Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 028

◄◄◄◄ Kembali

Li Hoa tersenyum pahit. ”Tidak apalah. Sekarang harap totiang tinggalkan kami dan urusan orang ini berada di tanganku.”

”Tapi, nona ..... dia ini, dia anak Cia .......”

”Aku sudah tahu. Totiang laporkan saja sudah berada di tanganku.”

”Dia ..... dia sudah membunuh Ban Kim Cinjin .....”

“Itupun aku sudah tahu. Sudahlah, tinggalkan kami.”

“Tapi, Thio-siocia ......”

“Hoa Hoa Cinjin! Apakah setelah melukai pundakku, kaupun ada keberanian untuk memberontak?”

“Bukan ....... tapi dia yang menyuruhku ...... Thio-siocia. Bocah ini berbahaya. Kalau sampai terlepas lagi, tentu kita mendapat marah.”

“Siapa berani marah kepadaku? Tidak, totiang. Serahkan urusan ini kepadaku.”

Hoa Hoa Cinjin ragu-ragu. Han Sin terheran-heran melihat sikap Li Hoa. Ternyata gadis ini mempunyai pengaruh yang besar dan kelihatan sama sekali tidak takut menghadapi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi kenapa tadi nona itu kelihatan ketakutan setengah mati ketika dikejar Hoa Hoa Cinjin? Rahasia apakah berada di balik semua kejadian ini?

Akhirnya Hoa Hoa Cinjin berkata, “Bagaimanapun juga, resikonya terlalu besar membiarkan bocah setan ini berkeliaran dan kau berada di dekatnya, nona Thio. Dia harus dibuat tak berdaya.”

Setelah berkata demikian, secepat kilat tangannya bergerak ke arah Han Sin. Pemuda itu sama sekali tidak menyangka dirinya bakal diserang. Ia mengeluh dan roboh terguling.

“HOA HOA CINJIN ..... kalau kau bunuh dia .....!” Li Hoa melompat.

Nona ini lalu menekuk lutut dan memeriksa Han Sin yang sudah setengah pingsan, dadanya terasa sakit sekali. Akan tetapi ia masih dapat melihat dan mendengar dua orang itu bicara.

“Dia tidak mati. Akan tetapi dalam sepuluh hari dia akan mampus dalam keadaan menderita sekali. Pinto memberi waktu sepuluh hari, karena bukankah sebelum waktu itu kau bisa membawanya ke puncak? Di sana pinto akan menanti bersama dia yang akan memberi keputusan. Pinto lakukan ini demi keselamatanmu sendiri, nona. Nah, sampai ketemu!”

Tosu itu hendak pergi tapi tiba-tiba terdengar lengking ketawa yang tinggi kecil. Lengking ini menyerupai lengking yang suka dikeluarkan oleh Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi lebih tinggi dan menusuk telinga. Biarpun Han Sin sudah roboh hampir pingsan, jantungnya masih berdebar dan berguncang mendengar bunyi ini dan Li Hoa kelihatan terkejut sekali. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tertawa dan membalas dengan suara lengkingnya yang keras.

Tak lama kemudian berkelebat bayangan putih dan tahu-tahu di situ berdiri seorang gadis yang bertubuh ramping sekali berkulit putih halus, di punggungnya kelihatan gagang pedang. Akan tetapi kepala gadis ini ditutup kedok sutera putih yang tidak hanya menyembunyikan mukanya, malah seluruh kepalanya tersembunyi di dalam kedok yang bentuknya seperti sebuah kantong itu. Hanya di bagian mata diberi lubang sedikit dan dari balik kedok sutera itu bersinar sepasang mata yang bercahaya bening, mata seorang wanita cantik.

“Gi-hu, berhasilkah kau menangkap bocah she Cia?” terdengar suara gadis berkedok itu, suaranya juga merdu halus, tidak kalah oleh suara Li Hoa.

Diam-diam Han Sin terheran-heran dan meremang bulu tengkuknya. Tidak nyana seorang gadis yang memiliki suara demikian empuk, memiliki potongan tubuh demikian ramping dan kulit demikian putih halus, kiranya adalah anak angkat seorang kejam dan jahat seperti Hoa Hoa Cinjin. Kalau ayah angkatnya sudah demikian keji, tentu perempuan inipun bukan orang baik-baik. Kedoknya saja sudah begitu menyeramkan, pikirnya.

“Ha ha, Hoa-ji, kau menyusulku? Bagus, memang aku mengharapkan kau dapat menyaksikan keramaian di puncak, hitung-hitung menambah pengalaman. Kau tanya tentang bocah she Cia? Itu dia, sudah kuhadiahi Tong-sim-ciang. Ha ha ha!”

Nona berkedok yang dipanggil Hoa-ji (anak Hoa) itu juga tertawa, suara ketawanya merdu sekali seperti orang bernyanyi.

“Gi-hu (ayah angkat), kenapa tidak dimampuskan saja dan dirampas surat wasiatnya?”

Sambil berkata demikian, nona berkedok itu sekali menggerakkan tubuhnya yang langsing, tubuh itu melayang amat ringannya ke tempat Han Sin menggeletak. Mata di balik kedok itu mengeluarkan sinar menatap ke wajah pemuda itu. Melihat ini Li Hoa serentak berdiri dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan kanan. Gadis ini dengan wajah keren tanpa kenal takut membentak.

“Siapa kau? Jangan sembarangan bergerak!” Sikapnya mengancam sekali.

Tadi Li Hoa mendengar gadis berkedok ini menyebut “gi-hu” kepada Hoa Hoa Cinjin. Ia tidak pernah mendengar bahwa tosu kosen itu mempunyai anak angkat ataupun murid, akan tetapi ia dapat menduga bahwa gadis berkedok ini setelah menjadi anak angkat tosu itu, tentu juga kejam dan lihai sekali. Ia hanya dapat melihat sepasang mata yang berkilat-kilat ditujukan kepada Han Sin, tidak tahu bagaimanakah wajah gadis ini dan tidak dapat menduga pula pikiran apa yang terkandung di balik sepasang mata indah itu.

“Hoa-ji, jangan bunuh dia. Dia menjadi tawanan nona Thio yang tentu akan membawanya ke puncak Lu-liang-san. Nona Thio puteri Thio-ciangkun itu orang sendiri, bukan lawan,” terdengar Hoa Hoa Cinjin berkata.

Nona berkedok itu mengeluarkan suara mendengus, agaknya memandang rendah. Matanya mengerling sekilat ke arah Li Hoa, akan tetapi segera dialihkan kembali menatap wajah Han Sin. Pada saat itu, Han Sin sudah sadar betul dan pemuda ini kebetulan juga memandang kepadanya sehingga dua pasang mata itu bertemu. Nona berkedok meramkan matanya yang terasa pedas ketika bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang luar biasa tajam berpengaruh.

“Iiihh, Dia bermata iblis .....” terdengar nona ini berseru, lalu mundur tiga tindak. Baru sekarang ia menoleh dan menghadapi Li Hoa, kini pandang matanya menyelidik. Dipandangnya gadis she Thio itu dari kaki sampai ke rambutnya yang disanggul secara istimewa. Ia mengeluarkan suara ketawa kecil, akan tetapi suaranya penuh pujian ketika ia berkata, “Inikah nona puteri Thio-ciangkun yang membantu orang-orang Mancu, gi-hu? Cantik manis .....!”

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Ha ha ha, Hoa-ji. Di dunia ini mana ada yang bisa menandingi engkau ....?” Tosu itu lalu berkelebat pergi dan nona berkedok itupun melesat cepat mengikuti gi­hunya, dan dari jauh masih terdengar lengking ketawa mereka, satu keras parau dan yang satu lagi tinggi kecil dan nyaring.

“Hebat ........” terdengar Li Hoa berkata seorang diri. “Agaknya tidak lebih tua dariku, akan tetapi sudah memiliki khikang demikian tinggi. Sungguh hebat dan berbahaya ....”

“Aduuhhh ...... hemm .... dingin ..........!”

Li Hoa cepat membalikkan tubuh dan berlutut lagi di dekat Han Sin. Pemuda itu kelihatan menggigil kedinginan dan menekan-nekan perutnya.

“Bagaimana ....? Sakitkah?” Li Hoa bertanya gelisah.

“Dingin sekali ....... seperti beku isi dada dan perutku ......” kata Han Sin meringis menahan sakit.

Pemuda ini tadi terpukul oleh Hoa Hoa Cinjin yang menggunakan pukulan Tong-sim-ciang yang mengandung lweekang tinggi. Kalau kakek itu mengerahkan seluruh tenaganya, tentu jantungnya sudah tergetar dan rusak mendatangkan maut. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin sengaja menahan tenaganya, memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk hidup sepuluh hari lagi. Hanya Hoa Hoa Cinjin yang akan dapat mengobati pemuda ini, itupun akan memakan waktu lama sekali.

Pukulan Tong-sim-ciang ini mengandung tenaga “Yang” yaitu tenaga yang amat panas sehingga orang yang terkena pukulan ini akan merasa dirinya terbakar hidup-hidup dan jantung akan menjadi rusak karena darah berjalan terlalu cepat akibat hawa panas yang merasuk ke dalam jalan darah. Akan tetapi, mengapa pemuda ini malah merasa dingin dan menggigil? Tentu saja kalau Hoa Hoa Cinjin masih berada di situ dan melihat keadaan Han Sin, tosu itu akan menjadi terheran-heran dan tidak mengerti.

Memang keadaan Han Sin tidak sama dengan orang-orang biasa. Dia telah minum darah ular Pek­hiat-sin-coa dan di dalam jalan darah di tubuhnya sudah mengalir sebagian dari pada darah ular itu. Maka begitu ia terkena pukulan yang tak disangka-sangkanya itu, racun pukulan yang bertemu dengan racun Pek-hiat-sin-coa, bertanding di dalam jalan darahnya dan racun Tong-sim-ciang itu segera berubah sifatnya, sebaliknya malah mendatangkan hawa dingin karena berubah menjadi hawa “Im” yang amat dingin. Akan tetapi hal ini tidak membahayakan Han Sin, malah melenyapkan bahaya yang mengancamnya, jantungnya tidak terganggu dan ia hanya menderita perasaan dingin yang luar biasa saja di dalam perut dan dadanya.

Li Hoa yang tidak tahu akan keadaan sebenarnya dalam tubuh Han Sin, melihat pemuda itu menggigil dengan muka pucat, makin gelisah sampai-sampai ia tidak merasa betapa dua butir air mata membasahi di pipinya!

“Han Sin ...... jahat sekali tosu itu ..... awas dia, kalau sampai kau tidak tertolong, aku akan mengadu nyawa dengannya .....! Ah, bagaimana baiknya ini?” Ia merangkul belakang leher Han Sin, mencoba untuk mendudukkan pemuda itu. Akan tetapi Han Sin yang baru saja terserang hawa dingin, hanya menggigil keras dan tidak bisa bangun, malah ia tidak sadar betapa gadis itu memeluknya dan menangis.

“Dingin ...... dingin .....!” Gigi pemuda itu sampai bersuara karena menggetar. “Minta ...... minum panas-panas ......!”

Li Hoa menurunkannya lagi telentang di atas tanah. “Aku akan mencarikan minum panas untukmu.” Cepat ia memasuki rumah-rumah gubuk di dusun itu. Akan tetapi rumah-rumah itu sudah kosong, penghuninya sudah pada mati bergeletakan di depan atau di dalam rumah sampai hati nona yang biasanya tabah ini menjadi ngeri melihatnya.

“Ganas sekali Hoa Hoa Cinjin,” pikirnya dengan mengkirik. Banyak sudah ia melihat orang dibunuh akan tetapi pembunuhan itu adalah hukuman bagi orang-orang yang dianggap jahat oleh ayahnya. Sekarang ia melihat orang-orang dusun yang tidak berdosa dibunuh begitu saja oleh Hoa Hoa Cinjin, hatinya memberontak. “Kenapa ayah bekerja sama dengan manusia macam Hoa Hoa Cinjin? Kenapa orang-orang jahat belaka yang bekerja dengan ayah ....?” Pikiran ini menimbulkan keraguan dan kesangsian di dalam hatinya akan tepatnya pekerjaan yang dipegang oleh ayahnya.

Karena memikirkan keadaan Han Sin, ia lalu memasuki sebuah dapur di rumah gubuk terdekat, yaitu rumah petani yang sudah menyembunyikan mereka. Cepat-cepat ia membuat api dan memasak air. Lalu ia kembali kepada Han Sin sambil membawa secawan air panas.

“Ini air panas, Han Sin. Kau minumlah ....” Ia lalu membantu pemuda itu bangun duduk.

Han Sin agaknya sudah sadar lagi karena ia dapat duduk biarpun masih payah. Baru sekarang ia menyadari keadaannya, betapa gadis itu menahan belakang lehernya dan memberinya minum. Diam-diam ia terharu dan teringatlah ia adegan tadi betapa gadis ini melindungi dan membelanya. Diam-diam ia merasa heran sekali. Ke dalam golongan orang bagaimana ia harus masukkan gadis ini? Golongan jahat atau golongan baikkah? Akan tetapi ia tidak sempat berpikir lagi dan segera minum air panas dari cawan yang disodorkan ke bibirnya oleh Li Hoa.

Aneh sekali, begitu perutnya kemasukan air panas, rasa dingin melenyap dan tenaganya pulih kembali. Memang rasa dingin di perutnya itu bukan gejala penyerangan atau keracunan, melainkan akibat dari pada kemenangan racun Pek-hiat-sin-coa yang mengalahkan racun pukulan Tong-sim­ciang sehingga hawa panas pukulan ini berubah menjadi dingin.

Melihat wajah pemuda itu menjadi segar kembali dan kelihatan sembuh, bukan main girangnya hati Li Hoa, sungguhpun masih ada kekhawatirannya karena mendengar dari Hoa Hoa Cinjin bahwa pemuda ini hanya akan dapat hidup sepuluh hari saja. Mana ia tahu bahwa racun pukulan tadi itu sudah musnah dan tidak ada bahayanya lagi?

“Han Sin, jangan khawatir. Betapun kejinya, Hoa Hoa Cinjin takkan berani membantah permintaan ayah. Aku akan minta kepada ayah supaya Hoa Hoa Cinjin memberi obat pemunah racun pukulannya. Mari kita pergi ke puncak Lu-liang-san ini.

Han Sin kelihatan bengong. Kemudian ia menggeleng kepala. “Tosu itu tersesat. Aku tidak apa-apa Li Hoa, tidak merasa dingin atau sakit lagi. Kau tidak usah kuatir. Li Hoa, kau baik sekali. Kenapa kau sebaik ini padaku? Eh, kenapa kau selalu melindungiku? Apakah hanya karena kau ingin aku membawamu ke tempat penyimpanan warisan rahasia dari Lie Cu Seng?”

Muka gadis itu menjadi merah sekali ketika mendengar pertanyaan ini. Tadinya ia hendak menentang pandangan mata Han Sin, akan tetapi ketika matanya bertemu dengan sinar mata pemuda itu yang memandangnya penuh selidik, ia lalu tundukkan mukanya.

“Bagaimana Li Hoa. Jawablah agar aku tidak menyangka yang bukan-bukan.”

Li Hoa tidak menjawab, hanya mengangguk. Han Sin menghela napas, kecewa bukan main. Ia tadinya mengharap bahwa gadis ini melindungi dan membelanya karena keluar dari hati yang baik sehingga ia tanpa ragu akan memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang-orang baik. Mendengar bahwa “kebaikan” gadis ini hanya untuk tujuan mendapatkan harta simpanan, ia sudah bukan menganggap hal-hal itu semacam kebaikan lagi. Kembali ia menarik napas panjang, nampaknya kecewa dan berduka sekali. Benar-benar sedih hatinya kalau ia harus memasukkan gadis ini ke dalam golongan orang jahat.

“Salah ...... salah, Li Hoa. Kau telah tersesat dan menyeleweng dari pada kebenaran.”

“Apa maksudmu ....?”

“Kalau tidak hendak menolong, janganlah menolong. Melakukan kebaikan disertai pamrih, disertai harapan untuk menerima balasan, bukanlah kebaikan lagi namanya, melainkan penipuan, malah pemerasan! Melakukan perbuatan yang bersifat kebajikan haruslah berdasarkan perasaan hati yang bersih, berdasarkan prikemanusiaan yang mewajibkan setiap manusia berlaku baik. Haruslah digerakkan oleh perasaan kasihan yang sewajarnya, kasih sayang antara manusia. Dengan demikian barulah perbuatan baik itu benar-benar baik dan bersih. Janganlah mengharapkan balasan keuntungan duniawi, bahkan dengan mengharapkan syukur dan terima kasih saja dari yang ditolong, sudah lenyaplah sifat murni dari kebaikan itu, sudah minta DIBELI dengan terima kasih! Kau keliru Li Hoa, kau tersesat dan aku menyesal sekali .....”

Terpukul hati Li Hoa mendengar filsafat pemuda yang aneh ini. Tadi ia tidak berterus terang, sekarang melihat pemuda ini dan mengingat bahwa mungkin sekali dalam sepuluh hari ini tidak akan melihat pemuda ini masih hidup, ia mengesampingkan rasa jengah dan malu, lalu berkata,

“Han Sin, memang sejak sebelum berjumpa dengan kau, di dalam hatiku sudah ada keinginan mendapatkan surat wasiat Lie Cu Seng. Maka bukan semata karena surat itulah aku membelamu, biarpun tanpa adanya surat wasiat, aku ... aku tetap akan membelamu.”

“Hemm, hanya terhadap aku seorangkah perasaanmu itu?”

“Habis, masa terhadap setiap orang aku harus begitu?”

“Seharusnya demikian, harusnya. Bukan hanya terhadap aku.”

“Tak mungkin aku harus mempertaruhkan nyawa untuk membela setiap orang.”

Sunyi sebentar. “Eh, Li Hoa, kenapa justru terhadap aku kau mempunyai perasaan begitu yakin ...... hendak membela mati-matian?”

Li Hoa menundukkan mukanya. Bodoh amat pemuda ini, pikirnya. Mana bisa seorang gadis seperti dia harus mengaku terang-terangan bahwa dia menyinta pemuda itu?

”Entahlah, Han Sin. Hanya aku harus, sekali lagi aku harus membelamu, karena ... mungkin sekali karena aku tidak suka melihat kau kena celaka.”

Han Sin menghela nafas, tidak puas. “Sudahlah, kau memang baik. Sayang kau tidak mempelajari filsafat-filsafat para bijaksawan jaman dahulu. Mari kita lanjutkan perjalanan. Puncak Lu-liang-san sudah nampak, aku ingin bertemu secepatnya dengan Bi Eng. Entah ada apa di sana itu, agaknya orang-orang ... tersesat, seperti Hoa Hoa Cinjin berkumpul di sana. Aku kuatir sekali akan diri adikku .....”

Maka berangkatlah dua orang muda itu. Han Sin dengan penuh kepercayaan bahwa dia tentu akan dapat bertemu dengan Bi Eng dan menolong adiknya itu. Sebaliknya, Li Hoa penuh kegelisahan, takut kalau-kalau pemuda ini takkan dapat tertolong dari lukanya di sebelah dalam akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment