Ads

Tuesday, August 28, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 010

◄◄◄◄ Kembali

Dua bulan setelah Ciu-ong Mo-kai pergi meninggalkan puncak Min-san, uwak Lui meninggal dunia karena sakit tua. Dapat dibayangkan betapa sedih hati dua orang anak yatim piatu itu ditinggal mati oleh uwak Lui yang mereka anggap sebagai nenek dan pengganti orang tua sendiri. Bi Eng menangis sampai jatuh pingsan, berbeda dengan Han Sin yang menanggung kesedihan itu dengan tenang-tenang saja dan tidak kelihatan dari luar bahwa dia merasa amat berduka. Tanpa banyak cakap pemuda ini, dibantu dua orang pelayan, mengurus jenazah uwak Lui dan mengubur dengan upacara sederhana. Jenazah uwak Lui dikubur tak jauh dari makam Cia Sun dan isterinya.

Ucapan terakhir yang dipesankan oleh uwak Lui dengan suara pelo dan tidak jelas, amat mengharukan dan berkesan dalam-dalam di hati Han Sin dan Bi Eng. Pesan itu masih saja bergema di dalam telinga mereka :

“ ....Anak-anakku ... ingatlah ..... jangan kalian berpisah satu dari yang lain .... selama-lamanya ..... Han Sin .... jaga baik-baik adikmu .... kalian .... ah, kalian .... cari gadis bertahi lalat di .... mata kaki kiri .... awas terhadap gadis yang .... di dekat telinganya ada tanda merah .... kalian bukan .... bukan ..... ahhh .....” Sampai di situ habis napas uwak Lui dan kedua orang muda itu menghadapi rahasia atau teka-teki yang sama sekali tidak mereka mengerti maksudnya.

Setelah penguburan selesai dan dua orang kakak beradik itu meninggalkan kuburan di mana mereka berkabung, Siauw-ong masih juga belum mau meninggalkan kuburan. Malam itu malah Siauw-ong tidak pulang. Agaknya monyet kecil ini amat berduka atas kematian uwak Lui.

Pada keesokan harinya, ketika Han Sin dan Bi Eng keluar dari ruangan dalam hendak mencari Siauw-ong, mereka melihat monyet kecil ini datang berloncat-loncatan sambil membawa sebuah gulungan kertas kuning. Binatang ini cecowetan sambil mengacung-acungkan gulungan kertas itu.

“Siauw-ong, benda apakah yang kaubawa itu?” tanya Han Sin sambil berjongkok dan menerima gulungan kertas dari tangan Siauw-ong. Bi Eng memandang dengan heran dan tertarik. Kakak beradik ini lalu duduk di bangku dan Han Sin membuka gulungan kertas kuning itu.

Kertas itu amat tebal dan kuat, kiranya bukan terbuat dari pada kertas biasa, mungkin dari kulit kayu atau kulit binatang yang amat kuat dan sudah tua sekali. Ketika dibuka gulungannya, di situ terdapat sebuah peta dengan tanda-tanda dan huruf-huruf di sana-sini. Dengan tertarik sekali Han Sin dan Bi Eng memeriksa. Alangkah terkejut hati mereka ketika membaca huruf-huruf kecil di ujung kiri peta itu yang berbunyi :

PENINGGALAN LIE UNTUK CIA

“Koko, tak salah lagi. Inilah surat wasiat Lie Cu Seng yang pernah disebut-sebut suhu,” kata Bi Eng, berdebar girang dan perasaannya menegang.

Namun Han Sin tetap tenang. Sambil mengamati penuh ketelitian, ia menjawab, ”Agaknya dugaanmu betul, Eng-moi. Inilah surat wasiat yang diperebutkan orang. Akan tetapi kita tidak ikut memperebutkan karena memang surat ini menjadi hak kita. Baca saja, bukankah di situ disebutkan bahwa surat wasiat pahlawan Lie Cu Seng ini memang diperuntukkan keluarga Cia? Agaknya betul dugaan suhu dulu bahwa pahlawan Lie sebelum gugur meninggalkan surat ini untuk kong-kong Cia Hui Gan yang kemudian menurunkannya kepada ayah kita.” Ia memandang lagi dengan teliti lalu berkata perlahan, “Hemmm, di pegunungan Lu-liang-san lembah sungai Huang-ho ......”

Bi Eng memegang pundak kakaknya. “Koko, kau hendak apakan surat wasiat ini?”

Han Sin menggulung surat itu, memasukkannya ke dalam saku bajunya, lalu menoleh dan memegang kedua lengan adiknya. “Adikku yang baik, setelah di sini tidak ada siapa-siapa lagi yang menjadi tanggungan kita, sekarang tiba saatnya bagi kita untuk turun gunung, memasuki dunia ramai.”

Untuk sejenak gadis itu tidak dapat menjawab. Hanya sepasang matanya terbelalak memandang kakaknya, sinar bahagia dan seri gembira memancar dari muka yang manis itu.

“Turun gunung ....?” Ucapan ini merupakan pelepasan rindu yang sudah bertahun-tahun dipendamnya yaitu rindu akan dunia ramai yang banyak ia dengar akan tetapi belum pernah dilihatnya itu. “Ahh .......! Sin-ko, turun gunung ke dunia ramai .....?” Tak terasa lagi dua butir airmata yang bening mengalir di kedua pipi merah itu.

Han Sin tersenyum. Melihat adiknya bergembira seperti ini, sudah cukup bahagia rasa hatinya. Ia mengusap pipi adiknya lalu membelai rambut yang terurai ke jidat yang halus itu. “Tentu saja turun gunung menemui manusia-manusia lain dunia ramai. Kita kan bukan dilahirkan untuk menjadi pertapa-pertapa di puncak ini sampai kita menjadi kakek-kakek dan nenek-nenek?”

Mendengar ini, Bi Eng tertawa dan saking girangnya gadis ini meloncat, merangkul leher kakaknya, lalu melepaskannya lagi dan menari-nari kegirangan, tari monyet yang sering ia tarikan dulu. Melihat ini, sambil mengeluarkan bunyi cecowetan girang, Siauw-ong juga mulai menari-nari di dekat nonanya!

“Sin-ko, jangan kau sebut-sebut lagi tentang kakek-kakek dan nenek-nenek. Tak tahan aku mengenangkan bagaimana kau berubah menjadi seorang kakek-kakek, hi hi hi!”

Han Sin tersenyum. “Apa kau suruh aku menjadi ular yang tiap kali berganti kulit?” Kemudian ia teringat akan sesuatu dan tersenyum. Wanita di manapun juga memang pantang memikirkan usia tua. “Akan tetapi aku percaya, kau selamanya akan seperti sekarang, cantik jelita manis mungil, tak pernah bisa jadi tua.”

Bi Eng kembali merangkul pundak kakaknya dengan gaya manja. “Sin-ko, jangan memuji-muji. Adikmu ini bocah gunung mana bisa disebut cantik? Nanti akan kautemui banyak gadis cantik jelita seperti puteri-puteri dalam gambar itu di kota-kota besar dan kau akan melihat betapa buruknya rupa adikmu.”

Memang Bi Eng amat sayang kepada kakaknya. Tidak saja sayang, juga ia amat taat kepada kakaknya yang dalam anggapannya adalah satu-satunya orang yang paling mulia, paling pandai dan paling ... segala di dunia ini. Bahkan, setelah ia belajar ilmu silat tinggi dari Ciu-ong Mo-kai dan tahu bahwa kakaknya jauh lebih pandai masih saja memenuhi hatinya.

Mereka segera berkemas dengan gembira. Han Sin lalu panggil dua orang pelayan yang setia itu dan berkata, “Kedua paman yang baik, kami akan membawa Siauw-ong turun gunung. Kami hendak merantau, hendak mengenal dunia. Entah kapan kami kembali, malah kembali atau tidak masih belum dapat ditentukan sekarang. Oleh karena itu, dari pada barang-barang di sini rusak tidak karuan, kalau paman-paman membutuhkan, boleh paman ambil dan pakai. Kami tidak membutuhkan lagi.”

Dia orang pelayan itu mengucurkan air mata. Mereka amat sayang kepada Han Sin dan Bi Eng yang mereka kenal semenjak masih bayi.

“Kongcu ..... Siocia ....., hendak ke manakah? Dunia ini sedang kacau, di mana-mana terdapat banyak penjahat. Bagaimana kalau jiwi (kalian berdua) sampai diganggu orang jahat?” kata seorang di antara mereka dengan penuh kekhawatiran.

Bi Eng menjawab, “Justru karena banyak terjadi kejahatan itulah aku dan koko hendak turun gunung, hendak membasmi orang-orang jahat dan menolong orang-orang yang perlu ditolong!”

Mendengar ini, Han Sin tersenyum saja. Di dalam hatinya ia tidak setuju akan kata-kata “basmi” ini, akan tetapi karena terlampau sayang kepada Bi Eng ia tidak mau mengecewakan hati adiknya yang sedang bergembira itu.

“Kami akan menjaga diri baik-baik, paman.”

Setelah bersembahyang di depan kuburan ayah bundanya dan kuburan uwak Lui, dua orang kakak beradik itu lalu turun gunung. Mereka berjalan perlahan saja, dan hati-hati. Bi Eng yang sudah memiliki ginkang yang tinggi berkat latihan Ciu-ong Mo-kai, tidak mau mempergunakan ilmu lari cepat karena takut kakaknya tertinggal. Malah ia selalu menggandeng tangan kakaknya ketika melalui daerah berbatu yang amat sukar dilewati, menjaga kalau-kalau kakaknya itu jatuh! Adapun Siauw-ong selalu “membonceng” di pundak Han Sin.

Melihat tingkah monyet ini, Bi Eng marah. “Siauw-ong! Kau pemalas. Ayoh turun, masa kau membikin lelah Sin-ko, enak-enakan duduk di pundak. Apa kau sudah tak punya kaki untuk jalan sendiri?”

Siauw-ong yang agaknya mengerti, lalu melompat turun. “Biarlah,” kata Han Sin sabar. “Dia agaknya takut karena baru pertama kali ini turun gunung.”

Mendengar kata-kata ini, Bi Eng berdebar hatinya. Tentu saja Siauw-ong takut, bahkan dia sendiri yang tak pernah kenal takut, kini menjadi berdebar penuh ketegangan hati. Seperti apa macamnya dunia ramai? Seperti apa macamnya kota-kota besar dan penduduknya? Karena ini, ia tidak menegur lagi ketika mereka tiba di kaki gunung. Monyet kecil itu kembali melompat ke atas punggung Han Sin.

Dusun-dusun dan penduduknya yang dilalui ketika mereka menuruni puncak, tidak menarik perhatian Bi Eng, karena memang sudah sering kali ia melihat dusun-dusun itu. Penduduk dusun-­dusun sebagian besar mengenal Han Sin dan Bi Eng yang mereka sebut Cia-kongcu (tuan muda Cia) dan Cia-Siocia (nona Cia) Mereka semua menyambut dua orang kakak beradik ini dengan ramah, mengingat bahwa dua orang muda ini adalah keturunan Cia-enghiong yang sudah banyak dan kerap kali menolong penduduk dusun sekitar Min-san.

Han Sin dan Bi Eng melanjutkan perjalanan menuju ke timur, karena menurut pengetahuan Han Sin dari kitab-kitabnya, Lu-liang-san terletak di sebelah timur.

“Kita harus menyelidiki tentang isi surat wasiat,” katanya kepada adiknya. “Karena ayah menerima surat wasiat ini, tentu menjadi kewajiban kita untuk menyelidiki, apakah gerangan yang tersimpan dalam tempat rahasia itu sampai-sampai orang sakti memperebutkan surat ini. Aku mendapat perasaan bahwa agaknya karena surat ini maka ayah ibu terbunuh orang.”

Ketika mereka sudah jauh dari kaki bukit Min-san, di sebuah jalan gunung yang sunyi dan kasar, dari depan mereka melihat seorang perempuan tua yang duduk di dalam kereta dorong dan kereta ini didorong oleh seorang pemuda sebaya Han Sin yang wajahnya tampan dan pakaiannya sederhana.

Melihat sikap dan pakaian wanita dan pemuda itu berbeda dengan penduduk dusun, segera Han Sin dan Bi Eng tertarik.

“Kenapa perempuan itu tidak berjalan sendiri? Apa dia sakit?” kata Bi Eng.

“Ssstt, membicarakan orang jangan keras-keras,” cegah Han Sin.

Wanita ini memang kelihatan seperti orang sakit. Kepalanya dilibat sehelai saputangan putih dan kelihatan lemah. Sebaliknya, pemuda yang tampan itu kelihatan gagah dan sehat, bersemangat dan biarpun peluhnya sudah membasahi muka dan leher, mulutnya tersenyum dan mukanya terang.

“Yan Bu, berhenti dulu!” terdengar perempuan itu berkata dan ternyata suaranya berbeda dengan keadaannya yang kelihatan lemah. Suaranya nyaring dan tajam.

Pemuda yang dipanggil Yan Bu itu berhenti dan menyusuti peluhnya. Adapun wanita tua itu tanpa turun dari kereta, menatap ke arah Han Sin dan Bi Eng dengan tajam sekali, pandangannya penuh selidik. Yang ia pandang terutama adalah gerakan kaki kedua orang muda itu.

“Aneh, wajahnya sama benar. Akan tetapi orang-orang lemah itu pasti sekali bukan mereka. Yan Bu, mari jalan lagi.”

Pemuda itu menurut, hanya melepas kerling sekilas ke arah Han Sin dan matanya penuh kekaguman ketika ia melirik ke arah Bi Eng, akan tetapi ia segera tundukkan muka dan mendorong kereta itu, tanpa menoleh lagi. Wanita di dalam kereta dorong mash terus melirik ke arah kakak beradik itu terutama sekali kepada Han Sin yang menggendong Siauw-ong di punggungnya.

Yang lucu adalah Siauw-ong. Agaknya monyet ini girang melihat orang di dalam kereta dorong, maka ia mengangkat tangan kanan lambai-lambaikan seperti orang memberi salam!

Han Sin dan Bi Eng masih terus memandang sampai menoleh. Terutama sekali kereta dorong itu menarik perhatian mereka karena belum pernah mereka menyaksikannya. Setelah berpisah jauh, perempuan tua dan pemuda pendorong kereta itu menjadi bahan pembicaraan, terutama sekali Bi Eng yang masih heran.

“Melihat cara pemuda itu mendorong kereta, tentu ia kuat sekali, koko. Kenapa wanita itu didorong dalam kereta? Apa dia lumpuh? Dan orang sakit-sakitan seperti dia itu, mau apa datang ke tempat ini?”

“Entahlah, moi-moi. Akan tetapi menurut cerita suhu, memang banyak terjadi hal-hal aneh di dunia ini dan banyak pula manusia-manusia yang aneh wataknya. Biarlah kita anggap mereka itu orang-orang aneh pertama yang kita jumpai.”

Ucapan Han Sin ini biarpun hanya merupakan hiburan bagi adiknya yang ingin mengetahui segala, ternyata memang tepat. Tentu saja mereka tidak pernah menduga bahwa memang orang di dalam kereta itu bukan manusia sembarangan. Dia itu bukan lain adalah Ang-jiu Toanio! Dan pemuda yang mendorong kereta itu adalah puteranya, putera sulungnya yang bernama Phang Yan Bu.

Pernah diceritakan betapa Ang-jiu Toanio kehilangan anak perempuannya, yaitu anak bungsunya yang dirampas oleh Kalisang. Orang mongol aneh yang membawa-bawa harimau Ang-jiu Toanio mengejar terus namun tidak berhasil mendapatkan kembali puterinya itu. Dengan hati hancur dan mengandung penasaran ia terpaksa pulang ke I-kiang dan memperdalam ilmu silatnya karena merasa bahwa kepandaiannya masih kurang tinggi sehingga menghadapi orang Mongol yang merampas anaknya ia tidak berdaya. Ia hidup bersama puteranya, yaitu Phang Yan Bu dan semenjak itu nyonya ini sering kali terserang penyakit jantung yang membuat kadang-kadang amat lemah.

Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti. Iapun memiliki bakat baik sekali dalam ilmu silat. Dalam usia lima belas tahun saja ia sudah mewarisi kepandaian ibunya, kemudian oleh ibunya ia dikirim kepada Yok-ong Phoa Kok Tee yang amat terkenal di dunia kang-ouw. Yok-ong (Si Raja Obat) ini adalah seorang tua yang mengasingkan diri di pegunungan, tidak mempunyai tempat tinggal tertentu. Pekerjaannya hanya mencari daun-daun dan akar-akar obat, kemudian ia merantau dari gunung ke gunung, dari kota ke kota dan selalu mengulurkan tangan mengobati orang-orang yang terserang penyakit.

Ketika Yan Bu berusia lima belas tahun, pada suatu hari Yok-ong Phoa Kok Tee singgah di I-kiang mengunjungi murid keponakannya. Ang-jiu Toanio adalah murid sutenya (adik seperguruannya), yaitu Koai-sin-jiu (Si Tangan Sakti Aneh) Bhok Kim yang tewas dalam pertempuran melawan Hoa Hoa Cinjin. Begitu bertemu dengan murid keponakannya yang sudah berpisah belasan tahun ini, Phoa Kok Tee terkejut.

“Kau menderita luka di jantungmu karena banyak berduka!” katanya kaget.

Ang-jiu Toanio menjatuhkan diri berlutut dan menangis. “Susiok, selama belasan tahun ini teecu telah menerima banyak penghinaan dan sakit hati.” Sambatnya, kemudian ia menuturkan tentang kematian suaminya oleh Cia Sun dan kehilangan puterinya yang dirampas oleh orang Mongol bernama Kalisang.

“Suami dibunuh orang tanpa bisa membalas karena pembunuhnya sudah keburu meninggal dunia, anak dirampas orang untuk dijadikan mangsa harimau. Ah, teecu sendiri begini lemah berpenyakit, bagaimana sakit hati dapat dibalas?”

Mendengar penuturan itu, Yok-ong Phoa Kok Tee menarik napas panjang. “Dari dulu sudah kukhawatirkan ketika aku melihat cara hidup suamimu yang hartawan dan berlebihan. Sebagai seorang tuan tanah, suamimu terlalu memeras rakyat kecil dan aku tidak bisa terlalu salahkan pendekar muda Cia Sun itu kalau sampai bentrok dengan suamimu. Memang kalah atau mati hidup dalam pertempuran seperti itu, sukar untuk berbicara tentang sakit hati. Kau yang mempunyai anak bayi, mengapa membawa-bawa anakmu yang kecil itu untuk mencari musuh? Kejadian tentang anakmu benar-benar amat menyesalkan hati dan orang Mongol itu patut dibasmi. Biar kucatat namanya dan kalau sampai bertemu dengan dia, aku akan berusaha melenyapkan manusia keji itu. Sekarang biarkan aku memeriksa penyakitmu.”

Sebagai seorang yang sudah mendapat julukan Yok-ong (Raja Obat), dengan menekan urat nadi saja, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa tidak ada obat lagi bagi nyonya ini kecuali banyak beristirahat lahir batin. Akan tetapi ia memberi juga obat penguat jantung sambil berkata,

“Kau tidak boleh banyak berduka, tidak boleh mengandung pikiran benci dan mendendam. Tidak baik untuk penyakitmu.”

Mendengar ini, Yan Bu menjatuhkan diri berlutut sambil menangis dan minta-minta kepada Yok­ong supaya mengobati ibunya. “Susiok-couw, tolonglah ibuku yang tercinta. Obatilah ibu sampai sembuh.”

Melihat kesungguhan hati anak itu, Phoa Kok Tee tertarik dan kagum. “Anak ini baik sekali, kau beruntung mempunyai anak seperti dia ini.”

Karena tertarik dan suka melihat bocah berbakti itu, Phoa Kok Tee berkenan mewariskan ilmu goloknya yang tinggi tingkatnya kepada Yan Bu. Selama dua tahun ia memberi pelajaran ilmu silat kepada Yan Bu yang dengan amat cepat menguasai semua itu dan mendapatkan kemajuan pesat.

“Yan Bu, jagalah baik-baik ibumu. Terus terang saja, ibumu itu mempunyai watak yang kurang baik, terlalu ganas dan keras hati. Ini adalah kesalahan suteku sendiri yang tidak dapat menuntunnya dengan baik, malah menurunkan watak yang keras dan mau menang sendiri. Kau seorang anak baik yang dapat membedakan mana keliru mana benar, jangan kau mengecewakan sebagai muridku,” pesan Raja Obat itu kepada muridnya sebelum ia pergi meninggalkan I-kiang.

Semenjak itu, Yan Bu menjadi seorang pemuda yang lihai ilmu silatnya, akan tetapi ia selalu bersikap sederhana. Malah iapun sudah mempelajari beberapa macam ilmu pengobatan dari gurunya. Makin dewasa, makin terbukalah matanya dan harus ia akui bahwa ibunya memang berwatak keras luar biasa dan ternyata ibunya tidak mau menurut nasehat Yok-ong. Diam-diam ibunya masih menaruh hati dendam kepada keluaraga Cia dan kepada Hoa Hoa Cinjin yang sudah membunuh guru ibunya, Koai-sin-jiu Bhok Kim.
Ketika ia berusia dua puluh tahun, ibunya berkata, “Yan Bu, mari kau ikut aku pergi ke Min-san!”

Yan Bu sudah tahu bahwa Min-san adalah tempat tinggal keluarga Cia. Ia mengerutkan kening dan bertanya, “Ibu, perlu apakah kita pergi ke sana? Bukankah musuh besar kita, Cia Sun, sudah tewas?”

“Masih ada anak-anaknya!” bentak ibunya.

Yan Bu adalah seorang anak yang amat berbakti dan tidak berani membantah kehendak ibunya yang amat dikasihani dan disayangnya. “Ibu masih belum sehat benar, melakukan perjalanan begitu jauh apakah tidak melelahkan?”

Ibunya maklum bahwa anaknya ini agak lemah hatinya, maka ia berkata ketus, “Yan Bu, apa kau sudah lupa bahwa ayahmu mati dibunuh orang? Selain mencari sisa keluarga Cia untuk menagih hutang, juga aku hendak mencarikan warisan untukmu. Ibu tidak lama lagi hidup di dunia dan aku ingin melihat kau kelak menjadi seorang yang makmur hidupmu. Di sana terdapat sebuah surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng. Kalau bisa kita dapatkan .......”

Yan Bu tidak berani membantah lagi dan berangkatlah ibu dan anak ini menuju ke Min-san. Karena mengkhawatirkan keselamatan ibunya, Yan Bu membuat sebuah kereta dorong dan membujuk ibunya suka duduk di kereta itu yang selalu didorongnya tanpa mengenal bosan dan lelah. Jarang memang mencari seorang pemuda yang begitu berbakti seperti Yan Bu.

Demikianlah, sudah diceritakan betapa anak dan ibunya ini di jalan bertemu dengan Cia Han Sin dan Cia Bi Eng. Ang-jiu Toanio tercengang melihat persamaan wajah antara pemuda yang membawa monyet itu dengan Cia Sun. Akan tetapi setelah melihat cara berjalan pemuda itu menunjukkan bahwa pemuda itu adalah seorang pemuda dusun yang tidak mengerti ilmu silat, kecurigaannya lenyap dan ia melanjutkan perjalanannya dengan puteranya, mendaki puncak Min­san.

Dapat mendorong kereta ibunya mendaki puncak Min-san ini saja sudah membuktikan bahwa ilmu kepandaian Yan Bu memang sudah mencapai tingkat tinggi. Ginkangnya amat mengagumkan sehingga dalam melalui batu dan jurang, ia dapat melompatinya sambil masih mendorong kereta! Dan hebatnya, semua ini ia lakukan dengan senyum dan wajah berseri, sedikitpun tidak pernah mengeluh.

Ang-jiu Toanio agaknya tidak perdulikan kelelahan puteranya, malah melengut dalam kereta. Ketika membuka mata dan melihat bahwa mereka sudah tiba di daerah berbatu di sekeliling puncak dan atap rumah gedung keluarga Cia sudah tampak, wanita ini membuka lebar-lebar matanya dan berseru,

“Cepatlah, Yan Bu, cepat! Aku sudah ingin sekali bertemu dengan adikmu!”

Tentu saja Yan Bu terheran-heran mendengar ucapan ibunya ini. Pernah ibunya bercerita kepadanya bahwa adik perempuannya yang masih bayi dirampas oleh Kalisang dan hendak dijadikan makanan harimau.

“Ibu, apa Kalisang penjahat itu berada di rumah itu?” tanyanya penuh gairah. Ingin ia membalas dendam kepada orang Mongol jahat yang sudah merampas adiknya itu.

Ang-jiu Toanio agaknya sadar bahwa ia tadi telah bicara tanpa dipikir lagi. “Cepatlah dan jangan banyak bertanya.”

Tak lama kemudian mereka tiba di depan rumah gedung itu. Dua orang pelayan laki-laki tua yang sedang sibuk mengangkut-angkuti barang dari gedung itu, menyambut kedatangan mereka. Dua orang pelayan ini adalah pelayan keluarga Cia dan mereka memenuhi pesan Han Sin, mengangkuti barang-barang yang berada di gedung. Barang-barang itu tidak banyak karena sebagian besar sudah dijuali untuk biaya hidup keluarga itu selama uwak Lui memelihara kedua orang anak keluarga Cia. Karena tidak betah lagi tinggal di puncak tanpa kawan, dua orang pelayan itu hendak membawa semua sisa barang turun gunung dan hidup di dusun.

Melihat datangnya seorang wanita tua bersama seorang pemuda, dua orang pelayan itu segera menyambut dengan heran. Akan tetapi belum juga mereka membuka mulut, Ang-jiu Toanio sudah melompat ke depan mereka dan membentak,

“Di mana adanya anak-anak dari keluarga Cia?”

Dua orang pelayan itu tentu saja tidak senang melihat sikap tidak tahu aturan dari tamu ini, akan tetapi mereka sudah cukup lama ikut keluarga Cia dan sudah banyak melihat orang-orang kang-ouw yang aneh. Seorang di antara mereka yang tak dapat mengendalikan kemendongkolan hatinya menjawab.

“Mereka sudah tiga hari ini turun gunung. Toanio mencari mereka mau apakah?”

Tangan kiri Ang-jiu Toanio bergerak dan pelayan itu sudah dicengkeram bajunya di bagian dada.

“Banyak cerewet! Hayo katakan mereka pergi ke mana?”

Pelayan itu makin penasaran. “Toanio mengapa begini tidak tahu aturan? Kongcu dan Siocia sudah pergi, mana aku tahu ke mana?”

“Keparat, kau berani bicara begini terhadap aku?” Tangan kanan Ang-jiu Toanio menampar.

“Ibu ....!” Yan Bu mencegah namun terlambat.

Terdengar suara “plak!” disusul jerit mengerikan dan pelayan itu terlempar dan roboh tak bernyawa lagi. Di kepala bagian pelipisnya nampak tanda tapak lima jari tangan merah.

Dua orang pelayan itu sudah berpuluh tahun ikut Cia Sun, setidaknya mereka telah kenal akan kegagahan dan menerima pula warisan sifat gagah dari majikan mereka. Pelayan yang seorang lagi melihat kawannya dibunuh, segera maju dan menudingkan telunjuknya.

“Menggunakan kepandaian untuk menindas pelayan-pelayan lemah, sungguh tak tahu malu!”

Melihat sikap pelayan ke dua ini, Ang-jiu Toanio makin marah dan ia sudah bergerak maju. Akan tetapi Yan Bu memegang lengan ibunya.

“IBU, sabarlah, ibu ingat, kemarahan tidak baik bagi kesehatanmu.”

Baru saja Yan Bu berkata demikian, Ang-jiu Toanio sudah terhuyung-huyung sambil menekan dada kirinya. Memang tadi dalam kemarahannya ia lupa akan pantangannya, maka tiba-tiba ia merasa dada kirinya sakit sekali. Cepat-cepat Yan Bu memondong ibunya dan mendudukkannya ke dalam kereta. Pemuda yang berbakti ini lalu mengurut-urut punggung ibunya sehingga keadaan Ang-jiu Toanio berangsur baik.

“Kau tanyai dia, ke mana perginya anak-anak keluarga Cia,” kata nyonya itu sambil terengah-­engah.

Yan Bu menghampiri pelayan ke dua yang memandang kejadian itu dengan heran. “Toapek, harap kau sudi memaafkan ibuku yang sedang marah. Kami perlu sekali mencari anak-anak keluarga Cia. Harap kau sudi memberi keterangan ke manakah gerangan perginya kongcu dan Siocia keluarga Cia.”

Pelayan itu tadinya sudah nekat dan bersedia dibunuh oleh nyonya galak itu menyusul kawannya, sekarang menghadapi pemuda yang demikian berbakti dan sopan, ia menarik napas panjang.

“Kawanku ini memang berkata benar. Kami mana tahu ke mana perginya kongcu dan Siocia? Mereka hanya bilang hendak turun gunung tidak kembali lagi, mereka baru tiga hari pergi bersama Siauw-ong.”

Yan Bu membelalakkan matanya. “Kau maksudkan Siauw-ong itu seekor monyet kecil?”

“Betul, betul ..... bagaimana kongcu bisa tahu?”

Akan tetapi Yan Bu sudah lari kepada ibunya. “Ah, ibu. Ternyata merekalah anak-anak keluarga Cia!” serunya.

“Mereka siapa?”

“Dua orang yang kemaren dulu kita jumpai di jalan, yang membawa monyet.”

Mulut Ang-jiu Toanio celangap. “Apa .....? Mereka .....??”

Ia teringat betapa wajah pemuda yang menggendong monyet itu sama benar dengan Cia Sun. Akan tetapi gadis itu .... dan cara mereka berjalan .....

“Yan Bu, ayoh kejar mereka!” katanya kemudian dan di lain saat, pemuda itu sudah mendorong kereta dan cepat berlari menghilang dari puncak, diikuti pandang mata terheran-heran oleh pelayan yang kemudian dengan sedih terpaksa merawat mayat kawannya yang terbunuh secara mengerikan. Sambil mencangkul tanah membuat kuburan, mulutnya tiada hentinya bicara seorang diri,

“Keji ....! Sungguh kejam orang-orang kang-ouw yang pandai silat. Semoga kongcu dan Siocia diselamatkan dari pada kekejaman mereka ....”

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment