknya bicara seorang diri dan tertawa-­tawa.

Adapun Cia Sun bersama monyet kecil sudah lari jauh menuju ke
puncak-puncak bukit di luar hutan. Sambil berlari cepat, ia juga bicara seorang
diri, atau sebetulnya ia bicara kepada monyet yang kini sudah nongkrong lagi di
pundaknya.

“Lim-ong (raja hutan), kepandaian siluman betina itu benar-benar
luar biasa sekali. Sayang dia jahat ..... ah, mulai saat ini kita harus
waspada, dialah orang yang paling berbahaya di antara semua orang yang
memusuhiku.”

Monyet itu menggerakkan bibir dan mengeluarkan suara cecowetan,
seakan-akan ia mengerti akan maksud kata-kata tuannya ini dan ikut pula
berprihatin. Setelah melakukan perjalanan cepat, menjelang senja Cia Sun dan
monyetnya telah tiba di sebuah puncak yang penuh batu-batu putih. Pemandangan
di daerah ini indah sekali dan ditengah-tengah puncak, di antara batu-batu
putih itu berdiri dengan megahnya sebuah bangunan rumah.

Lim-ong meloncat turun dari pundak tuannya dan keduanya lalu
mendaki puncak, meloncat-loncat di atas batu-batu putih dengan gesitnya. Dari
gerak Cia Sun yang tidak kalah gesitnya dari pada monyetnya ketika berlompatan
di antara batu-batu putih itu, dapat diketahui bahwa kepandaian orang gagah ini
sebenarnya sudah tinggi sekali.

Ketika Cia Sun sudah mendekati gedung itu, dua orang laki-laki
berpakaian pelayan berseru girang dan tak lama kemudian bergema di dalam gedung
seruan-seruan,

“Cia-enghiong datang!”

Seorang wanita muda yang cantik berlari keluar sambil memondong
seorang anak perempuan yang masih bayi, di belakangnya tampak seorang pengasuh
memondong seorang anak laki-laki berusia dua tahun. Inilah isteri Cia Sun
bersama dua orang anaknya. Dengan wajah berseri dan mata basah saking terharu
dan bahagia, isteri muda itu menyambut kedatangan suaminya.

Monyet itu mendahului tuannya berlari ke depan, lalu berlutut di
depan nyonya Cia seperti orang memberi hormat. Kemudian ia berjingkrak-jingkrak
kegirangan melihat Cia Sun memegang tangan isterinya dan menciumi kepala anak
perempuannya yang berusia tiga bulan itu. Dalam kebahagiaan pertemuan ini, awan
gelap menyelimuti wajah Cia Sun karena ketika mencium kepala anak perempuannya
ia teringat akan anak perempuan dalam gendongan Balita tadi.

“Ayah .......!” Anak laki-laki yang digendong oleh pengasuh tadi
berseru dan seruan ini mengusir pergi awan gelap dari wajah Cia Sun. Ia
mengulurkan kedua tangannya dan menggendong anak sulungnya.

“Han Sin, kau rindu kepada ayahmu?” tanyanya sambil mencium pipi
anak laki-laki itu yang tertawa-tawa gembira.

Keluarga bahagia ini lalu berjalan memasuki gedung dengan lambat,
diikuti oleh para pelayan yang juga menjadi gembira sekali melihat tuan mereka
kembali dengan selamat. Si monyet kecil mendahului mereka masuk sambil
berjingkrak kegirangan.

Siapakah sebetulnya Cia Sun ini dan siapa pula puteri yang bernama
Balita itu? Cia Sun bukanlah orang sembarangan. Ketika masih kecil, baru
setengah dewasa, ia telah ikut berjuang di samping ayahnya yang menjadi seorang
kepercayaan pemimpin barisan petani Lie Cu Seng. Ayah Cia Sun bernama Cia Hui
Gan, seorang ahli silat kelas satu yang dengan gagah beraninya bersama putera
tunggalnya berjuang membantu Lie Cu Seng berperang melawan orang-orang Mancuria
yang dibantu oleh pengkhianat Bu Sam Kwi.

Biarpun akhirnya bala tentara rakyat di bawah pimpinan Lie Cu Seng
dapat dihancurkan oleh tentara Mancu yang dibantu pengkhianat Bu Sam Kwi, namun
para patriot Han masih terus melakukan perlawanan dan merupakan
pengganggu-pengganggu yang memusingkan kerajaan baru yang didirikan oleh bangsa
Mancu itu ialah Kerajaan Cheng. Orang-orang gagah yang tadinya menjadi
pembantu-pembantu perjuangan melawan penjajah dari utara itu, diam-diam
tersebar dan masih menaruh kebencian terhadap pemerintah baru.

Cia Hui Gan ayah Cia Sun, adalah seorang di antara orang-orang
gagah ini. Biarpun telah mengalami kegagalan dalam perang, namun dia tidak
menghentikan perjuangannya. Di samping memusuhi pembesar-pembesar dan
penjilat-penjilat kerajaan baru, Cia Hui Gan tiada hentinya mengulurkan tangan
membela kepentingan rakyat yang tertindas. Ia tidak segan-segan membunuh
orang-orang jahat yang menindas rakyat, merampok bangsawan-bangsawan
pengkhianat yang telah menjadi anjing penjilat kerajaan Cheng dan
membagi-bagikan hasil perampokan itu kepada orang-orang miskin. Pendeknya, Cia
Hui Gan terkenal sebagai seorang pendekar rakyat yang amat terkenal. Semua ini
ia kerjakan dengan bantuan putera tunggalnya, Cia Sun yang dalam usia belasan
tahun sudah mengalami banyak pertempuran.

Akhirnya Cia Hui Gan tewas dalam sebuah pertempuran ketika
dikeroyok oleh jagoan-jagoan pemerintah Cheng. Cia Sun yang sejak kecil memang
sudah tidak beribu lagi, berhasil melarikan diri. Pemuda inipun melanjutkan
sepak terjang ayahnya, malah lebih hebat lagi karena sesungguhnya Cia Sun telah
mewarisi semua kepandaian ayahnya. Sebagai seorang pemuda berdarah panas, sepak
terjangnya melebihi ayahnya dan sebentar saja ia amat terkenal, dipuji-puji
rakyat yang menerima bantuannya, akan tetapi juga dimusuhi oleh orang-orang
jahat, terutama sekali pemerintah Cheng. Pemerintah sampai mengumumkan hadiah
besar bagi siapa yang berhasil membawa kepala Cia Sun.

Cia Sun membangun sebuah rumah gedung yang kuat dan indah di
sebuah puncak pegunungan Min-san yang terletak di daerah utara Se-cuan. Dalam
usia dua puluh lima tahun ia menikah dengan seorang gadis dari keluarga Lie.
Isterinya cukup maklum siapa adanya suaminya ini, maka dia tidak mengeluh kalau
suaminya itu meninggalkannya sampai beberapa bulan. Bahkan diam-diam dia
membantu suaminya dengan bersikap manis budi dan memuji perjuangan suaminya
sebagai seorang pendekar.

Setelah Cia Sun menikah tiga tahun lamanya, ia dikurnia seorang
putera yang ia beri nama Cia Han Sin dan kini sudah berusia dua tahun. Setahun
setelah puteranya lahir terjadilah urusan dengan Balita yang amat memusingkan
otaknya.

Ketika itu seperti biasanya, kembali ia merantau untuk melakukan
tugasnya sebagai seorang pendekar. Kali ini ia pergi ke daerah pegunungan
Tapa-san karena mendengar bahwa sering kali di daerah itu terjadi kejahatan,
perampokan dan penggangguan terhadap penduduk oleh serombongan orang-orang
bersuku bangsa Hui.

Dikawani oleh Lim-ong, monyet kecil yang dipeliharanya semenjak
monyet itu masih muda sekali, ia berangkat menunggang kuda ke daerah itu
melakukan penyelidikan.

Betul saja. Segerombolan orang Hui terdiri dari seratus orang
lebih melakukan penindasan dan perampokan kepada orang-orang Han yang hidup
sebagai petani di daerah itu. Seperti biasa, Cia Sun segera menggulung lengan
baju turun tangan. Akan tetapi kali ini ia kecelik. Rombongan orang Hui itu
dipimpin oleh seorang perempuan muda cantik jelita bernama Balita yang ternyata
memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat.

Dalam pertempuran hebat
Cia Sun tertawan oleh Balita yang jatuh hati melihat pemuda gagah perkasa dan
tampan ini. Balita menawan Cia Sun dan membujuk rayu orang muda ini. Akan
tetapi Cia Sun bukan sembarang laki-laki yang suka bermain gila dengan wanita,
maka dengan berkeras ia menolak dan tidak sudi melayani niat busuk dari puteri
bangsa Hui itu.

Akan tetapi ia belum
mengenal siapa Balita. Wanita muda ini biarpun cantik jelita sekali dan amat menarik
hati, mempunyai watak kasar, dan di samping ilmu silatnya yang tinggi sekali,
dia juga seorang ahli dalam pembuatan racun-racun jahat. Dengan senyum manis
dan kerling mata memikat, Balita mempergunakan ramuan obat yang ia masukan
dalam arak sehingga ketika Cia Sun meminumnya, orang muda ini menjadi lupa
diri, lupa daratan dan dalam keadaan tidak sadar dikuasai oleh pengaruh minuman
mujijat, akhirnya ia tunduk kepada Balita dan melakukan apa saja yang
dikehendaki puteri Hui itu.

Tiga hari kemudian tiba-tiba seorang laki-laki bangsa Hui yang
bertubuh tinggi besar bermuka buruk, berusia empat puluh tahun lebih melompat
masuk ke dalam kamar sambil membawa sebatang golok. Datang-datang ia menyerang
Cia Sun sambil memaki-maki. Dengan cepat Cia Sun mengelak dan terdengar
bentakan keras ketika Balita melayang ke depan sambil menendang laki-­laki
tinggi besar itu. Laki-laki itu terlempar dan goloknya terlepas dari tangannya.

Namun ia masih melotot dan kini ia memaki Balita. “Perempuan
rendah! Selama menjadi isteriku, entah sudah berapa kali kau berlaku serong.
Akan tetapi selama kau bermain gila dengan bangsa sendiri, aku tidak perduli
amat karena memang aku tahu bahwa dibalik kecantikan dan kelihaianmu, kau
hanyalah perempuan yang berwatak kotor. Biarpun begitu sekarang kau bermain
gila dengan seorang Han. Bagaimana aku bisa mendiamkannya begitu saja? Jahanam
Han ini harus mampus!”

“Anjing tak tahu diri! Orang macam kau berani bertingkah di
depanku? Ayoh pergi, jangan ganggu kami!”

Balita membentak dan pada saat itu baru terbuka mata Cia Sun.
Tadinya ia memang sudah menyesal sekali setelah sadar dan insyaf akan
perbuatannya sendiri melanggar kesusilaan, akan tetapi kemenyesalannya tidak
sehebat sekarang ini setelah ia mendengar bahwa perempuan puteri Hui ini
ternyata sudah bersuami! Ia merasa malu, merasa rendah dan tak tahu harus
berbuat apa.

Sementara itu, laki-laki bangsa Hui yang tinggi besar itu
menudingkan telunjuknya kepada Balita,

“Balita, andaikata kau tak boleh dicegah, tergila-gila kepada orang
Han ini, setidaknya jangan kau lakukan dalam keadaan seperti sekarang. Ingat
akan kandunganmu ....... jangan kau cemarkan anakku yang kau kandung ......!”
Kata-kata ini belum habis karena tiba-tiba ia terguling roboh dan tewas di saat
itu juga, terkena pukulan jarak jauh yang dilakukan Balita dengan gemasnya.

“Jangan hiraukan orang gila ini,” katanya halus sambil memeluk Cia
Sun yang kelihatannya pucat sekali.

Akan tetapi Cia Sun memberontak dan memukul ke arah dada perempuan
itu dengan maksud membunuh. Ia merasa ngeri mendengar ucapan orang Hui tadi,
merasa ngeri akan perbuatannya sendiri yang ia anggap amat memalukan dan
terkutuk.

“Persetan kau perempuan busuk!” katanya.

Balita mengelak akan tetapi tidak balas menyerang. Makian Cia Sun
dan sikapnya yang berbalik membenci itulah yang membuat Balita merasa terpukul
dan hanya berdiri dengan muka pucat. Bahkan kedua kakinya lemas tak dapat
menyusul Cia Sun yang telah melompat keluar dan melarikan diri.

Demikianlah Cia Sun yang gagal dalam membasmi orang-orang Hui
malah sebaliknya dia terlibat urusan memalukan dengan Balita, telah berhasil
melarikan diri dan kembali ke Min-san. Semenjak itu ia merasa berduka dan
menyesal kalau teringat akan perbuatannya dengan Balita yang ia lakukan di luar
kesadarannya itu. Berjina dengan isteri orang, isteri orang yang telah
mengandung pula! Alangkah rendahnya! Alangkah kejinya. Apa lagi kalau ia
teringat betapa suami Balita sampai tewas karena gara-gara dia menuruti kemauan
Balita yang amat busuk, Cia Sun merasa makin terpukul dan malu hatinya.

Setelah ia berhasil menghindarkan diri dari Balita yang tidak
berhasil mencari-cari Cia Sun. Sampai pada suatu hari itu, seperti yang telah
dituturkan di permulaan cerita ini, tiba-tiba saja Balita muncul sambil
menggendong seorang anak bayi yang dikatakannya adalah puterinya! Tentu saja ia
marah sekali karena ia tahu bahwa anak itu adalah anak suami Balita. Ia tahu
bahwa Balita membohong, menggunakan anak itu untuk menjatuhkan hatinya, untuk
mengikatnya. Namun sebagai seorang gagah, ia tidak sudi menerima permintaan
Balita.

Demikianlah, seperti telah dituturkan di bagian depan. Balita
hanya membunuh kuda tunggangan Cia Sun namun tidak mengganggu laki-laki yang
berhasil melarikan diri bersama keranya, pulang ke rumahnya di puncak Min-san.

*****

No comments:

Post a Comment