Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 005

◄◄◄◄ Kembali

Ketika pelayan-pelayan yang tiga orang itu mengurus jenazah Cia Sun dan isterinya pada tengah malam itu, mereka merasa ketakutan. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk, seperti orang-orang berjalan di dalam rumah dan meja kursi terbalik. Akan tetapi tidak kelihatan orangnya, hanya ada angin bersiutan yang beberapa kali membuat pelita padam. Dengan tangan menggigil pelayan-­pelayan itu menyalakan kembali pelita tanpa berani melihat apakah yang menyebabkan datangnya suara-suara itu. Uwak Lui lalu memasang hio dan bersembahyang, mohon kepada Thian supaya melindungi mereka dan mengusir siluman-siluman itu!

Pada keesokan harinya suara-suara itu lenyap dan setelah terang barulah ketahuan bahwa rumah gedung itu telah digeledah dengan teliti sekali. Sampai-sampai kamar mandi diperiksa semua. Peti-­peti dibuka, lemari-lemari dibongkar. Akan tetapi anehnya tidak ada barang yang hilang.

Seorang di antara pelayan laki-laki lalu lari ke bawah puncak, ke dusun terdekat untuk minta bantuan penduduk dusun. Karena nama Cia Sun sudah dikenal baik sebagai seorang dermawan dan sudah banyak pendekar ini menolong mereka, maka berduyun-duyun penduduk dusun itu datang untuk melayat dan membantu penguburan jenazah Cia Sun dan isterinya.

Uwak Lui diam-diam mengasuh Han Sin dan adiknya. Sama sekali ia tidak mau bicara tentang ditukarnya Bi Eng sampai dua kali, karena ia tahu bahwa kalau ia bicara tentang itu, tentu menimbulkan geger dan juga bagi dia sama saja apakah asuhannya itu benar-benar Bi Eng atau bukan. Anak kecil yang terakhir ditukarkan ini amat manis dan montok, sehat dan mungil tidak kalah oleh Bi Eng yang asli. Maka ia berjanji di dalam hati tidak akan membuka rahasia ini dan tetap menyebut anak kecil itu dengan nama Bi Eng.
Malam tadi tidak hanya terjadi keanehan di dalam gedung yang menimbulkan rasa takut hebat pada tiga orang pelayan itu. Juga di dalam hutan tak jauh dari puncak itu terjadi hal yang aneh. Kelihatan di dalam hutan itu Balita menggendong anak sambil sebentar- sebentar menangis dan sebentar-­sebentar tertawa.

Tiba-tiba dari atas dahan pohon melompat seekor kera terus menyerangnya dan mencoba untuk merampas bayi yang dipondongnya, Monyet ini bukan lain adalah Lim-ong, monyet peliharaan Cia Sun yang memang biasanya suka bermalam di pohon-pohon. Serangan monyet ini bagi orang lain tentu ganas dan berbahaya. Akan tetapi tidak demikian terhadap Balita. Sekali saja wanita ini menggerakkan tangannya, tubuh monyet itu terlempar jauh dan jatuh tak bergerak lagi! Setelah Balita pergi, baru monyet itu bergerak perlahan, mengerang dan merayap perlahan memasuki segerombolan pohon.

Di lain bagian dari hutan itu, Ang-jiu Toanio juga menggendong anaknya, berlari-lari. Tiba-tiba terdengar suara geraman hebat sehingga hutan bagian itu seakan-akan tergetar. Kemudian munculah seekor harimau yang besar sekali, sikapnya galak, kulitnya loreng dan taringnya besar runcing. Di belakang harimau ini muncul pula seorang laki-laki tinggi gundul, telinganya pakai anting-anting, mukanya lucu, kepalanya yang gundul meruncing ke atas. Dilihat dari wajahnya, jelas bahwa dia bukan orang Han.

Baik harimau maupun orang aneh itu tidak memandang kepada Ang-jiu Toanio, melainkan kepada bayi yang digendongnya, nampaknya keduanya merasa mengilar sekali!

Ang-jiu Toanio adalah seorang berkepandaian tinggi yang tentu saja tidak takut melihat harimau itu, malah ia menjadi marah dan membentak keras, “Setan! Suruh pergi kucingmu itu sebelum kubikin mampus dia. Bikin kaget anakku saja.”

Akan tetapi orang gundul itu tertawa ha ha, he he, lalu bicara dengan suara bindeng (suara hidung), “Belikang anakmu padanya, dia lapang!” Selain bindeng, juga bicaranya tidak jelas, tanda bahwa dia itu seorang asing.

Ang-jiu Toanio yang sudah banyak melakukan perantauan, mengerti bahwa dia berhadapan dengan seorang Mongol. Sebetulnya ia merasa geli mendengar suara yang bindeng itu, akan tetapi karena mendengar kata-kata yang minta anaknya untuk dijadikan mangsa macan itu, ia menjadi marah sekali dan lenyap geli hatinya.

“Binatang, jangan main gila di depan Ang-jiu Toanio!” bentaknya.

“He he he, aku Kalisang tidak takuti segala tangang melah atau tangang hitam!”

Ang-jiu Toanio makin marah, akan tetapi tiba-tiba macan itu menubruk dengan kekuatan yang dahsyat dan cepat sekali. Ang-jiu Toanio mengelak dan hendak mengirim pukulan, akan tetapi orang Mongol yang bernama Kalisang itu sudah melompat ke depan dan mengulur tangannya yang panjang untuk menjambret pundaknya. Ia cepat menggunakan tenaga Ang-see-chiu untuk menangkis.

“Plak!”

Dua tangan bertemu dan orang Mongol itu miring tubuhnya, kesakitan dan panas sekali tangannya bertemu dengan si Tangan Merah. Akan tetapi alangkah kagetnya Ang-jiu Toanio ketika tangan kiri lawannya tiba-tiba mulur panjang sekali dan tahu-tahu tangan itu sudah dapat merampas anaknya dari gendongan.

“Jahanam, kembalikan anakku!” Ang-jiu Toanio menubruk maju menyerang si tangan panjang yang lihai itu.

Akan tetapi Kalisang sudah melompat ke belakang dan terus saja lari cepat bukan main. Kedua kakinya yang kecil panjang-panjang itu berlari seperti terbang saja.

Ang-jiu Toanio terus mengejar, akan tetapi harimau besar itu menghadangnya dan menubruk dari pinggir. Dalam kegemasannya, Ang-jiu Toanio memukul dada harimau dengan tenaga Ang-see­chiu.

“Bukk!”

Tubuh harimau yang besar terlempar ke belakang. Akan tetapi tubuh harimau itu kuat sekali dan karena dia bukan manusia sehingga jalan darah dan otot-ototnya tidak sama dengan manusia pula, maka pukulan tadi hanya membuat ia sakit dan terlempar, sama sekali tidak mendatangkan luka di dalam tubuh. Ia menggereng keras dan menyerang lagi.

Ang-jiu Toanio gemas bukan main. Dengan halangan ini, terpaksa ia tidak dapat mengejar si tangan panjang. Ia lalu menghujani pukulan dan tendangan, tidak memberi kesempatan kepada harimau ini.

Akhirnya ia dapat menyambar ekor harimau dan dengan tenaga luar biasa wanita muda itu membanting tubuh harimau sekuatnya.

“Blekk!” Harimau itu mengaum dan lari terbirit-birit, takut menandingi wanita kosen itu.

Ang-jiu Toanio tidak memperdulikan binatang hutan tadi dan cepat lari ke depan mencari bayangan Kalisang. Akan tetapi betapa kaget dan cemasnya karena ia tidak dapat mencari Kalisang yang lenyap di waktu gelap. Ang-jiu Toanio menjadi cemas sekali. Ia mengejar terus, lari secepat mungkin sambil memaki-maki dan kadang-kadang menangis.

Sementara itu, sambil tertawa-tawa serem Kalisang membawa anak kecil itu bersembunyi di dalam semak-semak, mendekap mulut anak itu supaya jangan menangis. Setelah Ang-jiu Toanio berlari jauh sekali, ia keluar dan memanggil harimaunya. Harimau besar itu datang dan melihat anak kecil dalam pondongan, ia mengaum dan memperlihatkan taringnya.

“Heh heh, anakku, kau udah lapang (lapar) sekali! Heh heh heh!”

Setelah berkata demikian, ia melemparkan anak bayi itu ke atas tanah di depan binatang buas itu! Si harimau mendekam, matanya bersinar-sinar, mulutnya meringis dan kaki belakangnya sudah menegang, siap menubruk dan menikmati daging bocah yang tentu lunak, segar dan lezat itu.

Akan tetapi tiba-tiba pada saat harimau maju hendak menubruk, binatang ini sebaliknya terlempar ke samping, menggeram kesakitan dan bergulingan. Adapun bayi itu tahu-tahu telah disambar orang dan di lain saat telah berada dalam pelukan tangan kiri seorang saikong yang memegang pedang. Inilah Hoa Hoa Cinjin, saikong sakti yang kemaren sudah muncul di depan Cia Sun.

Melihat hal itu, Kalisang marah sekali. Ia menubruk maju dan kedua tangannya mulur sampai panjangnya hampir dua meter! Akan tetapi, pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin berkelebat dan Kalisang menjerit kaget sambil menarik kembali tangannya. Betapapun juga, ujung jari tangan kirinya terbabat sehingga terluka dan sapat di bagian kukunya.

“Setan Mongol, kau tidak mengenal Hoa Hoa Cinjin?” bentak saikong itu keren.

Nama besar Hoa Hoa Cinjin memang sudah terkenal. Bahkan orang Mongol ini pernah mendengar nama itu. Tadipun ia telah membuktikan sendiri kelihaian saikong yang matanya begitu mengerikan, lebih mencorong dari pada mata harimaunya. Hatinya jerih dan sambil memekik aneh orang Mongol itu lari pergi dari situ, diikuti oleh harimaunya yang juga takut menghadapi saikong yang bermata setan itu.

Hoa Hoa Cinjin tertawa dan memandang bocah dalam pelukannya.

“Anak baik ....... anak baik ..... kau patut menjadi muridku. Hemm ..... hendak kulihat kelak siapa yang bisa mengalahkan kau.” Iapun pergilah dari hutan itu sambil membawa bocah yang tidak menangis karena kini merasa hangat dalam pelukan, dibungkus dalam jubah lebar tebal, menempel pada dada yang panas.

Semua kejadian ini tidak ada orang lain melihatnya, hanya monyet kecil. Lim-ong yang melihatnya. Monyet yang sudah terluka parah oleh pukulan Balita ini, diam-diam mengintai dan menyaksikan semua itu. Ia lalu menyelinap di antara daun-daun pohon dan di lain saat iapun menggendong seekor monyet kecil, monyet jantan yang masih kecil sekali. Ia mengeluarkan bunyi cecowetan dan aneh, dari kedua matanya keluar dua butir air mata. Monyet betina itu, Lim-ong menangis.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali jenazah Cia Sun dan isterinya telah dibersihkan, diberi pakaian baik-baik dan dimasukkan dalam dua buah peti sederhana yang diusahakan oleh penduduk dusun. Kemudian hio dipasang dan semua orang bersembahyang memberi penghormatan terakhir kepada pendekar budiman dan isterinya itu.

Uwak atau Bibi Lui meratap-ratap dan menangis ketika membawa Han Sin dan Bi Eng yang diajak sembahyang pula. Dua orang anak kecil yang tidak tahu dan mengerti apa-apa ini, tidak menangis. Akan tetapi ketika mendengar uwak Lui dan semua penduduk menangis pilu, mereka pun mulai menangis. Suara tangis mereka memenuhi ruangan depan gedung itu di mana dua peti mati itu ditaruh berjajar.

“Kanda Cia Sun ...... ohh, kanda Cia Sun ......!”

Mendengar seruan ini, wajah uwak Lui menjadi pucat dan otomatis tangisnya berhenti. Juga para penduduk memandang orang yang datang ini dengan heran dan tertarik. Balita dengan mengendong anak, rambutnya tetap riap-riapan dan pakaiannya sobek sana sini, datang terhuyung-huyung sambil menangis.

Setelah ia tiba di ruangan depan itu, tiba-tiba uwak Lui mempunyai pikiran yang cerdik. Uwak yang setia ini segera berdiri dan menyambut kedatangannya, sedikitpun tidak takut biarpun ia tahu bahwa wanita ini adalah seorang iblis betina yang menyeramkan dan mungkin sekali menjadi pembunuh majikan dan nyonyanya. Ia melirik ke arah bocah di dalam gendongan Balita, akan tetapi Balita agaknya sengaja menutupi bocah itu sehingga tubuh dan muka anak kecil itu tidak kelihatan sama sekali.

“Toanio apakah sahabat mendiang majikanku dan hendak bersembahyang? Silahkan .... silahkan, biarlah kugendongkan dulu anak toanio itu,” kata uwak Lui dengan ramah tamah sambil cepat menghampiri Balita dan memegang kaki anak kecil itu untuk digendong. Bayi anak majikannya sendiri sudah tadi-tadi ia baringkan ketika ia mendapatkan akal untuk melihat dan mengenal anak digendongan Balita.

AKAN tetapi Balita merenggut anaknya, matanya mendelik kepada uwak Lui yang baru saja memegang kaki anak itu. “Pergi kau! Aku bisa bersembahyang sambil menggendong anakku!”

Uwak Lui kaget dan mundur, akan tetapi di dalam hatinya ia terheran-heran dan makin bingung, karena anak di gendongan Balita itu bukanlah puteri majikannya, bukan Bi Eng! Tadi ia sengaja memegang kaki anak itu, karena biarpun tidak melihat muka anak itu, dari kakinya saja ia dapat mengenal kalau anak itu Bi Eng adanya. Di kaki sebelah kiri Bi Eng, di dekat mata kaki, terdapat sebuah tahi lalat hitam yang merupakan tanda anak itu yang tak akan lenyap.

Akan tetapi ketika ia tadi memegang kaki kiri bayi di gendongan Balita itu dan melihat dengan teliti, kaki kiri anak itu bersih saja dan tidak ada tahi lalatnya. Anak itu bukan Bi Eng, dan anak kecil yang ia tidurkan itupun bukan Bi Eng. Di manakah lenyapnya Bi Eng yang asli? Diam-diam uwak Lui bingung dan berduka, akan tetapi ia hendak menyimpan rahasia ini di dalam hatinya sendiri. Biarlah, anak bayi perempuan yang sekarang berada dalam asuhannya, dia itulah Cia Bi Eng.

Balita tidak mempergunakan hio, langsung ia berlutut di depan peti mati Cia Sun sambil menangis sesambatan dan memeluki peti itu.

“Kanda Cia Sun ...... tega benar kau kepadaku .... kanda Cia Sun, hidup ini tiada artinya bagi Balita .......” Ia menangis tersedu-sedu, lalu dengan beringas ia pindah ke depan peti mati nyonya Cia Sun, menggedor-gedorkan kepalanya yang berambut riap-riapan itu pada peti mati nyonya Cia!

Uwak Lui menjadi khawatir sekali dan baiknya Balita hanya menggedorkan kepalanya perlahan saja. Akan tetapi jangan kira bahwa gedoran kepala ini hanya tanda kedukaannya, karena diam-­diam ia mengerahkan tenaga lweekang untuk menghancurkan isi peti mati itu.

Tiba-tiba terdengar suara tinggi melengking dan tahu-tahu seorang pengemis yang rambutnya awut-­awutan sudah berdiri di belakang peti nyonya Cia Sun. Ia menepuk-nepuk peti itu sambil berkata,

“Cia-hujin, tenanglah. Orang-orang ini benar gila, menangisi kau yang sudah senang. Ha ha ha!”

Balita kaget bukan main ketika kepalanya terasa sakit begitu digedorkan kepada peti mati. Ia maklum bahwa serangannya untuk menghancurkan mayat nyonya Cia telah digagalkan oleh tepukan-tepukan tangan pengemis itu pada belakang peti mati. Ia mengangkat kepala memandang dan melihat pengemis yang rambutnya awut-awutan itu memegang sebuah guci arak, ia terkejut. Ia pernah mendengar nama Ciu-ong Mo-kai si Raja Pengemis dari seluruh perkumpulan pengemis di daerah selatan.

“Ha ha ha,” kembali pengemis itu tertawa dengan suara tinggi. “Memang dunia ini palsu. Orang yang terbebas dari derita hidup ditangisi, di balik air mata muncul kepalsuan-kepalsuan jahat. Aduh, lebih enak yang mati dari pada yang hidup harus menyaksikan segala macam kepalsuan!”

Balita mundur sambil mendekap anaknya. Menghadapi seorang pengemis sakti seperti ini ia harus hati-hati, apa lagi ia sedang menggendong anak.

“Ciu-ong Mo-kai Tang Pok, omonganmu benar. Kalau kau lebih suka mati, biar aku coba mengantarmu ke neraka.” Tangan kanan Balita menampar ke depan dan angin pukulannya dari jarak jauh menyambar ke arah dada pengemis itu.

Ciu-ong Mo-kai Tang pok, pengemis sakti itu sambil tertawa menegak arak dari guci araknya, kemudian menyemburkan araknya ke depan. Arak itu merupakan senjata penangkis pukulan dan begitu bertemu dengan hawa pukulan Balita arak itupun tertahan dan terpental kembali!

“Ha ha, hebat! Kau perempuan Hui benar hebat!” pengemis itu memuji dan pujian ini memang setulusnya hati karena siapa orangnya tidak kagum melihat seorang perempuan semuda itu memiliki pukulan jarak jauh yang demikian kuatnya? Sebaliknya, Balita maklum bahwa pengemis itu merupakan tandingan sangat berat. Ia tidak bisa melepas anaknya untuk berkelahi, maka sambil melompat pergi ia berkata.

“Pengemis tua bangka, lain waktu aku Balita tentu mencarimu!”

Pengemis itu hanya tertawa-tawa kemudian menjawab kepada bayangan Balita yang sudah pergi jauh.

“Jembel tua bangka buruk rupa macam aku ini mana ada harga kau cari-cari? Tentu kau lebih suka mencari yang muda rupawan, bagus dan tampan. Ha ha ha!”

Uwak Lui dan dua orang pelayan keluarga Cia serta semua penduduk dusun yang berada di situ memandang kepada pengemis itu tak senang. Mereka ini tentu saja sama sekali tidak tahu betapa pengemis ini telah menolong mayat nyonya Cia dari kehancuran. Bagi mereka, pengemis itu terlalu kurang ajar dan sebaliknya nyonya muda tadi patut dikasihani. Bukankah nyonya muda tadi datang untuk berbelangsungkawa sedangkan pengemis itu datang-datang mengacau? Apalagi sekarang pengemis itu sambil tertawa-tawa dan minum arak berkata kepada mereka,

“Kalian jangan menangis, tidak boleh menangisi orang mati!”

Semua orang yang berada di situ saling pandang. Mereka merasa takut melihat pengemis ini, karena sikapnya dan rambutnya yang awut-awutan itu lebih pantas disebut orang yang sudah miring otaknya. Akan tetapi uwak Lui yang amat setia menjadi tak senang karena upacara perkabungan majikannya dikacau. Ia maju menghampiri pengemis itu sambil menggendong Bi Eng. Dirogohnya saku bajunya dan dikeluarkan sekeping uang perak, lalu diberikan kepada pengemis itu.

“Nih, sedekahnya, harap sekarang kau suka pergi dan jangan mengganggu kami. Tidak tahukah kau bahwa kami sedang berduka, mengabungi kematian majikan-majikanku yang tercinta?”

Pengemis itu memandang kepada uwak Lui dengan mata meram-melek sambil menyeringai, lalu berkata seperti orang bersajak.

“Siapa bilang hidup lebih senang dari pada mati? Siapa bilang mati harus diantar susah hati? Samua berasal dari tiada. Dan kembali kepada tiada Bila musimnya tiba? Bukankah mati hanya pulang ke asalnya?”

Kemudian sambil menghelus-elus peti mati Cia Sun, pengemis itu berkata seperti kepada diri sendiri, “Cia Sun semasa hidup memenuhi kewajiban sebagai satria sejati, melanjutkan sepak terjang ayahnya sebagai pendekar pembela rakyat. Matipun tidak penasaran!”

Mendengar ucapan ini, uwak Lui menangis dan memeluki Bi Eng. “Pengemis aneh, jangan kau menyusahkan hati kami yang sudah berduka. Boleh kau bilang apa saja, akan tetapi tidak kasihankah kau kepada dua orang anak ini yang ditinggal mati ayah bundanya? Mereka menjadi yatim piatu, ah ...... yatim piatu .....” Uwak Lui menangis terisak-isak dan semua penduduk dusun yang berkumpul di situ juga ikut menangis.

“Diam! Diam semua!” Pengemis itu membentak, lalu sekali ulur tangan ia telah merampas Bi Eng dari gendongan uwak Lui yang menjadi kaget sekali.

“Anak baik ..... ah, anak bertulang baik.” Pengemis yang seperti orang gila itu lalu mengayun-ayun bayi itu malah kemudian ia melemparkan bayi itu ke atas diterima lagi dan dilemparkan lagi seperti seorang anak nakal bermain dengan sebuah bola!

Uwak Lui menjerit dan melompat maju merampas anak itu. Pengemis tadi memberikan Bi Eng kepada uwak Lui sambil berkata, “Jaga baik-baik muridku ini!”

“Muridmu? Apa artinya ini?” tanya uwak Lui sambil mendekap anak itu.

“Bibi yang baik, jangan salah menyangka orang. Aku adalah paman guru Cia Hui Gan! Aku datang untuk menyelidiki siapa orangnya yang membunuh Cia Sun dan isterinya.”

Suara pengemis itu berubah keren dan sikapnya agung, membuat uwak Lui surut mundur. Uwak Lui lalu menjura dengan hormat sambil berkata. “Terserah kebijaksanaan, taisu!”

Pengemis itu tertawa-tawa lagi lalu maju melangkah ke arah peti mati. Tutup peti mati telah dipaku, akan tetapi sekali angkat saja tutup peti mati Cia Sun telah dibukanya! Ia membungkuk dan melihat tanda-tanda luka di dada mayat itu. Muka mayat pendekar itu tenang, malah mulutnya agak tersenyum. Setelah memeriksa beberapa lama, pengemis itu berkali-kali mengeluarkan seruan tertahan.

“Aneh .... aneh sekali ..... pedang biasa, tusukan biasa ..... masa dia mati karena serangan macam itu ....?”

Kemudian ia menutup lagi peti mati dan sekali tekan paku-paku itu telah amblas mengunci tutup peti. Kemudian ia membuka peti mati nyonya Cia Sun. Mayat nyonya muda ini lebih menyedihkan karena selain lehernya putus, juga mukanya luka-luka. Ciu-ong Mo-kai memeriksa leher yang terluka dan kembali ia menggelengkan kepala.

“Bukan karena tenaga, melainkan karena tajamnya pedang. Heran .... heran .... lebih patut kalau dikatakan pembunuhnya seorang kanak-kanak lemah!” Akan tetapi ketika ia melihat muka nyonya muda yang sudah menjadi mayat itu, ia mengerutkan kening.

“Perempuan Hui itu masih melampiaskan marahnya melihat saingannya sudah mati. Terlalu sekali ....!” Juga lalu menutup kembali peti mati dan menoleh kepada semua orang yang melihat perbuatannya ini dengan penuh rasa ngeri dan heran.

“Cia Sun tidak berkeluarga kecuali dua orang anaknya. Orang yang boleh diandalkan adalah bibi pengasuh ini, maka mulai sekarang semua kekuasaan mengurus rumah dan memelihara dua orang anak ini kuserahkan kepada bibi pengasuh. Siapa yang berani mengganggunya berurusan dengan aku! Sekarang, saudara-saudara dari dusun di bawah puncak boleh pulang. Biar aku dan bibi pengasuh mengurusnya sendiri.”

Karena semua orang merasa takut, mendengar perintah ini tanpa banyak cakap mereka lalu pergi dari situ. Uwak Lui tidak berani membantah! Dia bersama dua orang pelayan laki-laki yang berada di situ hanya bisa saling pandang.

“Kenapa kalian dua orang masih tidak mau pergi?” Pengemis itu bertanya ketika masih ada dua orang laki-laki berjongkok di ruang itu.

“Taisu, dua orang ini adalah pelayan-pelayan di sini, semenjak kecil mereka membantu majikan kami,” kata uwak Lui.

Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Kalau kalian masih suka, mulai sekarang kalian menjadi pelayan dia ini.” Dia menunjuk uwak Lui dan dua orang pelayan itu mengangguk. “Ayoh, kalian ambilkan arak untukku!”

Ketika dua orang pelayan itu ragu-ragu, uwak Lui memberi isyarat supaya mereka memenuhi permintaan Ciu-ong Mo-kai. Uwak Lui sudah terlalu lama mengikut Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun dan sudah banyak melihat kawan-kawan Cia Sun yang terdiri dari orang-orang kang-ouw yang aneh-aneh dan sakti. Sekarang ia percaya bahwa pengemis itu tentulah orang sakti yang benar-benar datang untuk menyelidik pembunuhan majikannya. Ia merasa lega karena biarpun pengemis itu wataknya aneh menakutkan, namun keselamatannya, terutama keselamatan dua orang anak kecil yang sejak itu diasuhnya sebagai anak-anak sendiri, akan terjaga dan terjamin.

Ciu-ong Mo-kai tidak mau menggunakan cawan perak yang dibawakan oleh para pelayan. Ia menuang arak dari guci besar ke dalam tempat araknya sendiri lalu minum arak dari mulut gucinya yang kecil. Sambil minum arak ia bernyanyi-nyanyi dengan kata-kata yang tidak karuan.

Tiba-tiba uwak Lui dan dua orang pelayan itu mendengar suara roda kereta datang di depan gedung. Mereka kembali melongo dan saling pandang. Bagaimana ada kereta bisa sampai di tempat itu? Dengan jalan kakipun amat sukar sampai di situ, apalagi berkereta. Kudapun tidak bisa naik di antara batu-batu putih yang mengitari gedung. Apakah kuda dan kereta itu bisa terbang?

Benar saja. Sebuah gerobak kecil roda dua ditarik oleh seekor keledai berhenti di depan gedung itu dan dari dalamnya melompat keluar seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gemuk, bertopi dan berkumis lucu seperti kumis kucing. Laki-laki itu mengambil sebuah swipoa (alat menghitung) dengan tangan kiri dan membawa sebuah cambuk di tangan kanan, lalu melangkah lebar ke ruang depan dengan mulut tersenyum lebar. Mukanya yang gemuk itu kemerahan dan berkali-kali ia mengusap muka dengan ujung lengan bajunya untuk menghapus peluhnya.

Memang bagi orang-orang biasa, aneh sekali ada orang bisa naik gerobak ke tempat seperti puncak gunung Min-san ini. Orang-orang dusun situ yang sudah biasa mendaki puncak masih merasa sukar untuk mendatangi puncak yang menjadi tempat tinggal Cia Sun. Apalagi menunggang gerobak, hal ini merupakan sesuatu yang tidak mungkin. Lebih-lebih lagi bagi seorang berpakaian seperti saudagar yang bertubuh gemuk itu!

Akan tetapi bagi Ciu-ong Mo-kai yang melihat kedatangan orang ini, bukanlah merupakan hal yang aneh atau mengherankan. Yang baru datang ini, yang ke mana saja membawa-bawa alat swipoa dan pecut bukan lain adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (Si Raja Swipoa)! Bukan saudagar sembarang saudagar biarpun ke mana saja membawa-bawa swipoa, akan tetapi seorang tokoh besar di dunia kang-ouw yang bukannya tidak terkenal!

Lie Ko Sianseng memang seorang saudagar dan dalam hal pekerjaan ini usahanya luas sekali, bukan hanya berdagang barang-barang yang meliputi macam barang dari hasil bumi, hewan ternak sampai sayur mayur dan emas intan. Akan tetapi adakalanya ia juga berdagang jiwa dan kepala orang.

Dengan langkah lebar Lie Ko Sianseng menuju kedua buah peti mati yang berjajar di ruangan depan itu, tanpa melirik kepada Ciu-ong Mo-kai yang duduk bersila sambil minum arak di belakang peti-peti itu. Dari saku dalam jubahnya yang lebar, jubah saudagar, Lie Ko Sianseng mengeluarkan sebungkus dupa dan menyalakan dupa-dupa itu pada lilin yang bernyala di meja sembayang depan peti. Lalu ia acung-acungkan hio itu di atas menghadapi peti mati dan mulutnya yang tadi menyeringai sekarang bergerak-gerak, bibirnya kemak-kemik, matanya meram-melek. Sikapnya lucu sekali akan tetapi uwak Lui dan dua orang pelayan memandang dengan hormat melihat saudagar ini bersembahyang di depan peti mati majikan mereka.

“Ha ha ha!” Ciu-ong Mo-kai tertawa geli, kemudian ia bernyanyi sambil memukul-mukulkan guci araknya pada peti mati untuk mengiringi nyanyiannya.

“Acung-acungkan hio, mulut berkemak-kemik Pikir diputar-putar, mata melirik-lirik Isi hati saudagar selalu mencari untung Orang lain siapa bisa hitung?”

Kembali Ciu-ong Mo-kai tertawa-tawa sambil minum araknya. Wajah Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menjadi makin merah dan untuk menutupi kejengkelannya karena disindir oleh raja pengemis itu, saudagar ini lalu perdengarkan doanya, tidak lagi berkemak-kemik dan tidak berbunyi seperti tadi.

“Cia-enghiong, sungguh menyesal sekali sebelum sempat berkunjung memberi hormat, kau telah meninggal dunia bersama nyonyamu. Semoga arwahmu dan arwah nyonyamu mendapat tempat yang aman dan tenteram.”

Ia lalu menancapkan hio di tempat, bersoja dan duduk bersila di atas lantai, wajahnya memperlihatkan kedukaan besar. Keadaannya demikian sungguh-sungguh membuat uwak Lui terharu sekali.

Akan tetapi Ciu-ong Mo-kai menjenguk dari balik peti mati dan berkata, “Ah, makelar ulung! Kau menyesal dan kecewa melihat Cia Sun mati, bukankah karena kau tidak bisa lagi mencatut barangnya, sebuah surat wasihat ......?”

Tiba-tiba wajah saudagar itu berubah dan kini kelihatan bersemangat sekali. Ia memandang kepada Ciu-ong Mo-kai dan suaranya lemah lembut, suara seorang saudagar yang sedang menjalankan siasat menjual dagangan atau membeli dagangan atau untuk mencari untung.

“Ciu-ong yang baik, sudah lima tahun lebih tidak bertemu denganmu. Apakah baik-baik saja? Maaf tadi aku tidak melihatmu karena terlalu sedih dan terharu melihat peti mati-peti mati Cia-enghiong dan isterinya. Eh, Ciu-ong, terimalah sedekahku ini, dikumpulkan selama lima tahun walau sehari setengah chi juga menjadi banyak. Terimalah!” Saudagar itu mengeluarkan sebuah uang emas dan secara sembarangan melontarkannya ke arah Mo-kai. 

Lanjut ke jilid 006 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment