Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 002

◄◄◄◄ Kembali

Tiga hari kemudian.

Semalaman tadi anak Cia Sun yang kecil, yang diberi nama Cia Bi Eng, menangis terus, rewel tidak karuan sebabnya. Cia Sun dan isterinya sampai menjadi bingung karenanya, karena anak itu tidak memperlihatkan tanda-tanda sakit sesuatu. Akan tetapi rewel terus tidak seperti biasanya.

Menjelang pagi barulah anak itu dapat tidur dan Cia Sun yang semalaman tidak dapat tidur, sekarang duduk bersamadhi mengumpulkan ketenangan. Sesungguhnya hatinya tidak tenang karena ia seperti mendapat firasat tidak baik dengan adanya kerewelan anaknya itu. Akan terjadi hal apakah? Ia teringat akan Balita dan mulai merasa khawatir kalau-kalau puteri Hui itu menjadi nekat dan menyerbu ke situ.

“Betapapun jadinya, aku akan melawannya mati-matian,” pikirnya.

Memang ternyata terbukti apa yang ia khawatirkan, pada keesokan harinya terjadi sesuatu. Akan tetapi bukan Balita yang datang, melainkan orang-orang lain yang menjadi musuh ayahnya, juga menjadi musuhnya. Seorang pelayan datang melapor bahwa di luar datang empat orang aneh yang hendak berjumpa dengan Cia-enghiong.

Dengan tenang dan waspada Cia Sun keluar menjumpai tamu-tamunya. Sesampai di luar, ia melihat tiga orang hwesio gundul yang berwajah bengis dan bertubuh kekar. Ia segera mengenal hwesio-­hwesio ini sebagai Thian-san Sam-sian (Tiga Dewa dari Gunung Thian-san). Tiga orang hwesio ini adalah musuh-musuh ayahnya yang pernah dikalahkan ayahnya ketika terjadi bentrokan antara Cia Hui Gan dan Thian-san Sam-sian. Urusannya tidak begitu besar. Seorang murid dari tiga orang hwesio ini terluka oleh Cia Hui Gan ketika melakukan kejahatan di kaki gunung Thian-san dan Thian-san Sam-sian membela muridnya itu. Setelah dikalahkan, mereka mengancam kelak akan mencari Cia Hui Gan untuk membuat perhitungan.

Cia Sun mengenal mereka karena dahulu ketika pertempuran itu terjadi, ia memang menyaksikannya, hanya ketika itu ia baru berusia empat belas tahun dan tidak ikut dalam pertempuran. Sekarang melihat kedatangan mereka setelah belasan tahun lewat, ia dapat menduga bahwa mereka tentu akan membalas dendam. Akan tetapi ia tidak takut dan memandang mereka dengan tenang.

Ketika ia memandang orang keempat, ia mengerutkan kening dan merasa heran siapa adanya orang ini. Tadi sekilas pandang ia berdebar juga karena menyangka dia itu Balita. Orang ini adalah seorang wanita yang cantik juga dan seperti juga Balita, dia mengendong seorang bayi perempuan! Akan tetapi bedanya, biarpun wanita ini juga cantik dan sebaya dengan Balita, jelas bahwa dia ini adalah seorang wanita bangsa Han dan mukanya yang cantik itu agak pucat seperti seorang yang menderita penyakit berat.

Cia Sun menjura kepada tiga orang hwesio sambil berkata, “Kiranya Thian-san Sam-sian yang datang mengunjungi tempat tinggalku yang buruk. Selamat Datang!”

Tiga orang hwesio itu saling pandang, agaknya lupa siapa adanya orang muda yang tampan dan gagah ini. Seorang di antara mereka yang tertua, lalu mengangkat tangan balas menghormat sambil berkata,

“Pinceng bertiga datang untuk menjumpai Cia Hui Gan. Harap kau minta ia keluar.”

Cia Sun menggeleng kepala, “Sayang permintaan sam-wi losuhu tak mungkin dapat dilaksanakan karena orang yang sam-wi cari telah lama meninggal dunia.”

Kembali tiga orang hwesio ini saling pandang, nampaknya kecewa sekali, “Kalau sicu (tuan gagah) ini siapakah dan bagaimana dapat mengenal pinceng bertiga?”

“Aku adalah puteranya, namaku Cia Sun. Ada keperluan apakah gerangan maka sam-wi jauh-jauh datang dari Thian-san untuk mencari mendiang ayahku,” tanya Cia Sun, pura-pura tidak tahu akan urusannya.

Tiba-tiba wanita yang mengendong anak itu melangkah maju dan suaranya terdengar lemah namun penuh kemarahan.

“Aya ....... kiranya inikah yang bernama Cia Sun, manusia sombong yang mengandalkan kepandaian sendiri untuk membunuh orang?”

Cia Sun terkejut. Dia tidak mengenal wanita ini dan tidak tahu apakah yang menyebabkan nyonya muda ini datang-datang marah kepadanya. Ia cepat menjura dan bertanya.

“Toanio ini siapakah dan apa sebabnya toanio mengatakan aku sombong dan membunuh orang?”

Wanita itu tersenyum mengejek dan jari telunjuk tangan kanannya ditudingkan ke arah muka Cia Sun.

“Orang she Cia, apakah kau sudah lupa kepada Phang Kim Tek yang kaubunuh di I-kiang?”

Tentu saja Cia Sun masih ingat akan Phang Kim Tek di I-kiang. Seorang tuan tanah yang amat kejam yang menggunakan kekayaan dan kekuasaannya menjadi tuan tanah dan raja kecil di dusun sebelah selatan I-kiang. Dengan kejam tuan tanah ini memeras tenaga rakyat petani, bahkan menggunakan kekuasaannya untuk merampas sedikit tanah yang dimiliki beberapa orang petani miskin.

Sebagai seorang pendekar, melihat kejadian tidak adil ini Cia Sun turun tangan sehingga ia bentrok dengan tuan tanah Phang Kim Tek yang dibantu kaki tangannya. Dalam pertempuran ini Phang Kim Tek tewas olehnya. Ia telah mendengar bahwa isteri Phang Kim Tek adalah seorang wanita yang amat lihai, yang dijuluki Ang-jiu Toanio (Nyonya Tangan Merah), yang dalam kekejaman dan kelihaiannya malah lebih hebat dari pada tuan tanah itu. Akan tetapi pada waktu pertempuran terjadi, nyonya itu sedang mengandung tua, maka tidak dapat keluar membantu suaminya. Sekarang, setengah tahun setelah peristiwa itu terjadi, tiba-tiba nyonya ini muncul membawa puterinya yang baru berusia tiga bulan untuk membalas dendam!

Cia Sun melirik ke arah tangan kanan yang menudingkan telunjuk kepadanya. Ia melihat bahwa tangan itu memang mengeluarkan cahaya kemerahan sampai di pergelangan tangan dan diam-diam ia terkejut. Benar-benar inilah Ang-jiu Toanio dan ia dapat menduga apa artinya warna merah pada tangan itu. Dia adalah ahli Ang-see-chiu (Tangan Pasir Merah) yang amat keji dan lihai!

Cepat ia menjura lagi dan berkata sambil tersenyum tenang, “Ah, tidak tahunya siauwte berhadapan dengan Ang-jiu Toanio! Toanio yang baik, urusan dengan mendiang suamimu itu adalah kesalahan suamimu sendiri yang tidak ingat akan tenaga buruh tani yang membantunya mengumpulkan harta kekayaan. Biarpun suamimu memiliki sawah lebar, kalau tidak ada bantuan tenaga buruh tani, mana bisa dia mengerjakan sendiri sawahnya yang demikian luas? Akan tetapi sebaliknya dari membalas jasa para petani miskin, suamimu malah menindas mereka. Karena itu, kematian suamimu adalah karena kesalahan sendiri. Maka harap toanio suka menimbang dengan adil dan suka menghabiskan perkara itu.”

Sepasang mata Ang-jiu Toanio bernyala. “Jahanam keparat! Kau telah membunuh suamiku, membuat anakku ini menjadi anak yatim dan kau menyuruh aku menghabiskan urusan itu? Cia Sun, kalau dahulu aku tidak sedang mengandung, kiranya bukan suamiku yang tewas, melainkan kau. Sekarang bersiaplah kau menerima pembalasanku!” Sambil berkata demikian, Ang-jiu Toanio lalu menurunkan anaknya di pinggir, kemudian ia melompat maju menghadapi Cia Sun.

Pendekar ini menarik napas panjang, maklum bahwa urusan ini harus diselesaikan dengan adu kepandaian. Diam-diam ia merasa kasihan kepada wanita ini yang baru saja melahirkan anak harus bertanding dengannya. Akan tetapi ia tidak bisa berbuat lain kecuali menghadapinya. Dengan tenang iapun memasang kuda-kuda dan bersikap waspada.

“Kalau demikian kehendakmu, silahkan toanio!”

Ang-jiu Toanio mengeluarkan bentakan nyaring dan tiba-tiba tubuhnya menerjang maju dengan ganasnya. Kedua tangannya terkepal erat dan menjadi makin merah warnanya. Kemudian ia menyerang dengan pukulan-pukulan yang mendatangkan angin saking kerasnya. Cia Sun bersikap tenang akan tetapi hati-hati sekali karena maklum bahwa kepandaian wanita ini lebih lihai dari pada kepandaian Phang Kim Tek. Beberapa pukulan yang menyerangnya bertubi-tubi ia elakkan dengan lincah tanpa balas memukul. Pukulan keenam yang datangnya cepat mengarah ke dadanya dan tak mungkin dielakkan, terpaksa ia tangkis. Ia mengerahkan tenaga lweekang kepada lengannya, maklum tangan merah adalah tangan yang sudah dilatih hebat dan tenaga pukulannya mengandung hawa beracun yang dapat merusak jalan darah.

“Plak ......!” Ketika kedua tangan itu bertemu, Cia Sun merasa lengannya panas sekali, akan tetapi ia berhasil menangkis keras membuat lawannya terpental mundur.

Wajah Ang-jiu Toanio makin pucat karena dari tangkisan ini maklumlah ia bahwa tenaga lweekang Cia Sun amat tinggi sehingga mampu menolak kembali pukulan Ang-see-jiu.

“Kalau bukan kau, tentu aku yang menggeletak di sini!” nyonya muda itu berteriak dan dengan nekat lalu menyerang lagi, lebih ganas dan lebih cepat dari yang sudah-sudah.

Menghadapi serangan bertubi-tubi ini, terpaksa Cia Sun mengeluarkan kepandaiannya dan mainkan ilmu silat Thian-te-kun, sambil mengerahkan tenaga Pek-kong-jiu. Inilah kepandaian warisan ayahnya, kepandaian dari keluarga Cia yang membuat ayahnya dahulu terkenal sebagai seorang pendekar yang sukar menemui tandingan.

Ang-jiu Toanio sebenarnya bukan seorang lemah dan dalam hal ilmu silat, kiranya takkan mudah bagi Cia Sun untuk mengalahkannya. Boleh dibilang mereka berimbang, baik dalam kegesitan maupun kehebatan tenaga. Akan tetapi nyonya muda ini baru tiga bulan melahirkan anak dan selain tenaganya belum pulih juga agaknya di dalam tubuhnya terkandung penyakit yang dapat dilihat dari wajahnya yang selalu pucat. Maka kini menghadapi Cia Sun ia merasa berat sekali sehingga dalam jurus ke lima puluh, ia telah menjadi lelah sekali. Gerakannya menjadi lambat dan ia terdesak hebat. Baiknya Cia Sun bukan seorang yang berhati kejam. Kalau pendekar ini menghendaki, tentu ia bisa membuat lawannya tidak berdaya dengan pukulan-pukulan maut, akan tetapi sebaliknya Cia Sun hanya mendesaknya agar kehabisan tenaga dan suka menyerah.

“Toanio, kenapa kau mendesak terus? Sudahlah, habiskan urusan ini,” ia mencoba untuk membujuk.

Akan tetapi lawannya menjadi makin bernafsu.

“Aku belum mampus, jangan kira aku takut!” bentak Ang-jiu Toanio dan nyonya muda ini mengumpulkan tenaga terakhir untuk menyerang terus.

Cia Sun mencari akal. “Toanio, apakah kau tidak kasihan kepada anakmu?” Demikian akhirnya ia berkata. “Kalau kau tewas, siapa yang akan memeliharanya?”

Ucapan ini benar-benar tepat sekali, merupakan ujung pisau berkarat yang menikam jantung. Nyonya muda itu mengeluarkan keluhan perlahan dan pukulan-pukulannya menjadi ragu-ragu. Akan tetapi ia dapat menetapkan hatinya lagi dan menyerang terus.

Pada saat itu, kebetulan sekali ada seekor semut menggigit kaki bayi itu yang menjadi kesakitan dan menangis keras. Mendengar tangis bayinya, makin tidak karuan hati Ang-jiu Toanio.

“Toanio, anakmu menangis minta tetek, masa kau masih terus berkelahi mati-matian?” kembali Cia Sun mendesak dengan omongannya.

Dari mulut Ang-jiu Toanio keluar rintihan dan tiba-tiba nyonya muda ini melompat mundur, menyambar anaknya dan lari dari situ sambil berseru,

“Cia Sun, kau tunggu saja sampai anakku besar dan tidak membutuhkan aku lagi. Aku akan kembali dan mencarimu!” Setelah berkata demikian, sambil menangis penuh dendam sakit hati, nyonya muda itu memondong anaknya pergi.

Cia Sun menarik napas panjang, hatinya lega. Sebuah urusan rumit telah dapat dipecahkan, tinggal urusan kedua, yaitu menghadapi tiga orang hwesio dari Thian-san itu.

Ketika tadi pertempuran berjalan, tiga orang hwesio itu menonton dengan penuh perhatian. Sekarang mereka maju menghadapi Cia Sun lagi dan hwesio tertua yang bernama Gi Thai Hwesio berkata memuji,

“Omitohud, Cia-sicu benar-benar gagah perkasa, tidak kalah oleh ayahnya. Benar-benar mengagumkan.”

“Losuhu terlalu memuji. Aku bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan Thian-san Sam-sian yang nama besarnya telah bergema di seluruh pojok jagat. Losuhu telah melihat sendiri bahwa aku tidak suka akan adanya permusuhan-permusuhan, maka apabila losuhu datang dengan maksud baik, silahkan masuk sebagai tamu-tamuku yang terhormat.”

“Hemm, orang she Cia, agaknya kau sombong dengan kemenanganmu tadi,” potong Gi Hun Hwesio, orang kedua di antara tiga hwesio itu. “Ayahmu telah menghina pinceng bertiga. Biarpun sekarang dia telah mati, masih ada kau anaknya yang harus membayar hutangnya kepada kami.” Sambil berkata demikian Gi Hun Hwesio sudah mencabut pedang dengan tangan kanan dan tasbeh di tangan kiri, sepasang senjata Thian-san Sam-sian yang membuat nama mereka terkenal. Gerakan ini diturut oleh dua orang saudaranya dan mereka membuat gerakan segi tiga mengurung Cia Sun.

Cia Sun masih berlaku tenang. Ia tidak gugup sama sekali menghadapi musuh-musuh ayahnya ini.

“Sam-wi losuhu, harap sam-wi ingat bahwa permusuhan antara sam-wi dengan mendiang ayah adalah karena kesalahan murid sam-wi sendiri. Muridmu telah melakukan pelanggaran sebagai murid orang-orang beribadat, telah menjadi seorang jai-hoa-cat (bangsat pemetik bunga) yang merusak anak bini orang. Sudah sepatutnya kalau ayah turun tangan membasminya. Sam-wi tidak menghukum murid murtad, sebaliknya memusuhi ayah, bukankah itu salah dan tidak sesuai dengan kedudukan sam-wi sebagai hwesio-hwesio beribadat?”

Mendengar ucapan ini, Gi Hun Hwesio dan Gi Ho Hwesio tidak dapat menahan kemarahannya. Serentak keduanya hendak menyerang, akan tetapi Gi Thai Hwesio yang lebih sabar memberi isyarat mencegah kedua orang sutenya (adik seperguruannya). Kemudian ia berkata kepada Cia Sun.

“Omitohud, ucapan Cia-sicu gagah benar. Salah atau tidaknya murid kami adalah urusan kami untuk memutuskan, akan tetapi ayahmu telah berlaku lancang membunuhnya. Bukankah itu sama saja dengan tidak memandang kepada kami dan menghina kami? Akan tetapi, ayahmu telah meninggal dunia dan karena itu kalau saja sicu suka berdamai, pinceng bertiga pun tidak akan terlalu mendesakmu untuk membayar hutang ayahmu.”

Cia Sun dapat menangkap maksud tertentu dalam ucapan ini. Dia seorang yang gagah dan jujur, maka tidak menyukai segala sikap plintat-plintut. Katanya tegas.

“Terserah kepada sam-wi losuhu. Apakah yang sam-wi maksudkan dengan perdamaian? Bagaimana caranya?

Gi Thai Hwesio tertawa, menutupi rasa malu dan sungkan-sungkan. Kemudian setelah menarik napas panjang, ia berkata lagi.

“Omitohud, sicu terlalu tergesa, baiklah pinceng terangkan. Kami bertiga tidak akan mendesakmu dan menghabiskan urusan dengan ayahmu yang sudah mati kalau kau mau menyerahkan surat wasiat dari pemberontak Lie Cu Seng kepada kami.”

Cia Sun mengangkat alisnya dan membelalakkan matanya.

“Surat wasiat Lie Cu Seng?”

Lie Cu Seng adalah seorang pahlawan rakyat, seorang pejuang pemimpin barisan tani dan kawan seperjuangan Cia Hui Gan, ayahnya. Mendengar tiga orang hwesio ini menyebut nama Lie Cu Seng sebagai pemberontak, tahulah Cia Sun dengan orang-orang macam apa ia berhadapan. Akan tetapi ia masih menahan sabar dan bertanya dengan heran tadi karena memang ia tidak pernah mendengar tentang surat wasiat itu.

“Harap sicu jangan berpura-pura. Lie Cu Seng telah merampok harta kekayaan Kaisar Beng-tiauw dan membawa harta kekayaan itu ketika melarikan diri dari kota raja. Sebelum mati dia meninggalkan surat wasiat tentang harta benda itu. Mendiang ayahmu adalah tangan kanan Lie Cu Seng, maka sudah tentu surat wasiat itu terjatuh ke dalam tangannya. Setelah ayahmu meninggal kepada siapa lagi surat wasiat itu terjatuh kecuali kepadamu?”

Herannya Cia Sun bukan kepalang. Memang cerita ini ada kemungkinannya benar, akan tetapi ia betul-betul tidak pernah mendengar tentang itu. Ayahnya tidak pernah bercerita tentang surat wasiat itu. Ia mulai mengingat-ingat. Peninggalan ayahnya tidak banyak, hanya pakaian dan barang-barang seperti cawan arak, cangkir minum, guci arak, dan pipa panjang kesayangan ayahnya menghisap tembakau. Tidak ada surat wasiat! Barang-barang itu memang masih ia simpan bersama pakaian-­pakaian sebagai peringatan, ia taruh di meja sembahyang ayahnya. Di mana ada surat wasiat?

“Aku tidak tahu menahu tentang surat wasiat ....” ia berkata perlahan.

“Sicu tidak perlu membohong, dan kamipun tidak memerlukan pengakuan sicu. Yang terpenting, sicu suka memberikan atau tidak?”

CIA SUN tiba-tiba tertawa mengejek. “Baik, sam-wi losuhu. Lepas dari pada tahu atau tidaknya aku tentang surat wasiat itu, aku ingin sekali mengetahui. Sam-wi adalah tiga orang hwesio tua yang sepatutnya melakukan hidup suci dan beribadat, melepaskan diri dari ikatan duniawi, kenapa sam-wi mencari surat wasiat tentang harta karun? Apakah kalau sudah mendapatkan harta karun, sam-wi lalu hendak memelihara rambut dan berubah menjadi hartawan-hartawan?”

Merah muka tiga orang hwesio itu. Inilah penghinaan yang amat besar, mereka anggap penghinaan karena memang cocok sekali dengan idam-idaman hati mereka. Siapa orangnya tidak kepingin kaya raya, pikir mereka membela diri.

“Cia-sicu, tak usah banyak komentar. Pendeknya kau berikan atau tidak surat wasiat Lie Cu Seng itu?”

Sebagai jawaban, Cia Sun meloloskan pedangnya dan melintangkan senjata ini di depan dadanya. “Sekali lagi kutekankan, Thian-san Sam-sian. Aku Cia Sun bukan seorang yang suka membohong. Aku tidak pernah mendengar atau melihat surat wasiat yang kalian maksudkan itu. Terserah mau percaya atau tidak.”

“Kalau begitu kau harus membayar hutang ayahmu!” Sambil berkata demikian Gi Thai Hwesio mulai menyerang, diikuti oleh dua orang sutenya. Penyerangan mereka teratur dan amat kuat, merupakan barisan Sha-kak-tin (Barisan segi tiga) yang berbahaya.

Akan tetapi Cia Sun adalah seorang pendekar yang sudah banyak mengalami pertempuran, ilmu kepandaiannya tinggi sekali dan ia sudah memiliki ketenangan. Selama ia menghadapi musuh­musuh yang amat banyak, baru sekali karena kepandaian puteri Hui itu memang luar biasa dan aneh. Kini menghadapi keroyokan Thian-san Sam-sian, ia bisa berlaku tenang dan pedang ia gerakan cepat memutari tubuhnya merupakan benteng kuat melindungi tubuh sambil kadang­kadang sinar pedangnya menyelonong ke kanan kiri untuk mengirim serangan-serangan yang tak kalah hebatnya.
Pertempuran kali ini malah lebih hebat dari pada tadi ketika Cia Sun melawan Ang-jiu Toanio. Empat batang pedang berkilauan saling sambar di antara sambaran tiga buah tasbeh yang bergulung-gulung sinarnya. Selama menanti sampai belasan tahun semenjak dikalahkan oleh Cia Hui Gan, Thian-san Sam-sian telah melatih diri dengan tekun, maka kepandaian mereka kalau dibandingkan dengan dahulu ketika menghadapi ayah Cia Sun, sekarang mereka telah menjadi lebih kuat dan lihai.

Namun, Cia Sun juga telah mendapatkan kemajuan sehingga pada saat itu tingkat ilmu silatnya sudah melampaui tingkat ayahnya. Maka pertempuran ini adalah pertempuran mati-matian yang membuat tubuh mereka lenyap ditelan gulungan sinar senjata mereka. Hanya debu mengebul ke atas dan para pelayan menjauhkan diri dengan muka pucat.

Kera kecil yang sudah sejak tadi muncul, mengeluarkan bunyi cecowetan dan kaki tangannya bergerak-gerak seperti orang bersilat. Kera inipun bukan kera sembarangan karena sudah dapat menggerak-gerakan ilmu silat yang sering ia lihat kalau tuannya, Cia Sun, berlatih. Akan tetapi menghadapi tiga orang hwesio yang demikian lihai, tentu saja ia tidak berani mendekat, hanya ribut sendirian bersilat melawan angin sambil mengeluarkan bunyi seakan-akan menjagoi tuannya dan memaki-maki tiga orang hwesio itu.

Sebetulnya kalau melawan seorang di antara tiga hwesio itu, tentu Cia Sun akan menang. Tingkat kepandaiannya masih lebih menang setingkat dari pada seorang di antara mereka. Akan tetapi dikeroyok tiga, ia sibuk juga dan terdesak hebat. Monyet peliharaannya, Lim-ong, makin ribut. Agaknya binatang ini mengerti bahwa tuannya terdesak dan berada dalam keadaan berbahaya. Monyet ini sudah terlampau sering ikut tuannya merantau dan menyaksikan Cia Sun bertempur, maka matanya menjadi awas dan ia dapat melihat keadaan pertempuran.

Pada suatu saat, pedang di tangan Gi Thai Hwesio dan tasbeh di tangan Gi Hun Hwesio menyambar dengan cepat dan berbareng ke arah tubuh Cia Sun. Pendekar ini cepat menggunakan pedangnya, sekali tangkis ia dapat membikin terpental dua senjata ini. Akan tetapi pada saat itu, Gi Ho Hwesio menyerangnya dengan sambaran tasbeh ke arah kepala dan tusukan pedang ke arah perut. Monyet kecil menjerit ngeri.

Cia Sun merendahkan tubuhnya dan melintangkan pedang. Tasbeh melayang melewati atas kepalanya dan pedangnya bentrok dengan pedang lawan. Pada saat berikutnya Gi Thai Hwesio dan Gi Hun Hwesio sudah menyerangnya lagi, membuat ia kewalahan dan meloncat ke sana sini sambil menangkis dengan pedangnya untuk menyelamatkan diri. Namun tetap saja pundak kirinya terkena sambaran tasbeh di tangan Gi Thai Hwesio. Biarpun ia tidak sampai terluka karena keburu mengerahkan tenaga lweekang ke arah pundaknya, namun ia merasa pundaknya sakit sekali dan gerak-gerakannya menjadi kurang lincah karenanya. Dengan terpukulnya pundak kirinya Cia Sun menjadi semakin terdesak dan keadaannya benar-benar berubah berbahaya.

“Orang she Cia, apakah kau masih membandel?” tanya Gi Thai Hwesio, membujuk karena melihat pihaknya terdesak.

“Aku tidak tahu tentang surat wasiat!” kata Cia Sun sambil memutar pedang menghalau hujan senjata.

“Kau memang sudah bosan hidup!” kata Gi Hun Hwesio membentak dan kini tiga orang hwesio itu mengerahkan tenaga memperkuat serangan. Cia Sun terhuyung mundur, kedudukannya berbahaya sekali dan gerakan pedangnya sudah lemah.

Tiba-tiba terdengar angin bersiutan dan tiga orang hwesio itu mengeluarkan suara kaget sambil melompat mundur terhuyung-huyung. Tiga buah pisau kecil runcing telah menancap di pundak mereka, pundak sebelah kanan dan tepat sekali mengenai urat besar membuat tangan kanan mereka lumpuh. Mereka menjadi pucat dan tahu bahwa Cia Sun dibantu orang pandai.

“Kami akan kembali lagi .....!” Gi Thai Hwesio menggerutu sambil pergi dari situ diikuti oleh dua orang sutenya.

Mereka maklum bahwa untuk melawan terus percuma saja setelah mereka menderita luka yang cukup hebat itu, maka sebelum pembantu Cia Sun muncul dan mendatangkan kerugian yang lebih besar lagi kepada mereka, lebih dulu paling baik mereka angkat kaki.

Cia Sun maklum bahwa ia dapat bantuan orang. Akan tetapi ia tidak memperlihatkan muka girang seperti monyetnya yang sekarang bertepuk-tepuk tangan melihat tiga orang lawan tuannya itu melarikan diri. Ia mengenal pisau-pisau kecil itu. Mengenal pisau yang merupakan hui-to (pisau terbang) ini yang lihainya bukan kepalang. Ia tahu siapa penyambitnya dan karenanya, biarpun ia telah dibebaskan dari bahaya maut, mukanya malah menjadi suram.

Dugaannya tidak meleset. Terdengar anak kecil menangis dan muncullah Balita mengendong anaknya!

“Hik hik,” Balita tertawa mengejek. “Kanda Cia Sun, kalau tidak ada aku, bukankah kau sudah menjadi mayat di tangan tiga orang anjing gundul tadi? Kanda Cia Sun, biarlah aku tinggal di rumahmu ini sebagai penjaga keselamatanmu.”

“Balita, kenapa kau masih saja menggangguku? Pergilah, aku lebih baik mati dari pada kau dekati!” Cia Sun menjawab marah.

Balita hendak memaki, sepasang matanya sudah mendelik, mukanya sudah menjadi merah sekali, akan tetapi tiba-tiba dari pintu depan muncul seorang wanita muda cantik menggendong anak kecil pula. Melihat wanita itu, tiba-tiba sikap Balita berubah. Ia pura-pura tidak melihat, akan tetapi lalu berkata dengan suara mohon dikasihani,

“Kanda Cia Sun, kenapa kau begitu kejam kepadaku? Tidak ingatkah kau betapa selama tiga hari tiga malam kita saling mencinta sebagai suami isteri? Tidak ingatkah kau bahwa yang kugendong ini adalah anakmu? Ah, kanda Cia Sun ..... apakah kau tidak kasihan kepadaku dan anakmu ini .....?”

Cia Sun juga melihat betapa isterinya keluar dan menjadi pucat sekali mendengar dan melihat sikap Balita, malah isterinya lalu menangis dan sambil merintih lari lagi masuk ke dalam gedung.

“Siluman, jangan kau ngaco tidak karuan!” bentaknya.

Balita tertawa. Sikapnya berubah lagi setelah isteri Cia Sun masuk ke dalam.

“Hik hik hik! Cia Sun, kau tidak tahu bahayanya menyakiti hati seorang wanita. Baik, kau tunggulah saja pembalasanku. Hik hik hik!” Balita lalu membalikkan tubuhnya dan pergi dari situ, cepat sekali seperti melayang dan sebentar saja lenyap di balik batu-batu putih yang mengelilingi puncak itu.

Cia Sun berdiri seperti patung. Hatinya gelisah sekali. Baginya sendiri, ia tidak takut menghadapi bahaya. Akan tetapi dalam ancaman Balita tadi terkandung sesuatu yang mengerikan. Bagaimana kalau iblis wanita itu mengganggu isteri dan anak-anaknya? Balita memiliki ilmu kesaktian yang luar biasa dan ia tahu andaikata Balita menghendaki nyawanya, nyawa isteri dan anak-anaknya, dia sendiri tidak berdaya menolaknya. Tidak ada yang akan dapat menolongnya, demikian pikirnya dengan gelisah.

Tiba-tiba ia teringat akan seorang sakti yang masih terhitung susiok (paman guru) ayahnya. Orang sakti itu bukan lain adalah Ciu-ong Mo-kai (Raja Arak Pengemis Setan) bernama Tang Pok, seorang pengemis aneh yang telah diangkat menjadi kai-ong (raja pengemis) dari seluruh perkumpulan pengemis di daerah selatan. Untuk daerah selatan, boleh dibilang Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah orang sakti nomor satu yang jarang ada lawannya.

“Kalau saja susiok-couw sudi membantuku, tentu dia dapat mengusir Balita ......”

Cia Sun berkata seorang diri sambil menarik napas panjang. Akan tetapi di mana dia bisa mencari susiok-couw itu? Tempat tinggal Ciu-ong Mo-kai tidak tentu, dia seorang perantau yang tidak pernah bertempat tinggal di suatu tempat. Muncul di sana sini dan wataknya amat aneh. Andaikata dapat ditemukannya juga, belum tentu sudi membantunya.

Kembali Cia Sun menarik napas panjang, kemudian ia teringat kepada isterinya. Tentu dia cemburu pikirnya. Tentu dikiranya aku bermain gila dengan Balita sampai mempunyai anak yang tidak sah. Cia Sun tersenyum pahit. Balita telah melakukan pembalasan, biarpun hanya dengan menimbulkan kebakaran dalam rumah tangganya. Memang patut ia dihukum karena perbuatannya yang ia sendiri anggap tidak patut itu. Dengan perlahan ia lalu berjalan menuju ke pintu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar ledakan keras. Cepat ia membalikkan tubuh dan masih sempat melihat betapa sebuah batu putih yang besar telah hancur berkeping-keping. Kemudian di bekas tempat batu itu berdiri seorang tosu yang bertubuh tegap dan bersikap keren. Di punggung tosu itu terselip sebatang pedang. Entah dari mana datangnya tosu itu, dan sepasang matanya membuat Cia Sun terpaku di mana ia berdiri. Mata tosu itu bukan seperti mata manusia, bersinar-sinar menakutkan. Rambutnya digelung ke atas, jenggot dan kumisnya lebat. Sukar menaksir usianya, karena rambut dan brewoknya masih hitam, akan tetapi pada mukanya terbayang usia tua.

Lanjut ke jilid 003 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment