Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 022

◄◄◄◄ Kembali

Kakek itu duduk melenggong dengan heran. Lalu ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata,

“Cia Han Sin, bersumpahlah bahwa kau benar-benar putera Cia Sun!” Suaranya biarpun lemah amat berpengaruh.

“Boanseng bersumpah bahwa memang Cia Sun adalah ayahku.”

“Di mana ayahmu sekarang?” tanya pula kakek itu, suaranya bengis.

Han Sin terkejut akan tetapi ia menjawab juga. “Semenjak aku masih kecil sekali ayah telah dibunuh orang, juga ibuku. Akan tetapi siapa pembunuhnya sampai sekarang akupun belum tahu.”

Kakek itu menarik napas lega, agaknya puas mendengar jawaban ini. “Kalau begitu kau betul puteranya, memang mukamu hampir sama dengan muka ayahmu. Cia Han Sin, sekarang kau ceritakanlah sebenarnya. Apakah kau benar-benar tidak pernah belajar ilmu silat?”

“Hanya mempelajari teori-teorinya dan menghafal semua gerakan dari ilmu silat yang diturunkan oleh suhu Ciu-ong Mo-kai kepada adikku, akan tetapi aku sendiri tidak pernah melatihnya.”

Mendengar ini, Siauw-ong yang sejak tadi diam saja kini tiba-tiba cecowetan lalu mencak-mencak, memperlihatkan ilmu silatnya kepada kakek itu. Kakek itu mengangguk-angguk memuji.

”Ciu-ong Mo-kai makin tua makin lihai, adikmu beruntung sekali menjadi muridnya.” Kemudian ia menatap wajah Han Sin dengan tajam lalu bertanya lagi. ”Dan kau tidak pernah melatih diri dengan ilmu lweekang?”

”Apa itu ilmu lweekang, aku sendiripun tidak tahu,” jawab Han Sin sejujurnya.

”Pernah kau berlatih samadhi dan mengatur pernapasan?”

Wajah Han Sin berseri. ”Tentu saja, semenjak berusia lima enam tahun aku sudah melatih diri bersamadhi dan mengatur napas menurut petunjuk kitab-kitab kuno. Malah sampai sekarangpun setiap saat aku berada dalam keadaan samadhi kalau diam dan setengah samadhi kalau bicara dengan orang.”

Wajah kakek itu nampak tegang. “Hebat, coba kau perlihatkan bagaimana kedudukan tubuhmu kalau kau bersamadhi.”

”Harap lo-enghiong jangan mentertawai aku yang bodoh,” kata Han Sin lalu ia berjungkir balik, dengan kepala di bawah kaki di atas ia ”berdiri” di depan kakek itu, kedua lengannya bersedekap. Namun biarpun tubuhnya berada dalam keadaan seperti itu, ia dapat ”berdiri” tegak seperti sebatang tonggak, sedikitpun tidak goyang dan kelihatan ”enak” sekali.

Melihat kongcunya melakukan perbuatan yang belum pernah dilihat sebelumnya itu, Siauw-ong lalu meniru-niru dan berjungkir balik. Akan tetapi setiap kali tubuhnya menggelundung lagi dan mengusap-usap kepalanya yang menjadi sakit.

”Coba kau bernapas seperti kalau melakukan latihan samadhi,” kata kakek itu makin tegang sambil menghampiri.

Han Sin tak usah diperintah lagi karena memang selalu pernapasannya wajar seperti kalau bersamadhi. Kakek itu lalu meraba-raba tubuhnya, dada, pundak, punggung, lambung dan tiap kali ia mengeluarkan suara ”ck .... ck ..... ck .....” seperti orang bingung, heran dan kagum bukan main.

“Cukup, duduklah anakku yang baik!”

Suaranya ramah dan gembira sekali sehingga Han Sin ikut menjadi girang ketika ia membalikkan tubuhnya dan duduk di depan kakek itu.

“Apa kau pernah makan buah aneh atau barang luar biasa selama ini?”

Muka Han Sin menjadi merah. “Ketika hendak memasuki terowongan ini, Siauw-ong diserang ular kulit putih, aku membantunya dan dalam pertarungan itu, aku telah minum darah ular banyak sekali, lalu karena penasaran padanya dan lapar perutku, kumakan dagingnya.

Kakek itu kini bengong, matanya terbelalak mulutnya terbuka seperti guha. “Kau bilang ular …. Ular kulit putih …. Matanya seperti bola api….?”

”Memang mata ular itu mencorong seperti bernyala-nyala ...........”

”Pek-hiat-sin-coa ....... Pek-hiat-sin-coa ..... (ular ajaib darah putih) .....!” kakek itu berseru berkali-­kali sambil menggoyang-goyang kepala, kemudian ia mendongak dan berkata, ”Cia Sun tai-hiap, kau benar-benar mempunyai putera yang selalu diberkati Thian, agaknya Thian hendak membalas jasa-jasamu dengan memberimu seorang putera yang besar untungnya .... ha ha ha ...!”

Kakek ini girang sekali dan diam-diam ia kagum bukan main. Bocah ini benar-benar tak pernah belajar ilmu silat, pikirnya, karena terlampau dalam mempelajari filsafat kebatinan sehingga tidak suka akan ilmu silat yang dianggapnya kejam dan kasar. Akan tetapi latihan-latihan samadhinya itu membawa dia tersesat ke dalam puncak kesempurnaan ilmu lweekang yang menjadi inti ilmu silat malah!

Dan darah ular Pek-hiat-sin-coa itu, menambah lagi kekuatannya. Bukan main! Agaknya bocah ini dituntun oleh arwah ayahnya datang ke sini untuk mewarisi ilmu yang baru kulatih selesai. Bukan main girangnya kakek itu sampai napasnya menjadi makin memburu dan tiba-tiba ia merasa seluruh tubuhnya lemas seperti ditinggalkan oleh tenaganya. Ia kaget dan tahu apa artinya ini. Maut benar-­benar sudah tidak sabar dan agaknya tidak mau mernunggu lebih lama lagi.

 “HAN SIN, ketahuilah. Aku sudah tua dan setiap saat aku akan mati. Maukah kau memenuhi permintaan seorang tua yang hampir mati?”

Han Sin kaget sekali. Dia terharu dan karena memang hatinya amat welas asih, mana dia bisa menolak permintaan orang?

“Orang tua yang baik, mati hidup di tangan Thian, bagaimana kau bicara tentang mati? Kalau saja permintaanmu itu dapat kulakukan, tentu aku akan memenuhinya.”

“Jangan bicara plintat-plintut, pendeknya maukah kau memenuhi permintaan seorang yang mau mati, seperti aku ini atau tidak?”

“Asal saja ........”

“Sebutkan syarat-syaratnya.”

“Asal jangan disuruh membunuh orang, asal jangan disuruh melakukan segala macam kejahatan, aku Cia Han Sin berjanji akan memenuhi permintaan kau orang tua.”

Kakek itu nampak girang sekali.

“Bagus, bicaranya seorang laki-laki ......”

“Sekali keluar takkan dijilat kembali.” Han Sin menyambung, agak penasaran karena orang tidak percaya kepada janjinya.

“Benar! Kau kira aku orang apa hendak menyuruh kau melakukan kejahatan dan membunuh orang? Han Sin, ketahuilah, aku adalah ketua Cin-ling-pai dan namaku Giok Thian Cin Cu. Ahhh, segala nama kosong, memalukan saja. Permintaanku kepadamu hanya satu yakni kau kuminta menjadi muridku, murid yang hendak kuwarisi ilmuku Lo-hai-hui-kiam.”

Karena sudah berjanji, biarpun di dalam hatinya ia tidak begitu suka kalau hanya mewarisi ilmu silat yang memang tidak disenanginya, maka Han Sin lalu berlutut dan berkata.

“Teecu Han Sin memberi hormat kepada suhu Giok Thian Cin Cu.”

Bukan main girangnya kakek itu. “Bagus, kau benar-benar laki-laki sejati yang patut menjadi muridku. Sekarang, sebagai muridku kau harus segera menurut petunjukku mempelajari ilmu yang hendak kuturunkan kepadamu.”

“Ilmu Lo-hai-hui-kiam itu, suhu?”

“Benar.”

“Maaf, suhu. Sebetulnya teecu ........ teecu sudah hafal, kiranya tidak perlu melelahkan suhu untuk mempelajarinya pula.”

“Benar-benar sudah hafal? Coba kau sebutkan satu-satunya jurus dan katakan bagaimana pergerakkannya.”

Han Sin duduk bersila dan mengerahkan tenaga ingatannya. Sambil menyipitkan mata melakukan pemusatan pikiran, ia lalu mulai menyebut jurus-jurus itu disertai penjelasannya.

“Jurus pertama Hui-kiam Thian-sia, dengan kedua tangan miring yang kanan menjaga leher yang kiri dibacokkan ke bawah mengarah titik merah di ubun-ubun. Jurus kedua Hui-kiam-ci-tiam, dengan jari-jari terbuka menusuk ke arah kedua titik biru di pundak.”

Demikianlah, satu persatu ia menyebutkan dan melukiskan tiga puluh enam jurus dari Lo-hai-hui-kiam, demikian cocok dan tepat sehingga kakek itu mendengar sambil melongo!

Setelah pemuda itu selesai membaca semua jurus Lo-hai-hui-kiam, kakek itu lalu berkata.

“Sekarang kau duduklah bersilah di sebelahku, kumpulkan semua pikiran seperti kalau bersamadhi dan turut segala perintahku sambil melihat titik-titik pada patung itu. Lekas aku hampir tidak kuat lagi. Lekas, kau harus mempelajari semua jalan darah dan titik-titik hawa dalam tubuh.”

Karena tadi sudah berjanji menjadi murid kakek ini, tentu saja Han Sin tidak berani membantah lagi. Mana ada aturannya seorang murid membantah petunjuk gurunya? Ia lalu duduk bersila dan memenuhi perintah kakek itu. Matanya memandang ke arah patung dan telinganya dibuka untuk mendengarkan petunjuk suhunya.

Setelah melihat muridnya siap, dengan suara perlahan, lambat dan jelas kakek itu lalu mulai memberi pelajaran tentang jalan darah di tubuh manusia.

“Kau lihat, pada tubuh patung itu, terdapat dua belas jalan darah yang disebut Ki-keng-meh, Keng-siang-meh ditandai garis merah dengan pusat di bagian masing-masing dengan tanda titik merah dan Ki-keng-meh bertanda hitam. Semua jalan darah itu mengalir dari atas ke bawah yang di lambung itu, dengan titik di kanan kiri dan jalannya memutari pinggang, disebut Tai-meh .....”

Demikianlah, kakek itu memberi petunjuk kepada Han Sin yang didengarkan dengan penuh perhatian oleh pemuda ini. Han Sin merasa girang sekali karena pelajaran itu baginya tidak ada hubungannya dengan “ilmu membunuh”, maka sebentar saja ia telah dapat menghafalnya baik-baik.

“Kau sudah mengerti dan hafal semuanya?” tanya gurunya.

Han Sin mengangguk dan Giok Thian Cin Cu berkata lagi, “Sekarang kau rasakan, bukankah di pusarmu terdapat hawa yang terasa hangat dan bergerak-gerak?”

Han Sin merasa heran bukan main. Bagaimana kakek ini bisa tahu apa yang terasa olehnya di dalam pusar? Memang semenjak kecil ia mempunyai perasaan seperti ini dan makin dewasa perasaan itu makin hebat seakan-akan hawa di pusar yang bergerak-gerak itu makin menjadi kuat dan tidak terkendalikan lagi. Kembali ia mengangguk.

“Nah, kau ingatlah pada jalan Tai-meh di lambung yang mengitari pinggang dan kau pergunakan kemauanmu untuk memaksa hawa hangat itu untuk melalui jalan darah itu.”

Secara membuta Han Sin menurut. Mula-mula hawa yang hangat di pusarnya itu karena tidak biasa dikendalikan, amat sukar untuk dipaksa bergerak. Akan tetapi setelah ia mengerahkan semangat, ia mulai dapat mendesak hawa itu dan benar saja, setelah pikirannya dan kemauannya bulat, hawa yang panas itu perlahan-lahan mulai bergerak mengitari pinggangnya menurut jalan darah Tai-meh!

“Berhasilkah? Kalau sudah berhasil, kau mengangguk!” kata kakek itu, suaranya perlahan tapi jelas.

Han Sin mengangguk dan pemuda ini tidak melihat betapa gurunya memandang kepadanya dengan penuh kekaguman dan keheranan.

“Sekarang, kau desak lagi hawa panas itu dari jalan darah Tai­meh melalui Keng-siang-meh menuju ke titik di dada kanan. Awas, jangan main paksa dengan kekerasan, pergunakanlah kekuatan pikiran dan sewajarnya saja.”

Demikianlah, Han Sin yang memang sudah memiliki sinkang tanpa ia ketahui sendiri sehingga ia tidak dapat mengendalikan dan mempergunakan hawa murni yang masih “liar” ini, perlahan-lahan dituntun oleh guru besar Cin-ling-pai yang sakti ini untuk dapat menguasainya. Inilah tingkat pelajaran yang tertinggi bagi seorang ahli lweekeh. Karena Han Sin memang memiliki darah dan tulang yang bersih, sebentar saja ia sudah dapat menguasai sinkangnya dan sudah dapat menjalankan hawa murni di tubuhnya berputar-putar di seluruh anggauta tubuhnya.

Bahkan tiga jam kemudian, ke mana saja ia menghendaki, hawa panas itu secepat kilat telah berada di tempat yang ia kehendakinya! Memang tadinya iapun sudah bisa mencapai tingkat ini dan ke mana pikirannya menuju, hawa itu otomatis “terbang” ke tempat yang ditujunya. Akan tetapi hal ini terjadi secara liar dan tidak teratur, bahkan sukar baginya untuk menyimpan kembali tenaga mujizat itu. Sekarang, berkat petunjuk Giok Thian Cin Cu, ia malah dapat menyimpan hawa ini di dalam pusarnya dan tidak sembarangan hawa murni itu bergerak tanpa tujuan.

“Bagus .... bagus .....” kakek itu terengah-engah, payah dan lelah sekali akan tetapi puas. “Sekarang kau sudah menjadi ahli Lo-hai-hui-kiam yang sukar dicari tandingannya di dunia ini! Dengar baik-­baik, nama ilmu pedang yang diturunkan oleh susiok Hui-kiam Koai-sian kepadaku ini disebut Lo­hai-hui-kiam (Ilmu pedang pengacau lautan). Jalan darah di tubuh manusia diumpamakan lautan luas, maka serangan-serangan ilmu ini adalah untuk mengacau lautan atau jalan darah di tubuh lawan.

Misalnya jurus pertama Hui-kiam-thian-sia dipergunakan untuk menotok jalan darah di ubun-ubun kepala membuat lawan menjadi tewas atau sedikitnya menjadi rusak otaknya dan gila. Jurus kedua Hui-kiam-ci-tiam itu dipergunakan untuk menotok jalan darah kedua pundak lawan, membuat musuh jadi lumpuh kedua tangannya atau terlepas sambungan tulang-tulang pundaknya dan jurus ketiga .......”

“Celaka ......!” tiba-tiba Han Sin mengeluh dengan suara kaget sekali.

Giok Thian Cin Cu memandang dan melihat muridnya menatap wajahnya dengan muka pucat dan mata terbelalak. Ia tahu apa yang membuat pemuda itu terkejut. Biarpun keadaan kakek ini sudah payah, melihat muridnya ia tertawa geli.

“Bocah bodoh, jangan mengira bahwa Lo-hai-hui-kiam adalah ilmu kejam. Kejam tidaknya bukan menjadi sifat kepandaian, melainkan sifat kepribadian seseorang. Yang kuceritakan itu hanyalah untuk menunjukkan kelihaian Lo-hai-hui-kiam dalam menghadapi musuh yang jahat dan lihai.”

Namun diam-diam Han Sin tetap menyesal sekali telah mempelajari ilmu yang demikian ganas.

“Sekarang kau telah menguasai sinkangmu dan dapat menjalankan tenaga murni di tubuhmu menurut suara hati atau jalan pikiran. Maka dalam menghadapi lawan tangguh, kau tak usah khawatir lagi. Sekarang masih ada sebuah permintaan dariku yang kuharap kau tidak akan menolaknya.”

“Permintaan apalagi, suhu? Teecu tentu akan mentaati perintah suhu?”

“Aku mempunyai banyak murid, akan tetapi tidak ada yang berhasil menuruni Lo-hai-hui-kiam dan tidak ada yang cukup kuat untuk melindungi Cin-ling-pai yang sudah kubangun dengan susah payah. Maka setelah kau menjadi muridku, kau kuberi tugas menjaga nama baik Cin-ling-pai dan mengawas-awasi tingkah laku para anak murid Cin-ling-pai. Sekarang ini dunia luar banyak terjadi pengkhianatan dan aku kuatir sekali kalau pada suatu hari Cin-ling-pai akan terjerumus ke dalam jaring kaum penjajah setelah aku mati .......”

“Suhu ........”

“Berjanjilah kau akan menuruti permintaanku terakhir ini,” suara kakek itu makin lemah.

“Teecu berjanji.”

“Aaahhh, puas hatiku. Cia Sun, kau sungguh baik ......, kau mengirim puteramu ke sini. Terima kasih ..... terima kasih, tunggulah, kita akan saling berkumpul ...... Han Sin muridku, kau ambil pedangku ini .....”

Han Sin menerima pedang yang diberikan, pedang yang amat tipis dan lemas sekali sehingga dapat dibelitkan di pinggang seperti sabuk. Itulah pedang Im-yang-kiam yang sudah puluhan tahun berada di tangan Giok Thian Cin Cu dan telah membuat nama besar bagi tosu itu.

Pada saat itu, terdengar suara orang ramai-ramai dari luar dan mendadak dua orang tosu menerobos masuk. Mereka adalah It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang mukanya pucat dan keringatnya membasahi jidat. Begitu masuk mereka berlutut di depan Giok Thian Cin Cu.

“Hemmm, ada perlu apa kalian masuk tanpa kupanggil?” bentak Giok Thian Cin Cu.

Dua orang tosu itu melihat adanya Han Sin dan monyetnya dan mereka memandang kepada pemuda ini dengan mata mendelik.

“Suhu, Cin-ling-san diserbu oleh kaki tangan pemerintah Ceng. Teecu sekalian sudah melakukan perlawanan, banyak sute yang gugur, akan tetapi musuh terlampau kuat, dibantu orang-orang pandai. Suhu, kita menghadapi kehancuran dan semua ini adalah gara-gara ..... bocah ini! Mohon keputusan.”

Tiba-tiba kakek yang sudah amat payah itu serentak berdiri. Suaranya keras. “It Cin Cu, Ji Cin Cu, ketahuilah. Bocah ini adalah putera Cia Sun Taihiap, dia sudah menjadi muridku. Dia inilah sutemu yang kelak akan mewakili aku menjaga nama baik Cin-ling-pai. Eh, Cia Han Sin, pemerintah penjajah Ceng mengirim kaki tangannya menyerang kita, menurut pikiranmu, bagaimana baiknya?”

Semenjak kecil Han Sin tidak pernah belajar silat, juga tidak suka akan kekerasan. Akan tetapi ia lebih tidak suka lagi kepada penjajah yang amat dibencinya. Maka ia menjawab tenang.

“Setiap usaha penjajah harus dilawan, suhu. Penjajah harus dihancurkan. Akan tetapi dalam hal ini kita mengingat kekuatan sendiri. Kalau tidak kuat melawan, lebih baik menyelamatkan diri untuk menghimpun kekuatan baru dan kelak baru membalas.”

“Bagus, bagus ..... dasar turunan pahlawan, masih menempel juga siasat perang leluhurmu kepadamu.” Tiba-tiba kakek ini teringat bahwa biarpun Han Sin memiliki tenaga sinkang dan pengertian yang mendalam tentang ilmu silat Lo-hai-hui-kiam, namun belum pernah dilatihnya dan akan celakalah kalau menghadapi musuh berat. Cepat-cepat ia berkata, “Muridku, kau tidak boleh mencampuri urusan pertempuran ini. Lekas kau pergi melalui terowongan ini setibanya di persimpangan, kau belok ke kiri. Kau akan tiba di balik gunung dan selanjutnya kau harus melarikan diri. Cepat!”

Han Sin berlutut, menghaturkan terima kasih lalu dengan Siauw-ong di pundaknya, ia memasuki terowongan yang tadi dan terus melarikan diri. Adapun Giok Thian Cin Cu lalu bersama dua orang muridnya keluar dari guha dalam tanah itu dan kakek yang sudah berada di ambang pintu kuburan karena sudah amat tua ini bersama murid-muridnya lalu mengamuk, melawan para penyerbu yang terdiri dari serdadu-serdadu Ceng yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kosen dibantu oleh orang-orang gagah yang sudah menjadi kaki tangan pemerintah Ceng. Terutama sekali banyak pimpinan dari partai Coa-tung Kai-pang.

Akan tetapi perlawanan ini sia-sia saja, selain Giok Thian Cin Cu sudah amat tua dan lemah, juga pihak musuh lebih banyak dan kuat sehingga akhirnya kakek yang gagah ini tewas dalam medan pertempuran, tewas bukan oleh senjata musuh melainkan karena kehabisan tenaga. Mentaati perintah gurunya sebelum tewas, It Cin Cu dan Ji Cin Cu bersama Cin-ling Sam-eng membawa sute-sute mereka melarikan diri meninggalkan gunung Cin-ling-san dan banyak di antara mereka yang tewas dalam pertempuran itu.

Bagaimanakah tentara Ceng bisa menyerbu ke Cin-ling-san? Bukan lain adalah karena Tok-gan Sin-kai dan dua orang sutenya bersama Thio Li Hoa setelah dikalahkan dan dipukul mundur oleh Cin-ling Sam-eng dibantu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dalam memperebutkan Han Sin, lalu mereka lari turun gunung. Akan tetapi pada keesokan harinya mereka kembali membawa tentara dan pembantu sehingga terjadi pertempuran itu.

Han Sin mendengar teriakan-teriakan ramai dari orang-orang yang bertempur. Akan tetapi ia mentaati perintah gurunya dan terus melarikan diri melalui terowongan. Sampai di simpang empat ia membelok ke kiri dan tak lama kemudian betul saja, terowongan itu membawanya keluar ke sebuah guha yang berada di belakang gunung. Suara orang bertempur tidak kedengaran lagi dan pemuda ini berjalan perlahan-lahan sambil mengenangkan semua pengalamannya.

“Ilmu silat ...... lagi-lagi ilmu silat diajarkan orang kepadaku. Ciu-ong Mo-kai menjadi guruku yang pertama, mengajarkan Liap-hong Sin-hoat, kemudian Giok Thian Cin Cu menjadi guruku kedua. Mengajarkan Lo-hai-hui-kiam. Hemmm, ilmu silat .....! Bagiku untuk apakah? Han Sin, Han Sin, kau tidak suka ilmu silat tapi orang memaksa-maksamu mempelajarinya. Ilmu silat itu mana bisa kau mainkan?”

Berpikir demikian, pemuda ini lalu menggerakkan kaki tangannya mencoba untuk memainkan beberapa jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat. Akan tetapi begitu memukulkan tangan ke depan, ia teringat bahwa dengan kepalan tangan itu ia harus memukul dada orang, maka cepat-cepat ia menarik kembali tangannya, berhenti bersilat dan menghela napas panjang. Ia menggeleng-­gelengkan kepalanya dan berkata seorang diri.

“Tidak bisa aku pukul orang ....”

Siauw-ong yang berjalan di sampingnya, melihat pemuda itu bersilat menjadi girang sekali. Ia cecowetan karena selama hidupnya belum pernah ia melihat Han Sin bersilat. Dianggapnya lucu sekali maka ia ikut mencak-mencak. Melihat pemuda itu tiba-tiba berhenti, ia menjadi kecewa dan monyet ini melanjutkan gerakan-gerakan Han Sin tadi, bersilat ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dan menyerang sebatang pohon. Hebat monyet ini. Tiap kali tangannya memukul pohon, daun-daun pohon itu rontok dan cabang-cabang pohon bergoyang-goyang! Inilah akibat dari racun darah ular yang membuat tenaga monyet itu menjadi sepuluh kali lebih kuat!

Melihat ini, Han Sin berpikir. “Bersilat memukul pohon saja sih tidak ada jahatnya, asal jangan memukul orang. Kenapa aku tidak akan coba-coba? Barangkali akupun bisa membikin rontok beberapa helai daun seperti perbuatan Siauw-ong itu.”

Setelah berpikir demikian, ia meloncat ke dekat sebatang pohon besar dan menjalankan jurus Hui­kiam-kan-goat, dua jari tangannya menusuk ke depan.

“Cuss!” Dua jari tangannya itu amblas ke dalam batang pohon yang dirasakannya empuk seperti bubur saja! Ia kaget dan menarik kembali jari-jari tangannya, lalu menyusul dengan pukulan Hui-kiam-ci-tiam, kedua tangannya memukul ke arah pohon dari kiri kanan.

“Blukk!” Ia tadi menggunakan daya pikirannya mengerahkan hawa sinkang ke arah kedua lengannya untuk melakukan pukulan itu, akan tetapi begitu mengenai pohon, ia hanya merasa kedua telapak tangannya enak dan hawa dari kedua tangan itu seakan-akan menembusi pohon. Akan tetapi akibatnya tidak ada apa-apa! Jangankan daunnya berguguran, malah bergoyang sedikitpun tidak.

Terdengar suara ketawa dari Siauw-ong yang mentertawakan tuannya. Han Sin menjadi panas hatinya. Dua jari tangannya tadi dapat melubangi pohon, kenapa pukulan kedua tangannya malah tidak mengakibatkan sesuatu? Ia mendongkol juga karena ditertawai monyetnya, maka karena gemas ia menyalahkan pohonnya yang dianggap terlalu kuat.

Sambil lalu ia mendorong pohon itu dan .... batang pohon itu mengeluarkan suara keras lalu patah dan tumbang, tepat di bagian yang tadi terpukul oleh kedua tangannya. Kagetnya Han Sin bukan alang kepalang. Ia tahu bahwa pukulannya Hui-kiam-ci-tiam tadi adalah pukulan disertai tenaga lweekang yang ampuh sehingga biarpun pohon itu sendiri tidak bergoyang, akan tetapi sebelah dalam batangnya sudah hancur oleh tenaga pukulan Han Sin, maka ketika didorong lalu tumbang!

Han Sin menjadi pucat malah, sebaliknya dari pada girang.

“Celaka,” pikirnya. “Menjadi manusia apa aku? Seperti iblis. Pohon saja kupukul tumbang. Kalau aku memukul orang bukankah berarti aku membunuhnya? Celaka, iblis sudah menguasai diriku ......”

Pada saat itu berkesiur angin dan tahu-tahu di depannya berdiri seorang wanita yang amat menyeramkan. Wanita itu pakaiannya aneh dan asing. Rambutnya riap-riapan, matanya liar dan tajam sedangkan pada tangan kanannya kelihatan sebuah senjata yang aneh, yaitu tulang seekor ular!

“Benar-benar aku melihat iblis .....” Han Sin berdiri melengak dan tak dapat bergerak saking kagetnya.

Siauw-ong cecowetan takut lalu melompat dari pundak Han Sin dan memanjat pohon. Agaknya tulang ular di tangan wanita itulah yang membuat ia menjadi ngeri, mengingatkan dia akan pengalamannya ketika dibelit dan diserang ular.

“Kau putera Cia Sun ....?” tiba-tiba wanita itu berkata, suaranya nyaring dan sinar matanya mengeluarkan cahaya.

Melihat keadaan orang aneh ini, tahulah Han Sin bahwa ia berhadapan dengan seorang yang berkepandaian tinggi. Maka ia tidak berani membohong, dan sambil menjura ia menjawab,

“Betul dugaan cianpwe, aku adalah putera ayah Cia Sun dan namaku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cianpwe dan apakah kenal dengan mendiang ayah?”

“Kenal? Kenal kanda Cia Sun?” Wanita aneh itu tertawa. Suara tawanya merdu dan nyaring menyeramkan, akan tetapi diam-diam Han Sin harus mengakui bahwa dibalik keliaran dan keanehan wanita ini, masih dapat dilihat dengan jelas bahwa dahulunya wanita ini tentu cantik bukan main. Bahkan sekarang pun kulit tangan dan mukanya, masih putih dan halus sekali tidak kalah oleh gadis-gadis muda. “He, orang muda, ayoh kau lekas ikut pergi dengan aku jangan membantah lagi!”

“Aku tidak kenal siapa cianpwe ini dan aku mempunyai keperluan lain yang amat penting. Tak dapat aku ikut pergi sekarang. Kalau cianpwe sudi memberi tahu nama dan alamat, tentu lain kali aku akan mengunjungi cianpwe.”

Kembali wanita itu tertawa. “Muka sama, bicara sama, benar-benar kanda Cia Sun hidup kembali. Sayang ketolol-tololan, tidak segagah ayahnya! Eh, bocah, apa kau ingin aku mengambil jalan kekerasan?”

Lanjut ke jilid 023 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment