Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 016

◄◄◄◄ Kembali

“Tak usah banyak cakap, ayoh ku bantu!” Dengan cepat Li Hoa lalu menyambar lengan orang dan tak lama kemudian dengan bantuan gadis itu, Han Sin memanjat tambang itu ke atas. Li Hoa berada di bawahnya dan gadis inilah yang menahan tubuhnya sampai akhirnya mereka berdua tiba di atas jurang. Siauw-ong yang mengikuti dari belakang juga melompat dengan girangnya, lalu ia meloncat ke atas pundak Han Sin, telunjuknya menuding-nuding ke bawah gunung, agaknya hendak mengajak pemuda itu pergi selekasnya.

“Nonamu di mana, Siauw-ong?” tanya Han Sin yang tak pernah melupakan Bi Eng.

Siauw-ong mengeluarkan suara cecowetan sambil menunjuk ke bawah puncak. Pada saat itu, tiga orang pengemis tua nampak berlari mendatangi dengan wajah gelisah. Mereka itu setelah menanti beberapa lamanya belum melihat kembalinya Li Hoa, menjadi gelisah dan menyatakan perasaannya kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ji Cin Cu tertawa dan berkata,

“Jangan-­jangan Thio-siocia celaka pula di tangan bocah aneh itu. Lebih baik sam-wi losicu menengoknya di Can-tee-gak.”

Maka pergilah tiga orang tokoh Coa-tung Kai-pang itu ke jurang Can-tee-gak dan kebetulan sekali pada saat mereka tiba di situ, Li Hoa dan Han Sin serta Siauw-ong juga sudah sampai di tepi jurang dengan selamat. Tentu saja Tok-gan Sin-kai dan kawan-kawannya menjadi lega dan girang. Sebelum mereka sampai bicara, Li Hoa sudah mengedipkan matanya lalu berkata,

“Sam-wi suheng, saudara ini memang tidak mengerti ilmu silat dan tidak mungkin dia yang membunuh Ban Kim Cinjin. Akan tetapi karena dia tersangkut dalam pembunuhan itu, biar kita melindungi dia turun gunung dan kita pancing orang yang melakukan pembunuhan.”

Tiga orang kakek itu mengangguk-angguk. Tentu saja mereka sama sekali tidak pernah menyangka bahwa dalam urusan dengan pemuda ini sumoi mereka telah menyimpan rahasia, yaitu rahasia surat wasihat Lie Cu Seng. Mereka menganggap kata-kata sumoi mereka itu memang cocok dengan keadaan, maka mereka lalu menyetujuinya bulat-bulat. Hanya Han Sin yang melongo dan tidak tahu mengapa tiba-tiba nona itu bicara tentang kematian Ban Kim Cinjin dan sama sekali tidak menyinggung soal peta. Pula dia tidak kenal siapa adanya tiga orang pengemis itu.

“Nona Li Hoa, setelah kau menolongku keluar dari jurang, biarlah aku tidak mengganggu kau lebih lama. Aku hendak menyusul adikku. Aku tidak kenal dengan tiga orang lo-enghiong ini. Adapun tentang Ban Kim Cinjin, dia seorang jahat yang banyak membunuhi tosu Cin-ling-pai. Kematiannya entah sebab apa, mungkin ..... aku yang membunuhnya, tapi itupun amat aneh ..... ah, biarlah aku pergi.”

“Cia-twako, kalau kau pergi seorang diri, apa kau kira para tosu di sini akan membiarkan kau pergi begitu saja? Kau harus ikut dengan kami.”

Pada saat itu, terdengar suara orang dan muncullah It Cin Cu, Ji Cin Cu dan ketiga Cin-ling Sam­eng. Melihat pemuda she Cia sudah naik dan bercakap-cakap dengan empat orang tamunya, mereka segera menghampiri.

“Nona Thio, bukankah keterangan kami tadi benar? Mengapa bocah ini kau bawa naik?” tegur It Cin Cu.

Diam-diam para tosu tadi seperginya tiga orang pengemis yang menyusul Li Hoa, berunding dan mereka mengambil keputusan untuk melindungi Cia Han Sin. Setelah mempunyai dugaan bahwa pemuda itu keturunan Cia Sun, mereka tidak bisa memeluk tangan begitu saja, menyerahkan pemuda keturunan pahlawan yang mereka kagumi itu terjatuh ke dalam kaki tangan pemerintah Ceng.

“Kami hendak membawanya sebagai pembunuh Ban Kim Cinjin,” kata Tok-gan Sin-kai dengan suara geram.

Ji Cin Cu tertawa. “Ha ha, nanti dulu, sobat. Pembunuhan atas diri Ban Kim Cinjin terjadi di tempat kami. Kalau kami tidak bisa membereskan sendiri perkara ini, apa akan dikatakan oleh orang-orang kang-ouw? Apakah kami orang-orang Cin-ling-pai sudah tidak becus mengurus persoalan ini? Tidak, bocah ini tidak boleh kalian bawa turun gunung.”

Serentak tiga orang pengemis tua itu mengangkat tongkat ular mereka melintang ke depan dada, dan Tok-gan Sin-kai berseru keras,

“Tosu-tosu Cin-ling-pai, apakah kalian berani memberontak?”

“Omongan busuk! Siapa memberontak? Adalah kalian ini pengemis-pengemis kelaparan hendak mengacau Cin-ling-pai!” bentak Hap Tojin yang bermuka merah.

Memang tosu tertua dari Cin-ling Sam-eng ini sudah tidak bisa menahan sabar lagi. Ikut campurnya dua orang suhengnya sudah menimbulkan rasa tidak puas di hatinya karena biasanya semua urusan Cin-ling-pai cukup dibereskan oleh dia bertiga yang sudah terkenal dengan julukan Cin-ling Sam-eng. Sekarang ditambah oleh sikap para tamunya itu membuat darahnya menjadi panas.

Li Hoa menjadi khawatir sekali. Ia makin curiga dan menduga bahwa para tosu ini tentulah sudah tahu bahwa Han Sin adalah putera Cia Sun dan karenanya hendak menahan pemuda itu dengan maksud menyelidiki rahasia surat wasiat Lie Cu Seng. Maka ia mengejek dan berkata untuk memanaskan hati suheng-suhengnya.

“Kami utusan pemerintah dan kalian menghalangi maksud kami membawa tawanan, bukankah itu sama halnya dengan memberontak?”

It Cin Cu cepat berpikir. Bahayanya bentrok dengan pemerintah Ceng memang besar, akan tetapi bahaya itu hanyalah bahaya lahir yang dapat mereka lawan dan dapat mereka usahakan penolakannya. Kalau sampai mereka mendiamkan saja putera Cia Sun ditangkap kaki tangan pemerintah penjajah, dalam hal ini terdengar oleh para orang gagah, bahayanya lebih hebat lagi, yaitu nama Cin-ling-pai akan diseret ke dalam lumpur. Tentu suhunya takkan mendiamkan saja hal ini. Maka It Cin Cu lalu berkata singkat.

“Terhadap anjing-anjing penjilat kaki tangan pemerintah Ceng kami tak pernah ada urusan, juga tidak mau kami disuruh merangkak di depan mereka. Pendeknya, bocah she Cia ini adalah tawanan kami dan tak seorangpun boleh merampasnya!”

Sejak tadi Han Sin hanya mendengarkan dengan mulut melongo. Setelah sekarang ia tahu akan duduknya perkara, mukanya menjadi pucat dan memandang kepada Li Hoa dengan mata terbelalak.

“Kau ..... kau kaki tangan pemerintah Ceng .... Ah .... celaka, aku tertipu! Siapa sudi kau tolong? Lebih baik kembali ke jurang!” Han Sin lalu melarikan diri dan karena jalan turun ke bawah dihadang oleh para pengemis, ia lalu turun dari lain jurusan menuju ke belakang gunung.

Li Hoa tak dapat menjawab atas seruan ini, akan tetapi Tok-gan Sin-kai menudingkan tongkatnya, menggerakkannya sedikit dan berseru,

“Bocah she Cia, berhenti kau!” dan dari ujung tongkatnya itu menyambar sinar kuning ke arah Cia Han Sin. Pemuda itu berteriak kesakitan dan roboh terguling ke dalam sebuah jurang di sebelah kirinya. Ternyata pundaknya telah terkena paku Coa-ting (Paku Tulang Ular) yang merupakan senjata rahasia ampuh dan berbisa dari kaum Coa-tung Kai-pang. Bersama dia, Siauw-ong juga turut terguling masuk jurang.

“Pengemis busuk!” Hap Tojin berseru marah dan pedangnya berkelebat menyambar ke arah Tok­gan Sin-kai yang cepat ditangkis oleh tongkat pengemis mata satu ini.

Di lain saat terjadilah pertempuran hebat di atas puncak itu. Tok-gan Sin-kai dan seorang sutenya yang berhidung merah menghadapi It Cin Cu dan Ji Cin Cu, sedangkan seorang pengemis lagi bersama Li Hoa menghadapi keroyokan Cin-ling Sam-eng. Tak seorangpun di antara mereka dapat mengurus keadaan Han Sin lagi karena pihak lawan merupakan lawan-lawan berat dan seorang saja di antara kedua belah pihak itu meninggalkan gelanggang, berarti pihaknya akan terancam kekalahan.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment