Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 024

◄◄◄◄ Kembali

“Awas kau Bhok-kongcu, kalau sampai adikku kau ganggu .... hemmm, awas kau, akan .... akan ku ....”

Dia akan berbuat apa? Tak dapat ia memikirkan ini, akan tetapi ia marah sekali. Han Sin saking marahnya mengeluarkan seruan keras, meloncat ke depan dan sekali pukul ia merobohkan sebatang pohon, lalu melompat lagi, memukul lagi dan setelah merobohkan belasan batang pohon barulah panas pada dadanya mereda. Ia berdiri bengong, malu kepada diri sendiri mengapa seperti gila ia menghajar pohon-pohon sampai roboh malang-melintang.

Bahkan Siauw-ong sampai ketakutan dan bersembunyi di belakang sebatang pohon agak jauh. Han Sin menarik napas panjang, lalu memanggil Siauw-ong dan berlarilah ia dengan monyet itu di pundaknya, mengubah tujuan perjalanannya, tidak menuju ke Lu-liang-san, melainkan ke kota raja untuk menyusul Bi Eng. Di dunia ini hanya Bi Eng seoranglah yang ia cinta, adiknya yang ia sayang lebih dari pada jiwanya sendiri.

“Bi Eng ........ semoga kau selamat ........”

Ia tidak dapat membayangkan apa yang akan ia lakukan kalau adiknya itu sampai tertimpa malapetaka. Terlalu ngeri ia memikirkan hal ini.

Beberapa pekan kemudian ketika Han Sin sedang berjalan dengan cepat di atas jalan besar menuju ke Tai-goan, dari depan ia melihat seorang gadis cantik menunggang kuda dengan cepat. Gadis itu berpakaian mewah dan kudanya pun kuda besar yang dapat berlari cepat. Di punggung gadis ini terdapat sepasang pedang dan dari gerak-geriknya mudah diduga bahwa gadis cantik ini pandai ilmu silat. Usianya mendekati tiga puluh tahun akan tetapi harus diakui bahwa dia cantik manis, seperti gadis remaja. Ketika bersimpang jalan, gadis itu mengerling tajam dan tiba-tiba mukanya berubah. Adapun Han Sin yang sedang sibuk memikirkan keselamatan adiknya, mana ada waktu untuk melihat-lihat gadis cantik?

Baru ketika ia mendengar suara kaki kuda besar itu datang lagi dari jurusan belakang dan melewatinya, ia mengangkat mukanya memandang dan lebih heran hatinya ketika ia melihat gadis itu menghentikan kudanya, memutar kuda dan menghadang di depannya. Karena ia tidak merasa kenal gadis ini, ia tidak memperdulikan dan tidak berani memandang lama-lama, malah hendak menyimpang.

“Tunggu dulu, bukankah kau she Cia bernama Han Sin?” tiba-tiba gadis itu menegur dengan suaranya yang merdu.

Berdebar hati Han Sin. Benar-benar dunia ini aneh, pikirnya. Sudah terlalu sering ia bertemu orang yang sama sekali tidak dikenalnya akan tetapi yang sudah mengenal namanya! Ingin ia membohong dan tidak mengaku agar tidak menimbulkan banyak kesukaran dan halangan dalam perjalanannya menyusul adiknya. Akan tetapi justeru pemuda ini tidak biasa membohong sehingga ia “tidak sampai hati” untuk membohong. Maka dengan mendongkol ditahan-tahan, ia menjawab juga.

“Benar, aku Cia Han Sin. Tidak tahu siapakah cici (kakak) ini dan ada apa menahan perjalananku?”

Dari sinar matanya, gadis itu kelihatan girang dan lega, akan tetapi wajahnya yang keren dan nampak galak itu tidak berubah.

“Bukankah kau mencari adikmu yang bernama Cia Bi Eng?”

Kini lenyap sama sekali kemendongkolan hati Han Sin.

“Betul!” jawabnya setengah bersorak. “Cici yang baik, apakah kau tahu di mana adanya adikku itu?”

“Tak baik bicara di tengah jalan. Kalau kau ingin tahu tentang adikmu, mari ikut aku!”

Girang sekali hati Han Sin. “Terima kasih, cici. Baik, aku akan ikut kau.”

“Naiklah!”

Han Sin bingung. Naik kemana? Kuda hanya seekor. Karena betul-betul tidak mengerti, ia bertanya,

“Kau maksudkan .... naik ke mana, cici?”

Gadis itu kelihatan geli, akan tetapi tidak memperlihatkan senyumnya.

“Tentu saja ke sini, di belakangku. Naiklah!”

“Ah, mana aku berani ....? Aku ...... lebih baik aku jalan kaki saja, cici naikilah sendiri kuda itu.”

“Hemm, rumahku tidak dekat, sedikitnya ada dua puluh li dari sini. Kudaku pun larinya cepat. Apa kau kira kau mampu lari sejauh itu membarengi larinya kuda?” gadis itu bertanya, nada suaranya tak sabar dan ketus.

Tentu saja aku bisa, jawab pikiran Han Sin. Selama ini dia sudah dapat menguasai tenaga dalamnya, malah ia sudah tahu bagaimana caranya berlari cepat, cepat sekali melebihi larinya kuda. Dan dia selama berpekan-pekan ini sudah berlari cepat, kadang-kadang dalam satu hari sampai ratusan li tanpa merasa lelah. Apa artinya tiga puluh atau bahkan dua puluh li? Akan tetapi ia harus menyembunyikan kepandaiannya.

“Tentu saja aku tidak bisa, cici.”

“Kalau begitu jangan banyak rewel. Naiklah di belakangku!”

“Akan tetapi, cici .....” Han Sin masih ragu-ragu. Masa ia harus duduk di belakang orang, bersentuhan tubuh di atas kuda? Benar-benar hal itu kurang ajar sekali dan ia mana berani melakukannya?

“Rewel, pendeknya kau mau mendengar tentang adikmu atau tidak?” Gadis itu menjadi tak sabar dan bertanya marah. Orang lain, apa lagi laki-laki muda, bahkan akan mengharapkan dapat duduk berdua di atas kuda dengan dia. Eh, bocah ini begini ... begini .... hijau!

Diingatkan tentang adiknya, Han Sin menjadi nekat dan ia lalu naik ke atas kuda. Bukan melompat, hanya naik sambil berpegang pada lengan gadis itu yang membantunya, naik kuda seperti seorang yang lemah agar tidak menimbulkan kecurigaan yang bukan-bukan.

Siauw-ong melompat ke atas pundaknya dan baru saja ia duduk. Kuda itu sudah melompat ke depan dengan cepatnya. Dengan lweekangnya, tentu saja Han Sin dapat duduk dengan tegak, akan tetapi ia sedang bersandiwara, maka ia cepat-cepat memegang pundak orang di depannya sambil berseru ketakutan,

“Cici yang baik, jangan cepat-cepat ........!”

Gadis itu mengeluarkan suara ketawa kecil mengejek, akan tetapi benar saja, ia menahan kudanya agar berlari biasa. Di sepanjang jalan gadis itu tidak bicara apa-apa dan yang paling merasa tidak enak adalah Han Sin. Ia tidak enak duduk dan berusaha sedapat mungkin menggeser ke belakang agar jangan terlalu mepet dengan tubuh gadis itu.

Celakanya, dia duduk di bagian belakang maka kalau ia terlalu menggeser ke belakang, ia menduduki punggung belakang yang menonjol ke atas sehingga sukar baginya untuk duduk dengan enak. Sebaliknya, gadis itu tidak perduli sama sekali dan Siauw-ong bertepuk-tepuk tangan saking gembiranya. Naik kuda merupakan pengalaman baru bagi monyet ini.

Seperti telah kita ketahui, Bhok-kongcu ketika bertemu Bi Eng di sungai Wei-ho, menyuruh seorang selir atau pembantunya yang lihai, Yo Leng Nio, untuk menyusul Han Sin di Cin-ling-san dan mengajak pemuda itu datang ke Wei-ho. Akan tetapi ketika sampai di bukit itu, yang dilihat oleh Yo Leng Nio hanyalah kehancuran di Cin-ling-san dan banyak mayat para tosu Cin-ling-pai dan beberapa mayat pengemis-pengemis anggauta Coa-tung Kai-pang. Dia tidak melihat Han Sin. Maka cepat-cepat ia kembali ke perahu dan melaporkan hal ini kepada Bhok-kongcu.

Tentu saja Bi Eng gelisah sekali mendengar ini, akan tetapi Bhok Kian Teng dengan pandai menghiburnya dan mengatakan bahwa tentu pemuda dengan monyetnya itu telah dapat melarikan diri dan melanjutkan perjalanannya. Dengan pancingannya ia berhasil membuat Bi Eng mengaku bahwa kakaknya hendak ke Lu-liang-san, maka Bhok-kongcu lalu mengusulkan untuk menyusul ke Lu-liang-san. Bi Eng yang masih hijau pengalamannya itu menurut saja dan berangkatlah dia bersama Bhok-kongcu ke Lu-liang-san, sedangkan Yo Leng Nio oleh Bhok-kongcu diberi perintah untuk terus mencari Han Sin, kalau-kalau pemuda itu pergi ke jurusan lain.

Demikianlah, sekarang gadis yang bertemu di dekat kota Tai-goan dengan Han Sin, bukan lain adalah Yo Leng Nio, tangan kanan Bhok-kongcu. Dapat dibayangkan betapa girangnya hati Leng Nio. Ia ingin berjasa kepada kongcunya, maka cepat ia mengajak pemuda itu pergi ke Tai-goan di mana terdapat sebuah rumah bagus kepunyaan Bhok-kongcu.

Tahu akan maksud Bhok-kongcu, yaitu hendak merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dibawa pemuda ini, Leng Nio hendak menggunakan siasat, merampas surat dan membunuh pemuda ini agar tidak menimbulkan banyak urusan. Dengan surat wasiat itu ia dapat menyenangkan hati Bhok­kongcu yang dicintainya sepenuh hati. Kalau tidak hendak menjalankan siasat, mana ia sudi memboncengkan pemuda itu di atas kudanya?

Ketika kuda yang mereka tunggangi itu akan memasuki kota Tai-goan, tiba-tiba dari pintu kota keluar sebuah kereta yang ditarik oleh seekor kuda putih. Kereta itu bergerak cepat dan ketika bersimpangan dengan kuda Leng Nio, tirai jendela kereta itu tersingkap dari dalam dan kelihatanlah wajah seorang gadis cantik yang gelung rambutnya amat indah. Yo Leng Nio segera menahan kudanya dan menjura dengan hormat ke arah kereta. Han Sin juga memandang. Segera ia mengenal wajah ini dan tak terasa ia berseru,

“Nona Thio Li Hoa .....!”

Memang nona itu bukan lain adalah Thio Li Hoa yang pernah dijumpainya di Cin-ling-san ketika ia di “hukum” dalam jurang Can-tee-gak. Nona dalam kereta itu melirik sebentar, sepasang matanya bersinar marah sekali, lalu ia melengos dan menutup kembali tirai jendela keretanya.

“Kau kenal dia?” tanya Leng Nio sambil menjalankan kembali kudanya, perlahan-lahan.

“Kenal? Tidak, hanya pernah bertemu dengan dia di Cin-ling-san.”

“Hemm, tentu datang bersama para pengemis, bukan?”

“Bagaimana kau bisa tahu?” Han Sin bertanya heran.

Leng Nio tidak menjawab, malah berkata ketus, “Turunlah, kita sudah sampai di kota. Masa kau masih mau nongkrong terus membikin kita menjadi buah tertawaan orang?”

Merah muka Han Sin dan ia merosot turun dari atas punggung kuda. Mereka memasuki kota Tai­goan yang besar dan ramai. Akan tetapi waktu itu agak sepi karena hari telah menjadi senja. Leng Nio membawanya ke sebuah gedung kecil mungil dan indah sekali yang letaknya agak di pinggir kota. Benar-benar sebuah bangunan yang menyenangkan dan enak sekali kalau dipergunakan untuk mengaso.

Letaknya di tempat yang tidak begitu ramai, juga gedungnya kecil saja akan tetapi taman bunganya besar penuh tetanaman yang indah-indah. Tentu rumah orang kaya, pikir Han Sin yang memandang kagum ketika ia memasuki halaman rumah itu. Akan tetapi segera semua ini tidak diperhatikan lagi karena hatinya berdebar memikirkan adiknya. Apakah ia akan bertemu dengan Bi Eng di sini?

“Apakah adikku berada di rumah ini?” tanyanya.

Leng Nio menggeleng kepala. “Nanti sambil makan kita bicara tentang dia.”

Pada saat itu dua orang pelayan laki-laki datang. Leng Nio memberikan kudanya kepada seorang di antara mereka lalu berkata kepada orang kedua.

“Saudara ini tamu Bhok-kongcu, kau antarkan dia ke sebuah kamar tamu.”

Pelayan itu mengangguk lalu memberi isyarat dengan tangannya kepada Han Sin untuk mengikutinya. Han Sin terpaksa menurut saja karena ia membutuhkan keterangan tentang adiknya. Baiklah aku bersabar sampai mendengar keterangannya, kalau tidak memuaskan aku bisa pergi dari sini, pikirnya.

Ketika pelayan itu mengantarnya ke sebuah kamar yang mewah dan indah, ia mencoba untuk menyelidiki dari mulut pelayan itu.

“Eh, sobat, sebetulnya rumah ini milik siapakah? Apakah milik Bhok-kongcu? Dan di mana tuan rumahnya?”

Akan tetapi pelayan yang sedang menyapu lantai kamar itu sama sekali tidak menjawab, menengokpun tidak seakan-akan tidak mendengar pertanyaannya. Han Sin mendongkol sekali. Masa pelayan saja sampai berani menghadapinya dengan sikap memandang rendah?

“Eh, sobat!” katanya tak sabar sambil menowel lengan pelayan itu. Pelayan itu menengok dan memandang kepadanya dengan sinar mata penuh pertanyaan.

“Di mana Bhok-kongcu? Apakah ada seorang nona she Cia di sini?” tanya Han Sin pula.

Pelayan itu mengangkat pundak, lalu menyapu lagi. “Eh, kurang ajar kau, apa kau gagu?” pelayan itu kembali memandang kepadanya, lalu menuding ke arah kedua telinganya dan membuka mulut. Ternyata pelayan ini tidak berlidah dan kedua telinganya tuli. Lidahnya dipotong dan telinganya dilubangi orang!

Han Sin melengak, namun diam-diam ia bercuriga. Aneh sekali orang-orang di sini. Kalau dia benar tak dapat mendengar, bagaimana tadi dia bisa mengerti perintah nona itu? Ia tentu saja tidak tahu bahwa pelayan ini memang tuli dan bisu seperti semua pelayan dari Bhok-kongcu, dan tadi dapat dimengerti ucapan Leng Nio karena memandang gerak bibir gadis itu.

Karena merasa lelah dan tubuh serta pakaiannya memang kotor terkena debu, Han Sin segera mandi ketika pelayan itu menyiapkan air, dan dengan gembira dan penuh harapan ia lalu pergi ke ruang makan ketika pelayan mengajaknya. Di situ sudah menunggu nona galak tadi yang kini sudah mengenakan pakaian baru, mukanya dibedak dan digincu sehingga kelihatan makin cantik. Namun sayang, demikian pikir Han Sin, nona ini wajahnya membayangkan sifak galak, pendiam dan sungguh-sungguh, sama sekali tidak ada sinar terangnya. Alangkah banyak bedanya dengan wajah Bi Eng, pikirnya. Malah lebih galak dari pada wajah nona Thio Li Hoa.

Di atas meja sudah tersedia masakan-masakan yang masih panas dan arak wangi. Melihat kedatangan Han Sin bersama Siauw-ong, ia mengerutkan kening dan berkata,

“Harap monyet kotor itu jangan dibawa ke sini. Suruh dia bermain-main di luar.”

Han Sin tersenyum, tanpa menjawab ia lalu mengambil beberapa butir buah dari atas meja, memberikannya kepada Siauw-ong sambil berkata,

“Siauw-ong, kau bermain-main di luar sana, jangan ganggu kami. Jangan datang sebelum kupanggil!” Monyet itu mengerti, menerima buah dan melompat ke luar setelah berjebi kepada Leng Nio.

Han Sin tertawa lalu duduk menghadapi meja.

“Cia-kongcu silahkan makan dulu, baru nanti kita bicara,” kata nona itu tanpa sungkan-sungkan lagi karena perutnya memang sudah lapar, Han Sin makan dengan lahapnya.

Leng Nio yang juga menemaninya makan, memandang cara pemuda makan ini dengan senyum mengejek, lalu ia berkata.

“Kongcu agaknya jarang melakukan perjalanan jauh dan tidak pernah bertemu dengan orang-orang jahat.”

“Kenapa kau berkata begitu?”

“Kalau aku berniat jahat dan memberi racun dalam makanan ini, bukankah kau akan celaka? Kau sama sekali tidak berhati-hati, terus saja makan tanpa memeriksa lagi.”

Merah wajah Han Sin. Bukan karena ia ceroboh, dan bukan karena ia tidak tahu akan bahaya-­bahaya seperti ini. Dahulu sering kali Ciu-ong Mo-kai memberi nasehat kepadanya, atau lebih tepat kepada Bi Eng, agar hati-hati menghadapi orang-orang kang-ouw yang seringkali menggunakan racun untuk menjatuhkan musuhnya. Akan tetapi soalnya bukan ia ceroboh, melainkan karena ia terlalu percaya kepada orang. Ia juga percaya sekali kepada nona ini, mana bisa hatinya menaruh curiga dan takut diracuni? Masa ada seorang gadis cantik seperti ini mau main racun?

“Nona, aku percaya kepadamu, percaya dengan membuta karena kau sudah begitu baik hendak bicara tentang adikku. Masa aku takut diracun?” jawabnya sambil tersenyum.

Setelah selesai makan dan meja itu sudah dibersihkan, Leng Nio berkata,

“Nah, sekarang marilah kita bicara.” Memang saat ini yang dinanti-nanti oleh Han Sin, maka ia lalu berkata.

“Nona sudah begini baik terhadap aku, mengajak aku ke sini, malah sudah menjamu dengan hidangan enak. Kalau nona sekarang bicara tentang adikku, itulah menunjukkan bahwa kau memang seorang yang mulia dan aku Cia Han Sin akan berterima kasih sekali.”

“Huh, siapa yang mulia? Aku hanya melakukan kewajibanku. Ketahuilah, aku adalah pelayan Bhok-kongcu bernama Yo Leng Nio.”

Hati Han Sin berdebar. Lagi-lagi seorang pelayan Bhok­kongcu setelah pertemuannya dengan nona baju merah yang hidungnya buntung. Akan tetapi ia tidak berkata apa-apa dan mendengarkan terus.

“Aku tidak mau bicara panjang lebar. Pendeknya, adikmu itu kini telah ditawan oleh Bhok-kongcu dan disembunyikan di suatu tempat. Hanya dengan satu syarat yang kau penuhi, adikmu itu akan dibebaskan dan kau akan dapat bertemu kembali dengan dia.”

Bukan main kaget dan herannya hati Han Sin. Orang sudah berlaku begini baik, akan tetapi mengapa di belakang kebaikan ini terkandung sesuatu yang demikian jahat?

“Kenapa adikku di tawan? Apa salahnya? Ayoh, kaulepaskan, kalau tidak akan kulaporkan kepada pembesar setempat!” katanya marah.

Leng Nio tertawa mengejek. “Jangan kau ngaco belo! Bhok-kongcu adalah putera raja muda, mana segala macam pembesar bisa mengganggunya? Pendeknya, kau penuhi syarat itu atau ...... kau takkan dapat berjumpa kembali dengan adikmu, malah jiwamu juga akan terancam.”

“Tidak perduli dengan jiwaku! Asal adikku selamat. Di mana dia?”

“Kau terima syaratnya atau tidak?”

“Apa syaratnya, lekas kau beritahukan. Asalkan patut dan dapat kulakukan, tentu saja aku suka bertukar dengan keselamatan adikku.”

Yo Leng Nio berdiri dan dengan suara agak gemetar saking tegangnya, ia berkata. “Kau serahkan surat wasiat Lie Cu Seng, dan kau akan segera kuantar ke tempat adikmu.”

Sambil berkata demikian, sepasang matanya menatap tajam. Han Sin melengak. Eh, kiranya ke situlah tujuannya? Heran dia, kenapa semua orang kang-ouw ini tergila-gila kepada surat wasiat Lie Cu Seng dan agaknya berlumba-lumba untuk mendapatkannya? Mau tak mau ia tertawa getir mendengar permintaan ini.

“Kenapa kau tertawa? Apakah kau lebih sayang surat itu dari pada keselamatan adikmu?” bentak Yo Leng Nio penuh ancaman.

“Bukan begitu, aku hanya merasa geli kenapa semua orang begitu gila hendak mendapatkan surat itu.”

“Berikan padaku demi keselamatan Bi Eng,” kata Leng Nio penuh gairah karena ia mengharapkan siasatnya ini berhasil.

Han Sin menggeleng kepalanya. “Tak mungkin, surat itu memang tadinya berada di tanganku, akan tetapi sekarang telah hancur, sudah hilang.”

“Bohong!”

“Kau tidak percaya, ya sudah. Memang tidak ada lagi padaku, sudah rusak dan hancur di dalam jurang Can-tee-gak di Cin-ling-san.”

Akan tetapi mana Leng Nio mau percaya? Surat wasiat yang dirindukan oleh semua tokoh kang­ouw, mana bisa dirusak begitu saja? Ia mengerutkan keningnya yang berkulit halus, lalu berkata.

“Sudahlah, kau boleh istirahat. Kuberi waktu semalam ini. Besok kau harus dapat memberi keputusan, lebih sayang surat atau lebih sayang adik.”

Setelah berkata demikian ia tinggalkan pemuda itu seorang diri. Han Sin bingung sekali dan akhirnya karena memang lelah, iapun pergi ke kamarnya dan memanggil Siauw-ong. Akan tetapi monyet itu tidak muncul, agaknya pergi main-main terlalu jauh. Ia tahu bahwa Siauw-ong tentu akan kembali sendiri, maka ia lalu membaringkan tubuh di atas tempat tidur yang empuk dalam kamar itu. Ia putar-putar otak mencari jalan keluar terbaik menghadapi persoalan ini, namun sia-sia.

Memang surat wasiat itu sudah dia hancurkan sebagian dan yang sebagian pula dirobek-robek oleh Thio Li Hoa, bagaimana dia bisa menyerahkan surat itu? Apakah ia harus membuat gambar baru dari peta itu dan menyerahkannya kepada Leng Nio? Kalau hal ini ia lakukan, kemudian ternyata Bi Eng tak dapat ia jumpai, siapa tahu orang-orang kang-ouw ini banyak sekali akal curangnya, bukankah itu merupakan kerugian besar? Pula, ia seperti mendurhaka kepada mendiang ayahnya.

Surat wasiat itu memang haknya dan hak Bi Eng, bagaimana bisa diserahkan begitu saja kepada orang lain?

Lewat sedikit tengah malam, ketika keadaan di seluruh gedung itu sunyi, sesosok bayangan yang amat gesit membuka jendela kamar Han Sin dan memasuki kamar itu. Keadaan di dalam kamar amat gelap akan tetapi agaknya bayangan itu sudah mengenal baik kamar itu, buktinya ia dapat menyimpangi meja yang terpasang di dekat jendela. Orang lain tentu akan menabrak meja dalam kegelapan itu. Bayangan itu mengeluarkan sebuah lilin kecil dan menyalakannya setelah mendengarkan sebentar dan dari pernapasan yang lambat panjang tahu bahwa pemuda yang berada di pembaringan sudah pulas betul.

Ia melihat baju luar Han Sin yang ditaruh di atas bangku. Cepat tangannya menggerayangi baju itu dan memeriksa. Ketika mendapat kenyataan, ia lalu menaruh kembali baju itu dan menyingkap kelambu melihat ke atas pembaringan. Tiba-tiba ia nampak terkejut sekali dan sekali tiup lilinnya padam. Bayangan ini dengan tergesa-gesa dan kelihatan ketakutan melompat lagi ke jendela untuk lari.

Ternyata dia melihat cara tidur Han Sin yang amat aneh, yaitu dengan kepala di bawa kaki di atas, berjungkir balik! Tentu saja melihat orang dalam keadaan seperti itu, ia terkejut bukan main dan siapakah orangnya yang mau percaya bahwa pemuda itu berada dalam keadaan tidur pulas?

Memang sesungguhnya Han Sin tidur pulas. Tadi karena pikirannya agak bingung dan khawatir memikirkan keadaan adiknya, pemuda ini lalu berlatih samadhi seperti biasa dengan berjungkir balik sampai ia tertidur dalam keadaan demikian. Dalam keadaan seperti itu, pendengaran pemuda ini tajam sekali, maka ia segera terbangun ketika mendengar suara perlahan di jendela, suara kaki bayangan itu menyentuh daun jendela.

Tiba-tiba terdengar suara Siauw-ong cecowetan dan disusul suara bentakan perlahan. “Monyet sial, minggat kau!” Itulah suara Leng Nio!

Han Sin turun dari pembaringan dan menyalakan lilin dan pada saat itu Siauw-ong melompat ke dalam kamar itu, di kedua tangannya membawa sebuah sisir, sebuah cermin kecil, dan sebuah saput atau alat penyapu muka kalau sedang dibedaki. Entah dari mana dia mendapatkan alat berhias wanita ini. Melihat itu Han Sin menjadi geli dan membentak.

“Siauw-ong, dari mana kau dapatkan barang-barang ini? Ayoh, kembalikan kepada pemiliknya!”

Siauw-ong menjebikan bibirnya yang tebal, membuat gerakan seperti orang menyisir rambut kepalanya lalu berbedak sambil bercermin. Benar-benar seperti seorang wanita sedang berhias! Mau tak mau Han Sin tertawa geli dan menggebah monyet itu keluar dari kamarnya. Lalu tidur kembali, diam-diam mendongkol kepada Leng Nio yang sudah terang tadi mencoba untuk menggeledahnya, agaknya mencari surat wasiat Lie Cu Seng!

Pada keesokkan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah mendengar suara ribut-ribut. Suara ini adalah suara cecowetan Siauw-ong dan makian Yo Leng Nio. Ketika mendengar suara Siauw-ong, seperti kalau sedang menantang berkelahi, Han Sin cepat memakai bajunya dan keluar dari kamarnya terus menuju ke taman bunga dari mana suara ribut-ribut itu terdengar.

Betul saja, Siauw-ong sedang “cekcok” dengan Yo Leng Nio. Nona ini memaki-maki,

”Monyet sialan, kembalikan barang-barangku!”

Akan tetapi dengan suara “ngak-nguk, ngak-nguk!” Siauw-ong agaknya malah menantang dan mempermainkan gadis itu.

“Setan, kau minta mampus!”

Dan gadis itu dengan amat cepatnya lalu menyerang, memukul kepala monyet itu. Namun mana bisa Siauw-ong dipukul begitu saja. Sambil menjebikan bibirnya yang tebal, ia meloncat dengan elakan yang indah, lebih cepat dari pada serangan Leng Nio. Gadis itu penasaran, lalu menyerang lagi, tapi luput lagi. Akhirnya saking marah dan penasaran, Leng Nio menyerang sungguh-sungguh dengan gerakan ilmu silat, malah menggunakan jari tangannya untuk menotok dan menusuk mata monyet itu.

Siauw-ong benar-benar hebat, sambil menyengir ia terus mengelak ke sana ke mari sehingga tubuhnya berkelebatan di antara ke dua tangan Leng Nio yang melakukan pukulan bertubi-tubi. Dan kini monyet itu bukan hanya sembarangan mengelak mendasarkan kegesitan yang wajar seekor monyet. Kalau dia hanya mengandalkan kegesitan monyet biasa, tentu dia akan kena pukul oleh gadis yang lihai itu. Akan tetapi Siauw-ong mengelak dengan jurus-jurus ilmu silat pula, ilmu silat Liap-hong Sin-hoat yang tinggi. Langkah-langkah dan gerak tubuhnya teratur sehingga selalu Leng Nio menghantam tempat kosong.

Han Sin merasa puas melihat Siauw-ong mempermainkan nona itu. Agaknya monyet ini tahu pula akan usaha nona itu menggeledah kamarnya, pikir Han Sin. Maka sebagai pembalasan, Siauw-ong juga memasuki kamar nona itu dan mencuri alat-alat berhias. Akan tetapi melihat Leng Nio makin lama makin marah, ia merasa tidak enak juga. Betapapun juga, ia masih mengharapkan penjelasan nona ini tentang adiknya.

Lanjut ke jilid 025 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment