Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 026

◄◄◄◄ Kembali

”Sebetulnya yang gila kau ataukah aku? Yang mulai menggandeng tangan dan bicara tentang sepatu itu kau atau aku?” bantahnya dengan suara marah pula.

Eh, gadis itu tersenyum! Makin mendongkol hati Han Sin.

”Li Hoa, kalau kau selalu mempermainkan aku, lebih baik kita berjalan saling berjauhan atau mengambil jalan masing-masing.”

”Han Sin, kau tidak bisa membedakan orang bersandiwara atau bersungguh-sungguh. Kau tidak melihat tiga orang pengemis tadi? Aku tadi sengaja berbuat begitu supaya mereka tidak mengenal kau dan aku.”

Baru sekarang Han Sin mengerti. ”Hemm, begitukah? Siapa sih mereka itu? Kenapa kau kelihatan takut-takut? Kau begini lihai ......”

”Sssttt, sudahlah. Belum waktunya kau ketahui hal itu. Mari kita lekas memasuki kota dan mencari warung nasi. Perutku lapar sekali.”

Kota yang mereka masuki itu berada di tepi sungai Fen-ho, sungai yang menjadi anak sungai Huang-ho. Kota itu sudah termasuk kaki pegunungan Lu-liang-san.

Li Hoa segera memilih sebuah rumah makan yang teratur dan bersih tempatnya. Agaknya pelayan-­pelayan rumah makan sudah mengenal nona ini, buktinya sikap mereka amat hormat dan ramah tamah. Diam-diam Han Sin mengagumi nona ini yang menghadapi pelayanan penuh hormat itu bersikap tenang dan agung sebagai mana layaknya seorang puteri bangsawan. Dengan suara halus tapi berpengaruh nona ini memesan masakan-masakan yang aneh-aneh bagi pendengaran Han Sin.

Cepat pula pelayanan mereka. Sebentar saja hampir sepuluh macam masakan yang masih panas dan berbau harum lezat tersedia di depan dua orang muda itu, membuat Han Sin timbul seleranya dan perutnya yang sudah lapar menjadi makin lapar. Segera keduanya makan tanpa banyak cakap lagi.

”Hemm, kalau Eng-moi berada di sini dan makan bersamaku, alangkah akan senangnya.” Begitu memikirkan adiknya, tiba-tiba leher Han Sin terasa seret dan nafsu makannya berkurang banyak. Li Hoa yang bermata tajam tentu saja dapat melihat ini.

”Eh, ayoh makan. Sudah dipesan, untuk apa kalau tidak dimakan? Ayoh sikat saja, mana kegembiraanmu?”

Han Sin menggunakan sumpitnya mengambil sepotong daging ikan yang gemuk, makan daging itu dan menarik napas panjang.

”Enak sekali makanan ini, sayang adikku tidak turut menikmatinya.”

”Hemm, kembali kau teringat kepada adikmu? Agaknya bukan main besarnya cinta kasihmu terhadap adikmu Bi Eng itu.”

”Dialah satu-satunya orang yang paling kucinta di dunia ini,” kata Han Sin sambil menyodorkan sepotong bakso kepada Siauw-ong yang ikut pula makan sambil duduk di atas bangku di sebelah kiri pemuda itu.

”Senang betul menjadi dia .......” kata Li Hoa perlahan.

”Eh, kenapa ........”

”Ada yang menyayangnya .........”

”Li Hoa, apakah ...... apakah tidak ada orang yang menyayangmu?”

Ketika gadis itu menggeleng kepala, Han Sin membantah. ”Aku tidak percaya. Masa seorang seperti engkau ini tidak ada yang menyayang? Tak mungkin .... tak mungkin .......”

Li Hoa memandang tajam. ”Kenapa tidak mungkin? Aku seorang yang kasar, galak dan tidak mau mengalah. Orang-orang benci kepadaku, bahkan ayah selalu cekcok dengan aku dan ibu .......”

Tiba-­tiba gadis itu menghentikan kata-katanya, agaknya teringat bahwa tidak semestinya ia bicara tentang keluarganya kepada pemuda yang baru saja dikenalnya ini.

Pada saat itu terdengar suara nyaring dari pintu luar. ”Kami manusia-manusia kurang makan pakai mohon dikasihani .....”

Wajah Li Hoa berubah, tapi ia tidak menengok, melanjutkan makan. Han Sin menengok dan melihat tiga orang pengemis yang bertemu di jalan tadi ternyata telah berdiri di depan pintu! Mata tiga orang pengemis itu semua ditujukan ke arah dia dan Li Hoa.

Seorang pelayan cepat datang menghampiri dan membentak, ”Ada tamu sedang makan, jangan ganggu. Kalian tunggu di luar saja kalau hendak minta sedekah!”

Akan tetapi tiga orang pengemis itu tidak memperdulikannya, malah kini ketiganya melangkah maju tiga tindak mendekati meja Han Sin.

”Tuan dan nona muda harap menaruh kasihan kepada kami bertiga, mohon derma untuk menyembayangi roh lima orang kawan kami yang mati kelaparan di Cin-an .....” kata pula seorang di antara mereka, seorang kakek yang berjenggot seperti kambing bandot.

Kembali wajah Li Hoa menegang, akan tetapi nona ini masih diam saja dan Han Sin melihat dengan jelas betapa nona itu kelihatan gelisah dan takut-takut. Timbul rasa jengkelnya terhadap para pengemis. Memang sudah selayaknya mereka minta bantuan dari orang-orang mampu, akan tetapi cara mereka benar-benar melanggar aturan. Mana ada orang minta bantuan begini mendesak dan tidak menanti sampai orang habis makan?

Lebih-lebih jengkelnya ketika pengemis kedua, yang hidungnya pesek, tiba-tiba meludah ke lantai dengan suara keras. Ia juga kaget sekali melihat betapa air ludah itu ketika mengenai lantai, membuat lantai itu berlubang! Ah, kiranya mereka ini orang-orang berilmu yang menyamar sebagai pengemis-pengemis, pikirnya. Ia teringat akan suhunya, Ciu-ong Mo-kai yang juga selalu berpakaian pengemis dan juga memiliki kepandaian menyemburkan arak sebagai senjata ampuh.

”Nona, kami tiga orang kakek jembel sudah sabar menanti,” kata pula si jenggot kambing.

Li Hoa minum araknya, lalu ia memutar tubuhnya di atas bangku.

”Aku ada urusan penting, tidak ada waktu melayani kalian. Kalau ada urusan, datang saja di rumah. Urusan di Cin-an ada ayah yang membereskan, kalian kesanalah.”

Heran sekali, suara nona ini terdengar sabar dan mengalah, Han Sin senang dan menganggap alasan ini tepat biarpun ia tidak tahu akan urusannya. Akan tetapi kakek jembel yang meludah tadi berkata, suaranya parau seperti suara burung gagak.

”Sudah berjumpa dengan nona di sini, itu berarti rejeki kami. Kalau kami lewatkan, bukankah itu berarti kami tidak menerima datangnya rejeki? Nona yang baik, marilah kau bawa kami ke rumahmu agar ayahmu mau berbaik hati memberi sumbangan.”

Han Sin makin mendongkol. Biarpun dia belum luas pengetahuannya tentang keadaan di dunia kang-ouw, ia merasa tiga orang kakek ini sengaja hendak memaksa, mungkin hendak menawan Li Hoa. Ia lalu bangkit berdiri dan berkata.

“Kalian bertiga ini apa-apaan? Minta sedekah kok memaksa? Nonamu tidak ada waktu, perlu mencari sepatu. Pergilah kalian dari sini dan jangan ganggu kami.” Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sepotong uang perak, ”Nih, sedekahku!”

Kakek berjenggot kambing menerima uang itu lalu ..... melemparkan uang perak itu keluar! Han Sin terkejut dan mulai marah. Benar-benar cara pengemis yang aneh dan terlalu sekali, pikirnya.

”Aha, kalian tidak mau uang? Agaknya sudah lapar sekali? Nah, terimalah sisa masakan-masakan ini.” Ia memberikan beberapa mangkok makanan dari atas meja.

Tiga orang pengemis menerima masing-masing semangkok lalu ...... melempar lagi isi mangkok keluar. Tanpa menoleh mereka melempar isi mangkok yang terbang keluar pintu sampai mangkok-mangkoknya menjadi kosong, lalu berbareng mereka melemparkan mangkok kosong ke atas meja. Aneh mangkok-mangkok itu berputaran di udara dan turun ke atas meja tanpa mengeluarkan suara!

”Terima kasih atas kemurahan hati tuan muda.” Biarpun perbuatan mereka itu menunjukkan kepandaian yang lihai, namun Han Sin menjadi semakin gemas.

”Hemm, kalian tidak suka daging, mungkin yang kalian cari adalah tulang-tulang dan sisa kuah. Terimalah!” Secara sembarangan ia menyapu tulang-tulang di atas meja dengan tangan, kemudian dengan kaku dan seperti orang marah-marah ia menuang kuah-kuah panas dari mangkok ke arah tiga orang pengemis itu.

Li Hoa kaget sekali menyaksikan kesembronoan Han Sin.

”Jangan .....!” cegahnya.

Akan tetapi kuah-kuah panas telah disiramkan dan tiga orang kakek itu tentu saja hendak mengelak. Celaka bagi mereka, secara aneh sekali tulang-tulang dan duri-duri ikan menyambar dan dengan tepat mengenai jalan darah di kedua pundak mereka, membuat mereka tak mampu bergerak dan mandah saja kepala mereka disiram kuah panas sampai kuah itu membasahi muka! Hal ini benar-benar mengejutkan hati Li Hoa yang tidak menyangka sama sekali bahwa tadi diam-diam Han Sin mengerahkan tenaga dan menggunakan tulang dan duri ikan untuk menyerang dengan gerak tipu dari ilmu sakti Lo-hai­hui-kiam!

Tiga orang kakek itupun terkejut bukan main. Mereka tadi mencoba untuk mengerahkan lweekang, namun serangan tulang-tulang kecil itu terlampau kuat sehingga sebelum mereka sempat mencegah, jalan darah mereka sudah tertotok, membuat mereka tak mampu bergerak dan terpaksa menerima siraman kuah-kuah panas!

Han Sin pura-pura kaget dan menyesal, ”Ah, tadi kalian memperlihatkan kepandaian, kenapa sekarang benar-benar menerima siraman kuah? Celaka, aku membuat pakaian kalian kotor saja. Harap kalian maafkan dan suka pergi jangan mengganggu kami.”

Sambil berkata demikian, dengan muka sungguh-sungguh ia menghampiri mereka dan menepuk-nepuk pakaian mereka di punggung dan pundak yang basah oleh kuah. Kelihatannya saja ia membersihkan pakaian para pengemis, sebetulnya ia mengerahkan tenaga dan membebaskan totokannya.

Tiga orang kakek itu memandang tajam kepada Li Hoa, lalu mendelik ke arah Han Sin dan tanpa berkata apa-apa lagi mereka mengeloyor pergi, keluar dari rumah makan itu.

Li Hoa bengong. ”Aneh sekali .....” katanya dengan muka pucat. ”Han Sin, kau tidak tahu betapa berbahayanya mereka itu. Entah mengapa mereka tiba-tiba mengundurkan diri. Benar-benar Thian masih melindungi kita.”

”Li Hoa, mereka itu siapakah dan mengapa agaknya memusuhimu?”

Akan tetapi, Li Hoa cepat membayar uang makanan dan mengajaknya keluar dari rumah makan itu.

”Nanti kuceritakan,” katanya pendek.

Han Sin menggandeng tangan Siauw-ong dan ia mengikuti nona itu keluar dari rumah makan, diam-diam bersyukur bahwa mudah saja dia tadi mengusir pengemis-pengemis yang hendak membikin kacau. Bersyukur bahwa tidak terjadi peristiwa pertempuran hebat.

”Berbahaya sekali .....” kata Li Hoa setelah mereka melanjutkan perjalanan menuju ke sungai Fen-ho. ”Mereka itu adalah para pengemis tingkat empat dari Sin-yang Kai-pang (Perkumpulan Pengemis dari Sin-yang). Mereka selalu menimbulkan kerusuhan dan baru-baru ini ayahku telah menghukum mati lima orang pengemis-pengemis dari perkumpulan itu di Cin-an. Entah bagaimana agaknya mereka hendak membalas dendam kepadaku, takut kalau menghadapi ayah.” Agaknya nona ini bicara terbatas dan singkat sekali.

”Curang,” kata Han Sin. ”Ayahmu yang menghukum mereka, kenapa kau yang diganggu.”

Nona itu menarik napas panjang, ”Han Sin, kau berkelana seorang diri atau berdua dengan adikmu, kau tidak mengerti ilmu silat dan kau sama sekali tidak tahu menahu tentang keadaan kang-ouw. Benar-benar berbahaya sekali.”

Mereka menyeberangi sungai dengan perahu sewaan dan setiba mereka di seberang, Li Hoa mengajak kawannya buru-buru melanjutkan perjalanan.

”Lu-liang-san sudah kelihatan dari sini, kita harus melakukan perjalanan cepat-cepat. Siapa tahu adikmu sudah menanti di sana bersama Bhok Kian Teng.”

Mendengar ini Han Sin kelihatan girang sekali akan tetapi sebaliknya Li Hoa selalu mengerutkan keningnya. Nona ini maklum betul bahwa biarpun perjalanan sudah dekat, bahayanya makin besar dan ia diam-diam khawatir sekali. Dia sendiri memiliki kepandaian dan kiranya tak usah takut tertimpa malapetaka. Kepandaiannya cukup dan biarpun tadi diganggu tiga orang pengemis, andaikata terjadi pertempuran kiranya ia masih akan menang.

Akan tetapi bagaimana kalau orang-orang kang-ouw mengenal Cia Han Sin dan menangkapnya untuk mendapatkan surat wasiat? Inilah yang menggelisahkan hatinya. Dia tadi memang sengaja berlaku lemah dan mengalah terhadap orang-orang Sin-yang Kai-pang, bukan karena takut, melainkan semata-mata karena khawatir kalau-kalau Han Sin dikenal orang!

Kekuatiran hati Li Hoa ternyata terbukti. Baru beberapa li mereka meninggalkan pantai sungai Fen-ho, tiba-tiba mereka mendengar seruan dari belakang.

”Orang-orang muda di depan, berhentilah!” Seruan itu terdengar perlahan seperti diteriakan orang dari jauh, akan tetapi terdengar jelas sekali. Li Hoa mengerti bahwa orang yang berseru mempergunakan ilmu mengirim suara dari jarak jauh.

Ketika ia menoleh, betul saja ia melihat empat orang kakek yang datang dengan cepat sekali mengejar mereka. Tak perlu lagi melarikan diri, pikirnya. Ia bersikap tenang padahal hatinya gelisah, memikirkan bagaimana ia harus melindungi Han Sin. Menyuruh pemuda itu pergi bersembunyi, tak mungkin lagi karena mereka tiba di tempat terbuka, di kaki gunung yang gundul dan hanya terdapat sawah-sawah kering di kanan kiri jalan.

“Tiga orang pengemis menjemukan itu, mengejar dan yang di depan itu bukan orang sembarangan,” katanya kepada Han Sin.

Pemuda ini mendongkol. ”Mereka benar-benar tak kenal aturan,” katanya.

Mendengar nada suara Han Sin, Siauw-ong melompat turun dan mengeluarkan suara menantang sambil memandang ke arah empat orang yang datang seperti terbang cepatnya.

Betul dugaan Li Hoa. Yang datang adalah tiga orang pengemis yang mereka jumpai di rumah makan tadi, bersama seorang kakek pengemis yang yang memegang tongkat pendek sekali, hanya satu kaki pendeknya dan di tangan kirinya memegang sebuah mangkok dari emas! Benar-benar amat aneh, seorang pengemis berpakaian butut memegang mangkok emas yang mahal.

Hati Li Hoa terkejut melihat tongkat yang pendek itu dan mangkok emas. Celaka, pikirnya. Kiranya yang datang adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang sendiri! Heran dia mengapa ketua yang biasanya berada di Sin-yang ini tahu-tahu muncul di sini. Ia tanpa banyak cakap lagi ia mencabut pedangnya dan menanti dengan waspada.

Tiga orang pengemis itu ketika berhadapan dengan Li Hoa dan Han Sin memandang dengan mata mendelik, terutama kepada Han Sin. Sebaliknya pengemis tua yang memegang tongkat pendek dan bertubuh tinggi kurus itu menjura sambil tertawa.

”Hebat, murid-muridku yang bodoh telah mendapat pengajaran ji-wi yang muda. Benar-benar mengagumkan sekali bagaimana jaman sekarang yang muda-muda mengalahkan yang tua. Sayang seribu sayang, bakat-bakat yang baik tersesat dan menerima menjadi kaki tangan penjajah!” Kakek itu menarik napas panjang dan kelihatan benar-benar menyesal. Diam-diam Han Sin merasa suka kepada kakek ini dan dari ucapannya dapat diduga memiliki jiwa patriotik.

Dengan pedang melintang di depan dada dan sikapnya gagah, Li Hoa berkata kepada kakek ini.

”Kalau aku tidak salah, lo-enghiong adalah ketua dari Sin-yang Kai-pang. Aku yang muda tidak ada urusan dengan lo-enghiong maupun dengan Sin-yang Kai-pang. Kalau lo-enghiong mau bicara tentang negara, bukan urusanku, kalau mau bicara tentang lima orang anggautamu di Cin-an bicaralah dengan ayahku. Kenapa orang-orangmu mendesak aku yang muda?”

Kakek pengemis itu tertawa bergelak. ”Ha ha ha, Thio-siocia benar-benar pandai bicara dan bermata awas. Memang benar aku Kui Kong yang memimpin Sin-yang Kai-pang! Ayahmu seorang perwira yang pandai, sayang menghambakan diri kepada pemerintah penjajah. Kau sebagai puterinya, setelah bertemu dengan para pembantuku seharusnya dengan baik-baik ikut untuk mengemukakan pembelaan dirimu di depanku, akan tetapi kau malah menghina mereka. Hemm, sebagai murid Coa-tung Sin-kai kau tentu memiliki ilmu silat yang baik. Dan pemuda ini siapakah? Aku belum mendengar Thio-ciangkun mempunyai seorang mantu.”

Merah wajah Li Hoa, apalagi kalau ia teringat akan ucapannya sendiri kepada Han Sin untuk membelikan sepatu dan ucapan ini didengar oleh tiga orang pengemis itu. Ia menjadi marah dan menjadi ketus,

”Dia ini sahabatku dan lebih-lebih tidak ada urusan dengan kaum Sin-yang Kai­pang. Harap lo-enghiong jangan mengganggu kami dan biarkan kami pergi.”

”Ha ha, nona merendahkan diri. Setelah berani menghina kawan-kawanku, tentu berani menghadapi lohu. Gerakan pedangmu, hendak kulihat sampai di mana lihainya ilmu silat murid Coa-tung Sin­kai!” Kakek itu lalu menggerakkan tongkatnya yang pendek dan terdengar suara angin menderu, tanda bahwa tenaganya amat besar.

“KECUALI kalau nona mau mengaku salah dan minta maaf, tentu lohu tidak ada hati mengganggu orang muda.”

Li Hoa adalah seorang gadis yang keras hati dan berani. Biarpun ia maklum akan lihainya orang ini, mana dia mau minta maaf? Iapun memasang kuda-kuda dan menjawab,

”Orang she Kui jangan kira aku Thio Li Hoa takut akan gertakanmu!”

”Bagus! Kausambutlah seranganku!” Kakek ini tanpa sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan tongkat di tangan kanan dan mangkok di tangan kiri, melakukan serangan yang amat hebat, didahului sambaran angin yang keras.

Li Hoa kaget sekali. Benar-benar ia menghadapi serangan yang luar biasa sehingga ia hanya melihat bayangan mangkok yang berkilauan saling susul dengan bayangan tongkat pendek yang amat cepat gerakannya. Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis mangkok sehingga menimbulkan suara nyaring, akan tetapi tongkat telah menyusul ke arah mukanya sehingga tidak ada lain jalan bagi Li Hoa kecuali melempar tubuh ke belakang sampai ia terhuyung-huyung dengan muka pucat. Selama hidupnya belum pernah ia menyaksikan jurus yang demikian hebatnya.

Terdengar seruan kaget dan Han Sin sudah melompat maju. Pemuda ini kaget sekali karena mengenal jurus tadi. Itulah jurus Pak-hong-hui-lam (Angin Utara Terbang ke Selatan) sebuah jurus pertama dari ilmu silat Liap-hong Sin-hoat dari gurunya, Ciu-ong Mo-kai!

”Seorang tua menggunakan Pak-hong-hui-lam menyerang yang muda, benar-benar keterlaluan!” serunya marah.

Kalau pengemis ini sudah bisa mainkan jurus pertama dari Liap-hong Sin-hoat, tidak boleh tidak tentu ada hubungannya dengan Ciu-ong Mo-kai, tapi kenapa begini tidak tahu malu menyerang seorang nona yang sudah mengalah?

Di lain pihak, ketua Sin-yang Kai-pang itu terkejut setengah mati mendengar seruan Han Sin. Jurus ini baru sekarang ia keluarkan karena menganggap bahwa nona Thio tidak boleh dipandang ringan. Padahal jurus itu adalah kepandaian simpanannya dan ilmu silat Liap-hong Sin-hoat, baru beberapa jurus saja ia pelajari karena memang Ciu-ong Mo-kai hanya mewariskan seluruhnya kepada Bi Eng dan Han Sin.

Akan tetapi Kui Kong masih ragu-ragu. Ia telah mendengar dari tiga orang kawannya bahwa pemuda ini memang seperti tolol akan tetapi sebetulnya lihai. Biarpun begitu, dari mana bisa mengenal jurusnya tadi? Ia mencoba lagi, kini mainkan jurus kedua, tidak menyerang Li Hoa, melainkan ia maju menyerang Han Sin, lebih hebat serangannya ini sampai dua senjatanya itu terputar dan mendatangkan hawa pukulan seperti angin lesus!

Sekali lihat saja Han Sin sudah tahu bahwa orang ini kembali menggunakan Liap-hong Sin-hoat jurus kedua. Tentu saja ia yang sudah hafal akan ilmu ini, tahu betul bagaimana harus menghindarkan diri. Dalam hal ilmu sakti Liap-hong Sin-hoat, kakek itu masih boleh berguru kepadanya. Tahu bahwa tangan kiri lawan tentu akan menyerang pundak kirinya dan tangan kanan lawan akan menghantam kaki kanan, ia melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh menyembunyikan pundak kiri. Gerakannya ini otomatis dan kelihatannya seenaknya bukan seperti orang bersilat, lebih menyerupai orang takut dan mundur-mundur. Akan tetapi serangan hebat itu benar-benar mengenai angin!

”Kui lo-enghiong, Hong-cui-pai-hio (Angin Meniup Daun) tadi kurang sempurna, kalau orang tua she Tang melihatnya, kau pasti disemprot!” kata Han Sin.

Tiba-tiba Kui Kong berdiri tegak, matanya memandang penuh arti. Mulutnya berkemak-kemik dan matanya berkedip-kedip seperti lagi ”main mata” dengan Han Sin. Pemuda ini membelalakkan matanya, mengangkat pundak karena heran dan tidak mengerti. Sebetulnya kakek itu yang kaget mendengar ucapan Han Sin tadi. Segera menganggap pemuda ini segolongan, apa lagi sudah menyebut-nyebut orang tua she Tang. Maka ia memberi tanda rahasia dengan bibir dan matanya. Akan tetapi tentu saja Han Sin tidak mengerti.

”Laote, kau ber she apakah?” kakek itu lalu bertanya, suaranya kini penuh hormat.

”Siauwte she Cia. Harap lo-enghiong sudi mengalah dan jangan terlalu mendesak nona Thio. Kalau dilihat orang lain apakah tidak memalukan kalau seorang tua berkedudukan tinggi seperti kau mendesak seorang gadis muda?”

”Lohu salah ..... terima salah ....” kata kakek itu merendah sambil membungkuk-bungkuk. Kemudian kembali ia memandang dengan mata berkedip-kedip dan melihat tidak ada ”reaksi” apa-­apa dari pemuda itu, ia lalu berkata.

”Bagaimana mungkin seekor domba berkawan seekor srigala?”

Tentu saja Han Sin makin heran dan makin tidak mengerti. Ia anggap orang telah bicara kacau-­balau tidak karuan. Akan tetapi agar jangan memperlihatkan bahwa ia tidak mengerti, ia menjawab saja seenaknya.

”Tentu saja mungkin karena ada kakek-kakek tua menghina orang-orang muda.”

Jawaban ini kembali membuat ketua Sin-yang Kai-pang itu melengak. Ia mencoba untuk menatap wajah pemuda aneh itu dengan tajam, akan tetapi segera ia menundukkan mukanya ketika matanya terbentur sinar mata yang luar biasa kuat dan tajam berpengaruh dari mata pemuda itu. Akhirnya ia berkata,

”Lohu bersalah ... terima salah ....” Lalu ia mengeloyor pergi mengajak tiga orang kawannya yang saling pandang dengan penuh keheranan. Sebentar saja empat orang itu sudah lenyap dari tempat itu.

Semenjak tadi Li Hoa memandang semua ini dengan heran dan penuh kekuatiran. Ia takut kalau-­kalau pemuda itu celaka di tangan ketua Sin-yang Kai-pang yang lihai itu, maka biarpun ia tahu bahwa tidak mudah melawan Kui Kong, namun gadis ini menggenggam pedangnya erat-erat di tangan kanan dan menyiapkan tiga batang piauw di tangan kiri untuk melindungi Han Sin.

”Eh, apa-apaan kau tadi? Kenapa mereka mengeloyor pergi?” tanya gadis ini sambil menghampiri Han Sin yang masih berdiri mematung.

Han Sin angkat pundaknya. ”Aku sendiripun tidak tahu. Kakek itupun seperti yang lain-lain hanya seorang badut yang tidak lucu,” jawabnya.

Sebetulnya Han Sin sudah dapat menduga bahwa karena melihat dia paham Liap-hong Sin-hoat, tentu pengemis tua itu menganggap dia seorang tokoh kai­pang pula di selatan atau setidaknya mempunyai hubungan baik dengan Ciu-ong Mo-kai, maka kakek itu mengalah dan pergi. Hanya ia masih tidak mengerti apa artinya ”domba berkawan srigala” tadi?”

Pada saat itu terdengar suara melengking tinggi, suara lengkingan ketawa yang aneh dan menggetarkan kalbu. Han Sin terkejut bukan main karena ia merasa jantungnya berguncang. Cepat ia menenangkan pikiran dan mengirim hawa panas dari pusarnya ke dada untuk melindungi isi dadanya. Ia melihat Li Hoa pucat dan menggigil, lalu gadis ini meramkan mata menahan napas, terang sekali sedang mengerahkan lweekang untuk menahan pengaruh pekik yang dahsyat itu.

Setelah pekik melengking itu lenyap dan tinggal gemanya yang panjang, gadis itu membuka matanya dan dengan muka pucat ia menyambar lengan Han Sin diajak lari. Siauw-ong sejak tadi sudah ketakutan dan meloncat ke pundak pemuda itu.

”Eh eh, ada apa lari-lari seperti dikejar setan?” tanya Han Sin.

”Memang dikejar setan!” jawab Li Hoa, heran sekali suara gadis ini gemetar ketakutan. ”Kalau dia bisa menyusul kita, celaka ....!” dan ia lari makin keras menyeret tangan Han Sin. Saking takutnya, gadis itu tidak menghiraukan lagi ke mana mereka lari dan karenanya ia memilih jalan yang paling enak, membelok ke kiri memasuki sebuah dusun kecil.

Han Sin tak sempat bertanya lagi, dan memang dia tidak tahu keadaan dunia kang-ouw maka ia menurut secara membuta saja. Kalau gadis ini begitu ketakutan, tentu ada bahaya yang luar biasa besarnya. Diam-diam ia mengeluh. Lebih enak berdiam di Min-san tidak memasuki dunia ramai, pikirnya. Ternyata dunia begini penuh manusia-manusia buas yang jahat sehingga dari tiap sudut dan pada setiap detik ada bahaya mengancam!

Tiba-tiba dari belakang terdengar suara yang amat nyaring, suara yang serak seperti suara burung gagak atau ular besar.

”Mana orang she Cia? Kalau ada lekas berhenti!”

”Aduh, siapa setan itu .....?” Han Sin bertanya sambil lari tersaruk-saruk karena tadi kakinya tersandung batu ketika Li Hoa menyeretnya makin kencang.

”Dia Hoa Hoa Cinjin dan .... aduh ....!” Gadis itu menjerit dan terhuyung, tapi masih terus lari sambil menyeret tangan Han Sin.

Pemuda ini melihat pundak gadis itu mengeluarkan darah, membasahi bajunya. Ternyata entah dari mana datangnya, sebuah jarum berwarna hijau telah menancap pada pundak gadis itu. Orang dapat menyerang dari jarak jauh sebelum kelihatan bayangannya, benar-benar menandakan betapa hebat dan tingginya kepandaian orang itu.

Lanjut ke jilid 027 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment