Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 029

◄◄◄◄ Kembali

Mari kita tengok keadaan Bi Eng, gadis lincah jenaka yang memiliki keberanian luar biasa itu. Tanpa menduga sedikitpun juga bahwa ia telah terjatuh ke dalam tangan seorang luar biasa, seorang yang pada nona ini mengikuti Bhok-kongcu menuju ke Lu-liang-san. Memang sukarlah menyangka pemuda ini sebagai seorang jahat. Sikap lemah lembut, bicaranya manis budi, gerak-geriknya seperti seorang sastrawan muda, seorang kongcu (tuan muda) yang betul-betul memiliki kepandaian sastra dan silat (bun-bu-coa-jai).

Lebih percaya lagi Bi Eng kepada pemuda itu ketika mendapat kenyataan betapa di sepanjang perjalanan mereka berdua menuju ke Lu-liang-san, pemuda itu memperlihatkan sikap yang menghormat sekali, sama sekali tak pernah memperlihatkan kekurang ajaran. Bermalam di rumah penginapan, selalu Bhok-kongcu memilihkan kamar terbaik bagi Bi Eng dan dia sendiri memilih kamar sederhana. Malah pernah terjadi ketika hanya mendapatkan sebuah kamar karena semua kamar penuh, pemuda ini tidur di depan pintu kamar, di atas bangku sebagai seorang jaga malam!

Selain itu, setelah melakukan perjalanan berdua, Bi Eng mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar pandai sekali dalam ilmu kesusasteraan, pandai melukis, pandai menabuh Khim dan meniup suling, jago dalam main catur dan mengubah sajak!
Sebentar saja gadis yang masih hijau ini menjadi tertarik dan menganggap bahwa pemuda itu malah lebih hebat dari pada kakaknya, Cia Han Sin! Makin tebal keyakinannya bahwa pemuda yang tampan dan aneh ini memiliki kekuasaan dan pengaruh yang amat besar ketika di manapun juga orang-orang selalu menerimanya dengan penuh penghormatan dan takut-takut. Hanya setelah mereka berada dekat Lu-liang-san dan melalui dusun-dusun, penduduk dusun tidak ada yang mengenalnya dan hal ini agaknya menyenangkan hati Bhok-kongcu.

“Menyenangkan sekali ....” Ia memuji ketika melihat penyambutan sederhana dari pemilik warung di sebuah dusun. “Sewajarnya dan sederhana mereka, orang-orang dusun itu. Tidak dibuat-buat dalam sikap, tidak menjilat-jilat, sewajarnya sesuai dengan alam. Alangkah bedanya dengan sikap orang-orang kota, jemu aku dibuai penghormatan mereka.”

“Memang kehidupan yang tenteram di dusun membuat sikap orang menjadi sederhana dan wajar,” sambung Bi Eng yang teringat akan kata-kata kakaknya. “Biasanya, bodoh mendatangkan jujur dan sederhana, sebaliknya pintar mendatangkan curang dan mewah. Betulkan ini, Bhok-kongcu?”

Ucapan ini tanpa disengaja menyindir keadaan kongcu itu yang mewah dan pesolek, dan baru setelah mengucapkan kata-kata yang dikutipnya dari omongan-omongan yang pernah ia dengar dari Han Sin, gadis ini tersadar bahwa tanpa disengaja ia menyindir. Dasar ia jenaka dan lincah, ia malah menambahkan,

“Ah, tidak tahunya kata-kata itu seperti menyindir kau yang suka akan berpakaian indah dan mewah. Jangan kau marah, Bhok-kongcu!”

Bhok-kongcu tertawa terbahak, pada wajahnya yang tampan dan putih itu tidak nampak perubahan apa-apa. Ia lalu menggeleng-gelengkan kepalanya dan berkata. “Tidak bisa begitu. Kebodohan dan kepintaran tidak bisa disatu padukan dengan kejujuran dan kecurangan. Tidak kurang banyaknya orang pintar yang jujur dan orang bodoh yang curang.”

Bi Eng semenjak kecil hidup di samping kakaknya yang sudah menjadi seorang ahli pikir dan ahli filsafat. Biarpun dia sendiri tidak mempelajari atau tidak suka membaca kitab-kitab kuno, namun dari “dongeng-dongeng” kakaknya, sedikit banyak ia tahu akan filsafat hidup. Setelah merenung sebentar, ia membantah.

“Aku kurang setuju, Bhok-kongcu. Orang pintar yang jujur memang mungkin ada, tapi bagaimana orang bodoh bisa curang? Untuk bisa berlaku curang, kurasa membutuhkan kecerdasan yang dimiliki orang pintar. Bukan begitu?”

“Ha ha ha, kau pintar, nona. Memang masuk diakal omonganmu ini. Mudah-mudahan saja kau tidak menganggap aku orang pintar yang curang, juga tidak menganggap aku orang jujur tapi bodoh. Kedua-duanya aku tidak suka. Ha ha ha!” Gadis itupun ikut tertawa.

Memang, pandai sekali Bhok-kongcu bergaul sehingga Bi Eng merasa suka bercakap-cakap dengan kongcu ini. Perjalanan ke Lu-liang-san dirasakan tidak terlalu melelahkan dengan adanya pemuda yang pandai bicara, pandai berkelakar dan halus sikapnya ini. Karena ini iapun dapat agak terhibur biarpun selalu ia masih merasa gelisah kalau memikirkan kakaknya. Setiap kali ia teringat kepada Han Sin, ia minta kepada Bhok-kongcu untuk mempercepat perjalanan.

“Nona, tak usah kau kuatir. Percayalah, di manapun adanya kakakmu, asal dia masih hidup, aku Bhok Kian Teng menanggung padamu bahwa aku pasti akan dapat mencarinya.”

“Kalau dia masih .... masih hidup ....?” Bi Eng memandang dengan mata terbelalak. Mata itu amat jeli dan bagus dalam penglihatan Bhok-kongcu sehingga untuk sejenak ia tak dapat menyembunyikan rasa kagum dalam pandangannya. Kemudian ia tertawa.

“Nona Cia, tentu saja kakakmu masih hidup. Akan tetapi, hidup atau mati bukanlah kekuasaan manusia, bukan? Andaikata ada apa-apa yang tidak kita hendaki terjadi atas diri kakakmu, hemmm, percayalah, aku pasti takkan membiarkan orang yang menganiaya kakakmu hidup lebih lama lagi!”

Bi Eng memandang dengan penuh terima kasih. “Bhok-kongcu, kau baik sekali. Nanti akan kuceritakan kepada kakakku bagaimana baiknya kau terhadapku.”

Bhok-kongcu mermbungkuk. “Terhadap seorang seperti kau, nona Bi Eng, mengorbankan nyawapun masih belum ada artinya ....”

Bi Eng yang masih hijau, tidak mengerti apa maksud pemuda itu, namun perasaan kewanitaannya membuat mukanya menjadi merah mendengar ucapan ini dan iapun terharu, merasa berterima kasih sekali.

Ketika mereka tiba di puncak Lu-liang-san yang amat indah pemandangan alamnya, Bhok-kongcu membawa Bi Eng ke sebuah bangunan kecil mungil di bawah puncak. Tempat itu sunyi sekali, maka benar-benar aneh adanya bangunan di situ, dan ternyata ketika pemuda ini datang, ia disambut oleh lima orang pelayan yang bertubuh tegap dan nampaknya bukan pelayan-pelayan biasa. Memang mereka ini sebenarnya adalah perwira-perwira bangsa Mongol yang menyamar dan menjadi pelayan di situ, dan sebenarnya mereka ini bertugas melindungi Bhok-kongcu, putera pangeran Mongol itu.

Bi Eng tidak heran mendengar bahwa gedung mungil ini juga milik pemuda ini. Sudah terlalu sering ia melihat kenyataan bahwa kawannya ini mempunyai pengaruh dan kekuasaan besar, juga di mana-mana ia melihat pemuda ini mempunyai rumah dan orang-orang yang amat menghormatinya. Ia tahu bahwa selain berpengaruh, pemuda inipun kaya raya. Ia dapat menduga pula bahwa di dalam pemerintahan yang baru, pemuda ini agaknya memiliki kedudukan yang bukan kecil. Yang belum diketahui gadis ini hanyalah bahwa sebetulnya Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda keturunan Mongol.

Memang sebetulnya Bhok Kian Teng mempunyai kedudukan yang tinggi sebagai putera pangeran Bhok Hong yang sudah berjasa besar pada pemerintah Mancu yang kini berkuasa di Tiongkok. Oleh Kaisar Mancu, yaitu Kaisar Kang Shi, memberi kedudukan raja muda kepada pangeran Bhok Hong dan karena raja muda Bhok Hong ini lebih suka berkelana sebagai seorang tokoh kang-ouw dengan julukan Pak-thian-tok (Racun dari Utara), maka kekuasaannya banyak dipegang oleh puteranya, Bhok Kian Teng yang ternyata amat pandai melakukan tugas-tugas ayahnya.

Malah boleh dibilang dalam ilmu ketata negaraan, pemuda ini jauh lebih pandai dari pada ayahnya yang berwatak aneh. Maka tugas penting yang diserahkan oleh Kaisar kepada pangeran Bhok Hong, yaitu tugas menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia dari bangsa Han yang masih mempunyai maksud melawan pemerintah baru, oleh Pak-thian-tok Bhok Hong diserahkan kepada puteranya itu!

Secara diam-diam, tanpa diketahui umum, pemuda ganteng yang kelihatan lemah lembut ini mengatur jaring-jaringnya, mengerahkan pembantu-pembantu yang pandai untuk mulai dengan tugasnya, yaitu menumpas perkumpulan-perkumpulan rahasia ataupun perkumpulan-perkumpulan besar yang tidak mau tunduk kepada pemerintah Mancu! Karena kekuasaannya yang besar akibat kedudukan ayahnya sebagai raja muda, maka pembesar-pembesar semua mengenalnya, bahkan Thio-ciangkun yang juga mempunyai kedudukan tinggi, boleh dibilang termasuk seorang di antara bawahan-bawahannya, atau boleh dikatakan juga sebagai pembantunya.

Sudah dituturkan di bagian depan, juga dapat dilihat dari catatan dalam kitab sejarah, bahwa bangsa Mancu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan dan kebudayaan Tiongkok. Mereka ini yang datang menjajah negara Tiongkok, ternyata malah meleburkan diri dalam kebudayaan bangsa Tiongkok sendiri dan cara hidup orang-orang Mancu ini, dari Kaisar sampai pegawai-pegawai rendahan, meniru-niru cara hidup orang orang Han, berpakaian sebagai orang Han, bicara dalam bahasa Han pula. Karena ini pula maka banyak orang-orang gagah bangsa Han mudah terpikat dan membantu pemerintah baru ini karena melihat sikap para penjajah ini, mereka tidak melihat adanya bangsa asing, seperti bangsa sendiri saja.

Memang dalam hal ini harus dipuji pandangan jauh dari Kaisar Kang Shi yang harus disebut seorang kaisar yang besar. Dia maklum bahwa rakyat sendiri, yaitu bangsa Mancu, berjumlah jauh lebih kecil dan memiliki wilayah yang selain sempit juga tidak subur. Kalau mereka sekarang sudah berhasil menduduki Tiongkok yang luas dan banyak jumlah rakyatnya, dan kalau mereka hendak mempertahankan kedudukannya dan menjadi bangsa yang besar, jalan satu-satunya ialah menyatukan diri dengan rakyat, hidup sebagai rakyat Tiongkok pula sehingga bangsa Tiongkok yang terjajah itu tidak akan merasa terjajah oleh bangsa asing.

Akan tetapi tidaklah demikian pikiran orang-orang Mongol yang membantu bangsa Mancu dalam penyerbuannya ke Tiongkok. Bangsa Mongol masih merasa dirinya lebih tinggi dari pada suku bangsa lain dan hal inipun bukan aneh. Bangsa Mongol dalam jamannya Jenghis Khan memang pernah menjadi bangsa kelas tertinggi, menaklukkan seluruh daratan Tiongkok, bahkan sampai meluas jauh ke barat. Tentu saja, biarpun sekarang kekuasaan mereka sudah musnah, mereka ini masih merasa lebih tinggi dari pada suku bangsa lain.

Perasaan ini masih mengeram dalam hati Bhok Kian Teng. Biarpun, untuk dapat melakukan tugas rahasianya menindas kaum kang-ouw yang melawan pemerintah, ia terpaksa berpakaian seperti seorang pemuda terpelajar bangsa Han dan segala gerak-geriknya disesuaikan dengan orang Han, namun di dalam hatinya ia masih seratus persen orang Mongol.

Ini pula yang membuat ayahnya, si Racun dari Utara itu merasa enggan untuk memegang jabatannya sebagai raja muda. Pangeran Bhok Hong tidak suka, biarpun secara diam-diam, akan cara hidup pembesar-pembesar Mancu yang meniru-niru orang Han. Ia merasa jemu dan rendah, maka ia lalu meninggalkan kursi jabatannya dan menyerahkan pekerjaan-pekerjaannya kepada putera tunggalnya, sedangkan dia sendiri lalu menghilang, berkelana di dunia kang-ouw sebagai seorang yang bebas.

Bhok Kian Teng ternyata memang seorang ahli siasat yang amat pandai. Orang muda ini tahu bahwa apabila orang-orang kang-ouw dan perkumpulan-perkumpulan rahasia yang tidak senang terhadap pemerintah baru ini sampai dapat bersatu, maka kekuatan mereka itu dapat menimbulkan bahaya besar. Oleh karena itulah, secara diam-diam, Bhok-kongcu menyebar kaki tangannya, menyelundup ke dalam perkumpulan-perkumpulan itu, menyebar racun untuk menjalankan siasat pecah belah.

Usahanya ini berhasil baik karena dalam beberapa tahun saja timbullah rasa saling tidak percaya di antara para partai dan perkumpulan rahasia. Adalah siasat Bhok-kongcu pula untuk membasmi Cin­ling-pai yang dianggapnya berbahaya dengan sikap mereka yang tidak menentu itu. Untuk tugas ini ia serahkan kepada pembantunya dan seperti telah diketahui, usaha mereka itu berhasil baik.

Cin-ling-pai dapat dibasmi, markasnya dihancurkan dan para tosu Cin-ling-pai banyak yang tewas dan sebagian besar melarikan diri. Malah ketuanya, Giok Thian Cin Cu, telah meninggal dunia pula. Bukan itu saja, malah orang-orang Thio-ciangkun yang dipimpin oleh para pengemis Coa-tung Kai­pang dan puterinya sendiri, yaitu Li Hoa, berhasil pula memikat hati dan membujuk sehingga dua orang tosu tokoh terpenting dari Cin-ling-pai, It Cin Cu dan Ji Cin Cu, menyatakan hendak memenuhi panggilan Thio-ciangkun!

Kepergian Bhok Kian Teng kali ini ke puncak Lu-liang-san, bukan semata-mata untuk mencari Cia Han Sin seperti yang dikatakan kepada Bi Eng. Dia mempunyai rencana yang lebih besar lagi. Selain hendak menyenangkan dan mengambil hati Bi Eng, gadis yang secara aneh sekali telah memikat hatinya itu, dan ingin menangkap Han Sin untuk merampas surat wasiat Lie Cu Seng yang dirindukan oleh seluruh orang kang-ouw, juga kali ini Bhok-kongcu menyuruh kaki tangannya mengundang orang-orang gagah di seluruh pelosok yang pro-Mancu untuk berkumpul di Lu-liang­san dan menerima tugas dalam perlawanan terhadap orang-orang yang anti Mancu.

Demikianlah sedikit catatan untuk mengetahui latar belakang yang penuh rahasia dan yang meliputi diri Bhok Kian Teng yang lebih terkenal di dunia kang-ouw dengan sebutan Bhok-kongcu. Memang dia seorang pemuda yang hebat, pandai, disegani semua orang kang-ouw. Sayang sekali dia ini terlalu gila nafsu, dan hatinya lemah menghadapi wajah cantik. Kiranya tidak ada seorang laki-laki mata keranjang melebihi Bhok-kongcu pada waktu itu!

Setelah disambut oleh lima orang pelayannya dan disuguhi minuman sambil duduk di ruangan depan. Bi Eng berkata.

“Bhok-kongcu, kita sudah sampai di puncak Lu-liang-san. Ke mana kita harus mencari kakakku? Harap kau memberi petunjuk, hatiku tidak enak sekali kalau belum bisa melihat dia.”

“Orang yang begini menyinta kakaknya seperti kau benar sukar dicari keduanya, nona Cia. Kita sudah lelah mendaki puncak, kau mengasolah dalam kamar yang sudah kusediakan. Biar aku akan menyuruh orang-orangku untuk mencari di sekitar puncak, kalau-kalau terlihat kakakmu itu. Jangan kau terlalu kuatir. Sudah dicari di Cin-ling-san, kakakmu tidak berada di sana. Kalau memang dia hendak menuju ke puncak Lu-liang-san, kalau sekarang belum ada, tentu esok atau lusa dia akan muncul juga. Tenangkanlah hatimu.”

Karena ucapan ini beralasan, Bi Eng menahan kesabarannya dan ia lalu pergi ke kamarnya untuk beristirahat. Kamar itu kecil saja akan tetapi sekali lagi ia mendapatkan kemewahan yang hebat. Tidak kalah oleh kamar seorang puteri kaisar mewahnya! Bi Eng sampai merasa sungkan untuk berbaring di atas pembaringan yang ditilami sutera putih berkembang itu dan mengganti dulu pakaiannya dengan pakaian yang bersih, baru ia berani duduk di situ. Saking lelahnya, begitu ia mencoba untuk merebahkan diri, sebentar saja ia sudah pulas.

Senja telah lewat ketika Bi Eng membuka matanya dengan kaget. Ia hampir berteriak karena telah mimpi yang bukan-bukan. Dalam mimpinya ia melihat kakaknya dikeroyok ular yang amat banyak. Pemandangan mengerikan dalam mimpinya itu membuat ia terbangun dengan keringat membasahi leher biarpun hawa udara amat dingin. Bi Eng lalu turun dari pembaringannya, membuka jendela kamar memandang keluar. Biarpun malam telah tiba, keadaan di luar tidak gelap karena bulan telah muncul. Timbul keinginan hatinya untuk keluar sendiri, pergi mencari Han Sin. Mimpi tadi mendatangkan kegelisahan dalam hatinya, seakan-akan ia mendapatkan bisikan bahwa kakaknya itu terancam bahaya. Ia hendak minta diri kepada Bhok-kongcu.

Setelah membetulkan pakaian dan menggantungkan pedang, gadis ini lalu membuka pintu. Keadaan di ruangan tengah dan belakang gedung itu sunyi saja, akan tetapi di ruang depan nampak sinar terang dan terdengar suara banyak orang bercakap-cakap.

“Heran, Bhok-kongcu kedatangan begitu banyak tamu,” pikir Bi Eng. “Tak perlu aku memberi tahu, lebih baik aku menggunakan kesempatan ini untuk pergi mencari Sin-ko,” Ia lalu ke belakang, membuka pintu belakang. Karena belum mengenal jalan, ia lalu mengayun tubuh ke atas genteng dan dari tempat tinggi itu ia melihat ke sekeliling.
Sunyi senyap di sekeliling gedung, hanya di ruang depan itu nampak sinar penerangan dan terdengar ramai orang bicara. Samar-samar di bawah sinar bulan ia melihat puncak Lu-liang-san menjulang tinggi. “Aku harus ke sana,” pikirnya lagi. “Bukankah dulu Sin-ko bilang bahwa surat wasiat itu mengharuskan dia pergi ke puncak? Siapa tahu dia sudah berada di sana dan diam-diam aku dan dia bisa melanjutkan perjalanan tanpa terganggu orang lain.”

Dengan hati penuh harapan ia lalu berlari di atas genteng sampai tiba di bagian paling belakang dari gedung itu. Dengan ringan sekali ia melompat turun ke dalam taman. Tiba-tiba berkelebat bayangan orang dan terdengar bentakan lirih.

“Siapa berani mati mencuri masuk di sini?”

Bi Eng terkejut dan segera mengenal orang itu yang bukan lain adalah Yo Leng Nio, gadis galak yang menjadi tangan kanan Bhok-kongcu. Terpaksa ia tersenyum dan menjawab.

“Enci Yo Leng Nio, kiranya kau yang muncul. Sampai kaget aku, kusangka tadinya siluman yang mencegatku di tempat ini.”

“Kaulah silumannya! Kau siluman betina tak kenal malu, kau gadis sombong. Kau merasa telah dapat merampas hati Bhok-kongcu? Hemmm, jangan harap! Paling-paling kau menjadi kekasih dan permainannya untuk beberapa bulan. Hemmm, kelak kalau dia sudah bosan, akan kulihat kau dijadikan apa. Sebaliknya aku, biarpun tidak menjadi kekasih istimewa seperti kau yang menjual kecantikanmu, sudah delapan tahun aku tetap menjadi pembantunya yang dipercaya, Huh, manusia macam kau ini bisa apa sih?”

Bukan main marah dan mendongkolnya hati Bi Eng mendengar makian dan ucapan yang kasar ini. Mukanya menjadi merah sekali, malu dan jengah mendengar omongan yang rendah, omongan wanita yang tak dapat digolongkan wanita sopan dan baik-baik. Saking marahnya Bi Eng mencabut pedangnya dan menudingkan ujung pedang ke muka Leng Nio.

“Eh, eh, tahan tuh mulutmu yang kotor!” Bi Eng membentak. “Kau menjadi kaki tangan atau kekasih Bhok-kongcu, apa sih hubungannya dengan aku? Jangan kau samakan aku dengan orang macam kau. Kau dan orang seperti Ang-hwa dan kawan-kawanmu memang bukan perempuan baik-­baik, siapa sih yang hendak merebut .... laki-laki dari kalian? Cih, tak tahu malu!” Panas hati Bi Eng karena berkali-kali ia dituduh hendak merebut hati Bhok-kongcu. Jangankan dia tidak mempunyai hati sedemikian, andaikata adapun yakni andaikata dia suka kepada Bhok-kongcu, juga ia tentu tidak sudi menerima penghinaan dan makian dari Yo Leng Nio.

“Perempuan sial, sudah terang-terangan berhari-hari melakukan perjalanan dengan Bhok-kongcu, masih pura-pura menyangkal. Tak tahu malu!” Yo Leng Nio memaki lagi.

Memang siapa bisa percaya bahwa gadis ini tidak menjadi kekasih Bhok-kongcu setelah melakukan perjalanan berdua? Gadis mana yang takkan senang hatinya diberi kesempatan seperti itu?

Bi Eng tak dapat menahan marahnya lagi mendengar ini. Pedangnya bergerak dan ia menyerang Leng Nio dengan penuh amarah. Leng Nio mengeluarkan dengus mengejek, lalu iapun mencabut siang-kiam (sepasang pedang) yang selalu terpasang di punggung.

Segera dua orang gadis itu bertempur dengan hebat seperti dua ekor singa betina. Akan tetapi, biarpun Bi Eng sudah menerima warisan ilmu yang tinggi dari Ciu-ong Mo-kai, ia bukanlah tandingan Yo Leng Nio. Ia kalah latihan dan kalah pengalaman. Memang harus diakui bahwa ilmu silat yang ia warisi itu adalah ilmu yang tinggi, yang pada jurus-jurus pertama membuat Leng Nio terkesiap dan terdesak hebat. Namun gadis ini kurang latihan, kurang matang ia mainkan pedangnya dan tenaganya pun kalah kuat.

Yo Leng Nio sudah mendapat petunjuk-petunjuk dari Bhok-kongcu, maka kepandaiannya cukup tinggi. Kalau tidak demikian mana dia bisa menjadi orang kepercayaan Bhok-kongcu? Setelah lewat tiga puluh jurus, ia dapat mengubah gerakan-gerakannya dan kini ia membingungkan Bi Eng dengan ilmu pedang pasangan yang lebih banyak menggertak dan memancing. Bi Eng merasa seperti dikeroyok dua orang dan kalutlah permainannya, membuat ia terdesak.

“Huh, kalau tidak ingat kau kekasih baru Bhok-kongcu, ingin aku menggurat-guratkan pedang pada mukamu, ingin aku memotong hidungmu!”

Yo Leng Nio mengejek dan memperhebat desakannya. Pedang kanannya melakukan serangan kilat ke arah hidung Bi Eng. Gadis ini tentu saja terkejut sekali. Kata-kata Leng Nio tadi mengingatkan ia akan nasib Ang-hwa yang dibuntungi hidungnya, membuat ia merasa ngeri bukan main. Maka begitu melihat pedang kanan lawannya menyambar hidung, ia mengeluarkan seruan tertahan dan cepat-cepat ia menangkis dengan pedangnya.

Kekagetannya ini mengurangi kewaspadaannya sehingga ia tidak tahu bahwa pedang kanan itu hanyalah gertak sambal belaka atau pancingan sehingga ketika menangkis, tahu-tahu pedang kiri Leng Nio berkelebat dari kiri menghantam pedangnya dekat gagang. Pedang ini menyambar dekat jari tangannya yang memegang pedang. Bi Eng terkejut sekali dan terpaksa melepaskan gagang pedangnya kalau ia tidak mau jari-jari tangannya terbabat putus. Dengan suara keras pedangnya terpukul dan terlempar ke udara!

“Bunuhlah kalau kau mau bunuh!” Bi Eng menantang sambil melindungi mukanya.

Ngeri dia, takut kalau mukanya dirusak. Gadis berani mati ini tidak gentar menghadapi maut, akan tetapi kalau mukanya dirusak, takut ia bukan main.

Leng Nio melihat ketakutan ini, ia tersenyum mengejek. “Biar kugurat sedikit pipimu, hendak kulihat dia masih menyintamu atau tidak!” Pedangnya ditodongkan ke muka orang penuh ancaman. Bi Eng mundur-mundur dengan pucat.

“Jangan .... bunuh saja aku .....” katanya.

Leng Nio mengeluarkan suara ketawa menyeramkan, pedangnya digerak-gerakkan seperti hendak menggurat muka Bi Eng yang berusaha melindungi mukanya dengan kedua tangan. Sebetulnya, memang tidak akan ada kesenangan lebih besar bagi Leng Nio di saat itu dari pada merusak muka gadis ini, gadis yang amat dibencinya karena dianggap merebut hati Bhok-kongcu.

KEBENCIAN yang timbul dari cemburu. Memang paling berbahayalah kalau wanita sudah dibakar oleh cemburu, ia bisa menjadi nekad dan melakukan segala macam perbuatan mengerikan. Akan tetapi, rasa takutnya terhadap Bhok-kongcu lebih besar lagi sehingga Leng Nio masih ingat bahwa kalau ia mengganggu Bi Eng, tentu Bhok-kongcu takkan mengampuninya. Maka ia hanya mempermainkan Bi Eng dan hanya mengancamnya. Melihat Bi Eng makin ketakutan, ia lalu mendesak.

“Aku takkan merusak mukamu asal kau suka memberitahukan di mana adanya surat wasiat Lie Cu Seng.”

Tak dapat disangkal pula, memang Bi Eng merasa ngeri kalau memikirkan mukanya akan dirusak. Akan tetapi dia bukan seorang pengecut. Kalau untuk melindungi mukanya ia harus membuka rahasia tentang surat wasiat yang dibawa kakaknya, nanti dulu!

“Aku tidak tahu,” jawabnya.

“Kalau begitu, betul-betul hidungmu akan kupotong!”

Pedang di tangan Leng Nio berkelebat, akan tetapi tiba-tiba pedang itu terlepas dari pegangan, juga pedang di tangan kiri dan di lain saat Leng Nio sudah roboh tergelimpang. Bi Eng kaget sekali, juga heran. Akan tetapi tahu-tahu ada bayangan berkelebat dan gadis ini telah disambar orang, dibawa melompat tinggi ke atas genteng, terus dibawa berlari cepat sekali.

Leng Nio yang sudah dapat bangun lagi, tidak mengenal siapa penyerang gelap tadi karena bayangan itu sudah lenyap bersama Bi Eng. Bukan main kagetnya. Ia tahu bahwa mengejar takkan ada artinya karena sudah terang penyerang gelap tadi memiliki kepandaian yang luar biasa sekali, jauh lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri. Ia hanya melihat tubuh yang ramping dari belakang ketika bayangan itu berkelebat pergi memondong tubuh Bi Eng.

“Apa dia Thio-siocia .....?” pikir Leng Nio.

Thio Li Hoa juga amat tinggi ilmu silatnya, akan tetapi kenapa Thio-siocia menculik Bi Eng? Pula, ia mengenal gerakan-gerakan Li Hoa yang menjadi murid utama dari Coa-tung Sin-kai. Sedangkan bayangan tadi yang jelas adalah bayangan seorang wanita, memiliki gerakan yang cepat dan aneh. Apalagi serangan pukulan jarak jauh yang membuat pedangnya terlepas dan tubuhnya terguling tanpa menderita luka, benar-benar merupakan serangan yang luar biasa dan aneh. Agaknya Thio­siocia belum tentu mampu melakukan serangan macam itu. Siapa dia?

Harus kulaporkan kepada Bhok-kongcu, pikir Leng Nio dan gadis ini menjadi takut. Ia memutar otak mencari akal bagaimana harus melaporkannya tanpa menimpakan kesalahan kepada diri sendiri. Perlahan-lahan ia lalu memasuki gedung itu dari pintu belakang.

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment