Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 023

◄◄◄◄ Kembali

“Aku ..... aku tidak mengerti maksud cianpwe ....” Baru bicara sampai di sini tiba-tiba tulang ular di tangan wanita itu menyambar dan jalan darah di pundak Han Sin telah ditotok.

Tadinya Han Sin hendak menyalurkan hawa sinkang ke pundaknya. Akan tetapi ia segera teringat bahwa ia menghadapi seorang wanita, lagi sudah agak tua, benar tidak pantas kalau ia melawan. Apalagi ia masih ngeri kalau mengingat betapa tadi tenaganya telah menumbangkan sebatang pohon. Bagaimana kalau ia salah tangan lagi membunuh wanita ini seperti ketika merobohkan Ban Kim Cinjin?

Karena pikiran inilah maka ia tidak jadi menyalurkan tenaganya. Kalau dahulu sebelum ia menerima petunjuk Giok Thian Cin Cu, di serang begini tentu otomatis sinkangnya yang masih liar akan bergerak sendiri ke pundak melindungi jalan darahnya. Akan tetapi sekarang, ia telah dapat menguasai sinkangnya sehingga kalau tidak ia salurkan, hawa itu tetap berkumpul di pusarnya.

Tentu saja Han Sin yang belum punya pengalaman itu tidak tahu hebatnya wanita itu. Begitu ujung tulang ular itu menyentuh pundaknya, ia merasa tubuh bagian atas lemah sekali. Bukan main kagetnya, namun sudah terlambat. Kembali tulang ular menyambar, kini ke arah kedua kakinya dan robohlah Han Sin, terguling ke atas tanpa dapat bergerak lagi, seluruh tubuhnya lemas dan tidak dapat digerakkan! Siauw-ong yang tadinya takut-takut melihat wanita yang memegang tulang ular itu, kini melihat Han Sin diserang, timbul keberanian dan kemarahannya. Ia mengeluarkan pekik marah dan dari atas pohon ia meloncat dan menyambar ke arah kepala wanita itu.

Wanita itu mengeluarkan suara ketawa dingin, tubuhnya mengelak dan tulang ular menyambar ke arah kepala Siauw-ong. Hebat sekali sambaran ini dan kalau mengenai sasaran, tentu kepala monyet itu akan remuk. Akan tetapi Siauw-ong bukanlah sembarang monyet. Merasai datangnya hawa sambaran senjata lawan, biarpun tubuhnya masih di udara, ia dapat membuat salto dua kali ke belakang dan terlepas dari ancaman.

Wanita itu diam-diam merasa kaget sekali. Seorang ahli silat yang tangguh jarang bisa menghindarkan diri dari satu kali serangannya seperti tadi, kenapa monyet kecil ini sanggup? Malah sekarang Siauw-ong sudah menyerang lagi dengan gerakan-gerakan aneh seperti pandai bersilat! Wanita itu timbul kegembiraannya.

“Monyet yang dibawa Cia Sun dulu tidak seperti ini. Aneh ..... aneh ......!” Ia lalu memutar senjatanya dan sinar kelabu bergulung-gulung mengurung diri Siauw-ong yg tentu saja segera terdesak hebat. Monyet ini mengeluarkan suara cecowetan dan menjadi jerih namun ia terus melawan dan kegesitannya yang luar biasa membuat senjata lawan belum juga berhasil menggores kulitnya.

Pada saat itu berkelebat bayangan putih dan seorang pemuda yang memegang golok sudah tiba di situ.

“Menggunakan kepandaian tinggi menghina yang lemah, benar-benar memalukan!” seru pemuda itu yang segera menggerakkan goloknya menerjang maju.

Sekali goloknya berkelebat, terdengar suara “cring! cring!” keras sekali dan gulungan kelabu dari senjata tulang ular itu dapat dibuyarkan. Siauw-ong yang melihat jalan keluar segera meloncat dan menubruk tubuh Han Sin, mengguncang-guncangnya sambil mengeluarkan bunyi seperti menangis.

Sementara itu, wanita setengah tua yang rambutnya riap-riapan menjadi marah sekali melihat datangnya pemuda tampan yang memegang golok. “Bocah sombong, kau berhadapan dengan Jin Cam Khoa (Algojo Manusia), berani menjual lagak? Ayoh, menggelinding pergi!”

Pemuda itu bukan lain adalah Phang Yan Bu, pemuda yang memenuhi permintaan Bi Eng untuk membebaskan Han Sin, menjadi kaget bukan main mendengar disebutnya nama Jin Cam Khoa. Sudah sering kali ia mendengar nama hebat ini, malah ibunya sendiri pernah memberi tahu bahwa di antara orang-orang berbahaya yang lebih baik dihindarinya, termasuk Jin Cam Khoa inilah. Siapa kira sekarang ia malah berhadapan dengan iblis wanita ini sendiri dengan senjata di tangan.

Kalau saja ia tidak melihat Han Sin roboh dan monyetnya tadi terancam, ia tentu akan mengalah dan pergi meninggalkan wanita itu. Akan tetapi ia telah melihat Han Sin, melihat monyet. Ia yakin bahwa inilah tentu kakak dari Bi Eng. Ia ingin berjasa terhadap Bi Eng, juga ingin mengikat persahabatan dengan kakak beradik ini, menghapuskan permusuhan dan dendam lama. Sekarang melihat Han Sin agaknya terluka dan keselamatannya terancam oleh Jin Cam Khoa, bagaimana dia bisa tinggal diam saja? Apa yang akan ia katakan terhadap Bi Eng?

Segera ia menjura dan berkata. “Ah, kiranya aku berhadapan dengan Jin Cam Khoa cianpwe yang terkenal. Harap maafkan Phang Yan Bu kalau mengganggu cianpwe. Ibuku, Ang-jiu Toanio sering kali menyebut-nyebut nama cianpwe dan memesan agar supaya aku memberi hormat kalau bertemu dengan cianpwe.”

Jin Cam Khoa mengeluarkan suara mengejek. Dia tadi sudah menduga bahwa pemuda ini tentulah bukan pemuda sembarangan, melihat dari ilmu goloknya yang hebat. Kiranya putera Ang-jiu Toanio! Mana dia takut menghadapi orang seperti Ang-jiu Toanio? Dia, puteri Hui yang biasanya dihormat setiap orang! Memang, Jin Cam Khoa ini bukan lain adalah Balita puteri Hui cantik jelita yang dulu pernah menggoda Cia Sun.
Kini dia telah menjadi tua, namun ilmu kepandaiannya sudah beberapa kali lebih hebat dari pada dahulu. Kalau dahulu di waktu mudanya saja Balita sudah lihai sekali, apalagi sekarang! Kepandaiannya tinggi juga keganasannya memuncak sehingga ia mendapat julukan Jin Cam Khoa atau Algojo Manusia karena entah sudah berapa ratus orang ia bunuh dengan kejam!

“Aku pernah melihat Ang-jiu Toanio. Mengingat mukanya, baik kau pergi dan aku ampunkan kelancanganmu,” katanya sambil lalu dan matanya kembali memandang ke arah Han Sin.

Pemuda ini hanya roboh tertotok, tidak pingsan maka ia dapat mendengar semua percakapan itu. Ia merasa heran melihat seorang pemuda gagah datang menolongnya, akan tetapi ia lebih heran dan kaget sekali ketika mendengar bahwa wanita itu adalah Jin Cam Khoa Balita, seorang di antara mereka yang mungkin membunuh ayah bundanya. Seorang yang dianggap berbahaya oleh Ciu-ong Mo-kai dan terhadap siapa ia harus berhati-hati.

Sementara itu, Yan Bu dengan masih hormat dan tenang berkata, “Harap cianpwe suka memaafkan aku. Aku datang untuk menjemput saudara Cia ini bersama monyetnya karena ditunggu oleh seseorang di tepi sungai. Aku sudah berjanji untuk menjemputnya.”

“Gila! Aku yang akan membawa dia pergi!”

“Maaf, terpaksa aku melindunginya.”

Merah wajah Jin Cam Khoa, matanya seperti bernyala. “Bocah, ibumu boleh menakuti anak kecil dengan tangan merahnya. Akan tetapi jangan kira aku takut! Kau tidak tahu aku sudah mengalah, kalau begitu kau sudah bosan hidup. Mampuslah!”

Tiba-tiba sekali tulang ular itu menyambar ke arah muka Yan Bu. Baiknya pemuda ini memang sudah bersiap sedia, dan memiliki ketenangan luar biasa, maka melihat sinar kelabu menyambar ia segera berkelit sambil melompat mundur dan menggoyang goloknya. Tahu bahwa ia berhadapan dengan lawan yang amat kuat, ia tidak mau mengalah dan cepat menggerak-gerakan goloknya membalas dengan serangan-serangan yang hebat pula. Jin Cam Khoa Balita mengeluarkan teriakan mengerikan, setengah tertawa setengah menangis dan tubuhnya berkelebatan seperti burung.

“Celaka,” pikir pemuda ini. “Namanya Jin Cam Khoa, ia tak pernah meninggalkan lawan tanpa lebih dulu membunuhnya. Kalau aku sampai tewas, siapa yang akan memberitahukan kepada nona Cia tentang keadaan kakaknya? Dan melihat gelagatnya, ia hanya hendak menawan Cia Han Sin, bukan hendak membunuhnya.”

Pemuda ini tidak takut menghadapi ancaman maut, hanya kuatir tidak akan dapat memenuhi janjinya terhadap Bi Eng! Benar-benar cinta itu lebih kuat dari pada maut, orang berani menentang maut akan tetapi takut menghadapi kegagalan cinta.

“Ah, lebih baik kupancing dia dari sini,” pikir lagi Yan Bu yang amat cerdik. “Melawan sampai menang aku tak sanggup, akan tetapi mempertahankan diri kiranya masih kuat beberapa jurus lagi.” Setelah berpikir demikian, pemuda ini lalu menyerang hebat sekali. Selagi lawan melompat mundur, ia lalu melarikan diri sambil berkata.

“Biarpun namamu Jin Cam Khoa, tak mungkin kau bisa membunuhku karena selain ilmu lari cepatku lebih tinggi, kaupun takut kepada ibu!” Yan Bu sengaja memanaskan hati iblis wanita itu. Jin Cam Khoa memekik marah.

“Kubunuh kau .....! Kubunuh kau sampai di manapun juga ......!” Dan betul saja, pancingan Yan Bu berhasil baik dan iblis wanita itu dengan rambut berkibar-kibar mengerikan terus saja mengejar. Celakanya bagi Yan Bu, ilmu lari cepat iblis wanita itu ternyata hebat sekali dan sebentar saja sudah hampir dapat disusul!

Akan tetapi Yan Bu memiliki ketabahan luar biasa dan semangat besar, juga ilmu goloknya yang ia warisi dari Yok-ong bukanlah sembarangan ilmu golok. Dengan hebat ia menyerang lagi sehingga biar Balita jauh lebih unggul dari padanya, terpaksa wanita ini mengelak lagi dari sambaran golok yang mengaung dan berubah menjadi segulung sinar putih yang berbahaya. Saat wanita itu mengelak dipergunakan lagi oleh Yan Bu untuk meloncat jauh dan lari terus. Demikianlah, makin lama kejar mengejar itu makin jauh meninggalkan tempat di mana Han Sin masih menggeletak tak berdaya, ditangisi oleh monyetnya.

Akan tetapi hanya sebentar Han Sin tidak berdaya. Ketika ia tadi mendengar bahwa wanita itu adalah Jin Cam Khoa Balita, timbul semangatnya. Itulah orang yang mungkin menjadi pembunuh ayah bundanya. Timbullah semangat ini menggerakkan hawa sinkang di pusarnya, makin lama makin panas dan akhirnya ia berhasil juga menyalurkan hawa ini ke arah jalan darah yang tertotok sehingga dalam sekejap mata saja ia sudah berhasil membuyarkan totokan! Pada saat ia hendak bangun, tiba-tiba ia mendengar suara kaki berlari-larian dan muncullah It Cin Cu dan Ji Cin Cu, berlari tak jauh dari tempat itu, dikejar oleh beberapa orang panglima Ceng.

Baiknya mereka itu semua tidak melihat Han Sin dan sekarang pemuda ini dapat mendengar percakapan yang membuat ia terheran-heran.

“Tak perlu kalian mengejar terus,” terdengar suara It Cin Cu. “Lekas kalian pergi mengejar tiga orang sute kami Cin-ling Sam-eng. Kepada Thio-ciangkun katakan bahwa tiga hari lagi kami diam-­diam akan mengunjunginya dan kami menerima semua syaratnya.”

“Terima kasih,” terdengar suara seorang di antara para panglima pemerintah Ceng itu. “Ji-wi totiang ternyata dapat melihat jauh dan suka bersekutu dengan pemerintah kami. Selamat berpisah.” Dua rombongan itu berpencar dan sebentar pula mereka sudah pergi dari situ.

Jantung Han Sin berdebar, kemarahannya timbul. Ia teringat akan pesan Giok Thian Cin Cu supaya ia mengawasi gerak-gerik para tosu Cin-ling-pai dan menjaga nama baik Cin-ling-pai. Apakah maksud dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu? Betul-betulkah mereka mau bersekutu dengan pemerintah penjajah? Kemudian ia teringat lagi akan Balita, teringat akan adiknya.

“Paling perlu aku harus menemui Bi Eng, jangan-jangan diapun terancam bahaya,” pikirnya. Ia lalu bangun berdiri dan mengajak Siauw-ong pergi secepatnya dari tempat berbahaya itu. Diam-diam ia makin kecewa karena lagi-lagi ia bertemu dengan orang-orang jahat. Balita yang datang-datang menyerangnya, ditambah lagi dengan penghianatan It Cin Cu dan Ji Cin Cu terhadap partainya sedemikian rupa. Ia menarik napas panjang. Baru satu orang saja yang melakukan perbuatan baik terhadapnya, yaitu pemuda bergolok yang gagah perkasa. Akan tetapi ia tidak kenal pemuda itu. Lapat-lapat ia tadi mendengar pemuda itu menyebut-nyebut Ang-jiu Toanio.

Tiba-tiba ia berhenti berlari dan terbelalak. Teringatlah ia sekarang setelah nama Ang-jiu Toanio memasuki benaknya. Bukankah pemuda itu pemuda yang dulu mendorong kereta di mana duduk seorang wanita sakit? Ah, tak salah lagi! Dan Ang-jiu Toanio, nama yang disebut oleh Ciu-ong Mo­kai sebagai seorang yang ikut menyerbu orang tuanya, apakah wanita yang sakit itu?

“Banyak orang jahat di dunia ini, benar-benar tidak kusangka sebelumnya! Ah, kalau begitu apakah suhu Ciu-ong Mo-kai lebih benar tentang mempelajari ilmu silat?”

Demikian pemuda ini mulai ragu-ragu dan di dalam perjalanannya menyusul adiknya, ia makin bersemangat menghafal dan mempelajari gerakan-gerakan dalam ilmu silat yang ia peroleh dari Ciu-ong Mo-kai dan Giok Thian Cin Cu.

Bahkan ia mencoba kecepatan larinya dan dengan heran dan girang sekali ia mendapat kenyataan bahwa kalau ia mau sebetulnya ia dapat berlari cepat sekali, malah ketika ia mencoba untuk mengejar Siauw-ong dalam berlompat-lompatan, ia dapat melompat lebih cepat lebih ringan dan gesit dari pada binatang peliharaannya itu. Makin terbuka mata pemuda ini akan kepandaian-­kepandaian yang tersembunyi di dalam tubuhnya. Ia girang bukan karena mendapat kenyataan bahwa ia pandai, hanya girang karena ia dapat melakukan perjalanan lebih cepat.

Karena melihat kemajuan-kemajuan yang diperolehnya, ia mencoba-coba untuk melakukan ilmu silat Lo-hai-hui-kiam yang dipelajari dari Giok Thian Cin Cu dengan pedang Im-yang-kiam yang selama ini ia belitkan di pinggang tertutup bajunya. Ia merasakan pedang itu ringan sekali, namun ketika ia gerakkan, terdengar suara angin bersiutan dan pedang lenyap berubah gulungan sinar yang menyilaukan mata! Siauw-ong sampai lari ketakutan menyaksikan kehebatan pedang ini.

“Ah, aku takkan menggunakan pedang. Tubuh manusia mana kuat menahan bacokan pedang? Tentu akan putus dan darahnya menyembur keluar.” Pemuda itu bergidik dan menyimpan kembali pedangnya. Betapapun juga, ia telah melakukan tiga puluh enam jurus Lo-hai-hui-kiam dengan pedangnya dan mendapat kenyataan bahwa amat enak terasa olehnya mainkan ilmu silat itu dengan menggunakan pedang.

Tiap kali teringat kepada adiknya, Han Sin mempercepat perjalanannya. Ia sudah merasa rindu sekali kepada Bi Eng, juga merasa kuatir tentang keselamatan gadis itu. Maka dapat dibayangkan betapa girang rasa hatinya ketika ia tiba di tepi sungai Wei-ho. Dari jauh ia melihat seorang gadis baju merah duduk di pinggir sungai membelakanginya. Adiknyalah itu, tak salah lagi. Bi Eng juga mempunyai baju warna merah seperti itu, pikirnya.

Untuk menggoda adiknya, Han Sin meringankan langkah kakinya dan memberi tanda kepada Siauw-ong supaya jangan mengeluarkan suara. Siauw-ong hanya memandang aneh kepada majikannya dan tidak mengeluarkan suara.

Berindap-indap Han Sin menghampiri gadis itu dari belakang, lalu cepat ia menggunakan kedua tangannya mendekap dari belakang menutupi kedua mata gadis itu dengan telapak tangannya.

“Coba terka aku siapa ........??” katanya sambil merobah suaranya agar jangan dikenal.

GADIS itu mengeluarkan seruan tertahan dan tiba-tiba dengan gerakan cepat kedua sikunya dikerjakan ke belakang menghantam dada Han Sin. Pemuda ini terjengkang karena tidak menjaga diri, akan tetapi dia tidak merasa sakit dan hanya tertawa bergelak sedangkan Siauw-ong sudah melompat ke atas tanah.

“Ha ha ha, Eng-moi, kau lihai sekali. Apa kau tidak mengenalku?” tegurnya.

Gadis itu memutar tubuh dan tangan kirinya menutupi sebagian mukanya. Sepasang mata jeli yang kemerahan seperti habis menangis memandang Han Sin dan pemuda ini melongo. Ternyata gadis ini sama sekali bukan Bi Eng! Celaka, pikirnya. Pantas saja Siauw-ong memandangnya dengan aneh. Kurang ajar, kenapa binatang itu diam saja tidak memberi tahu kepadanya? Pikiran ini dibantahnya sendiri. Mana ada monyet bisa memberi tahu? Adalah dia sendiri yang lebih bodoh dari monyet!

“Kau ... kau bukan Bi Eng? Maafkan, nona, aku ..... aku tadi salah lihat .....”

Mendengar disebutnya nama ini, muka nona yang masih ditutupi tangan bagian hidungnya itu menjadi merah sekali.

“Kau .... Cia Han Sin ....? Suaranya perlahan dan karena tangannya menutupi hidung, maka suaranya menjadi agak bindeng dan sumbang.

Han Sin merasa heran mengapa banyak sekali orang mengenalnya. Hal ini sudah amat mengherankan hatinya ketika ia melakukan perjalanan dan ia sudah memikirkan keadaan yang menyolok ini. Dasar ia cerdik, ketika ia melihat betapa Balita juga mencarinya, ia dapat menarik kesimpulan bahwa orang-orang kang-ouw itu mencari karena ada hubungannya dengan surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng. Sekarang melihat gadis yang selalu menutupi hidungnya ini juga mengenalnya, ia tersenyum.

“Betul, nona. Dan siapakah nona? Apakah nona melihat adikku yang bernama Cia Bi Eng? Dia menanti kedatanganku di sini.”

Tiba-tiba suara gadis itu berubah geram. “Karena aku mengenal dia dan kau kakaknya, maka kau harus mati!” Setelah berkata demikian, dengan tangan kiri masih menutupi mukanya, tangan kanannya mencabut sebatang pedang.

Han Sin memandang dengan mata terbelalak dan kembali hatinya tertusuk oleh perasaan kecewa. Benar-benar manusia mahluk paling jahat di dunia, pikirnya. Sudah banyak aku bertemu orang yang tanpa sebab mau saling bunuh dengan kejam, sekarang gadis ini yang sama sekali tidak kukenal, begitu berjumpa juga mau membunuhku! Memikir sampai di sini, ia menjadi geli dan tertawa.

“Nona, tidak kusangka sama sekali bahwa Giam-lo-ong (Raja Akhirat) ternyata adalah seorang gadis cantik dan muda seperti kau!”

BIARPUN nona itu sudah marah sekali dan pedang di tangannya sudah menggetar hendak menyerang, mendengar ucapan ini ia toh menjadi tertarik dan ingin tahu maksudnya.

“Kau bilang apa?” Mata yang jeli memandang tajam dan diam-diam Han Sin merasa sayang sekali mengapa tangan kiri itu selalu menutupi bagian tengah muka yang berkulit putih itu. Ia ingin gadis itu melepas tangannya, ingin melihat kecantikan orang.

Han Sin memang seorang pemuda yang suka akan apa yang indah, tentu saja ia suka melihat kecantikan seorang gadis, bukan karena nafsu-nafsu yang tidak sehat, melainkan suka seperti orang menyukai dan menikmati kecantikan sekuntum bunga.

Mendengar pertanyaan orang, Han Sin tersenyum. “Kau tadi bilang mau membunuhku, kurasa hanya Giam-lo-ong saja yang suka mencabut nyawa. Apakah kau bukan Giam-lo-ong?”

“Siapa bercanda denganmu? Lihat pedang!” Gadis itu lalu menusukkan pedangnya ke arah dada Han Sin. Pemuda ini secara otomatis lalu mengelak dengan langkah kaki dalam jurus ilmu silat Liap-hong Sin-hoat sambil berseru, “Eh, eh, tiada hujan tiada angin kenapa mau membunuh orang?”

Gadis itu tidak perduli dan hendak menyerang lagi. Tiba-tiba ada bayangan berkelebat dan tahu-­tahu Siauw-ong dengan cecowetan dan menepuk-nepuk dada menantang berkelahi telah berdiri di depan gadis itu! Binatang ini memang amat setia, setiap kali melihat Han Sin terancam bahaya atau diserang orang, tentu ia akan turun tangan membelanya.

Melihat sikap monyet ini, gadis itu makin marah dan kini pedangnya menyambar ke arah Siauw­ong. Namun dengan amat lincahnya monyet itu mengelak sambil meringis, bibirnya yang tebal dijebi-jebikan dan mulutnya mengeluarkan suara cecowetan seperti orang memaki-maki. Makin gencar serangan gadis itu, makin cepat pula ia mengelak sambil berusaha membalas dengan pukulan, cakaran, dan hendak merampas pedang.

Han Sin yang sudah menyaksikan gerakan-­gerakan gadis itu dan kelincahan Siauw-ong, hanya berdiri memandang sambil tersenyum. Ia tahu bahwa gadis itu takkan dapat melukai Siauw-ong.

Makin penasaran dan marah gadis itu. Gerakannya memang agak kaku karena tangan kirinya tak pernah terlepas dari mukanya. Akhirnya, dengan jurus yang mirip dengan jurus Po-in-gan-jit, jurus ketiga belas dari Liap-hong Sin-hoat. Siauw-ong memekik dan tangan kirinya berhasil mencakar pundak gadis itu dan lain saat tangan kanannya sudah berhasil merampas pedang!

“Siauw-ong, bodoh kau!” Han Sin mengomel. “Gerakanmu tadi kurang tepat. Kalau dia tadi memutar pedang ke kiri, bukankah tangan kananmu akan menjadi buntung?”

Siauw-ong hanya menyeringai dan membawa pedang itu menjauhi si gadis, lalu membacokkan pedang itu pada sebatang pohon yang sebesar paha orang. Hebatnya, sekali bacok saja pohon itu tumbang. Dari sini saja dapat dibuktikan bahwa tenaga monyet kecil ini sudah melebihi tenaga seorang manusia kuat!

Melihat dirinya kalah oleh seekor monyet kecil, gadis itu menjadi putus harapan lalu menjatuhkan diri di atas tanah sambil menangis sedih. Kini bukan hanya tangan kiri yang menutupi muka, juga tangan kanannya menyusuti air mata.

Watak Han Sin memang penuh kesabaran dan welas asih. Melihat keadaan gadis itu, ia melangkah maju dan berkata halus.

“Nona, kau dan aku tidak kenal satu kepada yang lain, kenapa kau dating-­datang hendak membunuhku? Siauw-ong monyetku telah berlaku kurang ajar. Harap nona suka memaafkan. Eh, Siauw-ong, kembalikan pedang nona ini!”

Sebetulnya Siauw-ong tidak suka mentaati perintah ini, akan tetapi karena ia tidak berani membantah, maka dengan suara cecowetan seperti mengancam, ia membawa pedang itu dan menggeletakkannya di depan nona baju merah itu. Nona itu lalu menyambar pedangnya dan Han Sin sudah bersiap-siap, mengira nona itu akan menyerangnya lagi. Akan tetapi alangkah kagetnya ketika tiba-tiba nona itu membacokkan pedangnya ke arah leher sendiri.

Baiknya Han Sin berlaku cepat. Melihat gerakan orang, ia sudah dapat menduga dan ketika tangan kirinya disabetkan ke bawah, telapak tangannya dengan tenaga lweekang sudah membabat pedang itu dan ..... “krak!” pedang itu terlempar dan patah menjadi dua potong! Sekarang nona itu tidak menutupi mukanya lagi, memandang kepada Han Sin dengan air mata bercucuran dan berkata lemah,

“Kau bunuhlah aku .... bunuh aku ........”

Han Sin berdebar jantungnya. Gadis itu mempunyai wajah yang manis sekali, matanya jeli, mulutnya mungil, akan tetapi .... gadis itu tidak punya hidung. Hidungnya telah buntung!

“Nona .....” katanya dengan perasaan terharu. “Kau .... kenapa kau menderita sampai begini hebat .....?”

Makin deras air mata nona itu mengucur. “Adikmu ...... siluman betina Bi Eng itulah yang membuat aku menjadi begini .....!

Han Sin menjadi pucat dan secepat kilat ia memegang kedua pundak nona itu dan mengguncang-­guncangnya keras.

“Kau bohong! Tak mungkin Bi Eng adikku berbuat begini. Tak mungkin dia sekejam ini, memotong .... hidungmu. Tak mungkin!”

Gadis itu tak berdaya biarpun mencoba meronta melepaskan pegangan pemuda ini sehingga tubuhnya terguncang-guncang. Ia mengangkat tangan kanan dan “plak! Plak!” pipi Han Sin ditamparnya.

“Lepaskan tanganmu dari pundakku!” teriak gadis itu.

Han Sin sadar. Cepat ia melepaskan kedua tangannya dengan muka merah lalu berkata perlahan,

“Kau sih yang membohong. Adikku Bi Eng seorang baik, mana dia berlaku kejam kepadamu?”

Gadis itu yang bukan lain orang adalah Ang-hwa bekas kekasih Bhok-kongcu, menundukkan kepalanya.

“Memang dia tidak melakukan dengan tangan sendiri. Akan tetapi dia yang menjadi gara-gara, apa bedanya?”

Girang mendengar tentang adiknya, Han Sin lupa akan penderitaan orang dan mendesak.

“Nona, bagaimana kau bertemu dengan Bi Eng? Dan di mana dia sekarang?” Kekhawatirannya terdengar jelas dalam suaranya.

Tiba-tiba nona itu tertawa mengejek. Ketawanya manis sekali dan Han Sin mengakui bahwa nona ini tentu cantik sekali kalau saja hidungnya tidak buntung. Wajah yang cantik manis sekarang menjadi menjijikan. Benar-benar keterlaluan orang yang telah membuntungi hidung nona ini. Dan ia yakin yang melakukannya pasti bukan Bi Eng.

“Kau mencari adikmu, Bi Eng itu? Hi hi, dia telah menjadi korban Bhok-kongcu dan hendak kulihat apakah dia dapat mempertahankan kedudukannya, hendak kulihat apakah kelak diapun tidak mengalami nasib dibuntungi hidungnya oleh Bhok-kongcu?”

Terkejut dan gelisah hati Han Sin mendengar ini. “Menjadi korban bagaimana? Siapa itu Bhok­kongcu?”

Ang-hwa kecewa juga mendengar pemuda ini belum mengenal nama Bhok-kongcu. Tadinya ia mengharap pemuda ini gelisah setengah mati mendengar adiknya menjadi korban Bhok-kongcu, karena siapakah orangnya belum pernah mendengar nama Bhok-kongcu? Ternyata pemuda ini begini hijau!

“Bhok-kongcu adalah Bhok Kian Teng, putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, kau tidak tahu?” Ia menegaskan. Kaget juga Han Sin mendengar julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara) itu.

“Aku tidak kenal segala orang she Bhok atau racun yang manapun juga. Bagaimana dengan adikku, dan di mana dia?”

Ang Hwa putus asa. Tidak ada gunannya menakut-nakuti pemuda yang tidak tahu apa-apa ini. Sambil menarik napas panjang ia lalu bercerita.

“Setelah bertemu dengan Bi Eng, Bhok-kongcu membenciku. Dapat yang baru lupa yang lama, ah, itulah watak laki-laki. Malah dia menyiksaku begini macam .... aku, yang dulu dia cinta, dia siksa sampai begini ......” Wanita itu menangis lagi. Han Sin tidak sabar. Ia tidak ingin mendengar tentang wanita ini, tentang hidung yang dipotong, ia ingin mengetahui di mana adanya Bi Eng.

“Apakah Bi Eng dia bawa? Dia tawan? Ke mana dibawanya pergi?” tanyanya bernafsu.

“Ke mana lagi? Tentu ke kota raja. Hik hik hik,” ia tertawa lagi. “Mula-mula dijadikan kekasih baru, lama-lama menjadi bujang, dan akan dilupakan kalau mendapat yang baru.”

Setelah berkata demikian, Ang-hwa meloncat dan lari pergi. Dari jauh terdengar suaranya memekik nyaring, setengah tertawa setengah menangis.

Han Sin menggeleng-geleng kepalanya, merasa seram. Lagi-lagi ia bertemu orang-orang jahat. Perempuan ini biarpun patut dikasihani, ternyata bukan orang baik, pikirnya. Apalagi orang yang disebut Bhok-kongcu. Teringat kepada Bhok-kongcu yang menawan adiknya, tiba-tiba timbul kemarahan hati Han Sin.

Dia tidak pernah marah dan selalu dapat bersabar dan memaafkan orang kalau dia sendiri yang diganggu. Akan tetapi sekarang orang mengganggu adiknya dan hal ini tak dapat ia biarkan begitu saja. Tak dapat ia maafkan. Apalagi kalau ia ingat betapa orang she Bhok itu dengan amat kejinya telah membuntungi hidung seorang gadis cantik, bekas kekasihnya pula. Ia bergidik kalau teringat akan hal ini.

Lanjut ke jilid 024 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment