Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 027

◄◄◄◄ Kembali

”Lekas, kita cari tempat sembunyi .....” Suara gadis itu lemah dan mukanya pucat, sama sekali tidak perdulikan luka dipundaknya.

Li Hoa memasuki sebuah rumah gubuk seorang petani. Penghuni rumah itu, seorang laki-laki dan seorang wanita yang sedang menggendong seorang anak laki-laki berusia tiga tahunan, kaget setengah mati ketika pintu rumah mereka tiba-tiba terbuka dan masuk dua orang muda yang membawa seekor monyet. Secepat kilat Li Hoa merampas bocah cilik itu, menotok jalan darah di leher yaitu urat gagu sehingga bocah itu tidak bisa menangis, lalu berkata penuh ancaman sambil mencabut pedang.

”Kalau ada orang datang mencari kami, bilang tidak ada. Kalau kalian mengaku, anak kalian akan kubunuh lebih dulu!” Setelah berkata demikian, Li Hoa menyeret tangan Han Sin memasuki kamar tidur suami isteri itu.

Karuan saja sepasang suami isteri tani itu melongo dengan muka pucat sekali, akan tetapi melihat anak mereka sudah berada dalam gendongan nona yang cantik itu, terpaksa mereka mengangguk-angguk dengan tubuh gemetar.

Han Sin tidak setuju sekali melihat sepak terjang Li Hoa yang dianggapnya keterlaluan dan kejam. Masa minta tolong orang untuk bersembunyi menggunakan ancaman malah merampas anak orang? Akan tetapi ia telah diseret masuk dan ”bluss”! Gadis itu menariknya masuk ke kolong pembaringan dan mereka meringkuk di bawah pembaringan seperti tikus-tikus bersembunyi!

”Li Hoa, kenapa .....”

”Sssttt ....” Gadis itu menggunakan tangan menutupi mulutnya dan Han Sin terpaksa diam diri.

Siauw-ong sudah turun dan hendak keluar dari pembaringan, akan tetapi melihat sikap Li Hoa, Han Sin lalu menariknya kembali. Akhirnya monyet itu dengan mulut dimonyongkan karena tak senang terpaksa duduk meringkuk di tempat yang tidak enak itu. Bocah yang dirampas tidak dapat menangis dan kini didekap oleh Li Hoa yang memepetkan tubuhnya pada Han Sin.

Han Sin mendengarkan. Keadaan sunyi senyap, sunyi yang menegangkan dan meremas jantung. Seakan-akan terdengar jantung mereka berdebar-debar dan napas mereka terengah-engah.

Tiba-tiba terdengar suara keras di luar.

”Braakkk!” Terang sekali suara daun pintu dipukul pecah, disusul jerit ketakutan suami isteri petani. Lalu terdengar suara yang parau kasar menusuk telinga. ”Ayoh kalian bilang, apakah tadi melihat seorang pemuda membawa seekor monyet lalu di sini?”

Han Sin merasa betapa tubuhnya didekap tubuh lain yang hangat dan halus, tubuh itu gemetar seperti seekor kelinci tertangkap. Hidungnya mencium bau yang amat harum dan lehernya agak keri (geli) karena sesuatu yang halus tebal menyentuh-nyentuh lehernya. Keadaan di kolong itu gelap sehingga ia tidak dapat melihat nyata. Akan tetapi ia tahu bahwa Li Hoa dan yang menyentuh lehernya adalah rambut gadis itu. Dalam takut dan gelisahnya agaknya gadis itu lupa segala.

Berdebar jantung Han Sin. Dia merasai ketakutan dan kegelisahan seperti gadis itu, pikirannya masih terang maka keadaan begini tentu saja menimbulkan perasaan yang tidak karuan dalam hatinya. Memang pada dasarnya Han Sin adalah seorang pemuda romantis, mungkin darah ayahnya menurun kepadanya, maka ketika merasa betapa gadis itu mendekapnya, ia jadi ”melek meram” dan berusaha menahan guncangan-guncangan jantungnya yang menjadi gedebak-gedebuk tidak puguh (tidak karuan).

”Tidak ..... tidak ada pemuda yang loya cari itu .....” terdengar pak tani menjawab takut.

”Jangan bohong kau!”

”Loya, mohon ampun ........ kami benar-benar tidak tahu, tidak melihatnya .....” isterinya membantu.

”Awas kalau kugeledah dan ada ..... kalian akan kuhancurkan kepalamu!”

Mendengar begini, timbul jiwa kesatria di hati Han Sin. Tidak boleh setan itu membunuh orang karena dia. Ia lalu merayap keluar dari kolong dan berdiri dalam kamar, siap berlari keluar. Akan tetapi Li Hoa juga melompat dan tahu-tahu gadis ini sudah berdiri di depannya dengan pedang di tangan, sikapnya melindunginya! Gadis itu berdiri menghadapi pintu kamar yang tertutup dan Han Sin berdiri di belakangnya. Melihat sikap gadis ini, Han Sin terharu. Terang bahwa gadis ini hendak melindunginya.

“Loya, mana kami berani membohongimu? Kami bersumpah .....”

“Sudah tidak perlu cerewet. Kalau pemuda itu hilang di dusun ini, semua orang dusun ini akan ku basmi!” Keadaan menjadi sunyi kembali dan dapat diduga bahwa setan itu sudah pergi meninggalkan rumah gubuk dan mencari ke lain tempat.

Li Hoa mengeluarkan napas panjang, lalu tubuhnya lemas dan tahu-tahu ia sudah pingsan dan tentu terguling kalau Han Sin tidak cepat-cepat memeluknya. Pemuda itu melihat muka gadis itu pucat sekali, akan tetapi dalam pingsannya masih memondong bocah itu. Han Sin lalu mengangkat Li Hoa, dibaringkan di atas tempat tidur, lalu ia melepaskan bocah dari pelukan Li Hoa. Ketika melihat pundak gadis itu, ia menjadi gelisah sekali. Jarum itu masih menancap dan di sekitar luka terdapat bengkak yang hitam menghijau, tanda keracunan!

Han Sin teringat ketika ia terluka oleh paku yang dilepas oleh pengemis kawan gadis ini. Maka tanpa ragu-ragu ia lalu mencabut jarum dari pundak gadis itu dan keluarlah darah hitam semu hijau. Ia bingung sekali, tidak tahu bagaimana harus mengobati luka itu. Pada saat itu suami isteri petani memasuki kamar dengan muka pucat. Melihat anaknya menggeletak di tempat tidur di samping nona yang pingsan, ibu itu lalu menyambar anaknya.

”Nanti dulu, biar kupulihkan dia,” kata Han Sin sambil membebaskan totokan di leher bocah itu. Bocah itu lalu menangis, akan tetapi ibunya cepat mendekap mulutnya, lalu bersama suaminya mereka lari dari pintu belakang.

Han Sin tidak perdulikan mereka, sibuk mengurus Li Hoa yang masih pingsan.

”Siauw-ong, kau jaga di pintu kamar, kalau ada orang jahat, kau serang dia,” kata Han Sin.

Kemudian ia merobek pakaian gadis itu di bagian pundak yang terluka. Dalam keadaan seperti itu ia tidak memperhatikan betapa kulit pundak gadis itu putih halus dan di lain saat pasti akan membuat dia merasa malu dan jengah.

Karena ia dapat menduga bahwa luka itu beracun, ia lalu membungkuk dan menggunakan mulutnya menyedot keluar darah dari luka itu. Ia merasa mulutnya getir dan pedas, akan tetapi ia tidak perduli dan menyedot terus. Aneh sekali, begitu ia menyedot, darah dari luka itu menyembur keluar memenuhi mulutnya. Cepat ia meludahkan darah yang agak kehijauan, lalu menyedot lagi. Baru menyedot dua kali saja, ia merasai darah yang asin-asin manis dan ketika ia mengangkat mulutnya yang penuh darah, luka itu sudah menjadi merah dan darah yang keluar dari luka itu juga sudah merah.

Hatinya lega sekali ketika ia meludahkan darah untuk kedua kalinya. Biarpun ia tidak mengerti pengobatan, tapi melihat luka itu sudah merah darahnya, ia dapat menduga bahwa racun itu tentu sudah terhisap keluar. Namun ia masih penasaran dan membungkuk untuk menyedot sekali lagi.

Selagi ia menyedot, tubuh gadis itu bergerak, merintih perlahan dan tiba-tiba berontak dan ..... ”plak! plak! plak!” tiga kali pipi Han Sin digaplok keras sekali oleh Li Hoa.

”Kau .... kau mau apa? Kurang ajar .....!” Muka yang tadinya pucat itu kini menjadi merah sekali, mata yang indah itu berapi-api.

Han Sin melongo dan memandang bodoh. ”Aku hanya menghisap keluar racun di lukamu. Kalau kau menganggap itu kurang ajar, terserah. Niatku hanya menolong, lain tidak .....”

”Kau .... kau telah merobek pakaianku ..... kau telah me .... melihat pundakku .... malah menciumnya ... kau .... kau ... aku bisa membunuhmu!” Gadis itu meloncat turun dan menyambar pedangnya.

Han Sin tersenyum pahit. ”Lukamu memang di pundak, kalau tidak merobek baju di pundak, bagaimana bisa memeriksanya? Menghisap darah memang dengan mulut, kalau tidak .... menempelkan bibir pada pundak, bagaimana bisa menghisapnya?”

”Kau ..... kau .....” Li Hoa lalu menangis.

”Aneh bin ajaib .....” Han Sin mengomel panjang pendek. Pada saat itu terdengar jerit-jerit mengerikan di luar rumah.

Mendengar ini, Han Sin teringat akan ”setan” yang oleh Li Hoa disebut bernama Hoa Hoa Cinjin. Nama ini sudah dikenalnya karena pernah Ciu-ong Mo-kai menyebutnya sebagai nama yang harus dihadapi dengan hati-hati karena mungkin orang inilah yang dulu membunuh orang tuanya. Kini mendengar jerit-jerit mengerikan itu ia menduga tentu setan itu menganiaya orang-orang dusun, maka ia segera melompat keluar disusul oleh Siauw-ong.

Akan tetapi sebelum ia keluar dari pintu depan, tangannya ditarik orang dan Li Hoa sudah berada disampingnya dengan pedang di tangan.

”Jangan keluar, bahaya maut mengancam di luar .....”

Han Sin mengangkat pundak. ”Apa salahnya? Matipun sudah patut bagi seorang laki-laki kurang ajar.”

Mata Li Hoa yang tadinya terbelalak takut itu menjadi basah. ”Han Sin .... kau maafkan aku tadi ... aku ... aku ... jangan kau keluar. Biar aku menjagamu di sini.”

Han Sin tidak tega memaksa. Mereka lalu mengintai dari balik dinding bilik rumah gubuk itu dan melihat kejadian yang hebat di dalam dusun. Ternyata ”setan” itu yang sebetulnya seorang kakek yang menakutkan, kakek berpakaian tosu yang wajahnya menyeramkan dan galak, tinggi besar dengan pedang di punggung, mengamuk di dusun dan membunuhi keluarga dusun yang tidak berapa banyak itu. Dusun kecil itu hanya mempunyai enam buah rumah gubuk dan semuanya kini dibasmi oleh Hoa Hoa Cinjin yang marah-marah karena tidak menemukan Han Sin! Benar-benar seorang yang berhati buas dan kejam sekali di samping kepandaiannya yang luar biasa.

Ketika itu, dari luar dusun terdengar suara roda dan tahu-tahu sebuah kereta dorong telah memasuki dusun dengan kecepatan luar biasa. Seorang nenek duduk di dalam kereta dorong itu dan seorang pemuda tampan mendorongnya dari belakang. Pada saat itu, Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk sedang menghampiri rumah gubuk di mana Han Sin dan Li Hoa bersembunyi, bermaksud hendak membasmi seisi rumah. Akan tetapi melihat datangnya nenek dalam kereta dorong, ia tidak jadi masuk rumah, malah segera menghadang di jalan.

Nenek dan pemuda itupun terkejut sekali melihat tosu itu.

”Hoa Hoa Cinjin si keparat! Kebetulan sekali kau berada di sini, tidak susah-susah lagi aku mencarimu!” terdengar nenek itu berteriak dengan suara melengking tinggi.

Hoa Hoa Cinjin melengak, bibirnya menyeringai di balik kumisnya.

”Kau siapa?” tanyanya ragu-ragu karena memang tidak mengenal wanita setengah tua yang duduk di kereta.

”Bangsat tua, lupakah kau kepada guruku Koai-sianjin Bhok Kim?”

Tiba-tiba tosu tua itu tertawa bergelak, suara ketawanya melengking nyaring dan kembali Li Hoa dan Han Sin harus mengerahkan lweekang untuk menolak pengaruh suara menyeramkan ini.

”Ha ha ha, kiranya murid Koai-sianjin? Jadi kau yang dijuluki orang Ang-jiu Toanio? Ha ha, sudah lama pinto mendengar kau hendak mencariku untuk membalas dendam? Nah, sekarang pinto sudah di sini, kau boleh menyusul nyawa gurumu!” Setelah berkata demikian, kakek itu menerjang maju dan secepat kilat memukulkan tangan kanannya dengan jari-jari terbuka ke arah kereta dorong.

”Krakkkk ......!!” Suara keras ini disusul dengan hancurnya kereta dorong seolah-olah kereta dorong itu diledakkan dan menjadi hancur berkeping-keping.

Adapun Ang-jiu Toanio dan pemuda itu yang bukan lain adalah Yan Bu puteranya, cepat mempergunakan ginkang mereka, melayang ke atas menghindarkan diri dari pukulan maut ini. Indah gerakan mereka, apalagi Ang-jiu Toanio yang tadinya duduk ternyata sekarang sudah melompat ke atas dengan kedudukan telentang, tapi sekali ia membalik, tubuhnya menukik ke bawah dan mencengkeram kepala tosu itu dengan kedua tangan yang sudah berubah merah.

Kenapa Yan Bu bersama ibunya bisa muncul di tempat itu? Untuk mengetahui ini, baik kita mundur sebentar untuk mengikuti pengalaman Yan Bu, pemuda yang simpatik ini.
Seperti telah kita ketahui, ketika Han Sin diserang oleh Balita di gunung Cin-ling-san, Yan Bu muncul dan menolongnya. Yan Bu memenuhi permintaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang membetot semangatnya, untuk mencari dan menolong Han Sin dari Cin-ling-pai. Akan tetapi ternyata ia mendapatkan Cin-ling-pai sedang geger dan kacau karena diserang oleh kaki tangan pemerintah. Yan Bu tidak mau mencampuri urusan ini dan mencari Han Sin yang akhirnya ia jumpai sedang diancam oleh Balita.

Biarpun Yan Bu telah mewarisi ilmu kepandaian yang tinggi, terutama ginkang dan ilmu golok dari suhunya, Yok-ong Phoa Kok Tee, namun menghadapi Balita ia masih kalah segala-galanya. Puteri Hui yang lihai ini bukan lawannya dan terpaksa ia memancing Balita meninggalkan Han Sin untuk menolong nyawa kakak dari gadis yang dikasihinya itu. Ia melawan sambil berlari, melawan lagi kalau tersusul, dan lari lagi kalau ada kesempatan. Dengan cara demikian, ia dapat membikin Balita menjadi marah, penasaran dan terus mengejarnya. Mereka berkejaran sampai turun gunung dan akhirnya saking lelah, Yan Bu tak dapat lari lagi dan terpaksa ia melakukan perlawanan mati-­matian.

Dalam keadaan terdesak itu, tiba-tiba muncul Ang-jiu Toanio! Ternyata nyonya ini ketika ditinggal oleh puteranya, dalam hati merasa tidak tega dan diam-diam lalu menyusul. Baiknya ia datang pada saat yang amat tepat. Melihat puteranya terdesak hebat dan hampir tidak kuat lagi menghadapi tongkat tulang ular di tangan Balita, ia lalu menyerbu sambil memaki-maki.

Melihat munculnya Ang-jiu Toanio, Balita tahu bahwa menghadapi keroyokan ibu dan anak itu terlalu berbahaya baginya. Kalau hanya menghadapi Ang-jiu Toanio seorang saja, ia tidak gentar dan sanggup mengalahkannya. Akan tetapi putera Ang-jiu Toanio ini memiliki ilmu golok luar biasa dan kalau dia dikeroyok, dia bisa celaka. Apalagi dia memang tidak mempunyai permusuhan dengan ibu dan anak ini, maka sambil tertawa mengejek ia lalu melarikan diri, kembali ke tempat di mana tadi ia meninggalkan Han Sin. Akan tetapi ternyata pemuda itu telah lenyap.

Yan Bu dengan singkat menuturkan kepada ibunya tentang pengalamannya dan tentu saja dia tidak bicara terus terang bahwa dia jatuh hati kepada Bi Eng. Hanya ia ceritakan bahwa ia telah berhasil mencari Han Sin putera Cia Sun, akan tetapi di sana ada Balita sehingga ia tidak sempat menanyakan tentang surat wasiat, juga tidak sempat bicara dengan pemuda she Cia itu.

Ang-jiu Toanio membanting-banting kakinya. ”Sayang sekali! Ayoh kita kembali ke sana dan cari dia!”

Seperti juga Balita, Ang-jiu Toanio dan puteranya itu tidak bisa mencari Han Sin. Akhirnya Yan Bu mengajak ibunya kembali ke sungai Wei-ho untuk menemui Bi Eng. Pemuda ini sudah mengambil keputusan untuk melindungi gadis itu apabila ibunya hendak berlaku keras. Akan tetapi, juga di tepi sungai Wei-ho dia tidak melihat Bi Eng. Lalu bersama ibunya ia mencari terus sehingga ia sudah sampai di pegunungan Lu-liang-san dan kebetulan bertemu dengan Hoa Hoa Cinjin yang sedang mengamuk dan membasmi semua penduduk sebuah dusun kecil. Seperti dulu, Yan Bu yang berbakti tidak tega melihat ibunya berjalan lalu membuatkan sebuah kereta dorong yang kini dengan sekali pukul dihancurkan oleh tosu sakti musuh besar ibunya itu.

Kembali ke dusun itu. Biarpun kelihatan lemah, Ang-jiu Toanio masih merupakan orang yang berilmu tinggi. Pukulan-pukulannya yang disertai tenaga Ang-see-jiu merupakan pukulan beracun yang dapat merenggut nyawa lawan. Juga ginkangnya amat hebat sehingga tidak mudah bagi Hoa Hoa Cinjin untuk mengalahkan nyonya ini dalam waktu singkat. Apalagi di situ ada Yan Bu yang tentu saja tidak membiarkan ibunya menghadapi musuh besar ini seorang diri. Pemuda ini sudah mencabut goloknya dan menyerbu dengan tikaman dan bacokan maut.

Pertempuran hebat terjadi dan sepak terjang Hoa Hoa Cinjin benar-benar dahsyat sekali. Tosu sakti ini tidak mencabut pedangnya, akan tetapi pukulan-pukulan tangan dan lengan bajunya mendatangkan angin bersiutan dan debu mengebul tinggi, tanda bahwa kakek ini sudah memiliki tenaga lweekang yang sukar diukur tingginya. Matanya yang bersinar-sinar seperti mata iblis itu makin mengerikan dan mulutnya tiada hentinya mengeluarkan suara ketawa mengejek.

”Ha ha ha, murid Koai-sianjin Bhok Kim ternyata hanya seorang wanita berpenyakitan dan lemah,” katanya sambil mendesak hebat.

Memang benar, Ang-jiu Toanio tidak dapat berbuat banyak menghadapi tosu ini. Pukulan Ang-see-jiu, yang biasanya amat ampuh dan dengan sekali pukul dari jarak jauh saja sudah dapat merobohkan seorang lawan, kini menghadapi Hoa Hoa Cinjin seperti tidak ada artinya lagi. Hawa pukulan Ang-see-jiu mental kembali begitu terbentur oleh hawa pukulan yang menyambar dari kedua tangan tosu sakti itu. Sebaliknya, desakan-desakan Hoa Hoa Cinjin membuat Ang-jiu Toanio repot sekali dan beberapa kali sambaran hawa pukulan tosu ini membuat dia terhuyung-huyung.

Melihat betapa ibunya didesak, dengan nekat Yan Bu mainkan goloknya dan Hoa Hoa Cinjin sampai berseru kagum.

”Hebat ilmu golok dari Yok-ong. Tapi, bocah, jangan kaukira pinto jerih menghadapinya. Ha ha ha!” Secepat kilat, dengan ilmu silat Kong-jiu-coan-to (Tangan Kosong Terjang Golok) ia memapaki serangan pemuda itu. Akan tetapi tosu ini berseru kaget ketika golok pemuda itu tiba-tiba menyambar dan hampir saja lengan kanannya terbabat kalau ia tidak lekas-­lekas menarik kembali. Keringat dingin membasahi jidatnya dan diam-diam ia harus akui bahwa ilmu golok dari Yok-ong ini benar-benar lihai dan tidak terduga gerakannya.

Ia berseru keras sekali, ujung lengan bajunya menyambar dengan tangan tersembunyi di dalamnya. Ujung lengan bajunya yang lemas ini begitu membentur golok terus melibat dan tangan yang tersembunyi di dalamnya secara tiba-tiba menangkap keluar dan di lain saat golok pemuda itu telah dapat ia rampas!

Pada saat itu Ang-jiu Toanio menyergap dari samping dengan pukulan Ang-see-jiu. Sambil tertawa Hoa Hoa Cinjin menggunakan golok rampasannya untuk menangkis pukulan sambil membabat tangan.

”Krakk!” Golok itu terlempar dan gagangnya yang terbuat dari pada kayu telah remuk di tangan Hoa Hoa Cinjin.

Kalau bukan golok mustika, tentu akan patah-patah terpukul Ang-see-jiu. Biarpun golok terlempar oleh pukulan, namun saking kuatnya pegangan Hoa Hoa Cinjin, gagangnya tidak ikut terlepas malah hancur di tangannya, sedangkan tangan Ang-jiu Toanio yang tertekan golok luka berdarah. Hoa Hoa Cinjin mendesak maju dan totokan dengan ujung lengan bajunya membuat tubuh Ang-jiu Toanio terguling.

”Jangan ganggu ibu!” bentak Yan Bu sambil menubruk maju, namun sekali dupak pemuda itu terpental.

Sambil tertawa-tawa Hoa Hoa Cinjin melangkah maju, mengangkat tangan hendak memukul kepala nyonya yang sudah tak berdaya itu. Tangan diangkat, pukulan akan dijatuhkan, akan tetapi tiba-tiba ia membatalkan maksudnya.

”Hemmm, melihat muka dia, aku ampunkan nyawamu,” katanya perlahan.

Tak seorangpun tahu siapakah yang dimaksud oleh tosu ini dengan sebutan ”dia” tadi. Pukulan ke arah kepala dibatalkan, sebaliknya ia lalu menghantam ke arah pundak kiri nyonya itu.

”Plakk!” Ang-jiu Toanio menjerit dan pingsan.

”Kau berani celakai ibu?” Yan Bu yang sudah bangun, menerjang lagi dengan marah, penuh kekuatiran melihat ibunya dipukul oleh tosu kejam itu.

Sambil mengelak, Hoa Hoa Cinjin membentak.

”Kalau kau tidak memiliki ilmu golok Yok-ong Phoa Kok Tee, apakah pinto sudi mengampunimu? Ayoh, kau lekas bawa ibumu mencari Yok-ong biar Raja Obat itu mencoba kepandaiannya. Dalam sepuluh hari kalau kau tidak bertemu dengan Yok-ong, ibumu akan mampus.”

Mendengar ini, Yan Bu tidak jadi menyerang lalu menubruk ibunya. Ia melihat wajah ibunya pucat sekali. Sebagai seorang murid Raja Obat, tentu saja Yan Bu mengerti ilmu pengobatan, maka ia cepat memeriksa pundak kiri ibunya. Alangkah kagetnya ketika ia melihat ada tapak jari hitam menghijau di pundak itu, tanda bahwa ibunya telah terkena pukulan beracun yang lebih berat dari pada Ang-see-jiu! Dan ia maklum pukulan apakah ini.

”Manusia keji! Kau menggunakan Ceng-tok-ciang memukul ibu!” seru Yan Bu marah, gelisah dan sakit hati.

Hoa Hoa Cinjin membelalakkan matanya lalu tertawa. ”Ha ha, kau tidak percuma menjadi murid Yok-ong. Dalam sepuluh hari kau boleh mencarinya, akan tetapi kalau sudah bertemu, belum tentu gurumu itu becus mengobatinya. Ha ha ha!”

Yan Bu memondong tubuh ibunya. ”Hoa Hoa Cinjin, kau dulu membunuh guru ibuku, bagiku hal itu takkan kutarik panjang. Akan tetapi perbuatanmu terhadap ibu hari ini, kelak aku Phang Yan Bu pasti akan mencarimu untuk mengadu nyawa!” Lalu pemuda itu berlari cepat sambil memondong tubuh ibunya.

Semenjak tadi hati Han Sin sudah panas dan marah sekali menyaksikan sepak-terjang Hoa Hoa Cinjin yang ganas. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa kakek itu adalah seorang pemeluk agama To-kauw, ia makin pemasaran. Hanya karena ditahan oleh Li Hoa maka dia menyabarkan diri. Akan tetapi ketika ia melihat betapa kakek itu melukai Ang-jiu Toanio yang biarpun oleh Ciu­ong Mo-kai dianggap musuh ayahnya akan tetapi dalam pandangannya tidak lain hanya seorang wanita setengah tua yang berpenyakitan, dan melihat pula betapa kakek itu menghina Yan Bu, pemuda yang dianggapnya amat baik kepadanya dan pernah pula menolongnya ketika ia diserang Jin Cam Khoa Balita, Han Sin tak dapat menahan kesabarannya pula.

Sebelum Li Hoa tahu dan sempat mencegah, Han Sin sudah melompat keluar, diikuti oleh Siauw-ong. Bukan main gelisahnya hati Li Hoa melihat ini dan terpaksa iapun melangkah keluar.

Hoa Hoa Cinjin yang sama sekali tidak menyangka, ketika melihat seorang pemuda tampan dengan tenangnya bersama seekor monyet keluar dari rumah gubuk itu, berdiri tercengang. Bukankah yang dia cari adalah seorang pemuda yang membawa-bawa seekor monyet? Dia belum pernah melihat Han Sin, hanya mendengar saja tentang pemuda ini. Dicari setengah mati, malah karena mencarinya ia tadi telah membunuh banyak penduduk dusun tanpa hasil. Eh, tahu-tahu orang yang dicarinya muncul dan menghampirinya. Keherannya ini ditambah lagi ketika ia melihat sikap dan mendengar kata-kata pemuda itu yang datang-datang menudingkan telunjuk kepadanya dan berkata marah.

”Eh, orang tua yang bernama Hoa Hoa Cinjin, kau benar-benar telah menyeleweng secara luar biasa sekali! Dandananmu adalah seorang tosu, kenapa sebagai seorang pendeta To-kauw begitu keji dan tidak mengenal prikemanusiaan? Apa kau sudah lupa bunyi permulaan ayat ke tiga puluh satu dari kitab Tok-tik-khing bahwa senjata merupakan alat kejahatan yang dijauhi oleh penganut To? Apakah lupa bahwa guru besar Khong Hu Cu mengutamakan Jin-gi-lee-ti-sin yang menuntun jalan hidup manusia ke arah prikemanusiaan? Bagaimana pula ajaran guru besar Mo Ti yang menyuruh manusia cinta kepada sesama manusia tanpa perbedaan? Juga semua aliran, seperti aliran Im-yang, Hoat, malah Beng-kauw sendiripun tidak ada satu yang akan membenarkan perbuatan tadi. Untuk mencari aku seorang, kau membunuh-bunuhi rakyat tidak berdosa, kau malah melukai seorang perempuan setengah tua yang lemah dan berpenyakitan, hemm, coba jawab Hoa Hoa Cinjin, sebagai seorang tosu apakah perbuatanmu itu tidak menyeleweng?”

Han Sin bicara penuh nafsu, sepasang matanya bersinar-sinar sedemikian tajamnya sehingga diam-­diam Hoa Hoa Cinjin kaget sekali karena dia sendiri yang memiliki sepasang mata yang tajam dan kuat, terpaksa harus tunduk menghadapi pengaruh dari sepasang mata bocah ini. Dan ia sampai melongo saking terheran-heran melihat pemuda yang dicarinya itu kini datang-datang memberi kuliah tentang filsafat-filsafat kuno dari pelbagai aliran demikian lancarnya! Keadaan ini biarpun membuat dia terheran-heran, namun begitu lucu baginya sehingga lupa ia akan marahnya, lupa bahwa dia telah dikuliahi seperti seorang murid oleh seorang bocah!

”Ha ha ha, kau lucu .....! Lucu ......!”

”Apanya yang lucu? Kau ini tosu tua jangan anggap perbuatan-perbuatanmu tadi sebagai hal remeh saja. Dosamu besar sekali. Akan tetapi tidak ada dosa yang tak dapat diampuni oleh Thian, asal saja yang berdosa itu memenuhi satu syarat, yaitu merasa bertobat dan menebus dosa-dosanya dengan pemupukan perbuatan baik dan menyenangkan serta menolong orang lain. Kalau kau bisa sadar dan berubah menjadi tosu yang baik, Hoa Hoa Cinjin, kelak aku Cia Han Sin akan menganggapmu betul-betul sebagai seorang yang bijaksana.”

Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin sudah menjadi marah kembali. Apa lagi ketika pemuda ini sudah memperkenalkan diri. Tadinya ia ragu-ragu apakah betul pemuda ini putera Cia Sun yang kabarnya sudah membunuh sutenya, Ban Kim Cinjin karena melihat pemuda ini seperti orang muda yang otaknya miring dalam pandangannya.

”Bocah, kau membunuh suteku saja sudah patut mampus. Sekarang kau berani membuka mulut besar menegur dan memberi nasehat kepadaku, benar-benar kau pantas mampus sepuluh kali!” Tosu ini dengan marah melangkah maju dan siap memukul.

”Hidup atau mati adalah urusan Thian, bagaimana kau tosu berdosa besar masih berani bicara tentang mati sepuluh kali?” Han Sin membentak, marah melihat orang yang dianggapnya terlalu jahat.

”Keparat, tutup mulutmu untuk selamanya!” Hoa Hoa Cinjin mengangkat tangannya.

”Totiang, tahan!” dan Li Hoa meloncat ke depan menghadapi tosu itu.

Hoa Hoa Cinjin memandang.

”Eh, kiranya Thio-siocia ....” katanya terheran-heran dan mukanya berubah.

Memang ia tahu bahwa pemuda ini tidak hanya bersama seekor kera, juga kabarnya mempunyai seorang adik perempuan dan tadinya ia mengira pemuda ini bersama adiknya itu. Tidak tahunya sekarang muncul puteri Thio-ciangkun!

”Totiang, orang she Cia ini adalah tawananku, harap totiang jangan mengganggunya,” kata gadis itu dengan pandangan mata tajam.

Hoa Hoa Cinjin kelihatan bingung. ”Jadi ..... selama ini kaukah yang bersama dia, siocia? Dan ketika aku memukul seorang gadis disampingnya dari jauh ......”

”Akulah orang itu. Kau telah melukai pundakku.”

Muka tosu itu menjadi merah. ”Ehh ....... celaka. Pinto salah lihat ..... siapa sangka nona yang bersama dia? Maaf, bocah ini yang menimbulkan malapetaka ini. Harap nona jangan salahkan pinto.”

Lanjut ke jilid 028 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment