Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 021

◄◄◄◄ Kembali

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Cia Han Sin, marilah kita menengoknya. Seperti telah kita ketahui, pemuda ini ketika hendak melarikan diri pundaknya terkena paku Coa-kut-teng (Paku Tulang Ular) yang dilepas oleh Tok-gan Sin-kai si pengemis mata satu dari Coa-tung Kai-pang sehingga Han Sin terguling dan bersama Siauw-ong terjerumus ke dalam sebuah jurang! Sungguh masih untung baginya, atau lebih tepat lagi, nyawanya masih dilindungi Tuhan.

Jurang itu biarpun amat dalam, namun di lerengnya tumbuh pohon-pohon kecil sehingga ketika tubuh pemuda itu menggelundung ke bawah, ia tertahan-tahan oleh tetumbuhan itu. Memang pakaiannya koyak-koyak berikut kulit tubuh dan sedikit dagingnya, namun ia tidak sampai mengalami patah tulang atau luka parah.

Pula, ia sudah pingsan ketika jatuh sehingga tubuhnya menjadi lemas dan hal ini amat menguntungkan baginya. Orang yang terjatuh dalam keadaan tidur atau pingsan sehingga tubuhnya lemas, tidak akan mengalami luka lebih hebat dan parah dari pada kalau orang jatuh dalam keadaan sadar. Dalam sadar tentu orang yang jatuh melakukan perlawanan, tubuhnya menegang dan karenanya malah terbanting hebat.

Dengan mandi darah dari kulit-kulit yang lecet, Han Sin menggeletak di dasar jurang. Siauw-ong yang sebagai seekor monyet tentu saja lebih gesit, tadi sudah berhasil menjambret tetumbuhan dan berlompatan turun. Kini dengan cecowetan sedih binatang ini menangisi tubuh tuannya. Luka-luka kecil yang diderita oleh Han Sin sebetulnya tidak berbahaya. Yang berbahaya adalah luka di pundaknya di mana masih menancap sebatang paku yang mengandung racun.

Hanya sebentar Han Sin pingsan. Biarpun pemuda ini tidak pernah melatih diri dengan ilmu silat, namun latihan-latihan samadhi dan bernapas yang ajaib membuat tanpa ia sadari, tubuhnya menjadi amat kuat dan jalan darahnya benar-benar sempurna. Juga sinkang di dalam tubuhnya sudah luar biasa sekali sehingga hawa beracun dari ujung paku itu dapat tertahan, tidak menjalar turun.

Ketika membuka mata dan melihat Siauw-ong menangis di dekatnya, Han Sin ingat akan semua kejadian. Ia bangun duduk dan menarik napas panjang, sama sekali tidak mengeluh biarpun seluruh tubuhnya terutama pundaknya, sakit-sakit. Ia melirik kepada Siauw-ong lalu merangkul monyet itu dan mengelus-elus kepalanya. Hatinya terharu.

Tidak dinyana sama sekali bahwa berkali-kali ia bertemu dengan manusia-manusia yang begitu jahat. Tadinya ia berpikir bahwa manusia-manusia di dunia ini tentulah baik dan cinta sesama. Akan tetapi kenyataannya, begitu turun gunung ia sudah menemui orang-orang seperti para tosu Cin-ling­pai yang tanpa sebab menyerang dan menawannya.

Ban Kim Cinjin yang suka membunuh orang, Thio Li Hoa yang demikian cantik akan tetapi ternyata kejam dan palsu, kemudian para pengemis tua yang juga jahat dan telah melukainya. Semua ini membuat hati Han Sin terheran-heran dan tercengang. Siauw-ong, biarpun seekor monyet, bukan manusia ternyata lebih baik dari pada manusia-manusia itu, pikirnya. Benar-benar Han Sin tidak mengerti dan penasaran sekali.

Lalu ia teringat akan kata-kata suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang dahulu menyatakan bahwa di dunia kang-ouw banyak orang jahat. Dahulu ia mentertawakan gurunya ini, akan tetapi sekarang, baru beberapa lama turun gunung ia sudah menjadi korban kejahatan manusia. Entah kejahatan-­kejahatan lebih hebat bagaimana lagi yang akan ia lihat kelak. Ia bergidik dan merasa khawatir sekali akan keselamatan adiknya Bi Eng.

”Aku harus dapat pergi dari sini menyusul Bi Eng,” pikirnya dengan hati tetap.

Ketika ia bangkit berdiri, ia merasa pundaknya sakit sekali. Dilihatanya pundaknya itu dan kelihatan sebuah kepala paku menancap.

”Ah, pengemis tua itu menyambit dengan paku,” pikirnya. Tanpa ragu-ragu lagi ia mengulur tangan dan mencabut paku itu dari pundaknya.

Tenaga lweekang pemuda ini luar biasa besarnya tanpa ia ketahui sendiri. Ke mana jalan pikirannya menuju, ke situlah tersalur tenaga sinkang di dalam tubuhnya. Inilah tingkat yang sudah amat tinggi. Begitu ia berpikir hendak mencabut paku itu, tenaga yang amat besar sudah tersalur ke dalam jari-jari tangannya dengan amat mudah ia mencabut paku Coa-ku-teng. Darah hitam muncrat keluar.

Han Sin kaget. ”Celaka,” pikirnya. ”Paku ini mengandung racun, harus kukeluarkan semua racun dari pundak.”

Begitu pikirannya memikir demikian, hawa sinkang mendorong ke pundak, memaksa jalan darahnya mengalir cepat ke arah pundak dan segera darah hitam keluar banyak sekali seperti pancuran. Akhirnya darah hitam habis, terganti darah merah. Han Sin menutupi luka dengan jari tangannya, namun tidak berhasil menghentikan keluarnya darah. Makin banyak darah keluar membuat ia bingung sekali.

“Celaka, mengapa darah keluar terus? Kalau habis darahku, bukankah aku mati?”

Dengan sekuat tenaga pikirannya ia menghendaki darah berhenti dan ….. tiba-tiba darah itu berhenti keluar. Hatinya lega dan perasaannya menjadi nyaman. Tak terasa sakit lagi luka dipundaknya, akan tetapi ia merasa tubuhnya lemas. Terlampau banyak darah ia keluarkan.

”Siauw-ong, kita harus bisa keluar dari jurang ini,” kata pemuda itu kepada monyetnya.

Siauw-ong agaknya mengerti akan maksud majikannya. Maka binatang ini mulai mencari ke sana ke mari, jalan keluar. Akan tetapi agaknya jalan keluar hanya satu, yaitu merayap kembali melalui tetumbuhan ke atas. Maka sambil cecowetan monyet itu lalu mulai melompat-lompat dan merayap ke atas.

”Tidak, Siauw-ong. Tidak boleh lewat sana. Selain sukar dan aku tidak sanggup, juga di atas banyak orang-orang .....” Ia hendak menyebut ”jahat” akan tetapi dasar hati pemuda ini mudah memaafkan orang, ia melanjutkan. ” ..... sedang marah! Marah kepada kita. Mari kita mencari jalan lain!”

Iapun mulai menengok ke sana ke mari. Jurang ini dikurung batu karang yang tinggi, di sebelah kiri terdapat jurang yang lebih dalam lagi. Akan tetapi jalan menuruni jurang ini melalui batu-batu karang yang menonjol dan agaknya bisa dilalui. Maka dengan nekad Han Sin lalu merayap turun melalui jalan berbahaya itu. Siauw-ong sendiri mengeluarkan bunyi ketakutan dan ngeri melihat ke bawah yang dalamnya sampai ratusan meter. Sekali terpeleset ….. habislah riwayat! Akan tetapi karena melihat Han Sin nekat, iapun lalu merambat turun, malah mendahului pemuda itu.

Setelah turun sejauh puluhan meter, tiba-tiba Siauw-ong berseru cecowetan, kelihatan girang. Ternyata dia tiba di sebuah guha yang besar. Han Sin juga menuju ke situ dan keduanya lalu memasuki guha, untuk beristirahat karena jalan yang dilalui tadi amat sukar dan melelahkan, apalagi bagi Han Sin yang sudah lemas tubuhnya.

Siauw-ong tentu saja tidak begitu merasa lelah dan monyet ini tidak mau diam, terus menggeretak ke sana ke mari di dalam gua. Tiba-tiba monyet itu memekik dan mencongkel batu bentuknya lonjong. Batu itu bergoyang lalu tergeser dan terbukalah sebuah lubang selebar dua kaki lebih dan pada saat itu terdengar suara mendesis dan tahu-tahu tubuh Siauw-ong telah dibelit oleh seekor ular putih yang panjangnya ada satu setengah meter dan besarnya selengan orang! Siauw-ong menjerit dan menggigit sekenanya. Ia kena menggigit ekor ular itu dan dia sendiri digigit pundaknya oleh ular tadi. Siauw-ong bergulingan, akan tetapi belitan ular makin mengeras.

Melihat Siauw-ong dibelit dan digigit ular, bukan main bingung dan kagetnya hati Han Sin. Dia merasa ngeri, akan tetapi untuk menolong monyet itu, cepat ia meloncat mendekat. Ia berusaha melepaskan belitan, dan menggunakan tangannya untuk merenggangkan tubuh ular dari Siauw-ong.

Akan tetapi tiba-tiba lengannya dibelit juga dan ular itu saking marahnya, sudah membalikkan kepalanya, melepaskan gigitan dari pundak Siauw-ong dan kini secepat kilat ia menyerang Han Sin, menggigit lambung pemuda itu sebelah kanan!

Tadinya Han Sin tidak bermaksud membunuh ular itu. Hatinya terlampau baik untuk gampang membunuh, biarpun seekor ular. Akan tetapi melihat ular itu masih mengancam keselamatan Siauw-ong, malah sekarang menggigitnya, ia menjadi marah. Begitu menggigit ia merasa separuh tubuhnya yang sebelah kanan mati dan kaku, gatal-gatal dan sakit luar biasa. Ia mencoba menggerakkan kedua tangan, akan tetapi tangan kirinya sudah dibelit dan tangan kanannya juga ikut mati kaku.

Dalam gugupnya, tanpa pikir panjang lagi Han Sin menggunakan senjatanya yang paling sederhana, yaitu …. giginya! Ia menunduk dan di lain saat ia sudah berbuat seperti Siauw-ong tadi, menggigit sekenanya. Kebetulan sekali ia menunduk ke kanan, maka ketika ia membuka mulut menggigit, ia dapat menggigit leher ular itu.

Ia menggigit sekerasnya, darah muncrat keluar dari tubuh ular memenuhi mulutnya. Ia tidak perduli, malah menelan darah itu terus menggigit dan menghisap. Aneh sekali, darah ular itu biarpun berbau amis dan memuakkan, namun terasa ada manis-manisnya. Mati-matian Han Sin terus menghisap dan menelan darah ular seperti orang minum! Sampai tenggorokannya terdengar berceglukan!

Ular putih itu kesakitan, belitan dan gigitannya makin keras dan akhirnya Han Sin roboh terguling sambil terus menggigit. Ular itu bergulingan di dalam guha, membawa Han Sin dan Siauw-ong sehingga tiga macam makhluk itu bergulingan menjadi satu dalam keadaan kacau balau. Seperti Han Sin, Siauw-ong juga masih menggigit ekor dan kera inipun menghisap dan menelan darah ular yang memasuki mulutnya. Benar-benar perkelahian ini merupakan perkelahian liar dan keadaan Han Sin pada saat itu sudah bukan seperti manusia lagi, melainkan seperti seekor binatang yang marah dan sedang berkelahi.

Gigitan ular mengeluarkan bisa, membuat separuh tubuh Han Sin dan tubuh Siauw-ong juga kaku-­kaku rasanya. Akan tetapi sebaliknya, gigitan Siauw-ong dan Han Sin malah mengisap darah. Tentu saja darah ular itu makin lama makin berkurang, apalagi bagi Han Sin yang menghisap dengan kekuatan luar biasa, sehingga setengah jam kemudian ular itu kehabisan darah, lemas dan tidak berkutik lagi. Sembilan puluh persen lebih darah ular itu berikut semua racun dan benda cair di dalam tubuhnya telah pindah ke dalam perut Han Sin, yang sepuluh persen kurang pindah ke dalam perut Siauw-ong! Ular mati dan Han Sin bersama Siauw-ong masih terus menggigit, juga tidak bergerak seperti mati karena sesungguhnya mereka berdua sudah pingsan!

Sejam kemudian Han Sin siuman dari pingsannya. Ia merasa tubuhnya panas membara dan ringan seakan-akan hendak melayang. Ketika ia melirik ke arah Siauw-ong, ia melihat monyet itu sudah duduk bersandar di dinding guha sambil cengar-cengir dan .... makan ekor ular mentah!

“Eh, Siauw-ong, kenapa kau makan daging ular yang mentah?” teriak Han Sin dan telinganya menjadi sakit sendiri mendengar suaranya yang tinggi nyaring seperti orang berteriak-teriak.

Siauw­ong tidak menjawab, melainkan meloncat dan menginjak-injak tubuh ular sambil menepuk-nepuk pundaknya yang mana tampak bekas gigitan ular yang sudah kering. Ia merasa heran dan cepat melihat ke arah lambungnya sendiri yang tadipun digigit ular. Juga di situ terdapat bekas gigitan, akan tetapi sudah kering sama sekali!

Han Sin mencoba untuk memikirkan perbuatan Siauw-ong. Akhirnya ia mengerti maksudnya. Kera itu lapar, dan karena ular itu sudah menggigitnya, maka untuk melampiaskan marahnya, kera itu lalu makan dagingnya! Han Sin juga merasa perutnya lapar sekali. Karena di situ tidak ada makanan lain dan Siauw-ong kelihatan enak sekali makan daging ular, iapun lalu meraih bangkai ular dan menggigit dagingnya.

Luar biasa! Daging itu biar mentah, akan tetapi tak dapat dibantah lagi rasanya enak! Gurih dan manis, biarpun agak amis-amis sedikit. Ia makan dengan bernafsu, malah anehnya, makin mendekati kepalanya makin enak. Akhirnya Han Sin makan kepala ular itu!

Tanpa mereka sadari, Han Sin dan Siauw-ong telah makan obat pemusnah racun ular itu. Ular itu bukanlah sembarang ular, melainkan sejenis binatang beracun yang hanya keluar seribu tahun sekali. Binatang ular ini oleh ahli-ahli pengobatan disebut Pek-hiat-sin-coa (Ular ajaib darah putih). Biasanya tidak seberapa besar, maka ular yang telah mencapai panjang satu setengah meter ini entah sudah berapa ratus tahun usianya. Ular ini beracun sekali, gigitannya tidak ada obatnya, juga darahnya amat berbisa. Akan tetapi penolak racun itu terletak dalam daging-dagingnya sendiri!

Maka setelah Han Sin dan Siauw-ong digigit, mereka tanpa disadari telah minum darah ular yang berbisa luar biasa itu, kemudian makan dagingnya. Otomatis racun yang berbahaya lenyap pengaruhnya dan sebaliknya mereka telah mendapatkan obat kuat yang tiada bandingnya di dunia ini. Apalagi bagi Han Sin yang sudah minum darah ular sebanyak sembilan puluh persen lebih, ditambah lagi baru saja ia kehilangan banyak darah sehingga sebagian dari pada darah dalam tubuhnya terganti oleh zat darah ular itu, akibatnya bukan main.

Memang di dalam tubuh pemuda ini sudah terdapat sinkang (hawa sakti) yang mujizat, sekarang ditambah kemujizatan darah dan daging ular. Benar-benar hal yang amat jarang terjadi. Oleh karena pengaruh darah inilah ia merasa tubuhnya menjadi ringan seperti mau melayang. Adapun rasa panas yang membakar tubuhnya, setelah ia makan daging ular perlahan-lahan lenyap dan di dalam pusarnya malah terasa amat nyaman dan adem.

Keadaan Siauw-ong juga mendapat banyak sekali keuntungan. Tanpa diketahui, tubuh monyet ini sekarangpun menjadi sepuluh kali lebih kuat dari pada tadinya. Dia bertubuh kecil, darahnya juga tidak sebanyak darah manusia, maka sepuluh persen darah ular itu sudah lebih dari cukup untuk membuat ia menjadi seekor monyet yang jarang keduanya di dunia ini. Kegesitannya bertambah lipat ganda, kekuatannya juga menjadi hebat dan kecerdikannya meningkat.

“Siauw-ong, sekarang kita harus mencari jalan keluar dari tempat ini!” kata Han Sin setelah menghabiskan daging ular dan merasa tubuhnya sehat dan segar kembali.

Siauw-ong memang sedang menyelidiki lubang yang tadi tertutup dan dari mana ular tadi keluar. Ia merayap masuk dan terdengar suaranya memanggil-manggil. Han Sin menghampiri dan ikut merayap ke dalam lubang itu. Ternyata lubang itu makin lama makin besar, merupakan terowongan di dalam batu karang atau gunung karang.

Mereka terus mengikuti terowongan ini dan seperempat jam kemudian mereka tiba di ruangan dalam tanah yang amat besar. Dinding-dinding di ruangan ini terang sekali buatan manusia, bekas pahatan. Han Sin melangkah maju dengan heran, sedangkan Siauw-ong sudah melompat ke atas pundaknya. Agaknya binatang ini mencium bau manusia, maka mengingat pengalaman yang sudah-­sudah, ia menjadi jerih dan pergi ke tempatnya yang paling aman, yakni pundak Han Sin.

Pada saat itu telinga Han Sin mendengar suara bersiutan yang amat aneh dari sebelah kiri, diseling suara orang mengeluh panjang pendek. Ia segera berindap-indap menuju ke kiri di mana terdapat sebuah pintu yang tidak berdaun. Karena tidak ingin mengganggu orang, atau sebetulnya karena sudah agak kapok bertemu dengan orang jahat, Han Sin sengaja bertindak perlahan sekali agar jangan menimbulkan suara.

Padahal ia tidak usah bersusah payah begini. Kalau saja ia memusatkan pikiran untuk berjalan perlahan, tentu tubuhnya yang sudah ringan itu takkan menerbitkan suara apa-apa. Setibanya di situ, ia lalu berlutut dan mengintai dari balik pintu, melihat ke dalam. Tempat ini agak terang karena dari atas terdapat lubang-lubang di mana sinar matahari dapat menerangi kamar itu.

Kamar yang diintainya itu cukup lebar, berbentuk segi empat dengan ukuran lima meter persegi. Di sudut kamar terdapat sebuah patung sebesar manusia. Patung yang telanjang bulat dan pada tiap anggauta tertentu ada titik-titiknya, ada yang hitam, ada yang merah, ada pula yang putih. Di tengah ruangan kamar ini terdapat sehelai tikar bundar dan di atas tikar duduk seorang kakek yang sudah amat tua.

Kakek ini kurus sekali, tinggal kulit membungkus tulang. Kepalanya hampir botak karena rambutnya yang putih tipis itu tinggal beberapa helai lagi saja. Pakaiannya putih, seperti pakaian tosu. Ternyata kakek inilah yang mengeluarkan suara keluhan panjang pendek dan kini dengan jelas Han Sin mendengar kakek itu mengeluh penuh kesedihan.

“Maut ….. maut …. Tunggulah dulu, bersabarlah ……”

Han Sin merasa mengkirik (meremang) gitoknya (bulu tengkuknya) Masa ada orang bicara dengan maut? Gilakah kakek ini atau benar-benarkah di tempat itu ada setan atau malaikat pencabut nyawa?

Tiba-tiba terdengar suara bersiutan seperti tadi dan dengan penuh perhatian Han Sin memandang ke dalam. Ternyata kakek itu dengan duduk bersila, sedang menggerak-gerakkan kedua tangannya seperti orang bersilat. Ia menggerakkan kedua tangannya perlahan saja, akan tetapi hebatnya, tiap kali tangannya bergerak terdengar angin bersiut dan patung di pojok kamar bergoyang-goyang.

Ternyata kakek itu sedang menyerang patung itu dari jarak jauh dan tiap kali tangannya memukul, angin tajam bersiut ke arah titik tertentu dari tubuh patung itu. Han Sin melihat betapa pada titik yang terpukul itu, tubuh patung itu melesak ke dalam, akan tetapi lalu membal kembali. Ternyata patung itu terbuat dari pada karet yang keras.

Sambil bersilat dengan kedua tangan, kakek itu menyebut-nyebut jurus yang dimainkan itu satu demi satu. Pertama-tama ia menyebut “Hui-kiam-thian-sia” (Pedang Terbang Turun Dari Langit) dan tangannya bergerak menyerang patung dari atas. Angin bersiut keras dan batok kepala patung karet itu melesak sebentar. Disusul seruan, “Hui-kiam-ci-tiam (Pedang Terbang Keluarkan Kilat)!” lalu kedua tangannya berturut bergerak. Makin nyaring angin bersiutan dan dua titik di kedua pundak patung itu melesak!

Terus saja kakek itu bersilat dan menyebut jurus-jurus yang serba pakai “Hui-kiam” atau Pedang Terbang! Semua ada tiga puluh enam jurus dan setelah habis dimainkan, kakek itu terengah-engah, terbatuk-batuk dan nampaknya kehabisan tenaga. Lalu ia mengeluh panjang pendek lagi.

“Tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam (Pedang Terbang Pengacau Laut) sudah lengkap! Sudah sempurna … uh ….uhhh … apa artinya? Apa gunanya? Kitab yang ditutup takkan ada gunanya! Ilmu dipelajari tanpa digunakan juga apa artinya? Lo-hai-hui-kiam akan lenyap bersama penciptanya, tak dikenal dunia ……uh …….uhhh …..!” Makin terengah napas si kakek itu dan tubuhnya bergoyang-goyang. Akan tetapi, tiba-tiba ia menggerakkan kedua tangannya lagi dan mulai bersilat seperti tadi!

Sementara itu, Han Sin yang mengintai merasa berdebar hatinya. Kata-kata kakek tadi seakan-akan menyindirnya. Ilmu dipelajari tanpa digunakan, bukankah itu menyindir dia? Dia sudah mempelajari banyak ilmu silat dari Ciu-ong Mo-kai, akan tetapi tak pernah mempergunakannya, malah melatih diripun tak pernah, padahal ia hafal di luar kepala segala gerakan dan rahasia ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang hebat dari gurunya.

Sekarang ia tanpa sengaja menyaksikan ilmu silat yang lebih hebat lagi. Ilmu silat Lo-hai-hui-kiam! Dasar otaknya memang cerdas luar biasa, satu kali melihat saja ketika kakek tadi berlatih, ia sudah dapat hafal semuanya, tiga puluh enam jurus sudah ia hafal di luar kepala, malah nama-nama jurusnya pun ia sudah ingat betul. Sekarang melihat kakek itu mengulang latihannya, diam-diam ia menggeleng kepala.

“Gila benar kakek ini, napas sudah empas-empis masih terus berlatih, apa dia sudah bosan hidup? Akan tetapi kenapa ia selalu minta maut bersabar?”

Diam-diam ia memandang lagi dengan penuh perhatian, malah ia lalu mencocokkan ingatannya dengan latihan kedua ini. Ia melihat tenaga pukulan kakek itu sudah banyak kurang kuat, gerakannya lambat, akan tetapi amat sempurna sehingga tiap serangan selalu mengenai sasaran titik-titik pada tubuh patung itu dengan tepat. Akan tetapi segera kakek itu nampak kehabisan tenaga sekali, napasnya terengah-engah, dari ubun-ubun kepalanya mengebul uap putih, tubuhnya menggigil dan mukanya pucat sekali. Padahal ia baru menjalankan jurus ke duapuluh, masih enam belas jurus lagi! Tapi toh kakek itu dengan keras kepala melanjutkan latihannya dan napasnya kini benar-benar seperti seekor kerbau disembeli.

Han Sin merasa kasihan sekali. Tak dapat ia tinggal diam saja melihat orang tua itu mau mati kehabisan napas. Sebetulnya, mengingat prikesopanan, ia segan untuk memasuki kamar orang tanpa izin. Akan tetapi, hatinya yang penuh welas asih lebih kuat dan melangkahlah ia memasuki pintu sambil berkata,

“Kakek yang baik, kenapa memeras tenaga secara begitu? Harap kau mengaso dan tidak menyiksa diri ….”

Kakek itu mengeluarkan seruan kaget, tubuhnya membalik dan tahu-tahu tangan kanannya menusuk ke depan dengan dua jari sedangkan tangan kirinya diputar setengah lingkaran ke depan dada. Han Sin sudah hafal di luar kepala akan semua jurus yang dilihatnya tadi, maka dengan kaget ia mengenal itu sebagai jurus ke tujuh belas yang bernama Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan) dan maklum bahwa dadanya ditengah-tengah akan mendapat serangan.

Otomatis ia mengangkat tangannya ke depan dada untuk menyambut serangan itu. Benar saja, angin yang dingin dan kuat sekali bersiut ke arah dadanya dan ia merasa telapak tangannya yang ditutupkan di depan dada itu disambar hawa pukulan yang tajam. Akan tetapi, pukulan atau tusukan yang tidak kelihatan ini segera buyar dan kakek itu hampir terjengkang!

“Uuhh …… uhhh ……. Celaka. Ilmuku dicuri orang ……..!” Kakek itu berseru, napasnya memburu. Baiknya karena kehabisan tenaga, serangannya tadi hanya tinggal sepersepuluh kuatnya, maka Han Sin yang memiliki sinkang luar biasa itu tentu saja tidak merasa apa-apa, malah si kakek yang hampir terpukul terjengkang oleh tenaganya sendiri yang membalik.

Han Sin cepat menjura dengan hormat sekali. ”Tidak, kakek yang baik. Aku bukan pencuri.”

“Kau ……. Kau setan …..”

“Bukan, kakek. Aku bukan setan, hanya manusia biasa, namaku Cia Han Sin. Aku mohon maaf sebesarnya kalau sudah lancang memasuki tempat kakek karena aku sesat jalan, tidak kusengaja …..”

Melihat sikap sungguh-sungguh dan lemah lembut ini, kakek itu nampak lebih tenang dan sabar. “Kau ….. kau yang bisa menahan jurus Hui-kiam-ci-tiam ….. kau mau apa datang ke sini ......?”

“Bukan Hui-kiam-ci-tiam, lo-enghiong. Melainkan jurus Hui-kiam-kan-goat yang kau gunakan untuk menyerangku tadi. Kau agaknya sudah terlampau tua sampai lupa lagi .......”

Tiba-tiba kakek itu mengeluarkan jeritan mengerikan dan muntahkan darah segar! Mendengar ucapan pemuda tadi ia menerima pukulan batin yang amat hebat karena kagetnya.

”Kau ...... kau ......” dan ia roboh pingsan.

Han Sin kaget bukan main. Cepat ia melompat dan menolong kakek itu. Ia mengangkat kepala orang dan memangkunya, lalu mengurut-urut dada yang panas dan turun naik itu.

”Siauw-ong, kau cari air .....” katanya.

Monyet yang tadi bersembunyi ketakutan, kini muncul lalu bingung mencari air. Tak lama ia datang lagi, kedua tangannya membawa sedikit air yang tentu saja tumpah ke sana sini. Akan tetapi sedikit air itu dipergunakan oleh Han Sin untuk membasahi muka si kakek yang segera membuka matanya yang memandang sayu, nampaknya lemah sekali sampai menggerakkan tubuh juga tidak sanggup lagi. Setelah memangku kakek itu, tahulah Han Sin bahwa kakek ini memang sudah tua sekali.

“Kau bilang tidak mencuri ilmu, tapi dapat mengenal jurus-jurusku …..” kata kakek itu dengan suara perlahan sekali. “Jangan kau bohong ……”

“Sesungguhnya, lo-enghiong, aku berani bersumpah bahwa aku tidak mencuri apa-apa. Aku terjatuh ke dalam jurang lalu mendapatkan jalan terowongan menuju ke sini. Kebetulan kau berlatih ilmu Lo-hai-hui-kiam tadi. Tanpa kusengaja aku telah melihat dan mendengar semua dan telah hafal di luar kepala. Akan tetapi aku bukanlah ahli silat, harap kau tidak khawatir, kalau kau menghendaki, aku bisa lupakan lagi.”

Tiba-tiba mata kakek itu bersinar dan dengan payah ia bangun duduk. “Hebat ….. hebat ….. orang dengan bakat Kwee-bak-put-bong (sekali melihat tak bisa lupa lagi) seperti kau ini sukar dicari keduanya di dunia ….. eh, bocah, siapa namamu dan siapa gurumu?”

“Sudah kukatakan tadi, namaku Cia Han Sin …..”

”She Cia .....?” kakek itu memotong cepat. “She Cia ……. Kenalkah kau dengan Cia Hui Gan dan Cia Sun?”

“Yang pertama adalah kongkongku, yang kedua ayahku,” jawab Han Sin sederhana.

Kakek itu bersorak. ”Kau anak Cia Sun ...? Thian Yang Maha Mulia, agaknya Engkau sendiri yang menuntun bocah ini ke sini! Eh, siapa nama gurumu?”

Han Sin tidak berani menyebut nama Ciu-ong Mo-kai sebagai gurunya. Pertama karena memang ia tidak pernah mempelajari ilmu silat dari pengemis sakti itu secara praktek, kedua kalinya karena melihat betapa orang-orang kang-ouw saling bermusuhan seperti yang terjadi di puncak Cin-ling­san, ia tidak mau menyebut-nyebut nama orang kang-ouw, takut menimbulkan hal yang bukan-­bukan lagi.

”Guruku Thio-sianseng, siucai miskin akan tetapi kaya akan pengetahuan tentang sastera kuno dan dialah yang semenjak aku kecil mengajar segala macam ilmu sejarah, filsafat dan lain-lain.”

Kakek itu menggeleng-geleng kepala. ”Segala ilmu tiada guna! Apa kau tidak pernah belajar silat?”

”Tidak, lo-enghiong, tidak pernah. Malah sebetulnya saja, aku tidak suka akan ilmu silat yang kuanggap sebagai ilmu menyiksa, melukai atau membunuh orang.”

“Tutup mulutmu! Kau bicara begitu tentang ilmu silat? Kau yang sudah kekenyangan filsafat dan dongeng, tidak tahukah kau betapa para dewa, para nabi, juga Tat Mo Couwsu sendiri, disamping kebijaksanaan dan kesucian mereka, juga mereka itu memiliki ilmu-ilmu yang tinggi? Tentang menyiksa atau membunuh yang kaukatakan tadi, apa kau kira orang yang tidak bisa silat tak mampu menyiksa dan membunuh? Huk huk, anak hijau! Dengan pena dan tulisan orang malah dapat membunuh secara besar-besaran dan lebih kejam lagi dari pada dengan pedang! Manusia macam Cheng Kui itu, tanpa pedang ia dapat membunuh pahlawan besar Gak Hui dan ribuan orang gagah! Lihat tuan-tuan tanah, tanpa ilmu silat, hanya dengan goyang kaki di kursi dengan emas penuh di kantong, berapa banyak manusia baik-baik ia dapat membunuhnya?”

Setelah bicara dengan bernafsu sampai terengah-engah napasnya, tiba-tiba kakek itu teringat akan sesuatu dan memandang kepada Han Sin. Pemuda itu balas memandang dan kakek itu melihat sinar mata yang luar biasa dari pemuda ini.

“Eh, betul-betul kau tidak bisa ilmu silat?” tanyanya dan tahu-tahu tangan kanannya dengan cepat luar biasa sudah menepuk pundak Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak mengira akan ditepuk pundaknya, akan tetapi hawa sinkang di tubuhnya secara otomatis tersalur ke tempat yang ditepuk tadi.

“Ayaaa …..!” Kakek itu ketika menepuk bagian tubuh yang segera melesak ke dalam dan menjadi lunak sekali akan tetapi di dasarnya mengeluarkan hawa yang kuat dan amat panas sehingga tangannya terasa sakit lalu berteriak dan memeriksa tangannya. Ternyata tangannya itu telah menjadi bengkak dan biru, terkena racun!

“Jangan main gila! Kau ahli lweekeh, malah telah mempelajari ilmu menggunakan hawa beracun. Sungguh ganas!”

Han Sin menjadi bingung dan cepat berlutut.

“Ah, lo-enghiong yang mulia, kau tolonglah diriku. Sesungguhnya aku tidak pernah belajar silat, akan tetapi entah bagaimana, tiap kali ada orang memukulku, tentu dia terluka, malah ada yang mati ketika memukulku. Harap kau orang tua yang berkepandaian tinggi suka menolongku.”

Lanjut ke jilid 022 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment