Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 015

◄◄◄◄ Kembali

Dengan amat nyaman Han Sin yang di”hukum” di Can-tee-gak (Ruangan Dalam Neraka) bukannya mengeluh dan berkuatir, malah tidur nyenyak sekali. Tempat itu yang diapit batu karang tinggi merupakan terowongan untuk angin gunung maka tubuhnya serasa dikipasi dan sejuk sekali. Setelah kenyang tidur, tiba-tiba ia bangun ketika telinganya mendengar suara yang amat dikenalnya. Suara cecowetan.

“Siauw-ong, kau di mana?” tegurnya. Tak salah lagi, itulah suara monyetnya. Akan tetapi ia tidak melihat monyet itu dan suara monyetnya terdengar dari atas. Tahulah ia bahwa tentu Siauw-ong berada di atas jurang. Tiba-tiba ia menjadi gelisah. Kalau Siauw-ong muncul, tentu muncul pula Bi Eng. Bukankah monyet itu tadi pergi mengikuti adiknya? Dan kalau Bi Eng kembali, tentu adiknya yang berwatak keras dan berani itu akan bentrok dengan para tosu Cin-ling-pai.

“Siauw-ong! Eng-moi! Kalian pergilah dari sini, biar nanti aku menyusul!” serunya ke atas. Akan tetapi tidak terdengar jawaban kecuali gema suaranya sendiri. Malah suara Siauw-ong tidak terdengar lagi. Ia menarik napas lega. Mudah-mudahan mereka mau menuruti permintaanku dan melarikan diri, pikirnya.

Pemuda ini sama sekali tidak tahu bahwa ketika ia tadi tertidur, seorang gadis yang cantik telah menuruni jurang itu melalui seutas tambang. Dengan gerakan lincah melebihi seekor kera gadis itu, Thio Li Hoa, telah menuruni Can-tee-gak untuk melihat sendiri kebenaran cerita tosu-tosu Cin-ling­pai tentang seorang pemuda she Cia yang sudah membunuh Ban Kim Cinjin. Gadis ini memang cerdik sekali, melebihi para suhengnya, maka begitu mendengar seorang pemuda bershe Cia, timbul kecurigaannya.

Tidak semata-mata ia hendak menyelidiki kebenaran cerita para tosu itu, melainkan ia menaruh dugaan bahwa mungkin sekali pemuda dan adik perempuannya itu adalah keturunan Cia Sun yang sudah turun gunung. Cia Sun seorang pendekar besar, tidak aneh apabila mempunyai seorang putera yang berkepandaian tinggi. Kalau ia dapat menemui pemuda itu dan mendahului orang lain merampas surat wasiat Lie Cu Seng, bukankah ini baik sekali? Seluruh orang pandai di dunia kang­ouw mengilar untuk mendapatkan surat wasiat itu, apa lagi dia! Terpincuk oleh harta terpendam? Cih, siapa memikirkan harta terpendam?

Sesungguhnya, bukan harta terpendam, melainkan kitab rahasia yang hebat, kitab pelajaran ilmu silat yang luar biasa dan tiada keduanya di dunia ini. Itulah kitab pelajaran peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling dirahasiakan, yang kabarnya terjatuh ke dalam tangan Lie Cu Seng namun belum ada seorangpun manusia sempat mempelajari isinya.

Kitab yang tiada bandingannya di dunia lebih berharga dari pada harta dunia yang paling mahal, yang dibuat rindu oleh semua tokoh kang-ouw! Inilah yang membuat gadis cerdik ini tergesa-gesa mencari Cia Han Sin karena ia menduga bahwa pemuda ini tentulah putera Cia Sun dan membawa surat wasiat.

Ketika Li Hoa berhasil menuruni dasar jurang Can-tee-gak, ia melihat seorang pemuda sedang tidur pulas dengan duduk bersandar pada batu karang. Hatinya terkesiap dan jantungnya berdebar ketika ia melihat Han Sin. Tak disangkanya ia akan menjumpai seorang pemuda setampan ini dan segagah ini. Dalam tidur, biarpun dalam keadaan terbelenggu dan berada di dasar jurang dalam, bibirnya masih tersenyum dan pada wajah yang amat tampan itu seujung rambutpun tidak kelihatan tanda gelisah atau ketakutan.

Melihat wajah pemuda ini, diam-diam Li Hoa merasa denyut jantungnya menjadi cepat sekali dan kedua pipinya menjadi panas. Aneh, mengapa aku menjadi begini? Demikian pikir gadis itu dengan heran. Ketika itu, Han Sin menggerakkan sebelah kakinya dan cepat ringan bagaikan seekor burung walet, gadis itu sudah melompat dan menyelinap bersembunyi ke balik sebuah batu disebelah kanan pemuda itu. Ia mengintai dari tempat sembunyinya dan diapun mendengar suara cecowetan seekor monyet dari atas jurang.

Ketika pemuda itu memanggil-manggil nama monyet itu dan nama adik perempuannya, hati Li Hoa girang bukan main. Ketika ayahnya menyuruh orang menyelidik ke Min-san, diapun mendengarkan laporan penyelidik-penyelidik itu bahwa Min-san sudah ditinggal pergi oleh putera dan puteri Cia Sun yang turun gunung membawa seekor monyet. Tak salah lagi, inilah putera Cia Sun dan tentu dia inilah yang membawa pergi surat wasiat itu! Aku harus cepat turun tangan, jangan sampai didahului oleh para tosu Cin-ling-pai, pikirnya, Maka keluarlah ia dari tempat persembunyiannya.

Akan tetapi pada saat itu, Han Sin berseru girang dan dari atas meluncur turun bayangan hitam kecil yang merosot dengan amat cepatnya. Li Hoa kaget sekali. Dia sendiri tidak akan dapat meluncur turun melalui tambang secepat itu. Kalau lawan yang datang ini, tentu hebat kepandaiannya. Akan tetapi setelah dekat, ternyata yang meluncur itu adalah seekor monyet yang kecil yang kini sudah tergantung-gantung di atas kepala Han Sin.

“Siauw-ong, kau turun juga? Mana nonamu?” tegur Han Sin yang masih belum melihat bahwa kini Li Hoa sudah berdiri di belakang batu.

Siauw-ong lebih awas. Monyet ini mengeluarkan bunyi nyaring dan cepat meloncat turun, lalu membalikkan tubuh menghadapi Li Hoa dengan mulut meringis memperlihatkan taring-taringnya. Baru sekarang Han Sin menengok dan ia kaget bukan main. Matanya melongo memandang wajah gadis yang cantik bukan main ini. Bagaimana di tempat ini ada seorang gadis sedemikian cantik manisnya? Tentu seorang dewi dari kahyangan, pikirnya. Kalau manusia biasa, mana bisa seorang gadis selemah itu menuruni tempat ini?

“Siauw-ong, mundur kau! Jangan kurang ajar!” bentaknya keras melihat sikap Siauw-ong hendak menyerang nona itu.

Siauw-ong tidak berani membantah perintah tuannya, lalu melompat mundur dan duduk di atas pundak Han Sin, mengeluarkan bunyi sedih melihat tubuh pemuda itu dibalut rantai-rantai besi yang amat besar dan kuat.

Li Hoa melangkah maju dan Han Sin segera mencium bau harum yang keluar dari pakaian gadis itu yang indah dan mewah. Melihat dandanan dan sanggul yang indah luar biasa itu, Han Sin tidak sangsi lagi bahwa ini tentulah seorang dewi. Ia seringkali membaca dongeng-dongeng tentang dewi dan dewa, maka cepat ia berlutut, dan mengangguk-anggukan kepalanya sambil berkata.

“Hamba Cia Han Sin yang penuh dosa mohon ampun bahwa hamba tidak dapat menyambut kedatangan dewi yang bijaksana!”

Ia mengira akan mendengar jawaban yang merdu dan berpengaruh seperti layaknya suara seorang dewi, akan tetapi alangkah herannya ketika ia sebaliknya mendengar suara ketawa kecil cekikikan karena geli hati. Celaka, pikirnya, teringat akan dongeng-dongeng dalam buku-bukunya, kalau dewi tidak pernah tertawa seperti ini, kecuali siluman! Dia siluman .....!

Ia memberanikan hati dan mengangkat muka, akan tetapi tidak melihat gadis itu tertawa lagi, melainkan melihat wajah yang keren, cantik sekali, dan agung. Memang watak Li Hoa tidak periang dan gadis ini keras hati serta angkuh. Tapi melihat sikap Han Sin tadi, ia tidak dapat menahan kegelian hatinya dan tertawa. Baiknya ia cepat dapat menguasai hatinya lagi sehingga ketika pemuda itu mengangkat muka, ia sudah dapat menggigit bibirnya dan memandang tajam dengan muka merah.

“Tak usah main gila, aku bukan dewi segala macam!” bentaknya ketus.

“... kau bukan .... bukan .....” kata Han Sin gagap karena masih bingung oleh jalan pikirannya sendiri tadi.

“Bukan apa?” bentak Li Hoa lebih ketus lagi.

Han Sin tak dapat menjawab. Tak mungkin ia melanjutkan kata-katanya yang kurang kata-kata “siluman betina” tadi. Ia hanya menjawab, “Aku tidak menyangka di tempat ini dapat bertemu dengan nona, maka aku menjadi kaget dan bingung. Harap nona suka memaafkan sikapku tadi,” katanya dan mukanya menjadi merah saking jengah mengingat sikapnya tadi.

Gadis itu mendengus kecil lalu duduk di atas sebuah batu di depan Han Sin. Mata yang jeli itu memandang penuh selidik, dan ia berhasil menyembunyikan kekagumannya melihat potongan tubuh dan wajah pemuda itu.

“Aku turun ke sini untuk memeriksamu. Siapa namamu?”

Sampai lama Han Sin tidak dapat menjawab. Ia terheran-heran. Yang menangkapnya adalah tosu-­tosu Cin-ling-pai dan tadi ia hanya melihat banyak sekali tosu-tosu tua muda, tidak seorangpun ada wanitanya. Bagaimana sekarang tahu-tahu muncul seorang gadis secantik bidadari datang untuk memeriksa perkaranya? Saking tercengang dan heran, ia sampai tidak mendengar pertanyaan tadi.

“Hei! Siapa namamu?” Li Hoa mengulang.

Han Sin sampai menjumbul (tersentak), tapi dengan senyum tenang ia menatap wajah penanyanya.

“Ah, sampai kaget aku. Kenapa sih nona yang belum mengenal aku sudah membentak-bentak seperti orang marah? Apakah ada sesuatu yang menjengkelkan hatimu, nona?” Han Sin memang berhati mulia dan halus. Melihat orang marah-marah itu ia salah duga dan mengira nona ini sedang mengandung kejengkelan, maka ia berusaha menghibur malah.

“Jangan banyak cerewet. Jawab, siapa namamu?” Li Hoa membentak, makin keras karena marah dan mengira Han Sin mempermainkannya.

Han Sin menarik napas panjang. “Kasihan, semuda ini sudah banyak mengalami kejengkelan hati. Bisa lekas tua .....”

“Plak! Plak!”

Dua tamparan tangan Li Hoa jatuh di pipi kanan kirinya. Di pipi yang putih itu tampak membekas merah lima jari tangan Li Hoa. Tentu pedas dan sakit rasanya, akan tetapi Han Sin hanya tersenyum saja. Dia seorang pemuda yang berani, tenang dan kuat menderita.

“Terima kasih, nona,” katanya dengan senyum dikulum.

Tak kuat Li Hoa menghadapi senyum itu, apalagi pancaran sinar mata yang tajam luar biasa dari pemuda aneh ini, jantungnya berdenyut dan pipinya menjadi merah, lebih merah dari pipi Han Sin yang sudah mulai menghilang tapak jarinya.

“Habis kau .... kau kurang ajar sih ....” katanya perlahan seperti pernyataan menyesal bahwa ia sudah memukul orang yang begini halus.

Han Sin mengangkat alisnya. “Maaf, aku tidak bermaksud kurang ajar. Baiklah, kujawab pertanyaanmu tadi. Namaku Cia Han Sin, dan kau siapa, nona?”

“Kau putera Cia Sun?” tanya lagi Li Hoa tanpa menjawab pertanyaan orang.

“Eh, bagaimana kau bisa tahu? Apa kau kenal orang tuaku? Sayang ayah sudah meninggal, kalau belum aku dapat menanyakan namamu kepadanya.”

Li Hoa tidak memperdulikan ucapan orang, hatinya terlampau girang mendapat kenyataan bahwa dugaannya tadi benar. Nafsunya untuk mendapatkan surat wasiat tak dapat ditahannya lagi.

“Orang she Cia, kau tentu membawa surat wasiat Lie Cu Seng, betul tidak?” Suaranya sampai menggetar saking tegang hatinya.

Han Sin bukannya tidak tahu bahwa orang-orang kang-ouw menghendaki surat wasiat itu dan iapun mengerti bahwa dia harus merahasiakannya. Akan tetapi melihat seorang gadis cantik dan muda seperti gadis ini juga ikut memperebutkannya, ia menjadi penasaran. Ia tertawa masam dan menjawab,

“Eh nona! Kenapa kau tahu segala? Tahu ayahku, tahu tentang surat wasiat segala. Benar-benar kau hebat, siapa sih kau?”

“Namaku Li Hoa, she Thio. Cia Han Sin, tahukah kau bahwa jiwamu terancam karena kau membawa-bawa surat wasiat itu? Semua orang jahat di dunia menghendakinya. Kaupun dikurung di sini karena kau menyimpan surat itu. Kau berikanlah kepadaku dan aku akan bantu kau melarikan diri dari tempat ini.” Tiba-tiba sikap Li Hoa menjadi manis sekali, ramah dan kerling matanya memikat.

Kini Han Sin tertawa sungguh-sungguh. Ha ha ha, begini baru manis kau, Li Hoa. Orang secantik engkau memang seharusnya ramah tamah, baru patut. Akan tetapi kau tadi bilang bahwa orang-orang jahat di dunia menghendaki surat itu, kurasa kau keliru. Bukan hanya orang-orang jahat, malah orang-orang baik dan cantik seperti engkau sekalipun menghendakinya!”

WAJAH Li Hoa menjadi merah akan tetapi ia tersenyum. Dia dipuji-puji orang, tentu saja hatinya senang, biarpun dia seorang gadis yang keras hati.

“Aku tidak menghendaki harta benda, aku hanya ingin menolongmu supaya kau terhindar dari gangguan orang jahat.”

“Eh, kenapa kau begini baik hati? Kita baru saja bertemu,” kata Han Sin sambil tertawa, pandang matanya tidak percaya dan curiga.

“Sudahlah, kau dibaiki orang tidak mengerti. Kelak kuceritakan semua. Sekarang lebih baik kuambil dulu surat itu darimu.” Setelah berkata demikian, tangan Li Hoa digerakkan dan menggeledahi pakaian di tubuh Han Sin. Sepuluh buah jari tangan yang runcing halus dan kecil-­kecil itu seperti sepuluh ekor ular menggelitik tubuh Han Sin.

Pemuda ini tidak tahan lagi dan tertawa terkekeh-kekeh. “Ha ha hi hi, ah gelinya. Aduhh .... aduh geli, jangan kau kitik-kitik aku, nona .....!”

Li Hoa makin jengah dan segera menghentikan geledahnya. Ternyata dia tidak mendapatkan surat itu biarpun kedua tangannya sudah menggeledah ke sana-sini hingga menyentuh tubuh pemuda itu. Memikirkan perbuatannya tadi, diam-diam ia merasa lucu dan malu, juga jantungnya berdebar makin keras. Selama hidupnya belum pernah jari-jari tangannya menyentuh kulit tubuh seorang pemuda seperti ini.

“Kau tidak mau memberikan, sih. Awas, akan kukitik-kitik lagi kau sampai tidak kuat dan mati kaku kalau kau tidak memberitahu kepadaku di mana kau simpan surat wasiat itu.”

Han Sin menahan tawanya dan menggeleng-geleng kepalanya. “Nona .....eh, Li Hoa, kau anak baik, kalau adikku melihatmu tentu dia senang. Sayang kita berkenalan dalam keadaan seperti ini. Dengarlah, surat yang kau maksudkan itu tidak mungkin kuberikan kepada lain orang, karena memang menjadi hak milikku sebagai warisan ayah. Selain itu, kuberitahukan juga kepadamu, tak mungkin kau bisa mengambilnya.”

“Masa? Coba kau beritahukan di mana. Aku pasti dapat mengambilnya. Kau kira aku begitu bodoh dan lemah?” tantang Li Hoa, hatinya girang sekali. Kiranya pemuda ini seorang yang tolol, pikirnya. Tampan dan kelihatan cerdik pandai, akan tetapi sesungguhnya tolol dan lemah. Maka ia memperlihatkan sikap seramah itu, sungguh berlawanan dengan tabiatnya yang biasanya keras dan kaku. Menghadapi seorang pemuda tolol harus menggunakan siasat halus, pikirnya. Dia sama sekali tidak mengira bahwa Han Sin sama sekali tidak tolol, melainkan seorang yang amat jujur dan terlalu percaya kepada orang karena bagi dia yang selalu hidup dalam kitab-kitab sucinya, manusia di dunia ini kesemuanya baik-baik belaka, malah ia belum begitu percaya ada orang bisa berhati jahat!

Tiba-tiba pemuda itu tertawa bergelak. “Tidak .... tidak .... kau takkan berani mengambilnya, Ha ha ha!”

“Aku tidak berani? Asal tidak di neraka, aku akan menempuh api menyeberang laut, aku akan berani mengambilnya,” jawab Li Hoa agak mendongkol. Dia gadis paling berani di dunia ini menurut pendapatnya, masa pemuda ini bilang dia takkan berani?

“Aku tidak bisa memberitahukan, aku .... aku ... ah, memalukan!”

Gadis itu melengak. Apakah pemuda ini sudah miring otaknya. Ia mendongkol dan merasa dipermainkan, akan tetapi ia masih ragu-ragu dan memaksa diri berlaku manis.

“Han Sin yang baik, kau beritahukanlah, aku pasti akan berani mengambilnya. Ini demi kebaikanmu sendiri, tahu? Kalau harta benda itu terjatuh ke dalam tanganku, aku Thio Li Hoa bersumpah akan menyerahkan semua harta itu ke tanganmu. Aku sudah cukup kaya, aku tidak butuh lagi harta dunia.”

Han Sin memandangnya. “Li Hoa, aku tahu kau anak baik. Aku percaya kepadamu. Akan tetapi sudah kukatakan, surat itu warisan ayah, tak boleh diberikan kepada orang lain. Selain itu, juga .... juga takkan dapat kau mengambilnya, karena kusimpan .... kusimpan ....”

“Di mana ....??” Li Hoa berteriak tak sabar lagi.

“Di dalam ... di dalam celana .... kuikatkan dibalik celanaku. Nah, kau memaksa aku mengaku sih, bukannya aku tak tahu malu. Apa kau berani mengambilnya? Kurasa tidak mungkin kau gadis baik-­baik dan sopan.”

Tadinya mata gadis itu membelalak lebar, kemudian ia menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali, di lain saat Li Hoa sudah tertawa bergelak, akan tetapi hanya sebentar saja. Sementara itu, melihat gadis itu tidak mengganggu Han Sin, monyet Siauw-ong sejak tadi memandang gerak-­gerik mereka dan ikut tertawa dan melonjak-lonjak girang tiap kali melihat dua orang itu tertawa. Sekarangpun ia tertawa sambil berloncat-loncatan.

“Han Sin, kau benar. Aku tidak berani mengambilnya. Akan tetapi akupun tidak percaya kepadamu, kau tentu bohong.”

“Selama hidupku, aku Cia Han Sin tidak pernah bohong dan tidak akan mau membohong!” bentak Han Sin marah.

“Kalau betul tidak bohong, tunjukkan buktinya. Seorang laki-laki harus berani membuktikan kebenaran omongannya!”

“Mana bisa? Kedua tanganku dirantai.”

“Tunggulah, akan kubebaskan kau!” kata Li Hoa dan “srett!” pedangnya telah ia cabut.

Melihat pedang ini, Siauw-ong mengeluarkan pekik kaget dan tiba-tiba ia menyerbu, meloncat tinggi dengan tangan kiri berusaha merampas pedang dan tangan kanan mencengkeram ke arah leher Li Hoa.

Kaget sekali gadis ini menyaksikan gerakan yang begitu cepat dan lincah, juga tidak secara ngawur, melainkan gerakan seorang ahli silat! Biarpun ia sudah mengelak ke kiri, namun ujung lengan bajunya kena disambar dan robek! Boleh jadi gadis ini seorang ahli silat tinggi, murid kesayangan ketua Coa-tung Kai-pang, akan tetapi monyet inipun bukan monyet sembarangan. Dia seorang “murid” tak langsung dari Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang ilmunya tidak kalah oleh Coa-tung Sin­kai ketua dari Coa-tung Kai-pang!

“Siauw-ong, jangan kurang ajar. Mundur kau! Nona itu bukan hendak membunuhku, melainkan hendak menolongku. Mundur!” Benar saja, Siauw-ong mentaati perintah ini dan dia melompat mundur, akan tetapi sepasang matanya yang kecil masih memandang tajam penuh curiga ke arah Li Hoa.

Gadis ini kagum sekali. “Eh, Han Sin. Monyetmu ini ternyata lebih setia dari pada manusia biasa. Kepandaiannya pun lumayan. Coba kau berdiri membelakangiku, biar kuputuskan rantai ini.”

Dengan tenang dan penuh kepercayaan, pemuda itu berdiri lalu membelakangi Li Hoa. Gadis itu makin terharu. Benar-benar seorang pemuda yang hebat, penuh keberanian, jujur dan amat baik hati, terlalu baik hati. Kalau dia mau, bukankah sekali tabas saja ia akan dapat menewaskan pemuda itu. Pedangnya diangkat, sinar berkelebat disambung bunyi nyaring dan ternyata rantai itu telah putus oleh sabetan pedang di tangan Li Hoa!

Siauw-ong memekik dan meloncat-loncat kegirangan sedangkan Han Sin lalu meloloskan rantai yang sudah putus itu dari tubuhnya. Ia menarik napas dan memandang kagum kepada Li Hoa.

“Li Hoa, melihat adikku yang bisa belajar silat aku heran. Sekarang ternyata kaupun seorang gadis muda sudah memiliki kepandaian silat dan begini kuat, benar-benar aku menjadi makin heran. Untuk apa sih gadis-gadis cantik jelita belajar silat dan menjadi kuat dan kasar seperti laki-laki. Bukankah lebih baik kalau gadis cantik halus lembut dan lemah gemulai?”

“Jangan ngaco! Lekas kau ambil surat itu kalau memang kau tidak membohongiku!” kata Li Hoa tidak sabar lagi.

“Akan tetapi hanya untuk bukti bahwa aku tidak bohong, sama sekali bukan hendak kuberikan kepadamu atau kepada siapapun juga,” kata Han Sin sambil membalikkan tubuh membelakangi Li Hoa lalu merogoh ke dalam celananya. Dalam sebuah saku yang dipasang pada balik celananya, di situlah selama ini ia menyimpan peta kuno itu. Ketika ia membalikkan tubuh lagi menghadapi Li Hoa, ia sudah memegang peta itu dengan wajah berseri.

“Aku Cia Han Sin tak pernah membohong. Inilah wasiat itu!”

Tiba-tiba tangan kiri Li Hoa menyambar dan peta itu sudah direbutnya. Terdengar suara kertas robek dan ternyata peta itu sudah robek menjadi dua potong, sepotong di tangan Li Hoa dan yang sebelah lagi di tangan Han Sin.

“Eh, kau ... kenapa kau merampasnya?” teriak Han Sin marah.

Li Hoa tersenyum, pedangnya bergerak menodong di depan dada Han Sin.

“Tolol, memangnya kau kira nonamu suka bercanda denganmu? Berikan yang sebelah lagi, kalau tidak ujung pedangku akan menembusi dadamu!”

Melihat ini, Siauw-ong marah dan menyerang akan tetapi Han Sin mencegahnya.

“Jangan Siauw­ong! Nona ini hanya main-main!” Siauw-ong mundur lagi. Binatang ini memang paling taat dan takut kepada Han Sin.

“Li Hoa, jangan kau begini. Apa kau tidak malu?”

“Tutup mulut, berikan potongan yang di tanganmu itu!”

Han Sin tertawa getir. Ia kecewa. Baru sekarang terbuka matanya bahwa gadis ini memang benar-­benar menghendaki surat wasiat, bahwa sikap yang ramah tadipun hanyalah pura-pura sebagai siasat merampas surat wasiat. Kembali ia dikecewakan orang. Ia tertawa-tawa keras.

“Ha ha ha, Li Hoa, tidak ada gunanya potongan peta ditanganmu itu. Itu hanya corat-coret tidak ada artinya. Penjelasannya berada di tanganku ini. Dan kau takkan bisa mendapatkannya, biarpun kau akan menusuk mampus dadaku.”

Setelah berkata demikian, dengan hati gemas Han Sin meremas peta di tangannya itu. Ia tidak sengaja hendak merusak peta itu karena tidak tahu bahwa ia akan dapat melakukannya. Akan tetapi begitu ia mengerahkan tenaga karena marah dan kecewanya, mengalirlah tenaga ke dalam jari-jari tangan yang memegang peta, terdengar suara aneh dan ...... tahu-tahu potongan peta di tangannya itu menjadi hancur berkeping-keping tak mungkin bisa dibaca atau disambung lagi. Ia menyebar kepingan kertas itu ke atas dan sambil tertawa ia melihat kepingan itu diterbangkan oleh angin, sebagian jatuh di atas rambut kepala Li Hoa dan menambah kecantikannya.

“ Ha ha ha, kau lihat tidak, Li Hoa? Potongan di tanganmu itu tidak ada artinya sama sekali!”

Li Hoa buru-buru melihat potongan peta itu dan benar saja, di situ hanya terdapat gambar sebagian gunung dan lembah, tidak ada huruf-hurufnya sama sekali. Bagaimana orang dapat mengenal gambar sebelah gunung tanpa tanda-tanda yang jelas. Diapun kaget melihat pemuda itu sekali remas dapat menghancurkan kertas yang tipis dan lunak. Tanpa memiliki lweekang yang tinggi, mana bisa melakukan hal itu? Meremas hancur sepotong batu yang keras masih lebih mudah dilakukan dari pada meremas hancur sepotong kertas yang lunak dan ulet.

Akhirnya ia menyimpan potongan itu ke dalam saku bajunya lalu berkata, “Han Sin, kau benar-­benar tolol. Kau tidak mau memberikan peta itu kepadaku, sebaliknya malah merusaknya. Setelah rusak di tanganmu, bagaimana kau akan dapat memenuhi kehendak ayahmu supaya kau mencari rahasia peta itu?”

Han Sin memang jujur. Biarpun gadis cantik ini sudah menipunya, dia tidak merasa sakit hati, tidak menaruh dendam.

“Bukan aku yang tolol, Li Hoa, mungkin kau sendiri. Apa aku mau merusaknya sebelum semua isi peta itu pindah ke dalam ingatanku? Bagiku sama saja, ada peta atau tidak.”

Li Hoa memandang tidak percaya. Han Sin menjadi penasaran. Dia sejak kecil hanya hidup berdua dengan adiknya dan tiga orang pelayan. Belum pernah mempunyai teman lain dan sekarang bertemu dengan Li Hoa, dia merasa senang. Sebagai seorang manusia biasa, tentu saja pemuda ini masih mempunyai sifat ingin dipuji kepandaiannya. Maka cepat ia berjongkok di atas tanah.

“Kau lihat, bukankah bagian yang ada padamu itu seperti ini?”

Jari telunjuknya mencorat-coret di atas tanah dan mata Li Hoa membelalak kaget. Memang, persis sekali gambar itu dengan gambar pada peta yang ia rampas! Diam-diam ia menjadi girang sekali. Kalau begitu, asal dia bisa menawan pemuda ini, perlahan-lahan ia dapat membujuknya untuk menggambar kembali peta yang tadi sudah diremasnya sampai hancur. Memang Li Hoa menghendaki peta kertas, akan tetapi kalau peta kertas sudah rusak, peta di dalam otak pemuda inipun boleh juga. Ia tersenyum manis sekali ketika berkata,

“Han Sin, kau kira aku ini orang macam apakah? Aku tadi hanyalah ingin mencoba kepandaianmu saja. Untuk apa bagiku peta ini? Kau lihatlah baik-baik!” Ia lalu mengeluarkan peta sepotong tadi dan dirobek-robeknya sampai hancur. Tidak dapat ia meremasnya seperti yang dilakukan Han Sin tadi. Pemuda itu menjadi girang sekali.

“Ah, kiranya aku tadi salah sangka. Memang aku tahu kau baik sekali, Li Hoa.”

“Sekarang kau ikutlah aku keluar dari neraka ini. Biar aku yang membujuk para tosu supaya kau dibebaskan.”

Han Sin mengangguk-angguk. “Memang akupun tidak percaya para tosu itu akan mengurungku selama hidup di tempat ini.” Ia memandang ke atas, lalu menggeleng-geleng kepala. “Tempat begini tinggi, bagaimana aku bisa keluar dari sini?”

“Bukankah sudah kupasangi tambang? Monyetmu tadipun bisa turun melalui tambang.”

“Monyetku tentu bisa, akan tetapi aku bukan monyet.”

“Eeh, kau jadinya mau menyamakan aku dengan monyet?” Li Hoa cemberut dan hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi ia teringat bahwa tadipun ia sudah menampar dua kali, maka sebagai gantinya, jari tangannya mencubit pundak orang.

“Aduh, cubitanmu sama sakitnya dengan tamparanmu.” Han Sin tertawa dan memandang wajah gadis yang kemerahan itu. “Aku tidak hendak memakimu, hanya terus terang saja, kau dan Siauw­ong tentu bisa memanjat naik, akan tetapi aku ... ah, aku tidak bisa.”

Entah mengapa, setelah bercakap-cakap dengan pemuda itu beberapa lamanya di dasar Can-tee-gak, timbul perasaan mesra dalam hati Li Hoa. Tanpa ia sadari, rupanya ia telah jatuh cinta kepada pemuda ini, biarpun suara hatinya sendiri itu ia bantah keras-keras terdorong oleh wataknya yang keras. Ia berusaha bersikap kasar dan memperlihatkan kekejaman terhadap Han Sin, namun beberapa kali ia jatuh.

Lanjut ke jilid 016 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment