Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 025

◄◄◄◄ Kembali

“Siauw-ong, jangan kurang ajar. Kembalikan barang-barang nona Yo!”

Akhirnya ia membentak. Mendengar seruan ini, Siauw-ong melemparkan tiga buah benda itu sekali gus ke arah Leng Nio sambil melompat ke pundak Han Sin. Leng Nio menggerakkan tangan menangkap benda-benda itu, akan tetapi hanya berhasil menangkap cermin dan alat berbedak, sedangkan sisir itu telah melayang ke arah rambutnya dan menancap di situ! Mukanya menjadi merah dan dengan mata melotot ia memandang monyet yang kini cengar-cengir di atas pundak Han Sin.

“Orang she Cia! Monyetmu sungguh kurang ajar. Suruh dia turun, biar kuhancurkan kepalanya!” Nona itu membentak marah sekali.

Han Sin tersenyum. “Maafkanlah dia, nona Yo. Agaknya semalam ia melihat gerak-gerik orang memasuki kamar orang lain. Agaknya dia telah melihat seorang pencuri maka dia meniru-niru memasuki kamarmu dan mengambil barang-barangmu itu. Monyet memang suka sekali meniru­-niru manusia.”

Berubah wajah Yo Leng Nio mendengar ini. Ia merasa disindir dan ia tak dapat menjawab.

Tiba-tiba terdengar suara ketawa merdu disusul ucapan halus. “Betul sekali ucapan itu. Memang memalukan kalau seorang perempuan memasuki kamar seorang pemuda di waktu tengah malam buta!”

Dan dari balik tembok meloncat masuk seorang gadis cantik yang berpakaian indah dan mewah. Gelungnya yang tinggi amat indah dan mengeluarkan bau harum. Han Sin segera mengenal nona ini,

Yo Leng Nio berubah pucat mukanya dan ia cepat-cepat membungkukkan tubuh memberi hormat.

“Kiranya Thio-siocia (nona Thio) datang berkunjung. Tidak kebetulan sekali Bhok-kongcu tidak ada di sini, nona.”

Thio Li Hoa tersenyum mengejek dan suaranya ketus ketika menjawab, “Aku tahu ke mana perginya kongcumu itu bersama seorang gadis she Cia. Aku datang bukan untuk bertemu dengan kongcumu, melainkan untuk membawa pergi bocah she Cia.” Ia menudingkan telunjuknya ke arah Han Sin.

“Thio-siocia, akan tetapi ..... dia .... dia ini hendak mencari adiknya ....” kata Yo Leng Nio gagap.

Mata Li Hoa yang tajam sekali itu tiba-tiba memancarkan sinar berapi. “Dia mencari adiknya, kenapa kau bawa ke sini? Pula, malam-malam waktunya orang tidur kau menggerayangi tempat tidur orang ..... hemmmm, hendak kudengar apa yang akan dikatakan Bhok-kongcu kalau kuceritakan kepadanya tentang hal itu!”

Wajah Yo Leng Nio makin pucat. Ia tahu bahwa ia takkan tertolong lagi kalau sampai di dalam hati Bhok-kongcu di bangkitkan perasan cemburu. Bergidik ia kalau mengingat akan hal ini, dan ia tahu pula bahwa terhadap nona Thio ini, tentu saja Bhok-kongcu percaya penuh.

“Tidak. Thio-siocia ...... jangan ...... harap kau tidak bercerita yang bukan-bukan terhadap Bhok­kongcu .......”

“Plakk!” Cepat sekali bagaikan ular menyambar, tahu-tahu tangan kanan Li Hoa sudah menampar pipi Leng Nio.

Han Sin yang melihat itu, tersenyum dan teringat akan pipinya sendiri yang juga pernah ditampar oleh nona Thio yang galak ini.

“Apa kau bilang? Aku bicara bukan-bukan? Kau berhadapan dengan siapakah?” bentak puteri perwira tinggi itu.

YO LENG NIO mendapat akal. Ia menjura dan berkata lemah.

“Aku berhadapan dengan nona Thio Li Hoa yang cantik dan gagah perkasa dan yang boleh dipercaya serta tidak pernah memburukkan nama orang lain. Tentu saja aku tidak berani membantah perintah nona, hanya mengingat bahwa kongcu mencari orang ini dan untuk mempertanggung jawabkan ………”

Li Hoa mengeluarkan sehelai surat. “Lihat ini! Surat kuasa untuk menangkap bocah she Cia ini. Dia telah membunuh utusan pemerintah dan harus ditangkap. Apa kau berani menentang surat perintah penangkapan?”

Yo Leng Nio melirik dan mendapat kenyataan bahwa memang betul nona Thio ini datang membawa surat perintah menangkap Cia Han Sin. Ia menjura lagi dan berkata,

“Aku tidak berani membantah. Silahkan nona tangkap bocah ini, hanya kuharap tidak lupa bahwa pelayan Bhok­kongcu juga berjasa dalam bantuannya menemukan bocah yang dicari ini.”

“Hemmmm,” Li Hoa melirik ke arah Han Sin dan berkata, “Ayoh, ikut aku!”

Han Sin pernah mengenal kepalsuan gadis she Thio ini yang dulupun hendak menolong dia keluar dari jurang, akan tetapi yang sesungguhnya hendak mencari surat wasiat Lie Cu Seng, kemudian malah bersama para pengemis tua hendak menangkapnya. Sekarang melihat gadis ini datang lagi, ia bersikap waspada. Akan tetapi tadi dia mendengar percakapan dua orang gadis itu dan mengingat gadis ini agaknya tahu pula ke mana Bi Eng dibawa pergi oleh Bhok-kongcu, ia tidak hendak membantah, malah lalu menjura di depan Yo Leng Nio dan berkata.

“Nona Yo Leng Nio, aku dan Siauw-ong merasa berterima kasih sekali telah mendapatkan tempat menginap dan makan minum dengan gratis darimu.”

Leng Nio hanya memandang dengan mata melotot ketika Han Sin pergi mengikuti Li Hoa. Sinar mata pemuda ini berseri, mulutnya tersenyum ketika ia memandang kepada Li Hoa dan sikapnya seolah-olah menantang dengan kata-kata tak terucapkan.

“Kau mau apa? Peta sudah hancur!”

Setelah pergi jauh meninggalkan kota Tai-goan, tanpa berkata-kata, akhirnya gadis itu memecah kesunyian,

“Hemm, berbahaya sekali …..! Untung aku segera datang membawa kau pergi!”

Han Sin hanya melirik, tanpa menjawab.

“Eh, bocah! Kenapa diam saja? Kau seharusnya berterima kasih kepadaku telah melepaskan kau dari perempuan rendah itu!”

“Kau dan dia apa bedanya? Selalu menyebut aku bocah. Eh nona, kaukira kau ini sudah nenek-­nenek dan lebih tua dari padaku?” jawab Han Sin mendongkol.

Gadis itu tertawa, manis sekali kalau dia tertawa. Sayangnya jarang tertawa dan mukanya selalu keras.

“Hemm, kau tidak tahu bahwa kau baru saja terlepas dari bahaya maut. Kalau ada Bhok Kian Teng di sana, kiraku kau takkan mampu pringas-pringis (menyeringai) seperti sekarang ini. Kau dan monyetmu tentu telah mampus. Berbahaya sekali!” gadis itu benar-benar nampak gentar.

Akan tetapi Han Sin tidak perduli. “Apa bedanya di tangan mereka atau di tanganmu? Entah mana yang lebih berbahaya. Luka di pundakku karena paku berkarat yang dihadiahkan oleh kawanmu pengemis tua itu masih terasa sampai sekarang.” Han Sin sengaja meringis kesakitan dan meraba pundaknya.

Merah muka Li Hoa. “Apakah masih terasa sakit? Aku membawa obat pemunah racun ……”

Dengan sikap sungguh-sungguh ia mendekati Han Sin dan pemuda ini merasa heran mengapa gadis ini bisa bersikap begini lembut dan ramah.

“Tak usah, biarkan saja. Aku tidak menyalahkan kau, karena bukan kau yang melukai pundakku.” Setelah berkata demikian Han Sin lalu duduk mengaso di bawah sebatang pohon yang tumbuh di pinggir jalan. Matahari mulai muncul dan enak sekali duduk di bawah pohon itu. “Nona Thio, sudahlah kau tinggalkan aku sendiri, aku tidak mau mengganggu kau lebih lama lagi.”

Li Hoa menghampiri pemuda ini. “Orang she Cia, aku baik-baik membebaskan kau dari tangan kuntilanak itu dan betul-betul hendak membantumu mencari kembali adikmu, kau malah mengusirku. Benar tak kenal budi.”

Han Sin tersenyum pahit. “Mau mencarikan adikku ataukah mau mencari rahasia surat wasiat?”

Wajah nona ini menjadi merah lagi. “Soal itu …… kita bicarakan belakangan saja kalau aku sudah berhasil mendapatkan kembali adikmu yang dibawa pergi Bhok Kian Teng.”

“Terima kasih, aku bisa cari sendiri,” kata Han Sin dingin.

Li Hoa melompat. “Eh, sombong! Ke mana mau mencarinya?”

“Ke mana lagi? Tentu ke rumah orang she Bhok itu, di kota raja, bukan? Putera raja muda Bhok Hong yang berjuluk Pak-thian-tok, tidak betulkah dugaanku?” Han Sin tersenyum bangga.

Gadis itu tertawa geli. “Ah, tololnya! Kalau diajak ke kota raja, selain adikmu tidak sudi, juga tentu aku sudah mengetahuinya siang-siang karena akupun tinggal di kota raja. Di kota raja kau takkan dapat mencari adikmu, malah bayangannya pun tidak ada.”

Han Sin terdiam, bingung. Kemudian ia terpaksa bertanya juga, biarpun dengan lidah berat.

“Apa kau tahu ke mana adikku dibawah oleh orang itu?”

“Tentu saja aku tahu, kalau tidak mana aku berani bilang hendak mencarikan adikmu?” Kini giliran Li Hoa yang “jual mahal”.

“Ke mana? Di mana?”

Bibir yang merah tipis itu tersenyum mengejek, tapi malah manis.
“Kalau aku beritahu, mau kau berjanji?”

“Berjanji apa?”

“Berjanji bahwa kau akan ikut dengan aku tanpa banyak cerewet, ikut dan menurut kehendakku, tidak meninggalkan aku dan kita berdua mencari adikmu.”

Han Sin tertegun. Dan pemuda yang jujur ini tak dapat menahan lagi menyatakan keheranan hatinya melalui mulut.

“Nona Thio Li Hoa, begitu sukakah kau melakukan perjalanan bersama aku? Kenapa begitu?”

Wajah nona itu menjadi merah sekali dan tiba-tiba sinar matanya berapi-api. Ia melompat maju dan tangannya sudah siap hendak menampar pipi pemuda itu, akan tetapi melihat pemuda itu memandangnya dengan wajah jujur dan mata yang mengeluarkan cahaya menakjubkan, ia menahan tangannya, diturunkannya kembali dan katanya terengah-engah,

“Kau …. kau bocah she Cia benar-­benar kurang ajar! Kau kira aku orang apa maka tergila-gila hendak berdekatan dengan engkau?”

“Hush, bukan begitu maksudku, nona. Aku ….. hemmm, sekarang aku malah tahu mengapa kau ingin aku selalu berada di dekatmu, hemmmm, benar sekarang ingatlah aku.”

Mata yang indah itu mengerling tajam, penuh ancaman. “Apa maksudmu? Kau tahu apa?”

“Tentu saja aku tahu. Kau tidak ingin berpisah dari aku karena …..karena surat wasiat itu. Ha ha! Semua orang menghendaki surat wasiat, dan semua orang hendak menangkap aku, tentu karena surat itu. Dan kau sendiri, ha ha ha, kau takut kalau-kalau surat itu terjatuh ke tangan orang lain!”

Tepat sekali kata-kata ini dan Li Hoa menundukkan mukanya.

“Memang sebagian benar, tapi hanya sebagian saja ……” katanya perlahan.

“Yang sebagian lagi, apakah?” Han Sin mendesak.

Muka Li Hoa makin merah. “Sudahlah. Mau tidak kau berjanji? Kalau kau mau, aku segera memberitahukan di mana adanya adikmu dan kita bersama pergi mencarinya.”

“Ya, ya, aku mau. Siapa tidak suka melakukan perjalanan bersama seorang nona yang …. yang …….”

“Yang apa? Jangan main-main kau!”

Tadinya Han Sin hendak menggoda dengan mengatakan “yang galak” akan tetapi takut benar-benar ditampar, ia lalu menyambung.

”Yang cantik dan gagah. Kau gagah, apa yang kutakuti kalau berjalan di sampingmu? Orang jahat tidak berani mengganggu aku dan Siauw-ong. Dan kau cantik jelita, aku memang paling suka melihat apa-apa yang indah, suka membaca syair-syair yang bagus, melihat tamasya alam yang indah permai. Melihat dan mencium kembang yang cantik dan wangi ………”

“Mata keranjang! Jangan main gila kau ….. kutampar nanti mulutmu …”

“Lho, aku bilang kembang yang cantik dan wangi, masa aku berani …. berani …. anu …. kau!”

”Cukup, mari kita berangkat,” Li Hoa yang tadinya juga duduk di atas akar pohon, sekarang berdiri.

”Eh, nanti dulu. Aku sudah mau berjanji, tapi kau belum katakan di mana adikku.”

”Tentu saja di Lu-liang-san. Ayoh, kita menyusul ke sana.”

”Di .... Lu-liang-san?”

”Bodoh, banyak mendongeng di sini sedangkan adikmu terancam bahaya. Lekas berangkat, nanti di jalan kuceritakan.”

Mendengar ucapan ini, Han Sin segera berdiri dan memegang tangan Siauw-ong.

“Siauw-ong, ayoh, kita susul nonamu.”

Sambil berjalan, Li Hoa berkata, “Bhok-kongcu orangnya licik sekali. Setelah menawan adikmu, tentu dia bisa memaksa adikmu itu mengaku arah tujuan perjalananmu dan tahu bahwa kalian hendak ke Lu-liang-san. Karena usaha selirnya yang goblok, Yo Leng Nio itu .....”

“Bukan selir, dia bilang pelayannya,” Han Sin memotong.

“Apa bedanya? Selirnya yang goblok itu berhasil mengambilmu di Cin-ling-san, maka Bhok­kongcu tentu pikir lebih baik menanti di Lu-liang-san sedangkan ia menyuruh Leng Nio pergi mencarimu. Tentu saja tanpa petunjukmu dia takkan berhasil menemukan tempat rahasia, dan selama dia belum mendapatkan tempat itu, keselamatan adikmu terjamin.”

Han Sin mengangguk-angguk. “Betul .... betul sekali. Semua orang menghendaki harta warisan orang lain, semua orang ingin kaya. Benar-benar tolol seperti kerbau. Memperebutkan harta benda mempertaruhkan nyawa. Aahhh ......”

Setelah berkata demikian, untuk menghibur hati dan untuk mencela orang-orang yang hanya memikirkan duit belaka, pemuda ini lalu bernyanyi, mengambil sajak dalam Tok-tik-khing:

“Warna-warna indah dapat membutakan mata (hati) Suara-suara merdu dapat menulikan telinga (hati) Rasa-rasa nikmat dapat merusak perasaan (hati) Memburu (nafsu) dapat membuat orang menjadi buas. Barang yang sukar diperoleh (harta benda) dapat membuat orang menjadi curang Karena itu, seorang kuncu (budiman) mengutamakan kebutuhan Sang Perut, tak pernah memperdulikan penglihatan Sang Mata. Dan dia memilih yang benar membuang yang sesat.”

Thio Li Hoa adalah seorang puteri pembesar, seorang bangsawan bangsa Han yang semenjak dulu mengutamakan pelajaran sastra dan silat. Biarpun ayah Thio Li Hoa, yaitu Thio-ciangkun, telah terpikat dan terbujuk oleh penjajah Mancu sehingga sudi menghamba kepada pemerintah penjajah ini, namun dia tidak melupakan pendidikan untuk dua orang puterinya. Karena ini, Li Hoa juga termasuk seorang gadis yang pandai dalam hal sastra. Tentu saja ia pernah membaca sajak yang dinyanyikan oleh Han Sin tadi. Diam-diam ia merasa dirinya tersindir dan tidak bijaksana maka ia mendongkol sekali. Betapapun juga ia harus memuji pandainya pemuda ini bernyanyi, dengan suara yang nyaring dan empuk serta dapat menjadikan sajak keramat dari agama To itu menjadi nyanyian yang enak didengar.

”Orang she Cia, kau tahu apa? Menyindir-nyindir orang dengan Tok-tik-khing ayat kedua belas. Kau kira aku tergila-gila oleh harta peninggalan dalam surat wasiat Lie Cu Seng? Huh, bodoh. Orang tuaku sendiri kaya raya, apakah orang yang sudah berenang di air masih kehausan dan minta hujan?”

Han Sin mendongkol. ”Kau ini benar tidak memandang mata padaku, nona. Selalu menyebutku orang she Cia, bocah she Cia, benar-benar tidak enak didengarnya. Melakukan perjalanan bersama apa sih enaknya?”

Mau tidak mau Li Hoa tersenyum juga mendengar omelan ini, akan tetapi ia tetap ketus ketika berkata,

”Habis, apakah aku harus menyebut kau tuan muda? Ataukah kakanda? Atau tuan besar?”

Sambil tunduk melihat jalan yang dilalui kakinya dan meraba-raba dagunya dengan tangan kiri, Han Sin berkata,

”Hemmm, sebutan tuan muda atau tuan besar, terlalu menghormat. Sebutan kakanda .... terlalu mesra.” Ia berpikir sebentar, lalu berkata, ”Nona Thio, setelah kita melakukan perjalanan bersama, sudah sepatutnya kalau kita ini mengaku sebagai saudara. Kalau bukan saudara, bagaimana bisa melakukan perjalanan bersama? Kalau orang lain mendengar bahwa kau menyebutku kakak dan aku menyebutmu adik, tentu tidak akan ada yang mencelanya.”

”Perduli apa dengan orang lain? Aku tidak suka menjadi adikmu. Bukankah kau sudah mempunyai adik, yaitu Bi Eng?”

Wajah Han Sin berseri. ”Kalau begitu, biarlah kau jadi enci (kakak) dan aku menjadi adik.”

”Cih, tak tahu malu. Kau kira kau ini masih kanak-kanak? Kau lebih tua dari aku, mana bisa jadi adikku?”

Han Sin merasa bohwat (habis daya). Dia seorang pemuda terpelajar dan menurut kitab-kitabnya, amat tidak sopan seorang pemuda dan seorang gadis yang tidak ada hubungan apa-apa melakukan perjalanan bersama.

”Habis bagaimana?” akhirnya ia bertanya.

“Kau tidak mau disebut orang atau bocah she Cia, biarlah sekarang kusebut namamu saja kalau memanggil, dan kau pun boleh menyebut namaku. Dengan demikian orang akan menganggap kita sahabat-sahabat baik.”

“Sahabat-sahabat baik? Kok begitu? Masa sahabat baik seorang laki-laki dan seorang wanita .....”

“Rewel kau! Apa kau tidak mau dianggap sebagai sahabat baikku?”

“Ehm, tentu saja ....... tentu saja.”

”Nah sudah, jangan banyak rewel. Kalau kau mau, aku menyebut kau Han Sin begitu saja dan kau menyebut aku Li Hoa. Kalau tidak mau, aku boleh menyebutmu bocah she Cia, monyet she Cia atau apa yang kusuka, kau mau apa?”

Han Sin tidak dapat membantah lagi dan terpaksa menerima keputusan ini. Ia mendongkol melihat sikap yang galak, ketus dan mau menang sendiri dari gadis ini. Sebetulnya ia suka kepada Li Hoa dan kalau gadis ini mau bersikap lunak dan manis sedikit saja tentu ia akan merasa senang melakukan perjalanan ini. Maka ia tidak mau perdulikan lagi kepada gadis itu dan di sepanjang jalan ia bernyanyi-nyanyi sajak atau bercakap-cakap dengan Siauw-ong.

Karena didiamkan saja, kadang-kadang disindir dalam nyanyian, Li Hoa mendongkol juga.

”Kulihat Siauw-ong monyetmu itu lebih pintar dari pada tuannya. Benar-benar aneh, benar-benar mengherankan.”

Tentu saja Han Sin mendengar ini, namun dia diam saja, pura-pura tidak mendengar.

”Seekor monyet sudah dapat menghadapi serangan-serangan perempuan hina dari Bhok Kian Teng, benar tidak mengecewakan menjadi binatang peliharaan keluarga Cia di Min-san yang terkenal sebagai keturunan gagah perkasa. Akan tetapi tuan mudanya ..... hemmm, seorang kutu buku yang bisa bernyanyi membaca sajak, lemah dan tidak becus apa-apa!”

Kembali Han Sin diam-diam, malah membaca sajak untuk menjawab cela-celaan ini. Kembali ayat-­ayat Tok-tik-khing:

”Langit dan bumi itu abadi Karena hidup bukan untuk diri sendiri Seorang kuncu menaruh diri paling belakang karenanya menjadi paling depan Karena ia menyampingkan diri sendiri maka ia selamat terpelihara Karena tidak mementingkan diri pribadi maka ia dapat menyempurnakan pribadinya.”

Tiba-tiba Li Hoa tertawa. Ia anggap pemuda ini lucu, juga menjengkelkan. ”Hi hi, kau anggap dirimu sendiri sebagai kuncu (budiman)?”

Terpaksa Han Sin menjawab, ”Tidak ada yang mengaku diri sebagai kuncu, hanya setuju akan sikap seorang kuncu dan karenanya berusaha meniru jejak langkahnya.”

”Ha, kau memang seorang kuncu. Ah, hebatnya! Biar sekarang kau memakai nama julukan Bu-lim Kun-cu ( Sang Budiman dari Rimba Persilatan). Bagus, bagus!”

Han Sin diam saja, keduanya melanjutkan perjalanan dengan membisu. Keadaan yang sunyi ini tidak menyenangkan hati Han Sin, akan tetapi pemuda ini sudah mahir menguasai perasaannya maka pada wajahnya yang tampan tidak nampak tanda sesuatu. Sebaliknya, Li Hoa tidak kuat menahan. Memang melakukan perjalanan berkawan akan tetapi berdiam-diam saja amat melelahkan dan menjemukan. Akhirnya setelah beberapa lama diam saja, gadis ini mulai bicara pula.

”Tadinya melihat kau duduk sekuda dengan Leng Nio, kemudian menginap di rumah Bhok-kongcu, ku anggap kau ......”

”Ya?” Han Sin mendesak karena ucapan yang tidak diselesaikan itu menggatalkan hatinya.

”Kuanggap kau mata keranjang, kusangka seorang pemuda hidung belang yang menjemukan. Hatiku panas bukan main.”

”Lho kenapa panas? Apa sangkut-pautnya dengan kau mengenai perbuatanku?” Han Sin memotong cepat.

Merah wajah Li Hoa. ”Karena ..... aku benci melihat laki-laki mata keranjang.”

”Hemmmm ........”

”Apa kau tidak anggap Leng Nio itu cantik, genit dan menarik?”

”Memang dia cantik. Tapi apa hubungannya dengan aku? Cantiknya sendiri, tidak sangkut-pautnya dengan aku.”

”Biasanya laki-laki tergila-gila oleh kecantikan wanita ......”

”Hemmm ....”

”Tapi aku salah duga. Kau bukan laki-laki model Bhok-kongcu.”

”Terima kasih .......”

”Ya, kau bukan pemuda sembarangan. Kau ..... kau Bu-lim Kun-cu!” Li Hoa tertawa mengejek.

Kini mau tidak mau Han Sin merengut, namun tetap tidak berkata apa-apa. Makin geli hati Li Hoa. Entah mengapa dia sendiri tidak mengerti, setelah dekat dengan pemuda ini, timbul kejenakaannya dan ia ingin selalu menggoda pemuda yang tak pernah marah ini.

Jalan mulai ramai orang karena mereka mendekati sebuah kota. Ketika itu dari arah depan mendatangi tiga orang berpakaian pengemis, ketiganya membawa sebuah mangkok butut dan memegang sebatang tongkat. Melihat tiga orang pengemis itu, tiba-tiba Li Hoa berjalan dekat sekali dengan Han Sin dan pemuda itu merasa betapa tangannya dipegang oleh sebuah tangan yang hangat dan halus. Ketika ia melirik, bukan main herannya melihat bahwa yang memegang tangannya itu adalah Li Hoa. Hatinya berdebar, ingin ia menarik tangannya akan tetapi takut menyinggung perasaan gadis itu, maka dibiarkan saja. Lebih heran lagi dia ketika mereka bersimpangan dengan tiga orang pengemis itu, Li Hoa berkata dengan suara keras, manis dan manja.

”Koko, nanti di kota kau harus belikan sepasang sepatu baru untukku!”

Tentu saja Han Sin heran bukan main. Tak mungkin gadis itu bicara kepada orang lain, tentu kepadanya. Akan tetapi mengapa bicaranya begitu? Ia hendak bertanya, akan tetapi tiba-tiba tangan yang memegangi tangannya itu menggencet keras-keras. Baiknya ia kuat sekali sehingga tidak berteriak kesakitan. Kau main gila atau membadut, pikirnya. Baiklah, aku layani.

”Tentu saja, adikku yang manis. Sedikitnya dua pasang kubelikan nanti!” jawabnya dan ia menggandeng nona itu makin dekat!

Tiga orang pengemis itu sudah jauh tak kelihatan lagi dan tiba-tiba Li Hoa merenggut tangannya terlepas. Mukanya merah sekali dan mulutnya merengut.

”Gila, kenapa kau gandeng-gandeng aku dan siapa minta dibelikan sepatu?” omelnya dengan suara marah.

Han Sin mendongkol. Ia mendorong Siauw-ong turun dari pundaknya dan membentak.

”Jalan sendiri kau! Aku lelah!” Jarang pemuda itu marah dan sekarang dia benar-benar kesal hatinya, merasa dipermainkan oleh Li Hoa.

Siauw-ong sampai kaget. Tadinya monyet ini melengut ngantuk di pundak tuannya.

Lanjut ke jilid 026 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment