Ads

Wednesday, August 29, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 020

◄◄◄◄ Kembali

Ucapan terakhir ini dikeluarkan dengan isak tertahan dan sedih sekali kedengarannya.

“Kau telah berani mati mencoba untuk membunuh nona Cia!” terdengar lagi suara Bhok Kian Teng, masih halus akan tetapi sekarang mengandung kemarahan besar sehingga di sekelilingnya tidak ada orang berani mengeluarkan suara, bahkan bernapaspun ditahan-tahan. “Karena itu, kau harus mati! Nih, hui-to (golok terbang), tublas dadamu dan keluarkan hatimu yang hitam hendak kulihat!”

Ucapan ini seperti petir menyambar bagi semua wanita di situ. Biarpun mereka tahu bahwa Bhok Kian Teng dapat membunuh orang tanpa berkedip, namun belum pernah ia memberi hukuman mati kepada para selirnya yang ia sayang. Lebih-lebih lagi terhadap Ang Hwa yang selama ini dianggap seorang di antara selir-selirnya yang paling disayang, dan sebabnya hanya karena hendak membunuh seorang gadis dusun!

“Kongcu ……..!” Seorang wanita baju kuning, Oey Hoa, berkata dengan suara memohon. Dia juga seorang di antara mereka yang disayang.

“Siapakah yang hendak membelanya, boleh mengantarnya ke neraka!” kata Bhok Kian Teng dan Oey Hoa menjadi pucat, lain-lain wanita tidak ada yang berani mengeluarkan suara lagi. Dengan isak tertahan Ang-hwa lalu melangkah maju dan menerima golok kecil dari tangan Bhok Kian Teng.

“Bhok-kongcu-ya …… demi cinta kasihku yang suci kepadamu ……, aku rela mati ……, hanya aku kuatir … dia … dia … takkan dapat membahagiakanmu ……”

Sampai di situ, Bi Eng tak dapat menahan lagi gelora hatinya. Ia melompat maju dan berseru,

“Tahan hukuman ini!”

Semua orang terkejut. Bhok Kian Teng cepat menengok dan melihat gadis itu berdiri dengan muka pucat akan tetapi dengan sikap gagah dan dalam pandang matanya makin cantik jelita, ia berkata lirih, penuh kasih sayang.

“Nona Cia ….. kau jangan keluar dari kamar. Lukamu belum sembuh benar, jangan kau terkena angin malam …..”

Alangkah mesra penuh kasih sayang kata-kata ini, membuat semua wanita di situ saling pandang dan melongo. Belum pernah mereka mendengar kongcu mereka memperlihatkan kasih sayang demikian besarnya, kasih sayang sewajarnya, bukan hanya karena dorongan nafsu.

“Bhok-kongcu, kuanggap kau seorang yang baik budi, siapa kira kau bisa berlaku sekejam ini, menghukum mati begitu saja seorang wanita!” Bi Eng menegurnya dengan suara keras dan marah.

Semua wanita sekali lagi terheran-heran, masa ada gadis yang begitu berani mencela kongcu mereka, padahal begitu disayang. Mereka yang mencari muka, mengambil-ambil hati minta dicinta, masih belum mendapat cintanya. Gadis ini begitu kasar dan berani mencela, malah dicinta. Anehnya cinta

“Dia ….. dia hendak membunuhmu!” kata Bhok Kian Teng sambil memandang ke arah Ang-hwa dengan marah.

“Aku yang hendak dibunuh, bukan kau. Mengapa kau yang hendak menghukumnya? Sepatutnya akulah yang bersakit hati.” Setelah berkata demikian Bi Eng melompat maju ke depan Ang-hwa dan sekali ia menggerakkan tangan, hui-to itu telah dirampasnya dan dikembalikannya kepada Bhok­kongcu. Kemudian Bi Eng menghadapi Ang-hwa dan bertanya.

“Enci Ang-hwa, tadi sikapmu baik sekali kepadaku. Kenapa kau melepas ular beracun hendak membunuhku? Apa salahku kepadamu?”

Ang-hwa dengan muka pucat memandang Bi Eng penuh selidik, seakan-akan hendak mencari tahu rahasia apakah yang membuat gadis ini demikian mudah merebut hati kongcunya. Kemudian ia menarik napas panjang dan dengan suara terisak-isak ia berkata,

“Aku tidak mempunyai permusuhan apa-apa dengan engkau. Akan tetapi kenapa kau datang-datang merampas hati kongcu? Aku yang sudah dua tahun melayaninya, mengurbankan nama, kehormatan, orang tua dan merendahkan diri sendiri dari puteri seorang hartawan menjadi pelayannya, mencuci kakinya, melakukan segala perintahnya dengan segala senang hati, aku tidak dapat mengambil hatinya. Akan tetapi, kau ….. ah, bagaimana aku takkan iri hati dan cemburu? Aku sudah gagal membunuhmu, sekarang kau hendak berbuat apa, sesukamulah. Boleh bunuh, boleh siksa …….!”

Wajah Bi Eng sebentar merah sebentar pucat. Tak disangkanya sama sekali bahwa keadaan menjadi begitu macam. Tak disangkanya sama sekali bahwa kehadirannya di situ menimbulkan kekacauan yang amat hebat, menimbulkan kebencian yang hampir merenggut jiwanya. Padahal ia tidak merasa berdosa.

“Goblok! Siapa yang berebut denganmu? Aku hanya seorang tamu, seorang sahabat baru yang baik dari Bhok-kongcu. Kau bicara ngaco-belo, apakah otakmu sudah gila?” Ia lalu menghadapi Bhok­kongcu dan berkata tegas, “Bhok-kongcu, aku minta dengan sangat supaya wanita ini diampuni. Jangan kau bunuh padanya!”

Bhok Kian Teng bangun berdiri dan menjura di depannya. “Nona Cia adalah seorang tamuku yang terhormat. Namanya sudah dihina perempuan rendah ini, malah hendak dibunuhnya. Akan tetapi sekarang nona mengampuni dia, itu menandakan budi nona yang mulia dan hati nona yang bersih. Baiklah, aku memenuhi permintaan nona. Ang-hwa, kau telah diampuni oleh nona Cia, akan tetapi aku tetap tidak bisa melihat mukamu. Kau kira kau ini terlalu cantik maka hendak menjual lagak di sini? Hendak kulihat kalau kau tidak mempunyai hidung, bagaimana macamnya!”

Baru saja Bi Eng hendak mencegah, tangan Bhok-kongcu bergerak, sinar terang meluncur bagaikan api terbang, terdengar jerit mengerikan dan sinar terang dari hui-to itu setelah membabat hidung Ang-hwa, ternyata dapat terbang kembali ke tangan Bhok-kongcu!

Ang-hwa memegangi mukanya di bagian hidung yang berdarah, hidungnya yang kecil
mancung sudah lenyap dibabat golok terbang, dia menangis tersedu-sedu.

“Pergilah, aku tidak sudi lagi melihat mukamu!” kata Bhok-kongcu.

Sambil mengeluarkan jerit menyayat hati, Ang-hwa melompat dan tubuhnya merupakan bayangan merah melesat ke arah daratan. Sebentar saja ia lenyap di antara pohon-pohon, hanya jeritnya yang melengking saja berkali-kali masih terdengar dari jauh.

”Bhok-kongcu, kau terlalu sekali menyakiti dia. Kenapa tidak diampuni dan diusir saja?” Bi Eng menegur.

Bhok Kian Teng tertawa. “Mana ada kesalahan yang tidak dihukum? Kalau semua menuruti engkau, dunia ini makin penuh kejahatan, nona.”

Semenjak terjadi peristiwa itu, hati Bi Eng makin tidak enak tinggal di perahu Bhok-kongcu. Akan tetapi karena ia harus menanti kakaknya dan Yo Leng Nio belum juga datang, terpaksa ia menahan hatinya dan selalu bersikap hati-hati sekali. Terhadap wanita-wanita lain ia bersikap manis dan terhadap Bhok-kongcu ia bersikap dingin dan sombong.

Diam-diam ia sering memikirkan, siapakah gerangan Bhok-kongcu ini. Begitu kaya raya nampaknya, begitu agung dan aneh, beberapa kali ia berusaha memancing, bertanya kepada wanita-­wanita itu, akan tetapi tak seorangpun berani membuka mulut. Ketika Bi Eng mencoba bertanya kepada para anak buah perahu, alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa mereka ini tidak berlidah dan telinga mereka rusak! Tidak dapat bicara dan tidak mendengar!

Memang Bhok Kian Teng bukanlah orang biasa. Dia itu sebetulnya memiliki kedudukan tinggi sekali baik di kalangan pemerintah Ceng maupun di dunia kang-ouw. Di kalangan pemerintah, siapakah yang tidak mengenal pangeran Bhok, atau pangeran muda, putera dari pangeran tua Bhok Hong? Di dunia kang-ouw, siapakah yang tak pernah mendengar nama besar Bhok-kongcu, seorang bun-bu-coan-jai yang lihai ilmu silatnya dan tinggi pengertiannya tentang kesusasteraan? Siapa pula tidak pernah mendengar nama yang menggemparkan dunia kang-ouw dari tokoh besar dari utara yang berjuluk Pak-thian-tok (Si Racun dari Utara), yaitu julukan dari pangeran Bhok Hong?

Pada saat itu, seluruh daratan Tiongkok sampai ke Korea telah diduduki oleh orang-orang Mancu yang mendirikan kerajaan Ceng dengan kaisar Kang Shi. Dalam penyerbuannya ke Tiongkok ini bala tentara Mancu dapat bantuan besar dari bangsa Mongol, terutama para pangeran yang masih penasaran karena bangsa mereka terusir dari Tiongkok yang pernah mereka jajah.

Kaisar Kang Shi naik tahta pada tahun 1663 dan semenjak kekuasaan Mancu makin besar dan kedudukan para patriot yang masih berusaha mempertahankan wilayah masing-masing makin terdesak dan ambruk, mulailah pemerintah penjajah yang baru ini mengadakan peraturan-peraturan yang amat menghina bangsa Tiongkok.

Penduduk dibagi dalam empat lapisan atau empat tingkat. Tingkat paling tinggi tentu saja diduduki oleh bangsa Mancu sendiri sebagai penjajah. Tingkat kedua terdiri dari bangsa Mongol yang sudah banyak membantu bangsa Mancu dalam penyerbuan ke Tiongkok, dan hal ini menunjukkan betapa cerdiknya bangsa Mancu yang hendak mengambil hati orang-orang Mongol agar tetap setia kepada mereka.

Selain bangsa Mongol juga suku bangsa lain yang telah membantu pemerintah Mancu, seperti suku bangsa Hui dan lain-lain. Tingkat ketiga diberikan kepada penduduk Tiongkok utara. Hal ini bukan saja karena penduduk Tiongkok utara lebih dulu ditaklukkan, juga karena di daerah ini telah terdapat percampuran darah karena antara penduduk Tiongkok asli dengan orang-orang Mongol dan Mancu sendiri. Setelah ini, barulah pada lapisan keempat atau tingkat paling rendah duduk orang-orang Tiongkok selatan yang masih saja ada yang melakukan perlawanan terhadap pemerintah Mancu di sana sini.

Banyak sekali orang-orang gagah, pahlawan-pahlawan rakyat di daerah selatan merasa sedih sekali dan memberontak terhadap pemerintah penjajah. Para patriot ini makin berduka dan mendongkol kalau ingat akan kerajaan Beng yang telah jatuh dan memberikan tampuk kekuasaan kepada penjajah.

Semua ini dapat terjadi karena kaisar dan pembesar-pembesar Beng tidak becus mengurus negara. Korupsi dan penyuapan merajalela, tidak ada seorangpun pembesar yang jujur, semuanya ahli korupsi dan pemakan sogokan. Kalau ada pembesar yang jujur dan setia, tentu pembesar ini akan dimakan oleh rekan-rekan sendiri yang mengkhianati dan mencelakakannya dengan pelbagai jalan rendah.

Itulah yang menyebabkan lemahnya pemerintah Beng, pemerintah yang dipegang oleh bangsa sendiri. Karena kaisarnya lalim dan para petugasnya menyeleweng dari kebajikan. Negara yang dipimpin oleh kaisar yang kurang tegas, yang membiarkan petugas-petugas menyeleweng tanpa bertindak keras karena dia sendiri mabok kesenangan dunia, sudah tentu menjadi lemah dan mudah diserbu oleh bangsa lain. Demikianlah keadaan kerajaan Beng di Tiongkok dan setelah negara dijajah oleh bangsa Mancu, barulah rakyat yang merasakan pahit-getirnya dan para pendekar mati­matian melakukan perlawanan.

Namun semua perlawanan sia-sia belaka karena keadaan pemerintah Mancu sudah amat kuat. Tidak saja mempunyai bala tentara yang kuat dan mendapat bantuan suku-suku bangsa di utara, juga sebentar saja muncul pengkhianat-pengkhianat bangsa. Mereka ini tidak lain adalah bangsawan-­bangsawan Beng dan tuan-tuan tanah yang pada waktu kerajaan Beng sudah hidup enak-enak, sekarang mempergunakan siasat bunglon. Mengandalkan harta mereka, dengan muka menjilat-jilat dan ekor dilipat seperti anjing-anjing rendah, mereka datangi “tuan-tuan baru” mereka ini sambil membawa hadiah-hadiah. Akhirnya mereka diterima oleh pemerintah baru, bahkan dijadikan kaki tangan dan pembantu pemerintah Mancu.

Memang orang-orang Mancu itu cerdik sekali. Mereka tahu bahwa rakyat kecil tidak suka melihat tanah air dijajah dan tentu mereka akan menjumpai tentangan dan perlawanan rakyat. Akan tetapi mereka cukup maklum pula akan kehidupan rakyat yang melarat, akibatnya dari pada ketidak becusan pemerintah Beng yang lalu. Jika rakyat ini tidak mendapat sokongan orang-orang kaya, tuan-tuan tanah dan bangsawan-bangsawan Beng, sudah dapat dipastikan perlawanan rakyat itu takkan ada artinya. Apa sih tenaga perlawanan rakyat yang sudah hampir kelaparan? Karena ini maka pemerintah penjajah ini dengan sengaja membaiki orang-orang bangsawan, hartawan dan tuan tanah, mengumumkan takkan mengganggu harta milik mereka asal saja mereka ini mau tunduk kepada kerajaan Ceng.

Yang paling hebat di antara praturan yang menghina bangsa Tiongkok adalah kewajiban bagi orang-orang Tiongkok untuk memelihara rambut dan mengelabangnya ke belakang seperti ekor! Biarpun lambat laun hal ini bahkan merupakan semacam ”mode baru”, namun pertama kalinya benar-benar dirasakan sebagai penghinaan hebat dan entah berapa puluh ribu orang yang tewas karena memberontak dan sengaja tidak mau memenuhi perintah menghina ini!

Demikianlah sedikit tentang keadaan orang-orang Tiongkok setelah pemerintah penjajah Mancu berkuasa di sana. Tentu saja banyak sekali hal-hal terjadi, banyak cerita-cerita tentang keadaan ini yang kalau ditulis semua mungkin akan menghabiskan beberapa jilid buku. Pendeknya, kaum penjajah selalu berusaha melemahkan penduduk tanah jajahannya dengan berbagai jalan, menindas lahir batin.

Akan tetapi ada hal aneh terjadi di Tiongkok, yang menjadi kebalikan dari pada keadaan tanah-­tanah terjajah lain di dunia ini, dan sekaligus menunjukkan betapa tebal kepribadian bangsa Tiongkok serta betapa hebat pengaruh kebudayaan mereka. Sejarah menunjukkan betapa kaum penjajah itu selain menghisap kekayaan tanah jajahan, juga memasukkan kebudayaan, agama dan lain-lain ke tanah jajahan untuk dijejalkan kepada penduduk tanah jajahan. Akan tetapi keadaan di Tiongkok malah sebaliknya.

Kepribadian asli penduduk Tiongkok demikian tebal sehingga tidak dapat ditembus oleh cara-cara penjajah. Kebudayaan Tiongkok demikian kuatnya sehingga tidak goyah oleh kebudayaan baru yang dibawa penjajah. Malah sedemikian kuatnya lambat laun para penjajah itu sendiri yang terbawa hanyut oleh kebudayaan Tiongkok.

HAL ini agaknya sukar dipercaya akan tetapi kembali sejarah yang mencatatkan betapa bangsa Mancu itu setelah menjajah Tiongkok, melihat kebudayaan dan kepribadian Tiongkok lalu terpicuk. Mereka mulai berbahasa Tiongkok, tidak hanya dengan penduduk asli, malah membawa bahasa tanah jajahan ini ke dalam rumah tangga.

Hidup mereka juga seperti orang Tiongkok, berpakaian seperti orang Han, bahkan mereka mengundang guru-guru bangsa Han untuk mengajar mereka dalam hal membaca dan menulis, mempelajari kesusasteraan dan filsafat Tiongkok. Dengan cara ini, dalam satu dan dua generasi saja orang-orang Mancu ini boleh dibilang sudah melebur diri dengan menjadi orang Han, hidup, berpakaian dan bicara seperti orang Han dan sebagian besar di antara mereka sudah tidak dapat bicara dalam bahasa Mancu lagi! Ini aneh tapi kenyataan!

Baiklah kita kembali kepada cerita kita. Dalam penyerbuan ke Tiongkok seperti sudah dituturkan tadi, bangsa Mancu banyak mendapat bantuan orang-orang Mongol. Orang yang banyak sekali jasanya dalam bantuan ini kiranya adalah pangeran Bhok Hong. Menurut kata orang-orang Mongol. Pangeran Bhok Hong ini masih keturunan kaisar Jenghis Khan yang amat termasyhur di Mongol, kaisar yang menaklukkan hampir separuh dunia itu.

Dan di dunia kang-ouw, pangeran Bhok Hong ini dijuluki Pak-thian-tok, nama julukan yang membuat setiap orang gagah menggigil karena nama ini terkenal sakti, aneh dan kejam. Tentu saja pemerintah Mancu amat menghargai pangeran ini dan segera pangeran ini diberi kedudukan sebagai Raja Muda, diberi gedung indah besar di Peking dan mendapat penghormatan besar. Karena itu kekuasaan pangeran Bhok Hong juga besar sekali, dan otomatis putera tunggalnya, Bhok-kongcu, juga amat terkenal dan berpengaruh.

Bhok-kongcu atau Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang memiliki otak luar biasa tajamnya, mempelajari ilmu kesusasteraan. Ia pandai sekali dan bakatnya untuk ilmu silat juga jarang bandingannya. Sudah banyak ia mewarisi ilmu silat ayahnya, dan semua guru-guru sastera yang pandai di ibu kota rata-rata memuji ketajaman otaknya. Maka tidak berlebihan kalau Bhok­kongcu segera mendapat sebutan bun-bu-coan-jai di kota raja.

Dia tampan dan halus tutur sapanya, siapa melihatnya tentu menjadi suka, apalagi gadis-gadis yang melihat pemuda tampan dan halus serta amat pandai ini, siapa yang takkan jatuh hati? Sayang seribu sayang, di balik semua kebaikan ini pada dasar hatinya Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang sudah dikuasai oleh nafsu-nafsunya.

Ia mengumbar nafsu, mengambil setiap gadis yang menarik hatinya sebagai selir dan pelayan, dan dalam cara mendapatkan gadis-gadis ini ia menggunakan jalan apa saja. Dengan cara membeli, membujuk, atau kalau perlu dengan kekerasan! Dan disamping amat pesolek dan cabul, juga pemuda ini agaknya mewarisi watak ayahnya yang amat aneh dan kejam sekali. Inilah Bhok­kongcu yang dalam pesiarnya telah bertemu dengan Bi Eng!

Tentu saja gadis ini tidak pernah mimpi orang macam apa adanya pemuda yang ia anggap baik budi itu! Kalau ia tahu siapa adanya Bhok-kongcu, tentu ia akan menjadi ngeri. Akan tetapi, sejahat-jahat dan sepandai-pandai manusia, ia tentu lemah tak berarti kalau menghadapi kekuasaan alam.

Demikianpun dengan Bhok-kongcu. Keanehan terjadi pada dirinya. Biasanya, kalau melihat gadis cantik yang menarik hatinya, tanpa banyak cincong lagi tentu akan mendapatkan gadis ini sebagai kekasih dan selirnya dan di antara seratus orang gadis, kiranya belum tentu satu yang dapat lolos dari jari-jari tangannya. Akan tetapi aneh bin ajaib, begitu berhadapan dengan Bi Eng, hati Bhok Kian Teng tiba-tiba menjadi lunak! Ia tidak sampai hati mengganggu Bi Eng, tidak tega menggunakan cara-caranya yang sudah biasa, yaitu dengan kekerasan mengandalkan kepandaiannya, dengan bujukan disertai minuman-minuman beracun yang memabukkan, dan cara­-cara keji lainnya.

Tidak, ia tidak mau menggunakan cara ini menghadapi Bi Eng. Malah anehnya, ia mengharapkan cinta kasih yang suci dan sewajarnya dari gadis ini! Memang, aneh sekali cinta kalau sudah menempati hati manusia. Yang lemah menjadi kuat, yang halus menjadi kasar, yang kuat menjadi lemah, yang kasar menjadi halus, yang baik menjadi jahat, yang jahat menjadi baik dan sebagainya!

Bi Eng sama sekali tidak tahu bahwa Bhok Kian Teng sebetulnya merupakan orang yang jauh lebih berbahaya dari pada orang-orang jahat yang pernah ia jumpai, lebih jahat dari pada hwesio Goan Si malah. Juga ia tidak tahu bahwa dibalik semua penghormatan, selain pemuda ini betul-betul telah jatuh cinta kepadanya, juga di dalam otak yang cerdik dari Bhok-kongcu telah diatur rencana yang hebat.

Tentu saja sebagai seorang muda yang luas pengetahuannya tentang dunia kang-ouw, Bhok Kian Teng sudah mendengar pula tentang adanya surat wasiat Lie Cu Seng dan ia dapat mengetahui pula bahwa surat wasiat itu tentu berada di tangan Cia Han Sin. Inilah sebabnya ia tidak ragu-ragu lagi menitah Yo Leng Nio untuk pergi menolong Han Sin! Jika ia bisa mendapatkan surat wasiat itu, ah, itulah sesuai dengan cita-citanya yang maha besar, cita-cita yang dahulu pernah dimiliki dan dilakukan dengan berhasil oleh nenek moyangnya, Jengis Khan! Cita-cita untuk menguasai Tiongkok kembali, menguasai Asia, menguasai dunia!

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment