Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 007

◄◄◄◄ Kembali

Lima belas tahun telah lewat dengan amat cepatnya tanpa terasa oleh manusia. Anak-anak menjadi dewasa, orang dewasa menjadi tua, dan yang tua kembali ke asalnya, lenyap dari permukaan bumi diganti oleh manusia-manusia baru yang terlahir.

“Siauw-ong (raja kecil) ......! Siauw-ong, kembalikan pitaku. Kurang ajar kau ......! terdengar suara nyaring dan merdu.

Seekor monyet jantan kecil berlari-lari membawa sehelai pita sutera merah. Monyet itu berlari sambil jingkrak-jingkrak, lagaknya mempermainkan sekali. Di belakangnya mengejar seorang gadis cantik manis berusia lima belas tahun. Gadis ini jelita sekali, kulit mukanya putih halus, pipinya kemerahan dan matanya jeli seperti mata burung hong. Mulut yang kecil itu berbibir merah segar, tubuhnya ramping dan pakaiannya biarpun sederhana, tapi bersih dan terbuat dari sutera.

Gadis ini sambil tertawa berlari lincah mengejar monyet itu yang dipermainkannya. Di kejar ke sana lari ke sini, dikejar ke sini lari ke sana, memutari pohon sambil mencibir-cibirkan bibirnya yang tebal. Mata kecil itu mencorong nakal, kadang-kadang ia ulurkan pita ke depan, akan tetapi tiap kali hendak diambil gadis cilik ini, ia lari lagi.

“Siauw-ong, kembalikan pitaku. Jangan nakal kau, nanti kupukul dengan ini!” Gadis itu lalu mengambil sebatang ranting. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan, monyet itu melompat dan memanjat pohon dengan amat cepatnya.

Gadis itu membanting-banting kakinya, kepalanya tergeleng membuat rambut yang terlepas pitanya itu terurai, panjang sekali sampai ke bawah punggungnya, rambut yang hitam dan gemuk. Saking gemasnya ia mulai menangis! Mudah saja gadis ini mengucurkan air mata yang membasahi kedua pipinya.

Tiba-tiba ia mendengar suara monyet itu cecowetan tidak karuan dan ketika ia mengangkat muka memandang monyet yang duduk di atas cabang pohon itu, seketika itu juga gadis yang tadi masih menangis ini lalu tertawa terkekeh-kekeh! Ia melihat monyet itu mencoba untuk memakai pita merah di kepalanya! Pemandangan ini memang amat lucu dan orang yang melihat tingkahnya yang nakal tentu akan tertawa akan tetapi orang itu akan lebih heran melihat sikap gadis cantik manis ini yang dapat menangis lalu tertawa pada saat itu juga, tertawa terkekeh dengan geli hati selagi air matanya masih membasahi pipinya!

Namun, pemandangan lucu itu agaknya telah mengusir kemarahan dan kejengkelannya, ia mengamang-amangkan tinjunya yang kecil ke atas sambil berkata.

“Siauw-ong, kalau kau tidak mau kembalikan pitaku, akan kulaporkan pada Sin-ko!”

Aneh, mendengar disebutnya “Sin-ko” (kakak Sin) ini, tiba-tiba monyet itu nampak ketakutan, cepat-cepat ia merayap turun dan kedua tangan diulurkan dan tubuh membungkuk seperti orang menghormat, ia sodorkan pita itu kepada pemiliknya! Gadis itu menerima pitanya dan mengelus-­elus kepala monyet nakal itu. Dia amat cinta kepada monyet ini, kawan bermainnya semenjak kecil di samping kakaknya.

Tentu pembaca sudah dapat menduga siapa adanya gadis cantik lincah, mudah menangis mudah tertawa ini. Dia adalah Cia Bi Eng, puteri Cia Sun yang baru berusia tiga bulan ketika ayah bundanya meninggal dalam keadaan yang amat mengerikan. Semenjak itu dia dan kakaknya, Cia Han Sin, dirawat dengan amat teliti dan penuh kasih sayang oleh uwak Lui.

Ketika Bi Eng baru berusia setengah tahun, beberapa bulan semenjak peristiwa mengerikan itu terjadi di puncak Min-san, pada suatu hari Lim-ong monyet betina tua datang terhuyung-huyung menggendong seekor monyet kecil. Ia menurunkan monyet kecil itu di dekat Han Sin, kemudian monyet tua itu roboh, berkelonjotan dan ...... mati! Uwak Lui menangis melihat ini karena monyet itu adalah peliharaan Cia Sun yang amat disayang.

Semenjak monyet itu mencuri huncwe, ia tidak kelihatan lagi dan pada hari itu ia datang-datang membawa seekor monyet jantan kecil dan mati di situ. Bangkai monyet itu dikubur tidak jauh dari makam Cia Sun dan isterinya, sedangkan monyet kecil itu lalu menjadi kawan bermain Han Sin dan Bi Eng. Uwak Lui memberinya nama Siauw-ong (raja kecil) untuk disesuaikan dengan nama monyet tua Lim-ong (raja hutan).

Uwak Lui menganggap dua orang anak itu seperti anaknya sendiri. Ia merawat mereka penuh kasih sayang, malah dengan bayaran mahal ia mendatangkan seorang guru untuk mengajar mereka. Semenjak kecil, Han Sin, ternyata amat suka membaca buku, terutama cerita-cerita kuno dan kitab-­kitab filsafat amat menarik hatinya. Sampai jengkel uwak Lui harus memenuhi permintaannya, mencari dan membeli kitab-kitab itu.

Baik ada Thio sianseng, guru anak-anak itu yang sebetulnya adalah seorang terpelajar, seorang siucai yang tinggal di kampung dan tidak mau menerima jabatan pemerintah yang diam-diam dibencinya. Memang hanya orang-orang yang berjiwa rendah saja yang tidak membenci pemerintah penjajahan seperti pemerintah Boan-cu pada waktu itu. Lima tahun kemudian setelah dua orang anak itu cukup pandai membaca menulis sehingga tidak ada yang harus diajarkan lagi, Thio sianseng meninggalkan puncak itu.

Han Sin benar-benar luar biasa. Ia amat tekun membaca kitab-kitab. Bahkan kitab-kitab filsafat yang berat-berat, yang akan memusingkan otak orang-orang tua kalau membacanya, telah ia baca dan renungkan di waktu ia baru berusia belasan tahun! Ia tekun sekali dan inilah keistimewaannya, berbeda dengan Bi Eng yang tidak sabaran belajar, gadis lincah gembira yang suka bermain di udara bebas, tidak seperti Han Sin yang mengeram diri di dalam kamarnya, berkawan puluhan kitab-kitabnya!

Selain suka membaca kitab, juga Han Sin wataknya pendiam, sabar, namun di dalam diamnya ini ada semacam pengaruh dan wibawa yang amat kuat dalam sinar mata maupun suaranya yang halus. Bi Eng amat bengal, tidak takut siapa-siapa, bahkan uwak Lui seringkali dibantahnya, apalagi pelayan-pelayan lain. Akan tetapi menghadapi kakaknya yang amat dicintainya itu, ia amat penurut. Uwak Lui sendiri amat menghormat tuan muda Han Sin yang selamanya tidak pernah bohong, tidak pernah menjengkelkan hatinya karena sikapnya yang halus dan sopan, dan tidak banyak rewel.

Jangankan manusia, bahkan seekor binatang kera seperti Siauw-ong, yang seperti juga Bi Eng tidak takuti siapa-siapa, menghadapi Han Sin menjadi mati kutunya, amat takut dan amat taat. Mungkin pengaruh dan wibawa yang keluar dari diri Han Sin itu tidak hanya karena pembawaan pribadinya, akan tetapi adalah karena ia suka sekali bersiulian (bersamadhi) yang ia pelajari menurut petunjuk kitab-kitab kuno itu. Dengan latihan siulian yang tanpa kenal lelah, secara tidak disadarinya Han Sin telah melatih tenaga dalam dan tenaga batinnya, mempunyai hawa tian-tan yang kuat dan darahnya mengalir bersih sedangkan tulang-tulangnya menjadi kuat dan bersih pula.

Sebetulnya Han Sin orangnya juga amat peramah, mudah tersenyum jarang bermuram, apalagi marah. Akan tetapi perasaan hatinya tidak pernah tergores pada mukanya yang amat tampan itu, selalu tenang, sabar dan tak banyak cakap.

Itulah sebabnya mengapa Bi Eng lebih sering bermain-main dengan Siauw-ong, monyet itu. Dan di dalam pergaulan sehari-hari ini terdapat suatu keanehan. Seringkali Bi Eng melihat Siauw-ong mencak-mencak seperti orang main silat, memukul sana sini dan kakinya bergeser ke sana sini secara teratur. Ia menamakan ini “tari monyet” dan sebagai seorang anak yang tidak mempunyai kawan lain, iapun meniru-niru tarian monyet ini, meniru-niru gerak gerik Siauw-ong, memukul ke sana ke mari, menggeser kaki ke sana ke sini, malah kadang-kadang meniru-niru tarikan muka monyet itu, memoncong-moncongkan mulutnya yang mungil, malah meniru suara monyet yang cecowetan tidak karuan itu. Dasar Bi Eng bocah centil dan lincah.

Ia sama sekali tidak tahu bahwa itulah gerakan ilmu silat keluarga Cia yaitu ilmu silat Thian-te-kun! Monyet kecil itu dahulu meniru-niru gerakan yang suka “dimainkan” oleh Lim-ong dan sekarang Bi-eng malah belajar ilmu silat keturunan keluarganya dari monyet kecil itu! Benar-benar hal yang amat aneh. Sudah tentu saja gerakan-gerakan ilmu silat itu sudah kacau tidak karuan dan sudah menyeleweng jauh dari pada gerakan aslinya, namun tetap saja masih memperlihatkan kelincahan dan kecepatan yang membuat monyet kecil itu memiliki kecepatan melebihi monyet lainnya.

Ternyata bahwa pengemis aneh dahulu itu, Ciu-ong Mo-kai, agaknya melupakan janjinya karena selama belasan tahun itu baru dua kali ia mengunjungi puncak Min-san. Yang terakhir ketika Han Sin berusia sepuluh tahun dan Bi Eng berusia delapan tahun. Dua orang anak itu menyebutnya “Taisu”, ikut-ikut sebutan yang dipergunakan oleh uwak Lui kepada pengemis tua itu. Mereka hanya mengenal pengemis itu sebagai “guru besar” yang amat ditakuti oleh Uwak Lui

Setelah dua orang anak itu berusia belasan tahun, baru uwak Lui bercerita kepada mereka tentang kematian ayah bunda mereka. Dua orang anak itu menangis sedih mendengar cerita itu. Akan tetapi ada perbedaan besar antara Han Sin dan Bi Eng ketika mendengar bahwa orang tua mereka mati terbunuh orang yang tidak ketahuan siapa. Han Sin hanya menarik napas panjang dan berkata,

“Bagaimana di dunia ini ada orang begitu jahatnya membunuh ayah dan ibu? Apa kesalahan ayah dan ibu?”

Sebaliknya Bi Eng berdiri dengan kedua tangan terkepal, mukanya merah dan matanya mendelik. “Aku harus mencari penjahat-penjahat pembunuh ayah ibu! Mereka itu harus dihancurkan kepalanya!”

Han Sin memandang adiknya dengan mata penuh teguran, “Bi Eng, apa yang kau katakan itu?”

Bi Eng sadar kembali dan menundukkan mukanya. Air mata mengalir di sepanjang pipinya.

“Sin­ko, ayah ibu dibunuh orang, apakah kita akan diam saja?”

Han Sin memeluk adiknya dan menghapus air mata dari pipi adiknya itu, “Percayalah, adikku. Orang yang jahat akhirnya tentu akan menerima hukumannya!”

Demikianlah, sampai berusia lima belas tahun, Bi Eng selalu masih tetap panas hatinya kalau teringat akan kematian ayah bundanya. Tidak ada cita-cita lain di dalam hatinya melainkan mencari musuh-musuh itu dan membalas dendam. Sebaliknya, Han Sin lebih banyak bersembunyi di dalam kamarnya dan tak seorangpun tahu apa yang dilakukan orang muda pendiam itu.

Kita kembali ke dalam taman di belakang gedung, di mana Bi Eng bermain-main dengan Siauw­ong. Sampai hampir satu jam monyet dan gadis itu mencak-mencak di bawah pohon. Akhirnya Bi Eng menjadi lelah dan jemu. Ia berhenti, duduk di atas sebuah batu putih dan mengikatkan pita pada rambutnya.

“Siauw-ong, ah, aku lelah sekali .....!” katanya sambil tersenyum, manis sekali. Monyet kecil itu masih saja mencak-mencak sambil cecowetan, agaknya gembira bukan main.

Tiba-tiba ada sinar putih melayang, menyambar ke arah gadis yang masih duduk dan menyusuti peluh dari lehernya dengan sehelai saputangan itu.

“Awas ular!” terdengar seruan orang dan pandang mata Bi Eng yang awas memang tadi melihat sinar putih itu belang-belang hitam seperti seekor ular yang menyambar ke arah kepalanya. Karena ia seringkali melakukan “tari monyet”, otomatis kepalanya mengelak dan ular yang menyambarnya itu tidak mengenainya. Ular belang itu terus merayap dan merambat ke pohon yang tumbuh di situ.

“Aneh .... heran sekali .....! dari mana kau belajar semua ini?” terdengar suara yang tadi berseru dan dari balik batu muncullah Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa.

Untuk sesaat Bi Eng berdiri bingung. Memang ia masih terkejut karena diserang ular tadi dan sekarang tahu-tahu di depannya berdiri seorang pengemis tua yang memegang tempat arak sambil tertawa-tawa. Ia bertemu dengan pengemis tua ini ketika ia berusia sepuluh tahun, akan tetapi karena keadaan pengemis yang amat aneh ini, ia masih teringat.

“Taisu ......,” katanya perlahan.

“Ah, kau Bi Eng,” Ciu-ong Mo-kai mengangguk-angguk. “Bagus,! Bagus! Tidak keliru pandanganku dahulu. Kau berbakat baik sekali dan kiranya sekarang sudah terlampau lambat aku membuang-buang waktu. Mulai saat ini kau harus rajin-rajin belajar ilmu silat yang hendak kuturunkan semua padamu.”

Bi Eng sudah dapat menenangkan pikirannya dan ia kini memandang kepada pengemis itu dengan mata terbelalak.

“Apa .... apa katamu? Menjadi muridmu ......?”

Ciu-ong Mo-kai mengangguk lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya. Heran sekali, belasan tahun telah lewat namun tidak kelihatan ada perubahan sedikitpun juga pada diri pengemis tua ini. Padahal dalam waktu belasan tahun itu telah terjadi banyak sekali hal kepadanya dan di dunia kang-ouw telah mengalami perubahan hebat. Selain itu, juga kakek jembel ini telah mempertinggi ilmu kepandaiannya sehingga kalau dibandingkan dengan lima belas tahun yang lalu, tingkat kepandaiannya sudah naik dua tiga tingkat lagi.

Bi Eng menatap pengemis itu dengan matanya yang bagus, dipandangi kakek itu dari kanan kiri, dari atas bawah dan tiba-tiba ia tertawa terkekeh sambil menutupi mulutnya dengan punggung tangan.

“Hik hik hik ....!”

Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya dan berusaha membuka matanya yang sipit itu selebar mungkin.

“Kau .... kaukah yang tertawa tadi?”

SAMBIL menahan tawanya Bi Eng mengangguk, matanya berseri nakal. Dari belakang batu besar terdengar suara ketawa lain, suara ketawa cecowetan dari monyet kecil! Tadi ketika ada ular menyambar, monyet ini yang paling takut terhadap ular, sudah lari tunggang langgang bersembunyi di balik batu besar. Baru setelah mendengar Bi Eng tertawa, monyet ini berani muncul!

Ciu-ong Mo-kai makin penasaran. Dia, tokoh terbesar dari selatan yang dianggap raja oleh puluhan ribu pengemis, sekarang ditertawakan seenaknya oleh seorang gadis muda dan monyetnya.

“Apa-apaan kau tertawa?” bentaknya.

Sambil menahan geli hatinya, Bi Eng menjawab,

“Taisu yang baik, apakah aku mau kau hajar ........ mengemis dan minum arak?”

Ciu-ong Mo-kai membelalakkan matanya lagi dan sudah siap-siap hendak memaki marah kepada bocah yang dianggapnya kurang ajar sekali itu. Akan tetapi melihat senyum yang wajar, sinar mata yang penuh kejujuran memandang kepadanya, tahulah ia bahwa gadis itu tidak berpura-pura, melainkan bicara sejujurnya. Sebaliknya dari marah, ia lalu tertawa bergelak sambil menenggak araknya lagi dari guci arak.

Tiba-tiba ia menoleh dan mulutnya menyemburkan arak dari mulutnya. Ular belang yang tadi naik ke pohon, dan pada saat itu merayap turun lagi terkena semburan arak itu dan jatuh dengan kepala hilang karena kepala itu telah hancur terkena semburan arak!

Tentu saja Bi Eng menjadi heran dan kaget sampai mengeluarkan seruan kecil. Ciu-ong Mo-kai berpaling kepadanya.

“Ha ha ha, Bi Eng anak baik, apa katamu sekarang?”

Akan tetapi gadis itu menggeleng kepalanya yang cantik. “Taisu, aku tidak suka belajar membunuh ular. Apa sih artinya membunuh ular, apalagi kalau menggunakan arak? Melihat ularnya aku jijik, minum araknyapun tidak suka.”

Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kata-kata ini menunjukkan bahwa Bi Eng memang sama sekali tidak tahu akan ilmu silat. Bagi yang mengerti akan ilmu silat, tentu saja demonstrasi membunuh ular dengan semburan arak itu sudah cukup membuktikan bahwa pengemis tua ini memang lihai sekali.

“Ha ha, bocah bodoh. Kau kira kebisaanku hanya minum arak dan membunuh ular belaka? Lihat ini?” Ia melangkah maju dan sekali kakinya terayun, batu hitam di belakangnya yang sebesar gentong dan beratnya tidak kurang dari lima ratus kati telah ditendangnya sampai terlempar sejauh lima tombak lebih! “Apa kau tidak ingin memiliki kepandaian seperti ini?”

Bi Eng membelalakkan matanya. “Untuk apa? Batu baik-baik ditempatnya kok ditendang pergi! Aku tidak mau melakukan hal itu, tiada gunanya, malah merusak taman yang indah.”

Untuk sejenak Ciu-ong Mo-kai tercengang. Tak disangkanya gadis yang lincah gembira ini demikian polosnya. Kembali ia mendemonstrasikan tenaganya. Dengan telapak tangan kiri, ditamparnya batu putih sampai hancur berkeping-keping.

“Ahaiii ..... kau kuat sekali, taisu. Akan tetapi aku tidak mau menjadi tukang pukul batu.”

Ciu-ong Mo-kai sampai hampir menangis saking jengkelnya. Mukanya menjadi merah dan diminumnya araknya sampai ia tersedak-sedak.

“Bocah gemblung, bocah goblok! Kau berbakat baik tapi buta. Seribu orang ngimpi-ngimpi ingin menjadi muridku, semua kutolak. Akan tetapi kau malah mentertawakan aku, setan!”

“Aku tidak mentertawakan kau, taisu. Jangan kau marah, ya? Cuma saja, untuk apa aku menjadi muridmu kalau hanya diberi pelajaran membunuh ular, menendang batu hitam dan memukul hancur batu putih?” Pertanyaan ini keluar dari hati yang polos dan begitu jujur sehingga saking bingungnya Ciu-ong Mo-kai menjatuhkan diri di atas tanah, bengong tak tahu harus berkata apa.

“Laginya, taisu,” kata pula Bi Eng sambil ikut-ikutan duduk di atas tanah depan pengemis itu. “Menurut kata Sin-ko, orang belajar ilmu silat hanya mendatangkan malapetaka, menimbulkan kerusuhan dan membuat orang jadi suka berkelahi saja. Tidak baik menurut kata Sin-ko dan Sin-ko memang benar.”

Ciu-ong Mo-kai melongo. “Mengapa benar?”

Gadis itu menggoyang pundak. “Sin-ko selalu memang benar.”

“Siapa itu Sin-ko?” tanya pula kakek itu penuh curiga. Jangan-jangan ada orang luar yang mempengaruhi anak ini, pikirnya. Kalau benar begitu, harus kuhajar!

“Sin-ko adalah kakakku, masa taisu sudah lupa lagi?

Ciu-ong Mo-kai makin terheran. “Kau maksudkan Cia Han Sin?”

Melihat gadis itu mengangguk, ia bengong. Bagaimana putera Cia Sun, cucu pahlawan besar Cia Hui Gan, keturunan orang-orang gagah yang menggegerkan dunia kang-ouw, seorang pemuda pula, bisa bicara seperti itu? Apakah sudah lupa akan ayah bundanya yang terbunuh orang? Teringat akan ini, tiba-tiba ia mendapatkan jalan untuk menggerakkan hati gadis ini agar suka menjadi muridnya.

“Eh, Bi Eng. Tahukah kau kenapa ayah bundamu mati?”

Bi Eng memandang dengan matanya yang tajam dan diam-diam Ciu-ong Mo-kai kagum dan terkejut juga melihat sepasang mata yang luar biasa tajam dan liarnya ini.

“Kata uwak Lui, ayah dan ibu mati dibunuh orang,” jawabnya dan dalam suaranya terkandung kemarahan yang ditahan-tahan. “Hanya belum diketahui siapa-siapa penjahat –penjahat celaka itu.”

Mendengar suara ini, Ciu-ong Mo-kai melompat berdiri dan menari girang. Ternyata gadis ini mengandung dendam yang hebat akan kematian ayah bundanya! “Nah, ..... nah .... anak baik. Apakah kau tidak ingin mencari pembunuh-pembunuh ayah bundamu dan membalas dendam?”

“Siapa mereka?” Tiba-tiba Bi Eng juga meloncat bangun dan lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai terkejut melihat betapa gerakan gadis itu amat cepat dan ringan, terlalu cepat bagi seorang gadis yang tak pernah belajar silat. Tadipun ketika melihat gadis ini menari-nari dengan monyet kecil, ia sudah terheran karena mengenal dasar-dasar ilmu silat keluarga Cia. Tadi dialah yang menyambit dengan ular sambil memberi peringatan karena hendak menguji dan betul saja, gadis itu cukup lincah untuk mengelak.

“Siapa mereka bisa dicari. Akan tetapi tahukah bahwa siapapun juga mereka itu, mereka adalah orang-orang yang amat lihai dan kau hanya akan mengantar nyawa kalau kau tidak memiliki kepandaian silat tinggi! Ayoh, sekarang jawab. Mau tidak kau menjadi muridku? Aku akan memberi pelajaran ilmu silat sehingga kelak kalau kau bisa mendapatkan musuh-musuh besar itu kau dapat membalas dendam atas kematian ayah bundamu!”

Bi Eng menundukkan mukanya. Benar juga ucapan kakek ini. Kalau orang sudah bisa membunuh ular begitu gampang, menendang dan memukul batu, tentu ia memiliki tenaga besar. Kalau dia bisa memiliki tenaga seperti itu, kelak kepala orang-orang yang membunuh ayah bundanya akan dapat ia hancurkan.

“Aku mau, taisu, akan tetapi .........!”

“Tapi apa lagi?” Ciu-ong Mo-kai tak sabar.

Bi Eng menoleh ke belakang. “Siauw-ong, ke sinilah kau!” serunya dan monyet kecil itu yang sejak tadi mengintai dari balik batu besar, mendengar panggilan Bi Eng barulah berani keluar dan berindap-indap menuju ke tempat itu.

“Taisu, aku mau jadi muridmu belajar silat asal Siauw-ong juga kau terima menjadi muridmu.”

Pengemis tua itu melengak, akan tetapi melihat monyet itu atas isyarat Bi Eng lalu menjatuhkan diri berlutut dan manggut-manggut di depannya, ia tersenyum. “Baiklah, dia boleh belajar mengawanimu, akan tetapi aku tidak mau menjadi gurunya.”

Bi Eng berseri wajahnya. “Asal dia boleh sama-sama belajar, cukuplah, Dan lagi ........”

“Masih ada lagi?” Ciu-ong Mo-kai membentak jengkel. “Ayoh katakan, syarat gila apalagi yang hendak kau ajukan? Benar-benar runyam, bukan gurunya yang mengajukan syarat, malah muridnya. Murid macam apa kau ini?”

“Taisu, kalau aku belajar ilmu silat, Sin-ko juga harus belajar. Apa lagi dia laki-laki, dia harus menjadi muridmu pula.”

Ciu-ong Mo-kai ragu-ragu. Memang sudah sepatutnya kalau ia memberi pelajaran pula kepada puteranya Cia Sun itu, akan tetapi sebetulnya dahulu ia mengharapkan Cia Han Sin akan menjadi ahli waris ilmu silat keluarga Cia. Ia lebih suka kepada Bi Eng, merasa lebih berjodoh menjadi guru anak ini. Semenjak Bi Eng masih bayi perasaan ini sudah berada dihatinya.

“Hemm, terserah padanya. Boleh saja kalau dia suka. Sebetulnya kau lebih berjodoh menjadi muridku,” jawabnya lalu menegak araknya.

“Taisuhu, kau hendak mengajar ilmu silat kepada Bi Eng untuk apa?” tiba-tiba terdengar suara dan muncullah Han Sin sambil membawa sebuah kitab tebal.

“Sin-ko kau di sini juga? Lihat, taisuhu hendak mengajar kita. Dia kuat sekali, Sin-ko. Ular dibunuhnya dengan semburan arak, batu-batu besar ditendang jauh dan dipukul hancur,” kata Bi Eng dengan wajah girang sambil menghampiri kakaknya dan menggandeng tangan kanan kakaknya dengan penuh kasih sayang.

Ciu-ong Mo-kai menurunkan guci araknya mendengar teguran tadi dan ia menengok. Dilihatnya bahwa Han Sin telah menjadi seorang pemuda tanggung yang bertubuh tinggi sedang, malah agak kurus, wajahnya tampan sekali dan mulutnya tersenyum tenang. Akan tetapi ketika pandang mata pengemis tua ini bertemu dengan pandang mata Han Sin, Ciu-ong Mo-kai terkejut sekali. Tadi ia sudah kagum melihat sinar mata Bi Eng yang amat tajam, akan tetapi sekarang bertemu pandang dengan pemuda ini, ia merasa seakan-akan matanya pedas dan terpaksa ia mengejap-ngejapkan mata karena tidak tahan lagi.

“Ayaaa ........! serunya perlahan. Mata seperti itu hanya dimiliki orang yang sudah mencapai tingkat tertinggi dalam ilmu lweekang! Ia teringat akan ini dan kembali ia menggunakan kekuatan matanya menatap wajah dan sinar mata pemuda itu. Ia melihat pemuda itu memandangnya tenang saja, akan tetapi mata itu! Mata itu mencorong dan mengandung daya kekuatan yang luar biasa sekali, membuat Ciu-ong Mo-kai sampai menitikkan dua airmata ketika ia bertahan untuk tidak berkejap! Akhirnya ia tundukkan mukanya dengan penuh keheranan dan untuk menutupi perasaannya yang terguncang, pengemis itu menenggak lagi araknya.

“Sin-ko, taisu hendak mengajar ilmu silat kepada kita agar kita memiliki kepandaian untuk kelak mencari pembunuh-pembunuh ayah-ibu dan membalas dendam!” terdengar lagi ucapan Bi Eng penuh gairah dan mata yang bening itu memandang wajah kakaknya dengan seri gembira.

Han Sin menarik napas panjang dan mengelus-elus pundak adiknya. “Eng-moi, hanya jurang kesengsaraanlah yang dituju oleh langkah kaki yang terikat oleh dendam dan benci. Pembunuh-­pembunuh orang tua kita memang telah melakukan perbuatan yang jahat dan buruk. Akan tetapi bukan kita hakimnya. Biarlah hidup mereka kelak menjadi hakim bagi mereka sendiri.”

Ciu-ong Mo-kai melongo mendengar ucapan yang bagi Bi Eng sudah tidak asing lagi itu. Memang biasa Han Sin bicara penuh kesabaran, penuh filsafat-filsafat dari kitab-kitabnya. Ketika Ciu-ong Mo-kai melirik ke arah kitab di tangan pemuda itu, tahulah ia bahwa saking banyak membaca kitab tanpa ada yang memberi petunjuk, agaknya pemuda ini telah menjadi kutu buku dan jalan pikirannya terkurung seluas lembaran-lembaran bukunya saja.

“Omongan apa itu?” bentaknya. “Pembunuh adalah orang jahat dan kiranya bukan orang tua-tua kalian saja terbunuh, penjahat-penjahat harus dibasmi dan kalau tidak memiliki kepandaian, bagaimana bisa membasminya? Harimau tanpa gigi dan kuku, mana bisa menjaga kulitnya? Manusia tanpa kepandaian, apa bedanya dengan monyet? Han Sin, kau selalu tinggal di sini, tidak tahu keadaan di dunia ramai. Ketahuilah bahwa di sana, siapa lemah dia terhina.”

Han Sin memandang kepada pengemis tua itu dengan tenang dan tersenyum. “Taisu, maaf kalau aku terpaksa membantah pandangan taisu. Menurut pendapatku yang bodoh, membasmi kejahatan tak dapat dilakukan dengan kekerasan, melainkan dengan kebenaran dan cinta kasih. Harimau menjaga kulit dengan gigi dan kuku, akan tetapi manusia menjaga namanya dengan pribudi baik, bukan dengan pukulan dan tendangan. Orang terhina atau tidak bukan karena kepandaiannya, melainkan karena sikapnya, karena wataknya.”

Untuk sejenak mata pengemis itu terbelalak, kemudian ia tertawa bergelak. Suara ketawanya yang penuh tenaga khikang itu sampai bergema di seluruh puncak. Siauw-ong sampai lari terbirit-birit ketakutan sambil menutupi telinganya. Akan tetapi melihat betapa Han Sin dan Bi Eng tidak lari, iapun merayap-rayap kembali lagi sambil memandang ke arah pengemis itu dengan takut-takut.

“Ha ha ha ha! Kalau tidak melihat sendiri, aku takkan percaya bahwa ucapan ini keluar dari mulut putera keluarga Cia, cucu pahlawan rakyat Cia Hui Gan yang gagah perkasa, putera Cia Sun pendekar budiman yang terkenal di seluruh dunia! Lebih pantas keluar dari mulut seorang hwesio yang alim. Ha ha ha!”

“Taisu, omongan Sin-ko adalah betul sekali. Kenapa kau mentertawainya?” Bi Eng membela kakaknya. Ia amat cinta kepada kakaknya ini, maka tidak senang ia melihat kakaknya ditertawai orang.

“Cia Han Sin, lihat baik-baik. Adikmu ini lebih wajar, lebih gagah menuruni sifat keluargamu. Melihat kakaknya diserang oleh tertawaan, ia sudah marah dan hendak membela. Andaikata kau diserang orang jahat dengan pukulan, bagaimana adikmu akan membelamu kalau dia tidak mempunyai kepandaian silat?”

“Adikku pemarah, harap taisu maafkan,” kata Han Sin merendah.

Lanjut ke jilid 008 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment