Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 004

◄◄◄◄ Kembali

Tepat seperti yang diduga oleh Cia Sun, isterinya menangis saja di dalam kamar tanpa mau menjawab pertanyaan-pertanyaan. Ia tahu betapa besar cinta isterinya kepadanya, dan tahu pula watak isterinya yang amat cemburu di samping cintanya. Tentu munculnya Balita tadi menusuk perasaannya dan membakar hatinya.

“Isteriku, jangan kau percaya obrolan wanita tadi. Dia itu seorang iblis betina,” Cia Sun menghibur isterinya.

“Kau manusia kejam .... ahh .... lebih baik aku mati saja ....” ratap nyonya Cia sambil menangis kemudian menutupi kepalanya dengan bantal, tidak mau lagi mendengarkan suaminya.

Percuma saja Cia Sun menghibur isterinya karena tidak didengarkan lagi. Sambil menghela napas duka Cia Sun mengangkat anak perempuannya yang menangis dan didiamkan ibunya, menimang-­nimangnya sampai anak itu tertidur, hatinya berduka sekali.

Semua pelayan dalam rumah yang berjumlah tiga orang, yaitu dua orang pelayan laki-laki dan seorang pelayan wanita tua yang semenjak Cia Sun masih kecil telah menjadi pelayan Cia Hui Gan, merasa ketakutan dengan adanya peristiwa-peristiwa siang tadi. Dua orang pelayan laki-laki sudah bersembunyi di kamar belakang tidak berani keluar.

Pelayan wanita she Lui yang amat setia, dengan tubuh gemetar dan muka pucat menjaga di depan pintu kamar majikannya, mendengar tangis nyonyanya dan iapun ikut menangis. Siang tadi sambil bersembunyi ia melihat segala kejadian, melihat pula kedatangan wanita cantik dengan rambut riap-­riapan yang menggendong anak. Sebagai seorang wanita yang sudah tua dan banyak pengalaman, ia dapat menduga apa yang telah terjadi. Tentu tuannya telah mempunyai anak di luar dan kini terjadi percekcokan antara tuan dan nyonyanya.

Malam itu amat menyeramkan bagi uwak Lui dan dua orang pelayan laki-laki. Malam gelap dan sunyi sekali, seakan-akan meramalkan datangnya malapetaka yang mengerikan. Uwak Lui yang berada di luar kamar akhirnya tertidur di atas lantai. Ia tidak merasa betapa angin malam bertiup perlahan mendatangkan hawa dingin sekali.

Tengah malam lewat, keadaan makin sunyi. Tiba-tiba uwak Lui terkejut karena kakinya ditarik-­tarik Ketika ia membuka mata, ia melihat Lim-ong, monyet kecil itulah yang menarik-narik kakinya. Kemudian monyet itu meloncat dan melesat pergi, lenyap ditelan gelap. Akan tetapi uwak Lui tidak memperdulikannya lagi karena ia amat tertarik oleh suara-suara yang terdengar di saat itu.

Mula-mula terdengar suara wanita tertawa menyeramkan, suaranya terdengar dari dalam kamar majikannya. Hatinya tidak enak. Biarpun suara ketawa ini menimbulkan bulu badannya berdiri semua, dengan nekat ia membuka pintu kamar dan terhuyung- huyung masuk. Pelita di atas meja masih bernyala, mendatangkan bayang-bayang yang menyeramkan di dalam kamar yang setengah gelap itu.

Hampir saja uwak Lui terguling roboh pingsan ketika matanya yang tua melihat apa yang berada di kamar itu. Majikan perempuan, nyonya Cia telentang di atas ranjang mandi darah, lehernya hampir putus! Dan majikannya Cia Sun, menggeletak di lantai dekat ranjang, juga mandi darah dengan dada penuh luka-luka! Matanya yang kurang awas masih melihat berkelebatnya bayangan keluar jendela.

“Ya, Tuhan .......!”

Suara ini hanya mengganjal tenggorokannya saja. Dengan mata terbelalak ia melangkah maju ke tempat tidur dua orang anak kecil yang berada di pojok kamar. Ia melihat Han Sin, anak laki-laki berusia dua tahun itu duduk di atas kasur menggosok-gosok matanya dan Bi Eng bayi berusia tiga bulan itu mulai menangis. Cepat uwak Lui meraih bayi itu, digendongnya dengan tangan kiri dan memondong Han Sin dengan tangan kanan, lalu lari keluar tersaruk-saruk. Dari tenggorokannya keluarlah kini teriakan-teriakan menyayat hati.

“Tolong .....! Tolong .....! Ya, Tuhan ...... tolonglah ......!” Ia membawa dua orang anak itu lari ke kamar belakang, menuju ke kamar dua orang pelayan laki-laki. Sampai disitu ia menggedor-gedor pintu, akan tetapi dua orang pelayan laki-laki itu saling peluk di kamar, tidak berani keluar!

Sambil menangis tidak karuan uwak Lui lalu tinggalkan kamar itu, lari ke kamarnya sendiri. Ia menurunkan Han Sin dan Bi Eng di atas tempat tidurnya. Dua orang anak itu mulai menangis dan uwak yang setia ini, sekarang sibuk menghibur dan menidur-nidurkan mereka.

Ketika memandang kepada Bi Eng, hampir ia menjerit. Ini bukan Bi Eng! Bukan! Bukan bayi yang setiap hari ia gendong, bukan anak majikannya! Ia menoleh kepada Han Sin. Anak laki-laki itu memang betul Han Sin, putera sulung majikannya. Akan tetapi bayi perempuan ini, biarpun sebaya dengan Bi Eng, terang sekali bukan bayi perempuan majikannya! Uwak Lui bingung bukan main. Dari mana datangnya bayi perempuan yang juga amat montok dan mungil ini? Bayi ini mempunyai tanda kecil merah di bawah telinga sedangkan Bi Eng tidak. Di mana Bi Eng .....?

Uwak Lui teringat kembali kepada majikan-majikannya ketika dua orang anak itu sudah tertidur. Ia harus kembali ke kamar itu. Ia bergidik dan kembali dadanya sesak. Air matanya mengucur keluar. Tidak kuasa ia memandang isi kamar yang amat mengerikan itu. Akan tetapi, masa harus didiamkan saja? Dan siapa tahu, barangkali Bi Eng masih berada di kamar itu.

“Aduuuhh ........ Cia-siauwya ....... Cia-hujin .....” dengan air mata mengucur dan langkah terhuyung-huyung, nyonya tua yang amat setia dan sudah menganggap majikan-majikannya seperti anak-anaknya sendiri, menuju ke kamar maut tadi.

Hampir ia tidak kuat berdiri lagi ketika sudah memasuki kamar. Hampir ia tidak kuat menahan jerit tangisnya. Akan tetapi ia menguatkan hatinya dan matanya mulai mencari-cari, siapa tahu Bi Eng masih ketinggalan di situ. Akan tetapi tidak ada anak lain lagi. Sekarang baru ia menuju ke tempat tidur dan menubruk majikannya.

“Cia-hujin .....!”

Tiba-tiba matanya terbelalak. Penuh kengerian ia memandang muka nyonya Cia. Muka yang biasanya tersenyum ramah dan cantik itu kini telah rusak, pecah-pecah pipi dan keningnya. Ia terbelalak heran. Tadi ia tahu benar bahwa nyonyanya ini hanya terluka di lehernya saja, hampir putus. Akan tetapi mukanya tidak apa-apa. Kenapa sekarang menjadi rusak muka itu seperti ada orang yang datang lagi merusaknya?

Ia menengok ke arah tubuh Cia Sun yang menggeletak di lantai. Kembali ia terbelalak dan hampir menjerit. Matanya penuh ketakutan memandang ke sana ke mari, mencari-cari apakah di situ tidak ada orang lain. Benar-benar aneh dan mengerikan. Tadi Cia Sun menggeletak dengan baju penuh darah karena luka-luka di dada. Akan tetapi sekarang darah itu tidak kelihatan lagi karena tubuhnya telah tertutup oleh sehelai selimut yang aneh. Selimut indah dari sutera kuning, selimut yang belum pernah ia lihat sebelumnya! Saking herannya uwak Lui menghampiri mayat Cia Sun.

Benar saja selimut itu asing, jangankan di dalam rumah, malah selamanya ia belum pernah melihat selimut seperti itu. Corak dan warnanya aneh sekali, akan tetapi amat indahnya. Tak terasa lagi nyonya tua ini memegangi selimut itu, meraba-raba kainnya yang halus dan hangat.

Dengan selimut masih d tangan dan mulutnya sesambatan sambil menangis, tiba-tiba ia mendengar suara tangis dari atas genteng! Suara tangis terisak-isak.

“Ah .... kanda Cia Sun ...... kanda Cia Sun ....... kau tega tinggalkan aku ......!” Tangis itu makin tersedu-sedu dan uwak Lui dapat mengenal suara itu. Suara Balita. Siang tadi ia telah mendengar pula suara wanita cantik yang aneh itu.

Kemudian tangis terhenti dan berubah suara ketawa yang merdu sekali akan tetapi yang membuat uwak Lui menggigil seluruh tubuhnya. Ia teringat akan dua orang anak kecil yang ditinggalkan, maka saking khawatir kalau-kalau terjadi hal-hal yang kurang baik, ia cepat berlari meninggalkan kamar majikannya, menuju ke kamarnya sendiri. Saking bingung, duka, takut, dan kaget, uwak Lui yang tua ini sampai lupa bahwa selimut kuning itu masih ia pegang dan terbawa olehnya ketika ia lari ke kamarnya.

Setelah tiba di kamar, ia cepat-cepat menjenguk Han Sin yang masih tidur di samping adiknya. Akan tetapi ketika ia memandang kepada bayi perempuan yang mempunyai tanda merah di dekat telinga, uwak ini menjerit dan selimut yang dipegangnya tadi jatuh ke atas lantai. Ia mundur dua tindak, dengan mata terbelalak dan mulut ternganga memandangi wajah anak perempuan yang tidur nyenyak. Kemudian ia melangkah maju lagi untuk memandang lebih teliti.

Naik sedu sedan dari dada uwak itu. Wajahnya lebih pucat dari wajah mayat-mayat yang berada di kamar majikannya. Anak perempuan yang berada di situ ternyata telah berubah pula! Ini bukan anak yang ada tanda merah di dekat telinganya tadi. Anak ini juga perempuan juga sebaya, juga montok dan mungil, akan tetapi bukan Bi Eng juga bukan anak perempuan yang bertanda merah tadi! Heran, ajaib! Apakah yang terjadi? Tidak kuat uwak ini menghadapi semua ini.

“Siluman .....! Iblis .....! Tolong .... tolong ......!” Ia berlari sampai terjatuh-jatuh menuju ke kamar dua orang pelayan, dan kini ia menggedor terus pintu kamar pelayan-pelayan itu yang dengan tubuh menggigil membuka pintu dan mereka mendapatkan uwak Lui sudah terguling roboh di depan kaki mereka, pingsan!

***** *****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment