Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 009

◄◄◄◄ Kembali

Bi Eng kelihatan menaruh kepercayaan sepenuhnya kepada Han Sin dan kini ia bersilat lagi, memperbaiki kedudukan kaki yang dianggap keliru oleh Han Sin tadi. Anehnya, biarpun Han Sin tak pernah ikut berlatih silat, gadis itu tetap saja menganggap kakaknya jauh lebih pandai dan setiap pendapat kakaknya itu betul belaka! Secara membuta karena kepercayaannya sudah mendalam, ia menurut semua nasehat Han Sin.

Yang terheran-heran adalah Ciu-ong Mo-kai karena sekarang ia baru tahu dan harus mengakui bahwa memang murid perempuannya itu melakukan kesalahan, biarpun kesalahan yang amat kecil. Andaikata dia sendiri melihat hal itu, dia tidak akan menganggapnya satu kesalahan gerak tipu ini, hanya kalau diingat lagi, memang jauh lebih sempurna kalau kaki berdiri berjungkit sebagaimana mestinya dalam gerakan ini sehingga dalam melakukan serangan berikutnya yang disertai tendangan, kedudukan akan menjadi lebih baik karena dapat menendang lebih cepat!

“Bagus, sekarang baru sempurna, cocok sekali dengan ajaran suhu.” Han Sin memuji setelah adiknya mengulangi latihannya. “Sekarang coba kau ulangi jurus ketiga belas, jurus Po-in-gan-jit (Sapu awan melihat matahari).”

Dengan patuh Bi Eng melakukan gerak tipu ini dan mata Ciu-ong Mo-kai dibuka selebar-lebarnya untuk menemukan kesalahan dalam gerakan muridnya ini. Akan tetapi dalam gerakan inipun ia tidak melihat kesalahan apa-apa, malah ia berani pastikan bahwa gerakan muridnya kali ini sudah amat baik dan sempurna. Mau bilang apa lagi pemuda ajaib itu, pikirnya girang dan bangga.

Han Sin mengerutkan keningnya setelah adiknya selesai melakukan gerakan Po-in-gan-jit, lalu katanya perlahan. “Kau harus lebih memperhatikan kalau suhu memberi contoh padamu. Menurut catatan-catatanku ketika suhu melakukan gerakan ini, jalan napas dibagi tiga bagian. Menyedot napas ketika meloncat, menahan napas ketika tangan diputar menangkap tangan lawan lalu membuang napas ketika memukul ke arah pusar musuh. Akan tetapi jalan pernapasanmu tadi tidak sesuai. Coba kaulakukan lagi dengan baik dan ingat jalan pernapasanmu.”

Bi Eng lagi-lagi menurut dan mentaati nasehat kakaknya. Adapun Ciu-ong Mo-kai di tempat sembunyinya menjadi pucat. Kagetnya bukan alang kepalang. Tidak dinyana, tidak disangka bahwa biarpun pemuda itu hanya mencoret-coret dan menggambar semua pelajaran, ternyata demikian teliti sampai-sampai jalan pernapasan ketika bersilat dia catat! Dan diam-diam ia harus mengakui kebodohan sendiri.

Pernapasan dalam ilmu silat amat penting, bagaimana ia lalai untuk memperhatikan cara Bi Eng berlatih? Ah, kalau dilihat begini naga-naganya, ia harus akui bahwa Han Sin merupakan pelatih yang jauh lebih cermat dan baik dari pada dia sendiri. Dalam teori, kiranya dia sendiri takkan sehafal Han Sin.

“Bagus .....!” Tak terasa lagi ia meloncat keluar dari tempat sembunyinya.

Kemuncullannya menggirangkan Bi Eng akan tetapi membuat Han Sin berdiri dengan malu dan kepala tunduk. Di depan suhunya, belum pernah Han Sin berani memberi petunjuk kepada adiknya, hanya di waktu tidak ada gurunya saja Han Sin berani memberi petunjuk demi kemajuan ilmu silat Bi Eng.

“Suhu, maafkan kelancangan teecu tadi, berani mencela gerakan-gerakan Eng-moi,” kata Han Sin sambil menjura.

Lagi-lagi Ciu-ong Mo-kai tertegun. Bagi orang lain, melakukan kesalahan yang tidak terlihat orang tentu akan diam-diam saja. Akan tetapi Han Sin tanpa ditanya belum-belum sudah mengaku dan minta maaf. Sungguh sifat jujur dan merendah yang jarang terdapat.

“Tidak apa, Han Sin. Petunjuk-petunjukmu memang amat berfaedah bagi adikmu. Bi Eng, selanjutnya kau harus selalu patuh dan taat akan petunjuk dan nasehat kakakmu. Dua tahun sudah aku tinggal di sini, bersembunyi dari dunia ramai dan semua ilmu yang kupunyai sudah kuwariskan kepadamu. Kau hanya tinggal melatih diri saja. Karena itu, aku hendak turun gunung. Banyak tugas menantiku di dunia ramai. Kelak kalau kalian turun gunung, hati-hatilah berhadapan dengan orang-orang yang kusebut ini. Mereka inilah yang dahulu berada di puncak ini pada saat orang tua kalian terbunuh. Pertama-tama adalah Balita, puteri bangsa Hui yang tinggi sekali kepandaiannya. Apalagi sekarang setelah ia mendapat julukan Jin-cam-khoa (Algojo Manusia). Ia kejam dan lihai sekali.”

“Puteri Hui? Jangan-jangan ada hubungannya dengan orang-orang Hui yang dua tahun yang lalu menyerang ke sini, suhu,” kata Bi Eng.

“Mungkin ..... mungkin .... sayang sekali dahulu kita tidak bisa mendapat keterangan dari mereka. Jin-cam-khoa Balita ini dahulu tergila-gila kepada ayah kalian yang tidak mau memperdulikannya sehingga ia menaruh kebencian kepada mendiang ibumu. Orang-orang yang termasuk golongan kedua yang harus kalian hadapi dengan hati-hati adalah Thian-san Sam-sian, tiga hwesio Thian-san yang bernama Gi Thai Hwesio, Gi Ho Hwesio dan Gi Hun Hwesio. Ayahmu pernah bentrok dengan mereka ini karena kong-kongmu membunuh seorang murid mereka yang jahat. Mereka ini juga lihai sekali, apa lagi kalau maju berbareng merupakan Sha-kak-tin (Barisan Segi Tiga) yang sukar dilawan. Juga mereka menaruh dendam kepada ayahmu dan selain dendam ini, mereka ingin sekali mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng yang dikabarkan orang berada di tangan ayahmu.”

“Surat wasiat Lie Cu Seng? Surat wasiat apakah itu, suhu?” kembali Bi Eng bertanya sedangkan Han Sin hanya menunduk kepala mendengarkan penuh perhatian.

“Nanti kuceritakan tentang itu. Sekarang orang ke tiga. Dia adalah Ang-jiu Toanio di I-kiang yang memusuhi ayahmu karena ayahmu dahulu membunuh suaminya, tuan tanah Phang Kim Tek yang kejam. Ang-jiu Toanio ini adalah seorang ahli Ang-see-chiu (Tangan pasir merah), tangannya mengandung hawa beracun dan lihai sekali.”

“Hemmm, nyonya tuan tanah di I-kiang ....” kata Bi Eng mengingat-ingat.

“Ke empat adalah Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng ......”

“Kok ada orang berjuluk raja Swipoa? Apa dia seorang pedagang?” tanya Bi Eng heran.

“Memang seorang pedagang, akan tetapi lihainya tidak kalah oleh orang-orang lain. Dia sih tidak mempunyai permusuhan dengan ayahmu, akan tetapi dia juga mengincar surat wasihat. Hati-hati terhadap manusia yang penuh akal bulus dan tipu muslihat licik ini.”

Apakah hanya empat orang-orang itu yang berada di sini ketika pembunuhan ayah ibu terjadi?” tanya pula Bi Eng.

“Ya, yang terang-terangan memperlihatkan diri hanya mereka. Akan tetapi ketika secara diam-diam aku berada di puncak, aku melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh. Pertama seorang gundul bangsa Mongol yang membawa-bawa harimau besar, berkeliaran di sekitar hutan di pegunungan Min-san ini.”

“Orang bawa macan?”

“Aku tidak mengenal siapa dia, akan tetapi gerak-geriknya cukup mencurigakan dan dari gerak-­geriknya dapat diketahui bahwa diapun bukan orang sembarangan dan lihai sekali. Adapun orang terakhir, yang hanya kulihat bayangannya, adalah seorang raja iblis yang amat ganas dan yang memiliki kepandaian sukar ditaksir berapa tingginya. Dia ini sudah amat terkenal di dunia kang­ouw, tingkatnya lebih tinggi dari pada yang lain-lain tadi. Terhadap orang ini, baiknya kalian jangan mencari-cari perkara karena selain sakti, dia juga berhati kejam melebihi iblis.”

“Siapa dia, suhu?” Bi Eng bertanya biarpun merasa ngeri akan tetapi tidak takut. Belum pernah gadis ini merasa takut terhadap apapun juga.

“Dia itu bernama Hoa Hoa Cinjin, ilmu pedangnya pernah menjagoi dunia dan pernah ia mengeluarkan tantangan mengadu pedang dengan siapa saja di dunia ini. Menurut kabar, belum pernah ada orang dapat mengalahkan ilmu pedangnya itu. Nah, terhadap orang-orang yang kusebutkan tadi, kalian harus berlaku hati-hati, murid-muridku.”

“Suhu, begitu banyak orangkah yang dahulu memusuhi ayah? Siapa di antara mereka yang telah membunuh ayah dan ibu!” tanya Bi Eng, tangannya terkepal dan ia sudah lupa lagi akan nasehat suhunya supaya berhati-hati menghadapi orang-orang itu.

“Itulah yang masih merupakan rahasia sampai sekarang. Dahulu di depan peti mati ayah bundamu, aku sudah berusaha menanti datangnya pembunuh, berusaha menyelidiki siapa-siapakah pembunuhnya. Akan tetapi sia-sia belaka. Kematian ayah bundamu memang dapat disebut suatu keanehan dan kalian berdualah yang bertugas dan berkewajiban untuk menyelidiki dan mencari pembunuhnya.” Kemudian pengemis sakti itu menuturkan dengan jelas semua peristiwa yang ia ketahui tentang Cia Sun, juga tentang surat wasiat Lie Cu Seng yang sampai sekarang tidak pernah ditemukan.

“Nah, cukup kiranya, murid-muridku. Selanjutnya terserah kepada kalian sendiri untuk menentukan langkah. Kalian sudah tahu siapa ayah kalian, seorang pendekar perkasa yang patut dijunjung tinggi namanya dengan perbuatan-perbuatanmu yang melanjutkan sepak terjangnya. Kelak apabila kalian berkesempatan turun gunung terjun di dunia ramai, di mana saja kalian berada, kalau kalian menyebut namaku sebagai guru, agaknya kalian tidak akan banyak mengalami keruwetan dan banyak pula orang membantumu.”

Ciu-ong Mo-kai lalu mendatangi uwak Lui yang sudah sangat tua dan tidak dapat keluar dari kamar untuk berpamit. Uwak Lui sudah amat tua, sudah tujuh puluh lebih usianya dan sakit-sakitan saja. Kemudian kakek pengemis itu turun gunung, diantar oleh dua orang murid berikut Siauw-ong sampai di daerah berbatu yang mengelilingi gedung di puncak itu.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment