Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 008

◄◄◄◄ Kembali

“Sayang ..... kau anak baik terlalu tenggelam di antara kitab-kitabmu. Orang sabar dan mengalah adalah baik sekali. Akan tetapi kalau berlebihan, ada bahayanya menjadi pengecut dan menjadi orang yang tidak tahu akan harga diri dan kehormatan. Han Sin, kalau semua orang baik seperti kau sikapnya, mana bisa muncul patriot-patriot, mana bisa muncul orang-orang gagah, dan mana bisa negara dan bangsa menjadi kuat? Mengelus dada menerima nasib mengandalkan kesabaran dan mengalah bukanlah laku yang budiman! Melihat orang jahat tanpa berusaha membasminya, sama saja dengan membantu orang jahat itu! Rakyat kita sengsara, apa lagi pada waktu ini sedang ditindas oleh pemerintah penjajah. Kalau tidak ada orang-orang gagah yang membela mereka, siapa lagi? Para dewata takkan mampu mengangkut mereka dari lembah kesengsaraan.”

Han Sin mengerutkan kening. Inilah kata-kata baru yang belum pernah ia jumpai dalam kitab-­kitabnya. Akan tetapi ia tidak membantah, hanya mendengarkan terus dan sepasang matanya yang luar biasa itu menatap wajah Ciu-ong Mo-kai yang tidak kuat lama-lama menentang pandang matanya.

“Memang tidak seharusnya orang yang berkepandaian itu berlaku sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Akan tetapi, mengalah dan sabarpun ada batasnya dan harus lihat-lihat kepada siapa kita berhadapan. Kalau kau melihat rakyat dirampoki para penjahat yang mengandalkan ketajaman golok dan kekerasan tangan, apa yang hendak kau perbuat? Apakah kau akan mendatangi perampok-perampok itu dan menggunakan kata-kata indah berfilsafat yang kau petik dari kitab-­kitabmu? Ah, kau akan ditertawai, malah mungkin akan dibacok mati. Menghadapi kejahatan seperti itu, jalan satu-satunya hanyalah membasmi mereka dan untuk dapat melakukan ini, kau harus memiliki kepandaian silat untuk melawan mereka, kau masih dapat membujuk mereka untuk kembali ke jalan yang benar. Akan tetapi, tanpa mengalahkan dulu mereka, mana mereka sudi menurut nasehatmu?”

Han Sin memiliki kecerdikan yang luar biasa. Memang selama belasan tahun ini ia mengeram diri dalam kamar bersama kitab-kitabnya, maka alam pikirannya seluruhnya dipengaruhi oleh filsafat-­filsafat kuno. Akan tetapi setelah mendengar ucapan Ciu-ong Mo-kai sebentar saja ia sudah dapat menangkap isinya dan dapat membenarkannya.

“Baiklah, moi-moi. Kau boleh belajar ilmu silat dari taisu,” katanya sambil memegang lengan adiknya.

“Siauw-ong juga,” adiknya berkata manis.

“Siauw-ong? Han Sin tersenyum. “Tanpa belajar ia sudah pandai bersilat.”

“Dan kau juga, koko,” kata Bi Eng manja sambil menarik tangan kakaknya.

“Aku ........?”

“Ya, kalau kau tidak mau, akupun tidak mau.”

Han Sin kewalahan. Ia sudah menyetujui adiknya belajar silat. Kalau dia menolak, berarti dia menarik kembali persetujuannya.

“Baiklah, baiklah, Aku akan mencatat semua pelajaran itu.”

Pada saat itu, Siauw-ong sibuk mencokel-cokel tanah di belakang batu hitam yang besar. Dia tadi melihat seekor jengkerik di belakang batu. Ketika hendak ditangkap, jengkerik itu masuk ke dalam lubang dan dicokel-cokelnya tanah untuk menangkap jengkerik. Batu besar itu berada di tanah yang miring dan tidak disangka sama sekali ketika bawahnya dicokel-cokel, tiba-tiba batu itu menggelinding turun dan akan menimpa monyet itu.

Siauw-ong memekik keras dan cepat meloncat lari. Celakanya, ia lari ke bagian bawah sehingga terus dikejar batu besar yang menggelinding cepat sekali.

Han Sin berada terdekat dari tempat itu. Pemuda ini, di luar sangkaan sama sekali dan amat mengejutkan hati Ciu-ong, melompat ke depan dan tangan kanannya mendorong batu besar yang sedang menggelinding cepat mengejar Siauw-ong.

“Han Sin, jangan!” Ciu-ong Mo-kai berseru keras mencegah karena ia maklum bahwa batu besar yang menggelinding itu mengandung tenaga ratusan kati dan Han Sin pemuda lemah itu tentu akan patah tulang lengannya kalau berani mendorong untuk mencoba menolong monyet itu. Sambil berseru mencegah iapun berkelebat ke arah batu itu.

Bukan main herannya hati Ciu-ong Mo-kai ketika melihat betapa batu besar itu menggelimpang terlempar oleh dorongan kedua tangan Han Sin dan karenanya menyelamatkan Siauw-ong. Makin heran dan terkejut lagi hati pengemis tua itu ketika ia memukul batu itu, batu menjadi hancur dan ternyata bahwa di bagian dalam batu besar itu sudah remuk sebelum ia memukulnya! Hebat sekali! Benarkah Han Sin tidak hanya mendorong batu itu terpental, malah dengan dorongannya itu biarpun batu masih utuh akan tetapi di sebelah dalamnya sudah remuk? Tak mungkin! Untuk memukul hancur batu itu, dia Ciu-ong Mo-kai masih sanggup lakukan, akan tetapi mendorong batu begitu saja dan membikin remuk bagian dalam batu itu, hemmm, kiranya hanya dapat dilakukan oleh orang yang tenaga lweekangnya sudah hampir sempurna!

Selagi Ciu-ong Mo-kai tertegun menatap batu yang sudah hancur itu, tiba-tiba Bi Eng menjerit dan menangis. Ia cepat menengok dan melihat Han Sin sudah menggeletak pingsan, wajahnya pucat sekali! Bi Eng menubruk kakaknya, mengangkat kepala Han Sin ke atas pangkuan dan sambil menangis panik memanggil-manggil,

“Sin-ko ....! Sin-ko ...., kau kenapakah, Sinko? Bangunlah .......!”

“Bi Eng, tenanglah. Dia tidak apa-apa, coba kau lepaskan dan biarkan dia berbaring hendak ku periksa!” kata Ciu-ong Mo-kai dengan suara keren.

Bi Eng menurut, melepaskan kepala Han Sin dari atas pangkuannya dan ia berlutut di pinggir memandang dengan cemas.

Siauw-ong juga datang mendekat dan mengeluarkan bunyi lirih seperti orang menangis ketika melihat Han Sin tak bergerak, telentang pucat seperti mayat.

Ciu-ong Mo-kai menghampiri Han Sin dan melakukan pemeriksaan, menekan urat nadi dan meraba dada. Alangkah kagetnya ketika dari tubuh pemuda itu memancar hawa yang membuat ia tergetar dan terpaksa ia mengerahkan tenaga lweekangnya untuk menahan datangnya hawa yang merupakan tenaga dahsyat yang berbahaya itu. Ia lalu menekan pusar pemuda itu dan makin besar keheranannya. Ternyata pemuda ini memiliki kekuatan besar dalam tubuhnya. Hawa dalam tubuhnya panas dan kuat sekali. Jalan darahnya bersih dan tulang-tulangnya sempurna. Hebat! Dari mana pemuda ini bisa mendapatkan kekuatan seperti ini?

“Tenaga tian-tan di pusarnya telah terlatih kuat, malah ia sudah dapat memusatkan hawa dan jalan darahnya,” pikirnya terheran sambil meraba-raba. “Pantas saja tadi dorongannya dapat membikin remuk bagian dalam batu itu. Agaknya dia ini tanpa disengaja telah melatih diri dengan semacam lweekang yang mujizat dan ia menjadi seorang ahli lweekeh tanpa ia sadari sendiri. Karena dasarnya tidak terlatih dan ia tidak tahu cara mempergunakannya, maka tadi tenaga lweekang yang ia gunakan di luar kesadarannya dalam usahanya menolong monyet, membalik dan melukai dirinya sendiri.”

Sampai lama Ciu-ong Mo-kai termenung. Benar-benar telah terjadi sesuatu yang hebat. Putera keluarga Cia tanpa disadarinya sendiri telah memiliki modal ilmu kepandaian yang mujizat, dan anak ini sama sekali tidak suka akan ilmu silat. Aneh sekali. Dengan penuh ketelitian pengemis sakti itu lalu mengurut dada Han Sin, membuka jalan darah di sana sini untuk menormalkan kembali gunjangan hebat yang timbul dari tenaga dahsyat yang dikeluarkan oleh Han Sin tanpa disadarinya itu. Kemudian ia menghancurkan sebuah pil merah dengan arak dan menuangkan arak itu ke dalam mulut Han Sin.

Akhirnya pemuda itu siuman dan bangun sambil terbatuk-batuk. Begitu ingat lalu mencari monyetnya. Melihat Siauw-ong duduk di situ dengan muka sedih akan tetapi dalam keadaan selamat, Han Sin berkata perlahan.

“Berbahaya sekali batu itu, Siauw-ong. Lain kali jangan nakal kau. Untung kau tidak tertimpa batu.”

Saiuw-ong nampak girang, melompat dan duduk di pangkuan pemuda itu. Bi Eng juga girang. Dengan air mata berlinang ia memegang tangan kakaknya.

“Sin-ko, kau tadi pingsan dan baiknya ada taisu yang menolongmu sampai kau bisa sembuh kembali.”

Han Sin memandang kepada Ciu-ong dengan bertanya. Memang ia tidak ingat akan apa-apa yang terjadi dengan dirinya dan tidak tahu pula sebabnya ia sampai pingsan.

“Han Sin, sekali lagi terbukti bahwa pandanganku tentang ilmu silat lebih cocok. Kau tadi melihat Siauw-ong terancam bahaya, lalu cepat berusaha menolong dan mendorong batu .........”

“Bagaimana Siauw-ong bisa selamat?” Han Sin memotong, kini terheran setelah teringat semua akan peristiwa tadi.

“Kau mendorong batu malah roboh pingsan dan batu itu dipukul hancur oleh taisu,” kata Bi Eng.

“Nah, terbuktilah, Han Sin. Andaikata kau memiliki ilmu silat, tentu kau dapat menolong Siauw­ong atau siapa saja yang terancam bahaya, bukan? Juga, andaikata kau telah mempelajari ilmu silat, tentu kau takkan pingsan. Eh, apakah kau belum pernah belajar silat?” tanya Ciu-ong Mo-kai sambil menatap tajam dengan pandang mata mengukur dan menyelidik.

Han Sin menggeleng kepala. “Kesukaanku satu-satunya hanya belajar memahami kitab-kitab.” Kemudian ia bertanya, “Mengapa taisu bertanya begitu?”

“Karena kau memiliki keberanian dan kegagahan, tidak mengenal tenaga sendiri dengan nekat mendorong batu untuk menolong Siauw-ong,” jawab Ciu-ong menyimpang dan memancing.

“Aku ngeri dan kasihan melihat Siauw-ong akan tertimpa batu, maka tanpa ingat kelemahan sendiri aku berusaha menolongnya,” jawab Han Sin dan ucapan ini demikian sungguh-sungguh sehingga kini yakinlah Ciu-ong Mo-kai bahwa pemuda ini memang betul-betul tidak mengerti bahwa dia mempunyai tenaga lweekang dan hawa sakti (Sin-kang) di dalam tubuhnya yang mujizat.

Tiba-tiba Siauw-ong mengeluarkan seruan seperti ketakutan dan Ciu-ong Mo-kai yang sudah memiliki pendengaran tajam sekali menangkap suara beberapa orang mendaki puncak itu. Siauw­ong dapat mencium bau mereka dan Ciu-ong dapat menangkap tindakan kaki mereka. Han Sin dan Bi Eng tidak mendengar apa-apa maka mereka heran melihat Siauw-ong cecowetan seperti ketakutan.

“Ada orang datang, “ kata Ciu-ong dan mereka semua berdiri. Siauw-ong segera meloncat ke pundak Han Sin sambil menyembunyikan mukanya di belakang kepala pemuda itu.

Betul saja, tak lama kemudian muncullah tiga orang laki-laki dari balik batu-batu putih. Mereka ini adalah tiga orang yang bertubuh tinggi besar, bermuka gagah dan kepala mereka terbungkus kain panjang yang dilibat-libatkan. Di Punggung mereka tampak gagang pedang dengan ronce-ronce merah.

Begitu tiba di situ, tiga orang itu memandang ke arah Cia Han Sin dan Cia Bi Eng dengan pandang mata tajam menyelidiki, lalu melirik tak acuh kepada pengemis tua, kemudian sekilas mereka memandang ke arah gedung besar keluarga Cia.

Han Sin sebagai tuan rumah, segera melangkah maju dan menuju kepada tiga orang laki-laki asing itu.

“Sam-wi datang ke sini hendak mencari siapakah?” Suaranya tenang dan penuh hormat.

Tiga orang itu saling pandang, lalu bicara pendek dalam bahasa yang tidak mengerti oleh Bi Eng maupun Ciu-ong Mo-kai. Akan tetapi, alangkah kagetnya Ciu-ong Mo-kai ketika Han Sin menjawab orang-orang itu dengan bahasa asing yang sama! Ternyata bahwa orang-orang itu adalah bangsa Hui yang bicara dalam bahasa Hui.

Han Sin ketika “bertapa” di dalam kamarnya selama belasan tahun ini, tidak saja mempelajari filsafat dari kitab-kitab kuno, juga ia telah mempelajari bahasa-bahasa asing yang macam-macam, diantaranya bahasa Hui. Tentu saja Bi Eng tidak merasa heran karena ia sudah tahu dan percaya penuh akan kepintaran kakaknya yang dianggapnya bisa segala itu! Maka ia memandang dengan kagum dan bangga.

Tiga orang Hui nampak tercengang akan tetapi seorang di antara mereka yang berkumis pendek lalu berkata dalam bahasa Han yang kaku dan lambat, “Hemm, kiranya kau mengerti juga bahasa kami? Kalau begitu, tak usah kami memperkenalkan diri lagi. Kami memang bangsa Hui dan kedatangan kami ini hendak mencari anak-anak keturunan Cia Sun.”

Mendengar ini, Bi Eng melangkah maju dan berkata gembira, “Akulah anak Cia Sun, dia ini yang pintar adalah kakakku, namanya Cia Han Sin dan aku bernama Cia Bi Eng. Kakek ini adalah guru kami, namanya ...... namanya ..... biasanya disebut taisu!” Bi Eng memang belum tahu nama gurunya.

Wajah tiga orang berubah, kelihatan beringas. Yang berkumis pendek kini menoleh dan menghadapi Ciu-ong Mo-kai dengan sikap mengancam. Karena diperkenalkan sebagai guru dua orang anak itu, kini ia tidak memandang tak acuh lagi.

Kawan-kawan, tangkap dua anak kambing itu, biar aku mengusir anjing gembala ini!” katanya. Karena ia bicara dalam bahasa Hui, Ciu-ong Mo-kai tidak mengerti artinya, akan tetapi ia sudah siap siaga maka ketika si kumis itu menerjangnya dengan pedang dihunus, ia dapat mengelak dengan mudah. Dari sambaran pedang ia mendapat kenyataan bahwa orang Hui ini lihai juga, maka pengemis sakti itu khawatir sekali akan keselamatan dua orang muridnya.

Ia menggerakkan guci araknya menangkis pedang sambil menyemburkan arak ke arah muka si kumis. Terdengar suara keras dan pedang itu terlepas jauh. Akan tetapi si kumis dapat mengelak dari serangan semburan arak dan tiba-tiba tangan kirinya melayang, memukul ke arah dada dengan telapak tangan dimiringkan. Pukulannya keras sekali dan angin pukulannya menunjukkan kekuatan lweekang yang hebat.

Ciu-ong Mo-kai mengangkat tangan menangkis. Dua lengan yang kuat bertemu dan si Kumis terlempar ke belakang, terhuyung-huyung dan mengeluh kesakitan.

Pada saat itu terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan ketika Ciu-ong Mo-kai memutar tubuh untuk menolong dua orang muridnya, ia melihat dua orang Hui yang hendak menangkap Han Sin dan Bi Eng, juga terlempar ke belakang, jatuh dan bangun lagi sambil memegangi tangan kanan mereka yang sudah patah-patah tulangnya.

Si Kumis berseru dalam bahasa Hui mengajak kawan-kawannya lari dan tanpa menoleh lagi ketiganya lari sifat kuping, meloncat-loncat di atas batu putih. Ciu-ong Mo-kai hendak mengejar, akan tetapi Han Sin menahan,

“Suhu, biarkanlah mereka pergi. Kelak mereka akan menyesal sendiri atas perbuatan-perbuatan mereka yang tidak selayaknya.”

Ciu-ong Mo-kai tertegun. Baru kali ini ia diperintah orang dan orang itu adalah ..... muridnya sendiri! Akan tetapi karena terlalu heran melihat dua orang tadi yang dari gerakan-gerakannya ia dapat menduga tidak kalah pandai dari pada si kumis, ternyata terpukul mundur sampai patah-patah tulangnya, ia segera menoleh dan menghampiri Han Sin.

“Yang dua orang tadi itu ..... bagaimana mereka tidak jadi menangkap kalian?” tanyanya.

Han Sin kelihatan bingung, tidak tahu harus menjawab bagaimana. Bi Eng yang tertawa geli sambil berkata,

“Suhu, dua orang itu adalah badut-badut yang lucu. Mereka tadinya hendak menangkap aku dan Sin-ko. Akan tetapi Sin-ko membentak mereka supaya jangan kurang ajar. Eh, dibentak begitu saja mereka lalu lari terbirit-birit. Entah ia takut akan bentakan Sin-ko ataukah takut melihat Siauw-ong dipundak Sin-ko meringis hendak menggigit mereka.”

“Han Sin, kau apakan mereka tadi?” tanya Ciu-ong kepada Han Sin, kini memandang tajam dan kembali timbul kecurigaannya kalau-kalau pemuda ini diam-diam menyimpan kepandaian yang dirahasiakan.

“Sesungguhnya tepat seperti yang diceritakan oleh Eng-moi, suhu. Teecu tidak berbuat apa-apa. Ketika melihat mereka menangkap moi-moi, teecu membentak mereka dan melarang mereka berbuat kurang ajar. Mereka malah seperti mencengkeram atau memukul ke arah lengan teecu yang melarang mereka. Entah mengapa, mereka lalu mundur dan lari.” Ketika bicara demikian, Han Sin melihat ke arah lengan kanannya yang tadi terpukul dan matanya terbelalak. Kiranya bajunya di bagian lengan sudah robek-robek dan hancur. “Eh, mereka malah merusak bajuku ........”

Ciu-ong Mo-kai melihat lengan pemuda yang berkulit halus dan putih itu sama sekali tidak terluka dan ia menarik napas panjang, penuh kekaguman. Benar-benar pemuda ini memiliki kesaktian hebat yang tidak diketahuinya sendiri. Ia sekarang mengerti. Tadi diwaktu menahan dan mendorong batu, pemuda yang belum mempunyai dasar ini terkena hawa pukulannya sendiri maka ia roboh pingsan. Sekarang, karena ia tidak menggunakan tenaga dan ada dua orang menyerangnya atau setidaknya hendak mencengkeram dengan tenaga lweekang, maka otomatis dua orang Hui itu menjadi korban tenaga mujizat dari lengan pemuda ini sehingga sekali bertemu saja tangan mereka sampai patah-­patah tulangnya! Dan pemuda ini sama sekali tidak mengerti!

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi girang sekali. Dia adalah seorang pendekar gagah yang sejak dahulu amat kagum dan menjunjung tinggi kepahlawanan Cia Hui Gan dan Cia Sun. Sekarang keluarga Cia mempunyai keturunan yang demikian hebat, benar-benar merupakan anugerah besar.

Akan tetapi ia sangsi melihat sikap Han Sin, ia tidak berani membuka rahasia pemuda itu karena melihat betapa Han Sin benar-benar tidak suka akan ilmu silat. Pemuda itu benar-benar telah menjadi seorang yang penuh welas asih, halus dan tidak suka kekerasan.

Demikianlah dengan amat tekun dan menggunakan sistem kilat, Ciu-ong Mo-kai menurunkan ilmu kepandaiannya kepada Bi Eng, Han Sin dan Siauw-ong. Akan tetapi yang betul-betul ia pimpin hanyalah Bi Eng yang langsung berlatih dan belajar dibawah pimpinannya. Siauw-ong, monyet kecil itu hanya ikut-ikut saja kalau Bi Eng berlatih silat.

Dan bagaimana dengan Han Sin? Lebih aneh dan lucu dari Siauw-ong. Pemuda ini kalau Bi Eng menerima pelajaran dan berlatih, dia sendiri tidak ikut berlatih melainkan duduk di bawah pohon membawa sebuah buku kosong dan alat tulis. Ia mencatat semua pelajaran teori, dan mencoret-coret menggambar Bi Eng bersilat dalam pelbagai gerakan.

Lukisannya amat tepat, malah pada suatu waktu ketika Ciu-ong Mo-kai melihat lukisan itu, ia menggelengkan kepalanya karena gerakan-gerakan orang bersilat dalam lukisan itu demikian sempurna sehingga dia sendiri kiranya tidak akan mungkin melakukan gerakan lebih baik lagi dari pada gerakan gambar orang bersilat itu. Diam-diam ia ngeri juga melihat Han Sin dan harus mengakui bahwa pemuda ini benar-benar seorang anak ajaib yang berwatak aneh dan berkepandaian aneh pula.

Ciu-ong Mo-kai adalah seorang tokoh kang-ouw yang semenjak mudanya tidak pernah menikah, juga tidak pernah menerima murid yang ia warisi semua kepandaiannya yang luar biasa. Memang benar banyak murid-muridnya, yaitu tokoh-tokoh pengemis kang-ouw yang kini menjadi jago-jago di daerah selatan bahkan tersebar luas di beberapa daerah. Akan tetapi ilmu silatnya yang tunggal, yaitu ilmu silat Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Kesaktian Mengejar Angin) tak pernah ia turunkan kepada siapapun juga.

Malah di antara tokoh-tokoh pengemis yang menjadi pangcu (ketua) perkumpulan-perkumpulan pengemis dan pernah menerima petunjuk-petunjuknya dan mengaku menjadi muridnya, hanya beberapa orang saja yang pernah melihat Ciu-ong Mo-kai mainkan Liap-hong-sin-hoat ini, baik bertangan kosong, menggunakan tongkat dan senjata lain. Memang ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong maupun dengan senjata apa saja, karena pada hakekatnya ilmu silat bersenjata adalah cabang dari pada ilmu silat tangan kosong.

Akan tetapi kali ini, dengan sepenuh hati dan rela Ciu-ong Mo-kai menurunkan Liap-hong-sin-hoat kepada Bi Eng! Nona muda inipun amat cerdik dan memang bakatnya baik sekali sehingga dengan cepat ia dapat mewarisi ilmu silat tunggal yang ampuh itu. Sayangnya Bi Eng kurang memiliki dasar atau jelasnya ia melatih ilmu silat setelah berusia lima belas tahun. Masih untung baginya bahwa ia suka bermain-main “tari monyet” dengan Siauw-ong sehingga ia mempunyai kelincahan dan kelemasan tubuh yang cukup.

Mula-mula Ciu-ong Mo-kai kecewa melihat Han Sin tidak pernah mau ikut berlatih praktek tetapi hanya mencatat dan menggambar saja. Dengan menghafal semua gerakan dan tipu-tipu ilmu silat, mana bisa mempergunakan dalam praktek tetapi tanpa latihan? Demikian pikir pengemis sakti itu dengan gelisah. Biarpun tanpa disadari memiliki tenaga kesaktian dalam tubuh, namun tanpa ilmu silat bagaimana akan dapat melawan musuh yang tangguh?

Dengan amat penasaran, beberapa bulan kemudian guru ini mengintai ke dalam kamar Han Sin. Terlalu banyak pemuda itu menyembunyikan diri di dalam kamar, apa sih rahasianya?

Waktu itu sudah lewat tengah malam namun kamar Han Sin masih ada cahaya lampu redup-redup, Ciu-ong Mo-kai mengintai dari atas genteng dan ia melihat pemandangan yang aneh. Ternyata Han Sin berada di atas pembaringannya bertelanjang bulat sama sekali dan pemuda itu berada dalam keadaan yang amat aneh, yaitu berjungkir balik dengan kepala di atas pembaringan dan kakinya di atas. Tubuhnya yang terbalik ini lurus sekali seperti sebatang tongkat kayu saja, kedua lengan bersedakap dan tubuhnya tidak ada penahannya sama sekali!

Selama hidupnya belum pernah Ciu-ong Mo-kai melihat kejadian seperti ini. Gilakah pemuda itu? Tak mungkin gila. Sehari-hari tabiatnya tidak membayangkan kemiringan otak. Laginya, tanpa latihan yang lama tak mungkin orang bisa “berdiri” di atas kepala seperti itu. Ketika ia mengawasi dengan teliti, makin berdebar hatinya. Pemuda itu tidak bernapas! Atau lebih tepat menahan napas. Ia menghitung perlahan sampai tiga ratus kali, baru kelihatan pemuda itu mengeluarkan napas, panjang dan lama sampai tiga ratus hitungan pula, menahan di dada dalam waktu yang sama. Pendeknya, tiap kali menyedot, tiap kali menahan napas, dan tiap kali mengeluarkan pernapasan itu masing-masing selama tiga ratus kali hitungan.

Inilah latihan samadhi dan pernapasan yang amat aneh! Bagi Ciu-ong Mo-kai, seorang tokoh kang­ouw yang sudah kawakan, berlatih napas seperti itu sih bukan hal aneh. Akan tetapi ketika ia perhatikan betul-betul dan mendapatkan kenyataan bahwa pemuda itu menilik dari pernapasan yang tetap dan halus adalah dalam keadaan tidur. Bukan main!
Dalam keadaan tidak sadar atau tidur dapat mengatur pernapasan seperti itu, berjungkir balik lagi. Sudah tak dapat dibilang latihan lagi, melainkan hal yang sudah mendarah daging sudah menjadi kebiasaan bagi jasmaninya. Inilah tingkat yang tak sembarang orang mampu mencapainya.

Tingkat teratas bagi ahli-ahli siulian (samadhi) sehingga tidak ada bedanya antara sadar dan tidak, antara berlatih dan tidak. Pendeknya, bagi orang yang sudah mencapai tingkat itu, setiap detik baik ia tidur maupun sadar, makan maupun bicara, ia tak pernah lepas dari pada keadaan samadhi. Napasnya secara otomatis teratur terus, panca inderanya selalu terkumpul pada setiap keluangan kalau ia tidak sedang berpikir lain!

Dalam menghadapi pemandangan yang membuat Ciu-ong Mo-kai melongo saking kagumnya itu, teringatlah ia akan penuturan mendiang gurunya dahulu bahwa di puncak Himalaya banyak terdapat pertapa-pertapa yang sanggup bertapa tanpa bergerak tanpa makan sampai setahun lebih. Itulah puncak kesempurnaan samadhi, kata gurunya. Akan tetapi, demikian gurunya menerangkan, samadhi seperti itu dilakukan tanpa kehendak sesuatu, karenanya tidak mendatangkan kekuatan jasmani, hanya membersihkan rohani. Kalau dilakukan dengan keliru, memang akibatnya bermacam-macam. Bisa menimbulkan hal-hal yang aneh.

Agaknya Han Sin telah mempelajari cara samadhi dari kitab-kitab kuno, dari ilmu-ilmu batin jaman dahulu, akan tetapi agaknya pemuda itu yang berlatih semenjak kecil tanpa petunjuk, telah “tersesat” dan akibatnya malah mendatangkan tenaga dalam yang mujizat! Inilah kurnia yang luar biasa dan baiknya pemuda itu memang pada dasarnya berwatak baik. Andaikata ia berwatak jahat, tentulah penyelewengan atau kesesatan latihan ini akan mendatangkan malapetaka atau ilmu hitam padanya!

Ciu-ong Mo-kai mengambil sepotong pecahan genteng dan disambitkannya ke bawah, mengarah bagian tubuh yang tidak berbahaya dari pemuda itu, yakni di bagian betis kaki. Akan tetapi, tepat seperti ia sudah menduga sebelumnya, pecahan genteng itu terpental dan jatuh sebelum mengenai betis Han Sin dan pemuda itu segera terjaga dari “tidurnya!”!

Cocok dengan dugaan Ciu-ong Mo-kai yang menjadi makin kagum bahwa di dalam tubuh Han Sin telah timbul dan dipelihara sin-kang (hawa sakti) tanpa di sengaja atau dimengerti oleh pemuda itu sendiri. Ia maklum bahwa untuk mengajar seorang pemuda seperti ini, ilmu silatnya masih terlalu rendah. Kalau Han Sin melatih diri dengan ilmu silatnya yang gerakan-gerakannya berdasarkan lweekang yang masih belum tinggi kalau dibandingkan dengan tingkatnya, maka ilmu silat itu takkan ada gunanya malah dapat merusak kekuatan luar biasa yang tersembunyi di dalam tubuh Han Sin itu.

Setelah membuktikan sendiri bahwa dugaan-dugaannya memang tepat, semenjak itu Ciu-ong Mo­kai tidak mau meributkan tentang sikap Han Sin yang tidak ikut berlatih, hanya mencatat dan melukis semua pelajaran silat yang ia turunkan kepada Bi Eng. Malah dengan tekun pengemis sakti ini lalu menggembleng Bi Eng, menurunkan bagian-bagian terpenting dari ilmu silatnya dan mengajar gadis itu dengan tipu-tipu dan gerakan-gerakan yang praktis tanpa membuang waktu dengan segala macam gerakan variasi yang hanya disebut ilmu silat kembang.

SETELAH mengajar tanpa mengenal lelah selama dua tahun, habislah sudah semua dasar ilmu silat tinggi dan ilmu silat Liap-hong-sin-hoat ia turunkan kepada Bi Eng. Han Sin tetap belum pernah kelihatan belajar ilmu-ilmu silat yang diajarkan oleh Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi seringkali Ciu­ong Mo-kai menjadi bengong kalau melihat betapa Bi Eng yang sedang berlatih silat ditonton oleh Han Sin, sering kali mendapat teguran-teguran dari kakaknya itu!

Pernah ia mendengar Han Sin memberi nasehat kepada Bi Eng ketika gadis itu bersama kakaknya dan Siauw-ong berada di taman belakang. Pengemis tua ini diam-diam mengintai dan alangkah herannya ketika ia melihat Bi Eng mainkan Liap-hong Sin-hoat dengan cepat dan baiknya ditonton oleh Han Sin yang mencela sana-sini.

“Gerakanmu dalam jurus ke tiga belas ada kesalahan, moi-moi. Juga dalam jurus ke lima tadi kurang sempurna,” kata Han Sin setelah Bi Eng selesai berlatih.

Bi Eng menghampiri kakaknya, “Apa kesalahannya dan yang manakah kurang sempurna, Sin-ko? Harap kau memberi petunjuk.”

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai menjadi geli hatinya, ia sendiri tadi melihat dengan penuh perhatian akan tetapi tidak melihat kesalahan-kesalahan. Apakah pemuda ini yang belum pernah melatih diri berani mencela adiknya yang selalu giat berlatih?

“Coba kau ulangi gerakan ke lima tadi, bukankah itu gerakan tipu Pek-in-kan-goat (Awan Putih Mengejar Bulan)?”

“Betul, koko. Kaulihat baik-baik dan katakan nanti mana yang kurang sempurna.” Gadis itu lalu membuat gerakan Pek-in-kan-goat, amat cepat, sigap dan kuat.

Ciu-ong Mo-kai memandang penuh perhatian dari tempat sembunyinya, akan tetapi ia tidak dapat menemukan kesalahan dalam gerakan itu, maka ia ingin sekali mendengar apa yang hendak dikatakan Han Sin.

“Menurut catatan dan gambaranku tentang gerakan Pek-in-kan-goat ini ketika aku melihat suhu memberi contoh, pada saat kedua tangan melakukan pukulan bertubi-tubi empat kali ke depan, tiap kali melangkah, kaki yang depan berdiri di ujung jari-jari kaki. Akan tetapi kakimu tadi kulihat masih rata dengan tanah, kurang berjungkit. Coba kau lakukan lagi.”

Lanjut ke jilid 009 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment