Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 019

◄◄◄◄ Kembali

“Kepergian kongcu meninggalkan perahu menggelisahkan kami,” kata wanita ini dengan suara berlagu dan merayu. “Akan tetapi suara seruling kongcu tadi memberitahukan bahwa kongcu sedang menghajar seorang jahat.” Ia mengerling ke arah Bi Eng dan pada mata yang tadinya berseri itu, tiba-tiba menyambar hawa dingin. “Tidak tahu siapakah yang membikin kongcu tidak senang? Siauw-moi sekalian akan menghajar manusia itu!”

Bhok Kian Teng tersenyum, lalu menggerakkan kipasnya. “Tidak apa-apa, Leng-moi. Hanya seorang hwesio kopet yang mengganggu nona ini. Baiknya aku keburu datang merintangi maksudnya yang buruk.”

Wanita itu tertawa genit. “Dan bagaimana dengan hwesio ...... kopet itu?”

“Ha ha, dia sudah dimakan habis oleh ratusan ular.”

“Bagus. Bagus!” Wanita itu bertepuk tangan. “Memang kongcu luar biasa dan berhati mulia. Dimana-mana melepas budi dan tak pernah ular-ular setempat tidak diberi makan. Makin lama kongcu akan makin terkenal dan dikagumi di antara para ular di dunia ini.”

Para wanita di atas perahu tiba-tiba menyanyi dengan irama bersemangat dan merdu merayu:

“Lebih tampan dari pada Tan Po An Lebih gagah dari pada Ciu Goan Ciang! Dengan suling dan kipas menjagoi dunia Melintasi gurun dan mengarungi lautan. Siapa dia? Bhok-kongcu kami yang tercinta!”

Nyanyian ini diulang sampai tiga kali. Diam-diam Bi Eng terheran. Bagaimanakah ada orang sampai dipuji setinggi langit seperti itu? Memang, dia sendiri tidak menyangkal bahwa Bhok Kian Teng memang tampan akan tetapi kalau lebih tampan dari Tan Po An, ini dia tidak dapat menerima. Pernah kakaknya, Han Sin yang suka membaca dongeng kuno, menceritakan bahwa ketampanan Tan Po An di jaman dahulu mengguncangkan dunia bahkan menggegerkan langit sehingga para bidadari menjadi keedanan dan turun ke dunia, bikin ribut untuk memperebutkan Tan Po An!

Dan biarpun ia sudah melihat bahwa Bhok-kongcu lihai, akan tetapi lebih gagah dari Ciu Goan Ciang pemimpin barisan rakyat yang berhasil mengusir penjajah Mongol? Ah, inipun obrolan besar! Diam-diam Bi Eng memandang wanita-wanita itu dengan hati tak senang. Ia menganggap mereka itu penjilat-penjilat besar.

“Kau lihat, nona Cia. Aku amat dimanja-manjakan mereka. Ah, lama-lama membosankan juga.” Kata Bhok Kian Teng ketika melihat kening gadis itu mengerut. Ia lalu memberi tanda dengan tangannya dan para wanita itu berhenti menyanyi.

“Nona, ini adalah pembantuku nomor satu, namanya Yo Leng Nio. Leng-moi, nona ini adalah nona Cia Bi Eng, tamu kita yang terhormat. Mari, nona Cia, mari naik ke perahuku, kita bicara di sana.”

BI ENG ragu-ragu, sebetulnya enggan kalau harus naik ke perahu orang.

“Aku .... aku menanti datangnya kakakku di sini ....” katanya perlahan.

Kian Teng tertawa. “Perahuku memang berlabuh di sini. Apa bedanya menanti di darat ataupun di atas perahu? Kalau kakakmu datang, kan bisa kelihatan dari perahu? Nona, kami mengundangmu sebagai tamu, apakah kau tidak suka?”

Tentu saja Bi Eng tidak dapat menolak lagi. Orang sudah menolongnya dari malapetaka yang besar. Bagaimana dia bersikap kurang terima. Ia tersenyum.

“Kau terlalu menghormat, Bhok-kongcu. Kau penolongku, tentu saja aku mau menerima undanganmu. Hanya aku khawatir membuat kalian repot saja.”

“Tidak repot ….. tidak repot …….” Kata Bhok Kian Teng sambil mengajak Bi Eng naik ke perahu.

Para wanita cantik itu sejak tadi sudah sibuk memasang papan tangga sehingga pemuda itu bersama Bi Eng dengan mudah dapat naik ke perahu, tak usah meloncat. Di belakang mereka berjalan Yo Leng Nio yang masih agak muram mukanya kalau melihat Bi Eng. Di sudut kerling matanya nampak jelas perasaan cemburunya. Melihat ini, Bi Eng hanya tersenyum mengejek. Kau tak usah takut, pikirnya, siapa sudi merampas kongcumu yang kalian dewa-dewakan?

Setelah naik ke atas perahu dan menghitung, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa wanita-wanita itu bersama Yo Leng Nio berjumlah lima belas orang. Dan di pinggir-pinggir perahu, mungkin bekerja sebagai pengemudi dan anak buah perahu, kelihatan sepuluh orang laki-laki tinggi besar yang berpakaian tidak seperti orang Han, juga sikap mereka ini aneh, diam saja seperti patung. Malah pandangan mata mereka tidak langsung seakan-akan kosong. Orang-orang lelaki yang berada diperahu itu sama sekali tidak memperdulikan segala keributan wanita-wanita yang menyambut Bhok-kongcu. Hanya mereka ini berdiri tegak seperti barisan untuk menghormat pemuda itu.

Bi Eng diajak ke sebuah ruangan dalam perahu dan di situ ia dipersilahkan duduk. Sementara itu, Bhok-kongcu sudah “dikeroyok” empat belas orang gadis cantik kecuali Yo Leng Nio yang berdiri dan bersikap sebagai penjaga. Bhok-kongcu duduk di atas kursi dan mulailah empat belas pasang lengan melayaninya. Wanita-wanita ini tersenyum dan melirik, menarik muka semanis-manisnya, tertawa kecil amat genit. Ada yang melepas sepatu dan kaus kaki Bhok-kongcu lalu mencuci kaki itu, ada yang menggantikan jubah luar, ada yang membuka topi lalu menyisir rambutnya.

Pendeknya keadaan Bhok-kongcu seperti seorang calon mempelai yang didandani! Hebatnya. Wanita-wanita itu dengan sikap menarik hati melakukan perbuatan yang membuat Bi Eng melongo lalu tak berani memandang lagi. Bayangkan saja, yang mencuci kaki ….. mencium kaki itu, yang menyisir rambut mencium rambut dan sebagainya. Benar-benar penglihatan yang amat aneh dan membikin Bi Eng tidak kuat memandang lebih lama, lalu gadis itu berdiri dan pura-pura melihat­-lihat air di pinggir perahu.

Setelah selesai “mendadani” pemuda itu, seorang demi seorang para wanita itu menjual lagak. Ada yang berkata dengan suara halus merdu,

“Kongcu, hidangan sudah siap siauw-moi bikin selezat-­lezatnya.” Ada yang merayu,

“Apakah kongcu ingin melihat siauw-moi menari lebih dulu?” Ada pula yang berkata manja,

“Tentu kongcu ingin mendengar siauw-moi bernyanyi?”

Akan tetapi Bhok Kian Teng menggerakkan tangan dan berkata,

“Pergilah kalian mengaso. Keluarkan hidangan, aku hendak mengundang nona Cia makan minum. Jangan kalian mengganggu. Boleh keluarkan hiburan tarian dan nyanyian untuk nona Cia, akan tetapi agak jauh, jangan dekat-­dekat.”

“Ah, kongcu …..?” masih ada suara-suara halus merdu membantah.

Tiba-tiba Yo Leng Nio membentak, “Kongcu sudah keluarkan titah, kalian masih berani cerewet?”

Sepasang mata wanita ini melotot dan undurlah wanita itu. Yo Leng Nio sendiri juga pergi untuk memenuhi perintah tuannya.

“Nona Cia, harap kau maafkan melihat mereka itu,” kata Kian Teng setelah mengundang Bi Eng duduk kembali. “Sebetulnya akupun jemu dilayani oleh begitu banyak tangan. Ahh …..” Ia menarik napas panjang sambil menatap ke arah kedua tangan Bi Eng yang runcing halus. “Alangkah akan bahagianya kalau aku hanya dilayani oleh sepasang tangan yang penuh kasih sayang …..”

Entah mengapa, mungkin karena mata pemuda itu memandang ke arah tangannya, wajah Bi Eng menjadi merah dan ia otomatis menyembunyikan kedua tangannya di bawah meja! Untuk menghilangkan dan menyembunyikan rasa bingung dan jengahnya, Bi Eng berkata sambil tertawa dan memandang wajah tuan rumah,

“Bhok-kongcu, kau benar-benar seorang aneh. Belum pernah aku melihat orang dengan keadaan seaneh kau!”

Bhok Kian Teng tertawa terbahak dan ketika tertawa ini, lenyaplah keanehan yang menyeramkan yang menyelubungi dirinya, dia berubah menjadi seorang pemuda tampan yang gembira sehingga Bi Eng juga ikut gembira.

“Apanya yang aneh? Nona, itu adalah karena kau belum mengenal aku. Bhok Kian Teng bukan orang aneh, orang biasa saja ….”

Kemudian suaranya berubah bersungguh­sungguh. “Tentu saja aku pun bukan gentong nasi yang tak mempunyai cita-cita! Aku seorang laki-­laki dari darah dan daging, aku bercita-cita tinggi sekali. Nona Cia, mari minum!” Ia menuangkan arak ke dalam cawan ketika dua orang gadis datang mengeluarkan arak wangi.

Bi Eng tidak biasa minum arak, akan tetapi karena tidak sudi disangka “perawan dusun”, terutama sekali oleh para gadis itu, ia menerima cawannya, menghaturkan terima kasih dan meneguknya habis. Arak itu wangi dan manis, enak sekali, akan tetapi hampir ia tersedak karena tidak biasa akan minuman keras. Diam-diam ia teringat akan suhunya. Kalau suhu mendapat suguhan arak seenak ini, tentunya akan dihabiskan segentong! Demikian pikirnya gembira.

Sementara itu, hidangan dikeluarkan di atas meja, hidangan-hidangan yang masih panas mengebul dan mewah. Gadis-gadis tadi keluar lagi membawa alat musik dan dalam jarak yang agak jauh mereka mulai menari dan bernyanyi sementara Bhok Kian Teng mengajak Bi Eng makan minum. Hidangan amat enak, arakpun wangi, ditambah tari-tarian yang lemah gemulai indah dan nyanyian dengan suara merdu merayu, bagaimana Bi Eng takkan senang? Apalagi ia memang sudah lapar, maka sebagai seorang gadis lincah dan terbuka, ia tidak malu-malu lagi dan menyikat makanan sampai kenyang

Melihat sikap gadis yang terbuka ini, timbul kegembiraan Bhok Kian Teng dan sambil menggerak-­gerakan kipasnya ia lalu membaca sajak dengan lagak seorang sasterawan dan dengan suara yang lantang, sementara para gadis menabuh khim perlahan-lahan.

“Air We-ho mengalir gelisah di bawah perahu kacau tak menentu, kemanakah kau hendak pergi? Lebih senang duduk diperahu minum arak menjamu tamu agung jelita gagah! Menyaksikan tarian mendengar nyanyian senyum madu mata bintang Aku berhasil menyenangkan tamu agung! Bawa arak! Biarkan aku minum sepuasnya!”

Tanpa banyak berpikir dapat membuat sajak bukanlah hal yang mudah. Bi Eng sudah pernah mempelajari ilmu surat bersama kakaknya, akan tetapi dalam hal kepandaian ini dia kalah jauh oleh kakaknya. Maka ia merasa kagum sekali melihat Bhok-kongcu dapat membuat syair yang merupakan sindiran dan pujian bagi dirinya. Tak terasa lagi mukanya menjadi merah jengah dan juga diam-diam girang karena ia disebut-sebut sebagai tamu agung jelita gagah bersenyum madu bermata bintang. Setelah mengucapkan syairnya, sambil tertawa Kian Teng kembali mengisi cawan arak Bi Eng lalu berkata,

“Sekarang kuharap Cia-siocia sudi membuatkan sebait-dua bait sajak untukku.”

“Ah, aku tidak bisa, Bhok-kongcu,” kata Bi Eng sambil tertawa.

“Siapa percaya? Nona seorang Bun-bu-coan-jai (ahli silat dan surat), tentu lebih pandai dari pada aku. Kalau nona tidak sudi memperlihatkan sedikit kepandaian untuk membuka mataku, terpaksa aku mendenda nona dengan tiga cawan arak!” Berkata demikian, pemuda itu tertawa-tawa gembira dan sewajarnya.

Bi Eng juga tertawa, lalu menarik napas panjang. “Ah, kalau saja Sin-ko berada di sini, tentu dia gembira sekali dan kau tak akan kecewa, karena dalam membuat sajak, kiranya di dunia ini tidak ada yang dapat mengalahkan Sin-ko.”

Perhatian Bhok-kongcu segera tertarik.

“Sin-ko? Siapakah dia?”

Bi Eng tidak tahu bahwa dalam pertanyaan ini terkandung cemburu yang amat besar. Dia sudah agak dipengaruhi arak, maka sedikit keadaan ini tidak terlihat olehnya.

“Sin-ko adalah kakakku …….”

Dan tiba-tiba Bi Eng menjadi berduka. Kakaknya masih tertahan di Cin-ling-san, usaha pertolongan dari Yan Bu juga belum ada ketentuan hasil tidaknya, dan dia enak-­enak dan senang-senang di atas perahu ini bersama Bhok-kongcu. Wajahnya menjadi muram, senyumnya menghilang, bahkan di matanya terdapat dua titik air mata!

“Eh, nona Cia, kau kenapakah?” tanya Bhok Kian Teng, suaranya terdengar demikian menaruh perhatian dan berkhawatir sehingga dilain saat Bi Eng menjadi begitu sedih dan menangis benar-­benar.

Di luar tahu Bi Eng, Kian Teng memberi isyarat dengan matanya dan semua wanita di situ mengundurkan diri, meninggalkan pemuda itu berdua saja dengan Bi Eng. Bahkan anak buah perahu juga tidak menampakkan diri. Senja telah terganti malam dan bulan muda sudah muncul di angkasa raya, memuntahkan cahaya gemilang di permukaan air sungai, menimbulkan pemandangan indah dan suasana yang romantis.

Bi Eng yang sedang menangis dan menutupi mukanya di atas meja tidak melihat bahwa dia sekarang hanya berdua saja dengan pemuda itu. Ketika merasa betapa sebuah tangan dengan mesra dan halus menepuk-nepuk pundaknya, ia kaget dan mengangkat kepala. Dilihatnya kongcu itu sudah berdiri dari kursinya, berdiri dekat dengan dia dan menepuk-nepuk pundak dengan sikap menghibur. Ia menjadi jengah dan melihat ke kanan kiri, akan tetapi tidak ada seorang pun disitu, bahkan Yo Leng Nio juga tidak ada lagi di situ.

“Nona Cia, tenanglah dan sabarlah. Kau agaknya berduka sekali, bolehkah aku mengetahui persoalannya? Percayalah, selama masih ada Bhok Kian Teng hidup di dunia ini, tidak seorang pun boleh menyusahkan hatimu. Aku menyediakan selembar nyawaku untuk membela dan melindungimu, nona.”

Suara ini demikian mesra, demikian halus mengharukan sehingga biarpun tak senang disentuh pundaknya, namun Bi Eng tidak tega bersikap kasar.

“Bhok-kongcu, duduklah baik-baik. Aku sangat berterima kasih padamu dan akan kuceritakan kesukaranku, biarpun agaknya kaupun takkan dapat menolongku.”

Bhok Kian Teng melangkah mundur, membungkuk lalu duduk di kursinya, senyumnya masih membayang di mulut, wajahnya tampak tenang dan sabar, kelihatan amat halus budi dan baik hati.

“Kau berceritalah, nona, aku siap mendengarkan.”

Bukan maksud hati Bi Eng untuk menceritakan semua riwayatnya, ia hanya merasa tidak enak kalau menyimpan rahasia hatinya, dan pula, melihat kelihaian kongcu ini, iapun mengharapkan petunjuk-petunjuknya. Maka dengan singkat ia bercerita,

“Bhok-kongcu, maafkan kalau tadi aku tidak dapat menahan perasaan dan menangis, membikin kau jemu saja. Aku bersama kakakku, Cia Han Sin, dan seekor monyet peliharaan kami, turun dari Min-san untuk … untuk lihat dunia ramai.” Ia mulai menutur.

Kian Teng yang cerdik tentu saja tahu akan keraguan nona ini ketika hendak bicara tentang maksudnya turun gunung, namun ia tidak bertanya, tidak mencela dan mendengarkan dengan sabar.

“Kami sudah yatim piatu, dan hidup kami hanya bertiga dengan monyet kami itu. Kami kira dunia ini indah dan manusia-manusianya baik-baik. Tidak tahunya, baru tiba di Cin-ling-san kami menemui malapetaka. Tosu-tosu bau dari Cin-ling-pai, entah mengapa, marah-marah kepada kami dan tidak mau membiarkan kami lewat dengan aman. Mereka malah hendak menyerang dan menangkap kami. Tentu saja aku melawan mereka dan kakak …. Sin-ko yang tidak bisa ilmu silat sudah bersikap gagah melindungi aku. Lalu datanglah seorang kakek bernama Ban Kim Cinjin, katanya utusan pemerintah dan antara kakek ini dan orang-orang Cin-ling-pai timbul perkelahian hebat sehingga banyak tosu Cin-ling-pai tewas di tangan Ban Kim Cinjin.”

Bhok Kian Teng mengangguk-angguk.” Sudah kudengar nama Ban Kim Cinjin. Dia memang lihai.”

“Melihat orang itu melakukan banyak pembunuhan, Sin-ko tidak tega dan mencegah. Akan tetapi dia malah beberapa kali dipukul oleh Ban Kim Cinjin. Kemudian …..

“Kemudian bagaimana, nona?” Kian Teng bertanya penuh perhatian, agaknya ia tertarik sekali.

“Ban Kim Cinjin memukul Sin-ko dan … tahu-tahu kakek itu roboh binasa …..”

“Aahhh ….!” Bhok Kian Teng melongo saking herannya.

“Siapa yang membunuhnya?”

“Akupun tidak tahu. Dia mati mendadak. Para tosu Cin-ling-pai lalu menyalahkan kami. Kakakku bertanggung jawab untuk semua itu, menyuruh aku pergi lebih dulu menanti di sini dan dia hendak memikul semua pertanggungan jawab. Padahal, kakakku yang tidak bisa silat mana bisa membunuh seorang seperti Ban Kim Cinjin?”

“Memang tak bisa ….. tak bisa ….” Kongcu itu menggeleng-geleng kepala lalu merenung, nampaknya berpikir keras.

“Begitulah, Sin-ko ditawan. Aku tadinya hendak membelanya, akan tetapi Sin-ko tidak mau dan memaksa aku harus pergi dulu. Aku tidak berani membantah, lalu pergi dan hanya suruh Siauw-ong monyetku itu mengawaninya. Sin-ko masih ditawan orang, entah bagaimana nasibnya dan aku …. Aku bersenang-senang di sini, siapa yang tak sedih …..?”

Tiba-tiba Bhok Kian Teng memukulkan tangannya kepada ujung meja, perlahan saja, akan tetapi alangkah kagetnya hati Bi Eng melihat betapa ujung meja yang tebal dan keras itu menjadi hancur!

“Nona Cia, kenapa tidak tadi-tadi kau ceritakan hal ini kepadaku? Jangan kau kuatir, orang-orang Cin-ling-pai mana berani mengganggu kakakmu kalau ada aku? Hee! Leng-moi …..! Kesinilah!”

Yo Leng Nio cepat muncul, wajahnya tetap muram dan ia melirik satu kali ke arah Bi Eng.

“Kongcu memanggil siauw-moi?” tanyanya sambil menghadap Bhok Kian Teng.

“Leng-moi, sekarang juga kau berangkatlah ke Cin-ling-san, kau temui tosu-tosu pengurus Cin­ling-pai, atau kalau perlu boleh kau minta bertemu sendiri dengan Giok Thian Cin Cu ketuanya, tunjukkan kartu namaku dan kau minta atas namaku agar Cin-ling-pai suka membebaskan seorang bernama Cia Han Sin. Setelah bebas, kau ajak pemuda itu ke sini, katakan bahwa adiknya, nona Cia Bi Eng, menantinya di sini dalam keadaan selamat.”

Yo Leng Nio mendengar penuh perhatian. Kemudian berkata,

“Siauw-moi telah menerima perintah. Hanya sebuah pertanyaan, kongcu, bagaimana kalau …..”

“Kalau mereka menolak, jangan bikin malu aku! Kalau kau tidak sanggup mengalahkan mereka, katakan aku akan datang sendiri!” Bhok-kongcu memotong tak sabar lagi sambil menggerakkan tangannya menyuruh gadis itu pergi. Yo Leng Nio mengangguk, lalu sekali meloncat gadis ini sudah berada di darat!

Diam-diam Bi Eng kagum sekali.

“Jangan kau gelisah, nona Cia. Kakakmu pasti akan selamat dan segera datang ke sini.”

“Bhok-kongcu, kau baik sekali. Banyak terima kasih atas segala jerih payahmu.”

“Ah, setelah kita menjadi sahabat, mana perlu segala ucapan sungkan? Nona, sekarang mengasolah, dan jangan berduka.” Kongcu itu menepuk tangan tiga kali dan lima orang gadis cantik muncul. “Antarkan nona Cia ke dalam kamar biar dia beristirahat.”

Melihat kebaikan orang, Bi Eng terharu dan tidak sampai hati menolak. Memang lebih baik bermalam di dalam perahu dari pada di pinggir sungai. Ia lalu diantar oleh gadis-gadis itu dan ternyata di dalam perahu besar itu disediakan kamar-kamar yang indah dan bersih. Ia mendapat sebuah kamar dan setelah sampai di kamarnya, dia dilayani oleh seorang gadis cantik berbaju merah.

“Nona, kongcu telah berlaku baik sekali padamu, kau beruntung,” kata nona baju merah itu sambil menarik napas panjang, di dalam suaranya terkandung iri hati besar. Namun Bi Eng tidak merasa ini dan dia tersenyum.

“Kalian semua orang-orang baik,” katanya. “Enci, siapakah namamu?”

“Aku hanya pelayan, kau tamu agung. Panggil saja aku Ang-hwa (Bunga Merah),” katanya.

Bi Eng dapat menduga bahwa nama ini hanya nama samaran, sesuai dengan bajunya yang merah. Namun ia tidak perdulikan lagi karena matanya sudah mengantuk, kepalanya agak pening karena banyak minum arak. Begitu ia merebahkan diri di atas kasur yang empuk, segera ia tidur pulas.

Menjelang tengah malam, ia terbangun dan mendengar suara orang menarik napas panjang. Suara itu seperti di dalam kamarnya, maka Bi Eng segera memandang ke sana ke mari tanpa bergerak. Ia melihat lampu masih menerangi kamarnya dan ketika melirik ke arah jendela, lapat-lapat ia melihat sepasang mata yang tajam mengintai ke dalam kamarnya.

Ia mengenal mata ini, seperti mata Bhok-kongcu. Dan kembali terdengar tarikan napas panjang, juga dari balik jendela itu. Kemudian menyusul bisikan-bisikan perlahan,

“Bhok Kian Teng … kau sudah gila. Mengapa tiba-tiba hatimu lemah? Gila …. Gila ….” Dan suara itu makin menjauh sedangkan sepasang mata itupun lenyap.

Bi Eng terkejut dan heran, juga takut. Belum pernah ia merasa takut, akan tetapi berada dalam tempat asing di antara orang-orang asing yang aneh, ia merasa ngeri juga. Kau bodoh, pikirnya. Mereka itu orang-orang baik, mengapa takut? Tiba-tiba ia mendengar suara bisik-bisik dari balik dinding kamarnya. Ia mengulet dan mendekatkan telinga mepet di dinding kamarnya karena kebetulan tempat tidurnya mepet di dinding itu. Kini ia dapat mendengar suara dua orang wanita berbicara berbisik-bisik. Yang satu ia kenal sebagai suara Ang Hwa.

“Aneh,” kata suara kedua. “Kongcu sama sekali tidak mengganggu bocah dusun itu. Memasuki kamarnyapun tidak! Malah mengintai. Apa artinya ini? Belum pernah terjadi hal seperti ini. Apa dia takut?”

“Goblok!” terdengar suara Ang-hwa mencela. “Kongcu takuti siapa? Tentu dia …. Dia telah jatuh cinta ….” Suaranya menjadi sedih.

Orang kedua menghela napas. “Hemmm, untung orang tak dapat diduga. Tadinya kami kira kau yang akan menjadi kekasihnya, Ang-hwa. Tidak tahunya kau juga sama dengan kami, hanya barang-barang permainan belaka. Tadinya kami kira dia tidak mempunyai hati untuk menyintai orang, menyinta dengan sungguh-sungguh seperti seorang pria menyinta wanita, kami kira dia memang hanya menganggap wanita sebagai barang mainannya. Tidak tahunya, dia menyinta gadis dusun …! Ah, Ang Hwa, belum pernah dia memandang kau seperti ketika memandang perempuan itu …… Haiii ….. nasib!”

Terdengar Ang Hwa mendengus, lalu suara itu sirep, Bi Eng terheran dan tidak mengerti sama sekali bahwa yang dimaksudkan dengan “gadis dusun” adalah dia sendiri! Karena itu dia tidak menaruh perhatian lagi dan mulai layap-layap hendak pulas.

Tiba-tiba ia mendengar pintu dibuka orang. Ketika ia membuka mata, ia melihat sinar kuning melayang ke arahnya dan di lain saat ia merasa lengan kirinya sakit sekali. Ia melihat dan ….. Bi Eng menjerit kaget.

“Ular …. menggigit ….. celaka ….!”

Ia melihat seekor ular belang kuning sudah menggigit lengannya dan melingkar di situ.
Tiba-tiba daun jendela terpentang dan sesosok bayangan melayang masuk. Bhok Kian Teng telah berada di situ.

“Celaka …..!” Pemuda itu berseru. Sekali tangannya diulur, kepala ular itu dipencet remuk. Tubuhnya lalu berkelebat ke arah pintu, terdengar suara gedebukan dan di lain saat ia telah kembali ke dalam kamar, menyeret Ang Hwa yang dilemparkannya ke atas lantai. Kemudian tanpa banyak cakap ia lalu menarik lengan Bi Eng yang tergigit ular dan memeriksa.

“Tenang, nona Cia. Aku akan menolongmu.” Tanpa sangsi-sangsi lagi Bhok Kian Teng lalu merobek baju bagian lengan ini sehingga nampak kulit lengan kiri Bi Eng yang putih, di mana kini terdapat bintik-bintik merah bekas gigitan ular.

“Duduklah baik-baik, aku akan mengeluarkan racun dari lenganmu.” Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu lalu menempelkan bibirnya pada lengan itu dan menghisapnya!

Bi Eng yang masih belum hilang kagetnya, kini terkesima dan tak dapat bergerak. Ia merasa ngeri, kaget, dan juga malu bukan main. Ketika merasa mulut pemuda itu yang hangat basah menempel di kulit lengannya dan menghisap, ia meramkan mata, mukanya merah dan hampir ia merenggutkan lengannya saking malu. Akan tetapi ia ingat bahwa pemuda ini sedang berusaha mengeluarkan racun, maka ia pertahankan dirinya.

Sehabis menghisap, pemuda itu lalu meludahkan darah yang berwarna hitam, lalu menghisapkan lagi, meludah lagi sampai lima kali, baru darah yang diludahkan berwarna merah. Lalu Bhok­kongcu mengeluarkan sebutir pil warna merah.

“Telanlah ini,” katanya kepada Bi Eng sambil menyodorkan secawan air bersih.

Bi Eng tidak membantah. Ditelannya pil itu dengan air dan ia merasa dadanya hangat-hangat nyaman. Rasa sakit pada lengannya masih ada, akan tetapi tidak ada lagi rasa gatal-gatal. Bhok­kongcu lalu menempelkan sehelai koyo (obat tempel) pada bekas luka, lalu menarik napas panjang karena lega sambil menyusuti peluhnya di jidat.

“Sudah selamat …….syukurlah …..” Kemudian pemuda itu menoleh ke arah Ang-hwa yang masih berlutut di atas lantai dengan muka pucat. “Keluar kau, ikut aku!” Tanpa menoleh lagi pemuda itu keluar dari kamar Bi Eng. Ang-hwa berdiri dan dengan kepala tunduk dan isak tertahan iapun ikut keluar.

Berdebar hati Bi Eng menyaksikan ini, hatinya merasa tidak enak sekali. Biarpun tubuhnya masih terasa lemah gemetar dan kepalanya pening, ia lalu membetulkan pakaiannya, mengeluarkan saputangan dan mengikat lengan bajunya yang robek tadi. Kemudian ia turun dari pembaringan dan keluar dari dalam kamarnya.

Ia melihat mereka semua sudah berkumpul di atas dek, diterangi bulan, nampaknya menyeramkan. Bhok Kian Teng duduk di tengah-tengah, di atas sebuah kursi. Ang-hwa yang menundukkan kepalanya berdiri tak jauh di depannya dan disekeliling mereka berdiri belasan orang wanita. Para anak buah perahu masih di tempat masing-masing, tak bergerak seperti patung, menambah keseraman pemandangan itu.

“Ang Hwa, sudah tahukah kau akan dosa-dosamu dan hukumannya?” terdengar suara Bhok Kian Teng, terdengar tidak bernada, akan tetapi masih halus sekali.

Ang Hwa mengangguk. “Siauw-moi berusaha mencelakakan wanita pilihan baru kongcu dan hukumannya seperti biasa, siauw-moi akan menjadi pelayan wanita itu untuk setahun dan selama itu ….. selama itu …. kongcu tidak akan mendekati siauw-moi …..”

Lanjut ke jilid 020 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment