Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 018

◄◄◄◄ Kembali

“Kau ..... ayahmu dibunuh ayahku ..... apa kau tidak akan membunuhku?” tanya Bi Eng terheran-­heran.

Yan Bu menggeleng kepala, lalu menyimpan goloknya.

“Tidak.”

“Kenapa?”

Merah wajah Yan Bu. “Karena ..... karena .... tak mungkin aku mengganggumu, jangankan membunuh. Lebih baik aku mati dari pada membunuhmu!”

Inilah pernyataan isi hati yang sejujurnya, pernyataan cinta kasih yang diucapkan dengan lain kata-­kata. Tiba-tiba hati Bi Eng berdebar dan mukanya juga menjadi merah. Gadis ini belum tahu menahu tentang cinta namun sikap dan kata-kata pemuda ini membuat ia merasa jengah. Tiba-tiba ia mendapat pikiran baik. Pemuda ini lihai sekali, tinggi kepandaiannya. Kalau pemuda ini mau membantu, tentu kakaknya dapat ditolong keluar dari Cin-ling-pai.

“Betul-betul kau tidak memusuhi aku dan kakak Han Sin?”

“Tuhan menjadi saksi. Aku tidak memusuhi kau dan kakakmu,” jawab Yan Bu dengan suara tetap. “Biar ibu akan marah karenanya, aku bertanggung jawab karena sadar bahwa sikapku ini benar.”

“Kalau begitu kau .... kau hendak bertemu dengan kakakku?”

“Tentu saja. Di mana dia? Bukankah kakakmu bernama Cia Han Sin dan turun dari Min-san bersamamu dan membawa seekor kera? Di Mana kakakmu itu?”

Bi Eng mengerutkan kening, gelisah sekali nampaknya. “Itulah celakanya. Sin-ko telah ditawan oleh tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai di Cin-ling-san.”

“Kenapa bisa terjadi hal itu?”

Dengan singkat Bi Eng lalu menceritakan pengalamannya ketika dihadang oleh para tosu Cin-ling­pai sehingga kakaknya ditawan. Mendengar ini, Yan Bu menjadi marah.

“Terlalu sekali tosu-tosu itu! Selama ini aku mendengar nama besar Cin-ling-pai, mengapa sekarang menghina orang-orang muda? Nona Cia, harap jangan kau kuatir. Kau tunggulah di sini, biar aku sekarang juga menyusul ke Cin-ling-pai dan agaknya para tosu itu akan suka memandang muka ibuku untuk membebaskan kakakmu. Kalau sudah dibebaskan, kakakmu akan kuajak menyusul kau ke sini.”

Bi Eng memandang dengan matanya yang lebar dan bagus. “Kau .... ayahmu sudah dibunuh ayahku, pundakmu sudah kulukai karena kau mengalah .... dan kau sekarang mau menolong Sin-ko .....?”

Yan Bu tersenyum dan mengangguk. “Dengan persahabatan anak-anaknya, sakit hati orang-orang tua bisa ditebus, bukan?” Setelah berkata demikian, ia menjura lalu membalikkan tubuh, hendak pergi ke Cin-ling-san.

Untuk sejenak Bi Eng tertegun memandang bayangan pemuda itu. Ia melihat betapa pakaian di pundak robek dan penuh darah yang masih mengucur keluar. Tiba-tiba ia melangkah maju dan memanggil,

“Saudara Phang Yan Bu .....!”

Pemuda itu berhenti, memutar tubuh lalu melangkah maju. “Kau memanggil aku, nona Cia?”

“Kau tidak bisa pergi dengan luka dibiarkan begitu saja.”

Yan Bu tertawa senang, “Terima kasih atas perhatianmu. Luka ini ringan saja. Tidak apa-apa.”

“Kesinilah. Biar kubalut. Aku yang melukaimu, tidak enak hatiku kalau membiarkan saja.”

Yan Bu hampir tak percaya akan pendengarannya dan hampir ia bersorak girang. Cepat ia maju dan merobek baju di pundaknya. Sementara itu, Bi Eng sudah mengambil saputangannya lalu dengan cekatan jari-jari tangan yang halus itu membalut luka di pundak. Yan Bu sebagai murid Yok-ong, diam-diam geli dan tahu bahwa luka itu kalau tidak diobati, dibalut begitu saja amat tidak baik, namun ia diam saja. Ketika ia begitu dekat dengan Bi Eng dan mencium bau yang amat harum dari rambut dan saputangan gadis itu, ia meramkan matanya dan malah tidak tahu bahwa pembalutan itu sudah selesai.

“Eh, kenapa kau meram? Sakitkah?” Bi Eng bertanya heran dan dengan nada kasihan.

Yan Bu menggeleng kepala, masih meram. “Aku tidak berani membuka mata .....”

“Kenapa ....?”

“Kau begini dekat ......, begini cantik ...... aku takut menjadi gila .....”

Karena sudah selesai, Bi Eng melangkah mundur dan tiba-tiba gadis ini tertawa geli.

“Kau manusia lucu sekali!”

Yan Bu membuka matanya. “Terima kasih, nona Cia. Perbuatanmu membalut lukaku ini selama hidupku takkan pernah kulupakan, akan menjadi kembang mimpi setiap malam.”

“Kau ..... kau aneh sekali!” kata Bi Eng, benar-benar terheran dan merasa lucu, namun di dalam hati harus mengakui bahwa pemuda ini menyenangkan hatinya dengan sikapnya yang aneh itu.

Yan Bu menjura lalu berangkat ke Cin-ling-pai. Bi Eng duduk lagi bersandar pohon dan baru sekarang terasa olehnya betapa lapar perutnya. Ia pegi ke pinggir kali, mencari air yang jernih untuk diminumnya. Kemudian ia pergi ke dalam hutan di lembah sungai Wei-ho untuk mencari buah yang dapat dimakannya. Untung baginya baru setengah li ia berjalan, ia mendapatkan sebatang pohon buah-buahan yang penuh mengandung buah sejenis apel yang sudah matang-matang. Segera ia memetik beberapa buah dan memakannya sampai kenyang.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang ketawa dan dari balik pohon besar muncul seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh tegak dan berkepala gundul. Dia itu jelas seorang pendeta hwesio, akan tetapi sikapnya kasar dan kedua lengannya penuh bulu, matanya memandang kurang ajar kepada Bi Eng. Gadis ini kurang pengalaman tentang kekurangajaran pria, maka ia tersenyum dan menegur,

“Twa-hwesio, di tempat sunyi ini bertemu dengan seorang pendeta, sungguh aneh dan menyenangkan.”

Hwesio itu tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, nona manis. Kau tadi bilang menyenangkan? Ha ha ha!”

Kening Bi Eng mulai berkerut. Ia adalah seorang wanita, perasaannya halus maka ia dapat merasai sesuatu yang tidak beres dalam sikap hwesio ini.

“Betul, aku bilang menyenangkan. Apa salahnya itu? Kakakku sering berkata bahwa bertemu dengan orang lain di tempat sunyi adalah amat menyenangkan. Salahkah itu?”

Hwesio itu membuka matanya lebar-lebar dan tertawa makin keras.

Ha ha ha ha, kau betul. Memang menyenangkan sekali. Betapa tidak? Kau begini molek, begini manis, begini muda, begini ... begini harum. Aduh, kau tadi bilang tempat sunyi? Ha ha ha, setelah ada aku dan engkau, mana bisa sunyi lagi? Mari, mari, manis sayang, mari kita jalan-jalan menikmati pemandangan indah di lembah Wei-ho. Jangan takut, aku Goan Si Hwesio dari Siauw-lim-pai biasanya berlaku halus pada seorang gadis manis seperti kau ..... ha ha ha!”

Biarpun kata-katanya lambat, namun gerakan tangan hwesio itu cepat sekali dan tahu-tahu pergelangan tangan kiri Bi Eng sudah ditangkapnya.

Bi Eng menggigil ngeri dan jijik ketika merasa betapa tangannya dipegang oleh telapak tangan yang kasar dan dingin. Cepat ia mengibaskan tangannya sambil berseru,

“Jahanam, lepaskan tanganku!” Lalu disusul dengan gerakan Po-in-gan-jit (Sapu Awan Melihat Matahari), sebuah jurus yang lihai dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat.

“Dukk!” tak dapat dicegah lagi hwesio bernama Goan Si itu sudah kena dipukul perutnya sampai ia mengeluarkan suara “ngekk!” dan terlempar ke belakang lalu jatuh terduduk.

Baiknya Bi Eng belum memiliki tenaga lweekang yang besar, kalau demikian halnya tentu isi perut gendut itu sudah acak-acakan (cerai berai). Ia hanya merasa mulas saja sebentar. Dengan kedua matanya yang lebar hwesio itu memandang Bi Eng. Heran dan kaget karena tidak mengira gadis manis itu ternyata demikian lihai. Kemudian ia menjadi marah dan melompat berdiri.

“Bagus, kiranya kau ini seekor serigala betina? Kalau begini harus dihajar dulu sebelum jinak!” Ia lalu menubruk maju dan Bi Eng cepat mengelak dan membalas dengan jurus-jurus Liap-hong Sin­hoat.

Hwesio itu ternyata kosen dan pandai, juga bertubuh kuat. Dengan ilmu silatnya lihai beberapa kali Bi Eng dapat menghantam tubuh lawan, namun agaknya lawannya memiliki tubuh yang kebal, sehingga pukulan-pukulannya hanya membuat hwesio itu jatuh terduduk saja. Makin lama gadis ini makin menjadi lelah. Akan tetapi si hwesio makin buas dan menyeringai, tertawa­-tawa dan napasnya berbau sekali membuat Bi Eng menjadi muak.

“Ha ha ha, nona manis lebih baik kau menyerah dan bilang twa-suhu yang tercinta tiga kali baru aku ampunkan kekurangajaranmu tadi!”

“Hwesio bau! Hwesio bau! Hwesio bau!” Bi Eng memaki tiga kali.

Goan Si Hwesio menjadi marah, ia mendesak makin hebat dan Bi Eng sudah lelah sekali karena tadi sebelum menghadapi hwesio ini sudah bertempur melawan Yan Bu, tak dapat mengelak lagi ketika kedua tangan hwesio yang kasar itu tahu-tahu telah menggunakan tipu Eng-jiauw-kang menangkap kedua pergelangan tangannya! Gadis itu meronta-ronta, namun ia tak dapat melepaskan cekalan hwesio itu, malah pergelangan tangannya terasa sakit sekali. Hwesio itu tertawa terkekeh­-kekeh, dari mulutnya keluar bau busuk seperti bangkai.

“Hah hah hah, nona manis. Sekarang kau harus cium aku satu kali, baru kulepaskan kedua tanganmu! Hah hah hah!”

Bi Eng menjadi muak dan marah sekali, namun ia tidak berdaya. Ia tak dapat berbuat lain kecuali meludahi muka hwesio itu sambil memaki-maki,

“Hwesio bau! Hwesio tengik! Kau boleh bunuh aku!”

Pada saat itu terdengar suara suling yang merdu, terdengar amat jauh akan tetapi secara mengherankan sekali, dengan cepat suling itu terdengar makin dekat, makin dekat seakan-akan dibawa terbang ke tempat itu. Tiba-tiba suara suling itu terhenti, disusul suara seorang laki-laki yang terdengar halus dan merdu, suara orang yang jenaka.

“Ha ha ha, memang dia itu hwesio kopet (belum mencuci tubuhnya), maka berbau tengik dan busuk!”

Tiba-tiba, entah dari mana munculnya, di situ sudah kelihatan seorang pemuda yang berpakaian indah dan mewah sekali, pakaian seorang sasterawan kaya, tangan kanan memegang sebatang suling berukir, tangan kiri memegang kipas indah yang dipakai mengebuti mukanya. Pemuda ini berusia kira-kira dua puluh lima tahun, tubuhnya sedang wajahnya tampan sekali. Aneh dan sayangnya wajahnya yang tampan itu amat putih seperti dibedaki hingga nampak pucat.

Pemuda itu tersenyum-senyum dengan gerakan seenaknya kipasnya dikebutkan ke arah muka hwesio itu. Jarak antara dia dan Goan Si Hwesio ada tiga empat meter. Akan tetapi angin kebutan itu membuat Goan Si Hwesio merasa mukanya dingin dan napasnya sesak. Saking kagetnya ia terpaksa melepaskan cekalannya pada tangan Bi Eng dan melompat mundur.

“Setan cilik, siapakah kau berani kurang ajar padaku? Ayoh, kau menggelinding pergi dari sini!” Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan tangan kanannya dan tiga batang senjata rahasia piauw menyambar ke arah tubuh pemuda tampan pesolek itu.

Goan Si yang tadinya sudah girang mendapatkan seorang gadis calon korban, menjadi marah sekali diganggu orang maka begitu bergerak ia menurunkan tangan maut. Tiga batang piauw itu disambitkan secara hebat sekali sehingga lebih dari cukup untuk mengantar nyawa orang menghadap Giam-kun di neraka.

“Hemmm, segala macam hwesio kopet!” dengan kipasnya pemuda itu masih mengebut-ngebut badannya dan ... tiga batang piauw itu ketika menyambar tubuhnya tahu-tahu runtuh terkena angin kebutan kipas, malah ketika pemuda itu mendadak menutup kipasnya dua batang piauw kena di”bungkus” oleh kipas itu.

Sambil tersenyum-senyum pemuda itu lalu membuka kipasnya secara mendadak dan ..... dua batang piauw yang tadi ditangkap oleh kipas itu menyambar dan tanpa dapat dielakkan lagi telah mengenai jalan darah di lutut Goan Si Hwesio. Hwesio itu mengeluarkan seruan kaget, namun sudah terlambat ketika ia hendak meloncat karena tiba-tiba kedua kakinya itu dari lutut ke bawah tak dapat digerakkan lagi, membuat ia berdiri seperti patung dengan kedua kaki mati!

Hwesio itu membelalakkan kedua matanya, takut setengah mati melihat pemuda aneh yang luar biasa ini.

“Kau ..... kau siapakah .....?”

Pemuda itu kembali mengeluarkan dengus mengejek, lalu membuka kipasnya dan mengebut-ngebut badannya perlahan. Bau yang amat wangi keluar dari pakaiannya dan kini hwesio itu dapat melihat lukisan sebuah gunung putih tertutup salju di atas kipas. Seketika wajahnya pucat seperti mayat dan tubuhnya bagian atas menggigil.

“Kau .... kau .... Bhok .... Bhok-kongcu ... dari Pak .....”

“Hemm, kiranya matamu yang berminyak itu belum buta.”

Pemuda itu menegur, suaranya tetap halus merdu akan tetapi mengandung ancaman yang membuat Goan Si Hwesio makin takut. Ia ingin menjatuhkan diri berlutut, akan tetapi kedua kakinya sudah mati tak dapat digerakkan. Maka ia lalu menjura dan memberi hormat dengan merendah sekali, mulutnya berkata.

“Mohon maaf sebesarnya ..... mohon kongcu yang mulia mengampunkan hamba yang rendah. Siauwceng telah berani kurang ajar, biarlah Siauw-lim-si memberi hukuman kepada siauwceng dan kelak minta maaf kepada kongcu ....”

“Ha, kau hendak bertopeng Siauw-lim-si untuk menakut-nakuti aku? Eh, hwesio kopet, kau tahu aku orang macam apa?”

“Siauwceng tidak berani .... tidak berani ....”

Pemuda itu tidak memperdulikan lagi, lalu meniup sulingnya dan matanya yang jenaka itu mengerling ke arah Bi Eng. Gadis ini semenjak tadi memandang kepada pemuda itu dan merasa lucu sekali melihat seorang pemuda begitu pesolek seperti wanita, juga diam-diam heran melihat kelihaian pemuda yang ternyata amat ditakuti hwesio itu.

Kini ia melihat pemuda itu meniup sulingnya, tidak merdu dan indah seperti tadi, melainkan bersuara aneh dan menyeramkan, melengking tinggi rendah kadang-kadang menusuk anak telinga. Anehnya, hwesio itu menjadi makin ketakutan dan menggigil keras sedangkan kepala dan mukanya penuh keringat.

Tak lama kemudian terdengar suara “kresek-kresek” dari jauh, makin lama makin keras dan suling itupun ditiup makin hebat. Sebentar lagi suara berkresek makin dekat dan....

”Ular ....! Ular .....!” Bi Eng berteriak sambil melompat ke atas.

Siapa takkan takut melihat banyak sekali ular besar kecil, dari berbagai macam dan warna, merayap-rayap datang ke tempat itu dari segenap penjuru?

“Jangan takut!” kata pemuda itu dengan suara merdu dan halus kepada Bi Eng.

Akan tetapi mana bisa gadis itu tidak takut? Sebenarnya bukan takut, melainkan jijik dan geli. Otomatis gadis ini melompat ke dekat pemuda itu untuk mencari perlindungan karena ia tahu bahwa agaknya pemuda ini yang memanggil ular-ular itu.

Makin lama makin banyaklah ular berkumpul di situ, ada ular sendok, ular belang, ular hijau, ular hitam, ular sungai dan pendeknya, agaknya segala macam ular yang berada di daerah ini telah berkumpul di situ, tertarik oleh suara suling! Sekejap mata saja tempat mereka bertiga sudah dikurung oleh ratusan ekor ular beracun.

“Bhok-kongcu, ampun ...... ampunkan siauwceng ....” hwesio itu masih mengeluh, ngeri menyaksikan ular begitu banyak.

“Nona, hwesio kopet ini tadi kurang ajar padamu, bukan?” tanya si pemuda muka putih kepada Bi Eng, mulutnya tersenyum dan matanya jenaka.

Bi Eng merasa geli mendengar pemuda itu memaki Goan Si sebagai hwesio kopet. Benar-benar makian yang aneh, lucu dan menjijikkan. Kini melihat muka yang tampan sekali ini tersenyum dan matanya bergerak-gerak lucu, mau tak mau Bi Eng yang memangnya berwatak jenaka, timbul kegembiraannya dan iapun tersenyum.

“Dia kurang ajar, akan tetapi kau sudah menghajarnya,” jawabnya.

Jawaban ini sama saja dengan pujian kepada pemuda itu, dan si pemuda agaknya merasa juga bahwa nona jelita itu memujinya, maka senyumnya melebar, matanya yang bagus itu makin bersinar-sinar.

“Nona, namaku Bhok Kian Teng.”

Melihat sikap orang yang sewajarnya tanpa ada sifat-sifat kurang ajar, Bi Eng merasa senang dan iapun memperkenalkan diri,

“Dan aku Cia Bi Eng.”

“Aku dari Al-tai-san di Pak-thian (daerah utara).” Kata pula Bhok Kian Teng.

“Dan aku dari .... dari Min-san,” kata Bi Eng sejujurnya.

Orang bersikap jujur kepadanya, mengapa dia tidak? Mendengar kata-kata ini, pemuda she Bhok itu tiba-tiba tertawa, lalu menoleh kepada Goan Si Hwesio dan berkata,

“Bukankah kau hwesio kopet dan bau tidak takut mampus? Berani kurang ajar kepada nona Cia Bi Eng, puteri pahlawan she Cia di Min-san? Hmm, benar-benar sudah bosan hidup!”

Hwesio itu makin pucat dan mengangguk-anggukkan kepala minta ampun. Sedangkan Bi Eng juga terheran mendengar ini.

“Bagaimana kau bisa tahu?” tanyanya.

Bhok Kian Teng tersenyum. “Kau she Cia dari Min-san, di dunia ini mana ada orang she Cia dari Min-san lain lagi kecuali keturunan orang-orang gagah Cia Hui Gan dan Cia Sun?”

Girang hati Bi Eng mendengar orang tuanya dipuji-puji sebagai orang gagah.

“Cia Hui Gan kakekku, Cia Sun ayahku!” katanya girang. Bhok Kian Teng mengangguk-angguk.

“Pantas saja kau begini gagah, nona. Kiranya puteri Cia Sun lo-enghiong. Terimalah hormatku.” Pemuda itu menjura dan ketika ia bergerak, dari tubuhnya kembali tersiar bau yang harum wangi.

“Bhok-kongcu sudah menolongku terlepas dari tangan hwesio ko .... eh, hwesio bau tengik ini. Akulah yang harus menghormatmu.” Bi Eng tidak sampai hati mengucapkan kata-kata “kopet”, karena kata-kata ini biasanya ditujukan kepada orang yang tidak mencuci tubuh sehabis buang air!

“Nona, kadal ini tadi berlaku kurang ajar. Menurut pendapatmu, dia harus dihukum secara bagaimanakah?”

Bi Eng melirik-lirik memandang hwesio itu. Dia memang marah sekali kepada kepala gundul itu, dan amat benci. Apalagi kalau ingat betapa tadi dia disuruh menciumnya segala. Hemm, mau rasanya ia memenggal leher orang itu agar kepalanya yang gundul menggelundung di antara ratusan ular. Alangkah senangnya kalau melihat hwesio ini dikeroyok ular! Hampir saja ia mengucapkan keinginan hatinya ini kalau saja ia tidak ingat akan kakaknya. Terbayang wajah kakaknya yang halus budi, yang penuh kasih kepada sesamanya, yang mudah mengampunkan orang. Bergidik ia kalau teringat betapa kakaknya itu akan marah kepadanya kalau saja tahu bahwa ia menghukum hwesio supaya dikeroyok ular! Maka ia lalu berkata,

“Kalau ia sudah bertobat, biar dia menampari muka sendiri sampai bengap!”

Bhok Kian Teng tertawa. “Enak amat baginya! Eh, hwesio kadal kopet, ayoh kau maki dirimu sendiri hwesio kopet seratus kali sambil menampari mukamu sampai bengkak-bengkak!”

Inilah hinaan hebat. Akan tetapi Goan Si Hwesio agaknya takut dan ngeri menghadapi pemuda aneh itu. Begitu mendengar perintah ini, ia lalu menggunakan kedua tangannya menampari muka sendiri dari kanan kiri sambil mulutnya memaki,

“Hwesio kopet .... hwesio kopet .....hwesio kopet ....!” berulang-ulang sampai mukanya menjadi bengkak-bengkak, bibirnya juga bengkak tebal sehingga makiannya makin lama makin tak terdengar jelas lagi.

Bhok Kian Teng merogoh saku jubahnya yang lebar dan mengeluarkan sebuah pisau kecil berbentuk golok. Hwesio itu nampak kaget sekali melihat ini. Ia mengenal “huito” atau golok terbang ini, yang belum pernah dilihatnya akan tetapi sudah sering kali didengarnya.

“Kongcu .... am ... ampun ....” katanya.

Bhok Kian Teng tertawa. “Kedua tanganmu kotor sekali, berani kau tadi mencekal kedua tangan nona Cia yang putih bersih dan suci murni. Ayoh, kau buntungi kedua tanganmu!”

Ia melemparkan golok kecil itu ke arah Goan Si Hwesio yang menyambut dengan tangan kanan. Kemudian, tanpa ragu-ragu lagi ia lalu membacok putus tangan kirinya, kemudian ia menggigit gagang golok kecil itu dan membacok putus pula tangan kanannya! Golok itu jatuh ke bawah mengeluarkan bunyi berdencing dan hwesio itu roboh pingsan. Darah mengalir keluar dari kedua lengannya yang sudah buntung. Bi Eng mengeluarkan teriakan perlahan karena ngeri sungguhpun diam-diam di lubuk hatinya terdapat perasaan puas melihat penderitaan hwesio yang dibencinya itu.

Bhok Kian Teng tertawa. “Muak dan menjemukan sekali melihat hwesio ini, bukan? Mari kita tinggalkan dia, nona!”

Bi Eng mengangguk. Memang tidak menyenangkan tinggal di tempat itu, selain ngeri juga takut melihat banyaknya ular-ular beracun. Kian Teng lalu meniup sulingnya, pendek dan cepat, kemudian ia membungkuk kepada Bi Eng mempersilahkan Bi Eng berjalan dengan sikap yang amat hormat. Bi Eng senang, tersenyum dan di lain saat dan dua orang muda ini sudah berjalan, berendeng dan beromong-omong. Belum jauh mereka berjalan, tiba-tiba terdengar pekik mengerikan. Bhok Kian Teng nampak tenang-tenang saja, akan tetapi Bi Eng dengan kaget memutar tubuh memandang.

Tiba-tiba wajahnya menjadi pucat dan bulu tengkuknya berdiri. Apa yang ia lihat? Ternyata bahwa sepergi mereka, tubuh Goan Si Hwesio dikeroyok ular-ular itu yang menggigitnya, beratus banyaknya. Celakanya hwesio itu sudah siuman dari pingsannya sehingga dapat dibayangkan betapa takutnya sampai ia mengeluarkan pekik tadi. Tapi hanya sebentar karena dalam sekejap saja kulit dan daging hwesio itu sudah habis dimakan ular, tinggal tulang-tulangnya saja yang masih dijilat-jilat oleh ratusan ekor ular, yang masih merasa belum kenyang.

Bi Eng memutar lagi tubuhnya dan menutupi muka dengan ke dua tangannya.

“Ah, alangkah ngerinya. Kenapa dia dibunuh?” katanya perlahan, agak gemetar karena merasa ngeri.

Terdengar suara Bhok Kian Teng bersungguh-sungguh.

“Nona Cia, hatimu memang terlalu baik, karena itu banyak orang jahat suka mengganggumu. Manusia macam itu mampus dimakan ular, memang sudah sepatutnya. Apa kau dapat membayangkan betapa nasibmu akan lebih mengerikan dari pada nasibnya kalau tadi kau sampai terjatuh ke dalam tangannya? Nona, terus terang saja kukatakan, dia lebih jahat dari pada ular-ular tadi!”

Bi Eng menurunkan tangannya, memandang kepada pemuda itu dengan pucat. Ia hanya dapat setengah menduga apa yang akan terjadi padanya kalau tadi pemuda ini tidak muncul menolongnya. Hebat! Kenapa di dunia ini banyak sekali orang jahat? Ia memandang wajah pemuda ini dengan tajam penuh selidik. Wajah yang tampan dan gagah, pikirnya. Selalu tersenyum mulutnya, selalu berseri wajahnya, selalu bersinar matanya, halus kata-kata dan gerakan-gerakannya.

Akan tetapi dibalik itu semua, Bi Eng merasa sesuatu yang aneh, seakan-akan ada sesuatu yang mengancamnya dengan hebat, ada sesuatu yang lebih mengerikan dari pada hwesio tadi, dari pada ular-ular tadi. Dia tidak tahu apakah itu. Hanya di dasar hatinya ia merasa tidak senang dan takut kepada pemuda yang berwajah terlalu putih ini, yang bersikap terlalu baik, sungguhpun di luarnya ia merasa kagum dan suka mendengar omongan-omongannya yang halus merdu dan penuh pujian.

Dua orang muda-mudi ini berjalan perlahan, kembali ke pinggir sungai Wei-ho. Ketika tiba di tempat di mana tadi ia bertemu dengan Yan Bu, Bi Eng melihat sebuah perahu besar yang amat indah dengan cat merah berada di pinggir sungai dan ia melihat belasan orang wanita cantik di atas perahu itu.

Wanita-wanita itu masih muda-muda, rata-rata berusia dua puluh tahun, dan tak seorangpun di antara mereka yang berwajah buruk. Pakaian mereka dari sutera warna warni, amat indah dengan potongan yang ketat sehingga dari jauh nampak bentuk tubuh mereka yang penuh dan menggairahkan.

Akan tetapi pada wajah-wajah cantik itu bersinar sesuatu yang memuakkan hati Bi Eng, sinar dari wajah-wajah yang genit dan cabul yang hanya dapat ia rasai dalam hati akan tetapi yang tidak dimengertinya. Sebelum ia bertanya kepada Bhok Kian Teng siapa adanya wanita-wanita di atas perahu indah itu, ketika melihat pemuda ini serentak wanita-wanita itu mengeluarkan suara yang merdu dan girang.

“Kongcu-ya telah pulang ....!” Suara itu merupakan sorakan dari hati yang amat girang.

Dari atas perahu melayang seorang wanita dengan gerakan yang amat ringan dan wanita ini meloncat ke depan Bhok Kian Teng. Ternyata dia seorang wanita yang cantik sekali, usianya lebih tua dari pada yang lain, kira-kira dua puluh delapan atau dua puluh sembilan tahun, akan tetapi mempunyai kecantikan yang menonjol dengan bentuk tubuh yang amat bagus. Di punggungnya nampak gagang sepasang pedang dan dari gerakannya melompat tadi dapat diketahui bahwa kepandaiannya juga luar biasa.

Lanjut ke jilid 019 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment