Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 006

◄◄◄◄ Kembali

Bagi orang lain yang berada di situ, tentu saja perbuatan ini dianggap royal sekali. Masa memberi sedekah kepada seorang pengemis sampai sepotong uang emas yang harganya amat mahal? Akan tetapi sebetulnya lemparan uang emas itu adalah sebuah tipu serangan dari ilmu menyambit Lim­chi-piauw yang amat lihai. Selain dilontarkan dengan penggunaan tenaga lweekang yang tinggi, juga mengarah jalan darah dan kiranya orang yang diserang takkan dapat menghindar lagi kalau tidak memiliki kepandaian tinggi. Bagi Lie Ko Sianseng, penyerang ini bukanlah merupakan penyerangan, lebih menyerupai kelakar untuk menguji kepandaian raja pengemis itu yang sudah bertahun-tahun tidak ia jumpai.

Sinar kuning dari uang emas itu berkilat menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai. Pengemis maklum bahwa saudagar gemuk itu hendak mengujinya, maka ia ulurkan tangan kanan dan menerima uang emas itu. Terdengar suara “plekk!” dan ketika ia membuka tangan, uang emas itu telah berada di telapak tangannya dalam keadaan gepeng seperti dijepit tang baja! Ini bisa terjadi karena sambitan itu luar biasa kuatnya dan telapak tangan yang menyambut luar biasa kerasnya.

“Ha ha ha, dalam urusan dagang kau boleh pelit dan licik, akan tetapi menghadapi pengemis kau menjadi dermawan. Ha ha ha, baik sekali kau, tukang catut!”

“Tidak apa, Ciu-ong. Di antara kita, mana perlu bersungkan-sungkan? Eh, raja pengemis, kau tadi menyebut-nyebut tentang surat wasiat. Apakah maksudmu dengan itu?”

Pengemis itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, Swi-poa-ong. Apakah kau kira aku ini anak kecil? Jangan kau berpura-pura lagi. Muslihatmu sebagai seorang pedagang sudah kuketahui baik. Kau kira tidak tahukah aku bahwa di antara semua orang yang mengobrak-abrik dan menggeledah rumah keluarga Cia malam tadi, juga termasuk kau? Apa yang kau cari?”

Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng menggerakkan jari-jari tangannya kepada alat hitungnya. “Trek trek trek!” bunyi swipoa itu.

“Angka satu hanyalah satu, angka nol tidak ada nilainya. Akan tetapi angka satu ditambah tiga nol merupakan jumlah besar, apalagi kalau berupa potong uang emas. Jembel tua, apakah seribu potong uang emas tidak cukup untuk membeli surat wasihat itu?” Saudagar aneh itu menepuk saku bajunya yang gendut dan terdengarlah bunyi gemercing yang nyaring dan bening.

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok membelalakkan matanya yang sipit. “Eh, makelar edan, apa kau sudah gila?”

“Kau sudah menyebut edan, mana bisa gila lagi?” Lie Ko Sianseng berkelakar, sama sekali tidak marah dimaki-maki oleh pengemis itu. Akan tetapi sepasang matanya masih bersinar kesungguhan. “Apa kau mau melepas surat itu untuk seribu potong emas?” Tang Pok menggelengkan kepalanya.

“Kau tentu gila. Sepotong surat wasiat lapuk, biarpun mengenai rahasia harta karun belum kau ketahui berapa banyak harta itu, juga apakah masih ada. Lebih-lebih kalau dipikirkan bahwa segala macam surat wasiat belum tentu asli, mungkin bohong.”

“Seorang saudagar harus berani berspekulasi, untung atau buntung. Bolehkah?”

“Kau aneh ........”

“Jembel tua, seribu lima ratus!”

Tang Pok hanya menggeleng kepala. “Sinting kau .......!”

Lie Ko Sianseng kembali mencetrek-cetrekan swipoanya, mulutnya berkemak-kemik menghitung angka, keningnya berkerut, peluhnya mengucur. Ia lalu berdiri dan mengebut-ngebutkan ujung bajunya.

“Dua ribu! Nah, dua ribu kutawar, jembel. Tidak ada orang kedua di dunia ini berani menawar dua ribu. Emas tulen!” Kembali ia menepuk-nepuk kantung uangnya di saku jubahnya yang lebar.

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok menggeleng kepala dan juga berdiri. “Kamu mimpi. Melihatpun aku belum surat wasiat itu. Aku hanya mendengar orang-orang lain dan kau yang gila harta itu menyebut-nyebut perihal surat wasihat harta karun. Aku sendiri mana butuh?”

“Jadi tidak ada padamu?”

“Kalau ada padaku, jangankan dua ribu potong uang emas kautawarkan, untuk sepotong uang emas saja akan kulemparkan kepadamu. Bodoh!”

“Setan!” Pedagang itu memaki, lalu cambuknya menyambar udara mengeluarkan bunyi “tar tar tar!” nyaring sekali. “Ciu-ong Mo-kai, tidak baik mempermainkan orang seperti aku. Kalau tidak di depan jenazah Cia-enghiong dan isterinya, cambukku pasti akan menikmati pantat anjing.”

Tang Pok hanya mentertawakan saudagar itu yang sudah menjura di depan peti mati, lalu berjalan terhuyung-huyung ke gerobaknya kembali, naik ke gerobak dan membentak keledainya. Gerobak bergerak perlahan, diputar dan menuruni puncak.

Pada saat itu terdengar bunyi cecowetan dari dalam rumah dan ketika semua orang menengok, ternyata Lim-ong monyet tua itu berlari keluar sambil memegang sebatang huncwe (pipa tembakau panjang). Pipa itu mengebulkan asap dan dari mulut dan hidung monyet itu masih keluar asapnya, sedangkan jalannya terhuyung-huyung seperti orang mabok!

“Lim-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan huncwe itu di tempatnya!” Uwak Lui memerintahkan dengan bentakannya. Akan tetapi Lim-ong tidak menurut, malah melompat dari jendela dan membawa huncwe itu.

Tang Pok tertawa sampai perutnya kaku melihat pemandangan lucu ini.

“Biarkan dia pergi. Monyet itu pintar sekali, pintar isap tembakau, dia lebih pintar dari pada Swi­poa-ong si makelar curang! Ha ha ha!”

Karena huncwe itu memang tidak dipakai, yaitu sebuah di antara barang peninggalan tuan tua Cia Hui Gan yang ditaruh di meja sembahyang, maka uwak Lui dan dua orang pelayan itupun tidak mau ambil pusing lagi. Dalam keadaan berkabung seperti itu, siapa sih mau perduli tentang hal ini dan mau ribut-ribut karena sebatang huncwe yang dibawa lari monyet nakal! Juga Ciu-ong Mo-kai yang biasanya bermata tajam sekali, karena kunjungan Lie Ko Sianseng tadi dan kini sibuk dengan minum arak, tidak melihat bahwa tubuh monyet itu menderita luka dalam yang amat hebat dan bahwa cara monyet itu mengisap huncwe adalah cara yang amat ganjil seakan-akan monyet itu hendak mengobati lukanya dengan merokok!

Dengan bantuan dua orang pelayan, Ciu-ong Mo-kai lalu menguburkan dua peti mati itu di belakang rumah, kira-kira satu li jauhnya dari gedung itu. Setelah selesai, ia lalu berkata kepada uwak Lui dan dua orang pelayan.

“Mulai sekarang, semua barang dan rumah ini berada dalam kekuasaan bibi Lui dan kalian berdua harus mentaati semua perintah bibi Lui. Boleh kalian pergunakan semua barang di sini sambil memelihara dua orang anak keluarga Cia. Aku akan sering kali menengok ke sini dan kalau sudah tiba masanya, anak Bi Eng akan menjadi muridku. Sementara itu, tentang perawatan dan pendidikan dua orang anak ini kuserahkan kepada bibi Lui. Hah, selamat tinggal!” Ia lalu meninggalkan sekantong uang yang membuat bibi Lui dan dua orang pelayan itu terbelalak heran. Dari mana seorang pengemis mempunyai uang sebegitu banyak? Mereka tidak tahu bahwa Tang Pok bukanlah sembarang pengemis.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment