Ads

Thursday, August 30, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 030

◄◄◄◄ Kembali

Bi Eng merasa dirinya tak berdaya dalam pondongan orang itu. Atau lebih tepat ia “dikempit” karena orang itu membawanya seperti orang membawa sepotong balok saja. Tentu ia akan meronta sekuatnya kalau saja yang merampasnya itu seorang pria.

Akan tetapi setelah ia tahu bahwa yang membawanya pergi adalah seorang wanita, ia menjadi tertarik sekali dan ingin tahu apa yang hendak dilakukan wanita itu terhadap dirinya. Tentu tidak bermaksud jahat, pikirnya. Buktinya, wanita ini sudah menolongku dari ancaman Leng Nio yang galak.

Ia kagum sekali melihat betapa wanita itu dengan ringan meloncat-loncat lalu turun dari atas genteng dan membawanya lari memasuki sebuah hutan besar di lereng bukit. Tidak mudah berlari-­lari secepat itu sambil memondongnya. Ketika ia melirik ke atas, hatinya berdebar. Wanita itu memakai kedok yang menutupi seluruh muka dan kepalanya. Hanya sepasang mata yang bersinar-­sinar aneh tampak dari dua lubang kecil di kedok itu.

Dia langsing sekali dan tubuhnya menunjukkan bahwa dia masih muda, tapi kepandaiannya sudah hebat dan sikapnya aneh. Mengapa pakai kedok menutupi muka? pikir Bi Eng.

Setelah tiba di tengah hutan yang besar, si kedok itu melepaskan kempitannya, kemudian sekali ia melayang, tubuhnya telah naik dan tahu-tahu ia telah duduk di atas cabang pohon. Bi Eng berdiri dan memandang kagum.

“Siapa kau?” tanyanya. “Dan kenapa kau membawaku ke sini?”

“Kalau tidak membawamu ke sini, sekarang tentu hidungmu sudah putus dan pipimu sudah corat-­coret oleh luka,” jawab si kedok itu dan ternyata suaranya merdu sekali.

Bi Eng tertawa. “Oh, betul juga. Aku belum mengucapkan terima kasih. Eh, enci berkedok yang aneh. Agaknya mukamu sendiri bercacad hebat maka kau tidak tega melihat orang mau melukai mukaku.”

“Kenapa kau bilang begitu?”

“Kalau mukamu tidak bercacad, mengapa kau tutupi mukamu itu? Melihat bentuk tubuh dan mendengar suaramu, pantasnya kau seorang yang memiliki muka cantik sekali. Sayang bercacad, maka kau tutupi.”

Sampai lama gadis berkedok yang duduk di cabang pohon itu tidak menjawab. Akhirnya ia menghela napas dan berkata, suaranya sedih.

“Aku berkedok atau tidak, apa hubungannya dengan kau? Apakah kau adik dari Cia Han Sin?”

Bi Eng seorang gadis periang, maka segera ia merasa senang melihat si kedok ini.

“Betul, namaku Cia Bi Eng, enci berkedok, apakah kau juga sudah mengenal kakakku? Agaknya orang-orang paling aneh di dunia ini semua mengenal kakakku,” katanya bangga. “Apa kau tahu di mana adanya kakakku?”

Akan tetapi gadis berkedok itu tidak perdulikan omongannya. “Perempuan tadi bilang kau bersahabat dengan Bhok-kongcu. Betulkah kau melakukan perjalanan dengan pemuda itu? Apakah kau sahabatnya?”

Bi Eng teringat akan ucapan-ucapan kotor yang dikeluarkan Leng Nio tadi. Wajahnya merah dan ia menjawab,

“Kalau betul, mengapa? Aku bukan orang macam Leng Nio. Aku memang sahabatnya dan aku betul melakukan perjalanan dengan dia. Akan tetapi apa salahnya? Bhok-kongcu orangnya baik sekali, sopan dan terpelajar. Dia malah membantuku mencari Sin-ko.”

“Hemmmm ...... kau anak kecil tahu apa? Tidak tahu bahwa kau sudah terjerumus di tengah-tengah bahaya maut, begitu pula kakakmu yang tolol dan terlalu baik itu. Hemmm ......”

“Bahaya maut .......? Apa maksudmu? Di mana kakakku?” Bi Eng tidak berani main-main lagi karena ia mulai mengkhawatirkan keselamatan Han Sin.

Pada saat itu terdengar suara ketawa aneh, menyeramkan sekali seperti bukan suara manusia. Datangnya dari jauh, makin lama makin dekat, lalu disusul suara seperti kuda meringkik, namun bukan kuda. Suara kedua inipun amat tajam melengking menusuk telinga sehingga Bi Eng yang berhati tabah tetap saja merasa bulu tengkuknya berdiri.

“Apa itu .....?” tanyanya.

Gadis berkedok itu tertawa kecil. Tangan kirinya menuding dan ia berkata. “Nah, kau dengar itu? Mereka juga sudah datang, Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis dari Laut Timur). Pasti makin ramai dan semua itu datang untuk kakakmu dan kau. Marilah kau ikut aku dan lihat sendiri, akan tetapi awas, jangan sekali-kali kau mengeluarkan suara kalau melihat apa-apa. Ini demi keselamatanmu sendiri, mungkin demi keselamatan kakakmu, Cia Han Sin. Mau kau berjanji?”

Bi Eng menelan ludah, merasa seram. Ia mengangguk.

“Aku berjanji.”

Nona berkedok itu melompat turun, begitu ringan seperti sehelai daun kering tertiup angin, membuat Bi Eng menjadi makin kagum.

“Kau ikuti aku, kerahkan ginkangmu supaya jangan menimbulkan suara berisik,” kata nona berkedok itu yang lalu ke puncak, diikuti oleh Bi Eng.

“Eh, enci berkedok. Sebetulnya siapa namamu?” Di tengah perjalanan Bi Eng tak dapat menahan hatinya lagi, bertanya.

Tanpa menoleh gadis berkedok itu berkata.

“Namaku Hoa-ji.”

“Bagus, kalau begitu mulai sekarang aku menyebutmu enci Hoa-ji, eh, tidak mungkin. Hoa-ji berarti anak Hoa, mana bisa aku menyebut anak padamu. Enci Hoa, nah, baiknya Enci Hoa saja. Enci Hoa yang baik, setelah kau suka menolongku, mengapa kau tidak mau memperlihatkan mukamu yang cantik kepadaku?”

Kini gadis berkedok itu menoleh. “Kau berwatak gembira sekali, tidak seperti kakakmu. Bi Eng apakah selama hidupmu kau belum pernah merasai duka?” Biarpun sambil bicara, nona berkedok itu tidak menghentikan langkahnya.

“Duka? Kenapa, enci Hoa? Kata kakak Sin, hidup di dunia ini tidak abadi, tidak lama, mengapa mesti membuang waktu untuk berduka? Nah, karena menuruti ucapan Sin-ko, aku selalu gembira. Dan lagi, apa sebabnya kita mesti susah-susah?”

“Hemm, misalnya ..... mengenang orang tua. Bukankah orang tuamu sudah tidak ada lagi?”

Bi Eng menarik napas panjang. “Ayah ibuku sudah meninggal dunia, kenapa mesti susah-susah lagi? Hanya penasaran yang ada karena mati mereka itu terbunuh orang. Akan datang saatnya aku membalas dendam ini. Akan tetapi susah? Tidak, aku tidak susah. Disusahkan juga apa artinya? Yang mati takkan kembali, paling-paling aku menjadi kurus kering.” Gadis lincah jenaka ini tertawa lagi, senyumnya manis menghias bibirnya.

“Bi Eng, kau baik .... Sekarang harap kau jangan bersenda gurau lagi, kita sudah mendekati puncak. Kau diam saja, buka mata buka telinga tapi tutup mulut.”

Dua orang gadis ini berindap-indap menuju ke puncak di mana terdapat bangunan mungil milik Bhok-kongcu itu. Bi Eng masih mendengar suara orang banyak bercakap-cakap di ruangan depan. Ke sinilah gadis berkedok membawanya. Berkali-kali gadis berkedok, Hoa-ji, memberi tanda dengan telunjuk ke depan mulut supaya Bi Eng tidak mengeluarkan suara.

Setelah tiba di depan rumah, Bi Eng melihat bahwa Bhok-kongcu sedang menghadapi beberapa orang tamu dan keadaan di situ ramai dan gembira. Cepat ia bersembunyi di belakang sebatang pohon di tempat gelap seperti yang ditunjuk oleh Hoa-ji. Gadis berkedok itu sendiri setelah melihat Bi Eng mendapatkan tempat sembunyi yang baik, lalu berkelebat menghilang di dalam gelap. Dari tempat sembunyinya Bi Eng dapat melihat jelas dan dapat mendengar tegas.

Bhok Kian Teng duduk dengan wajah berseri menghadapi banyak orang yang aneh-aneh bentuk wajahnya, ada belasan orang banyaknya duduk di kursi terdepan dan mereka ini rata-rata sudah berusia lanjut. Masih ada dua puluh orang lebih yang dari tingkat muda duduk di bangku belakang. Mereka semua menghadapi meja yang penuh hidangan dan arak.

Ketika Bi Eng menggerakkan pandang matanya menyapu orang-orang yang duduk di ruang itu, dengan amat heran ia melihat dua orang tosu yang dikenalnya baik, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dari Cin-ling-pai! Pada saat itu Bhok-kongcu berkata sambil tersenyum ramah seperti biasanya dan suaranya halus seperti biasa pula.

“Kutegaskan sekali lagi bahwa orang-orang gagah yang membantu pemerintah kita yang mulia adalah jago-jago pilihan di dunia. Cuwi enghiong (tuan-tuan sekalian yang gagah) tidak usah ragu-­ragu lagi bahwa ji-wi tosu It Cin Cu dan Ji Cin Cu dapat digolongkan sebagai orang-orang segolongan dan orang-orang gagah pula.” Sambil berkata demikian, Bhok-kongcu menganggukkan kepalanya ke arah tempat duduk dua orang tosu Cin-ling-pai yang duduk dengan muka muram di pojok.

Semua orang yang duduk di situ memandang ke arah dua orang tosu itu, akan tetapi hanya seorang saja yang membuka suara setelah mengeluarkan suara mendengus penuh ejekan. Orang ini adalah seorang kakek kurus kecil yang pakaiannya membuat Bi Eng hampir tertawa karena geli hatinya. Orangnya sudah tua, lagi buruk mukanya, akan tetapi pakaiannya dari sutera berkembang emas. Benar-benar seperti seorang anak wayang yang ke sasar ke tempat itu!

Gadis ini tidak tahu bahwa kakek yang dianggapnya seperti badut wayang itu adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal, seorang di antara tiga “raja” sungai Huang-ho, yaitu yang terkenal dengan julukannya Kim-i Tok-ong (Raja Racun Berbaju Emas)! Di lembah sungai Huang-ho banyak didiami orang-orang jahat, dijadikan sarang perampok dan bajak sungai, akan tetapi yang terkenal sebagai Huang-ho Sam-ong (Tiga Raja sungai Huang-ho) adalah Kim-i Tok-ong, Ban-jiu Touw-ong (Raja Copet Tangan Selaksa), dan ketiga Hui-thian Mo-ong (Raja Iblis Terbang ke Langit).

Biarpun kecil kurus tubuhnya, paling kecil di antara tiga orang raja sungai itu, namun kepandaian Kim-i Tok-ong bukanlah yang paling kecil. Ketika mendengar ucapan Bhok-kongcu yang memuji dua orang tosu Cin-ling-pai sebagai orang-orang segolongan atau sejajar dengan kawan-kawannya yang duduk di situ, Kim-i Tok-ong menjadi tak senang dan mengeluarkan dengus mengejek tadi. Ia lalu berdiri dan berkata, matanya memandang ke arah It Cin Cu yang muram dan muka Ji Cin Cu yang biarpun keningnya berkerut namun mulutnya tetap tersenyum lebar itu

“Hemm, sungguh aneh sekali, Bhok-kongcu. Sudah lama sekali saya mengenal Cin-ling-pai sebagai sebuah partai yang angkuh dan menganggap diri sendiri tinggi dan bersih! Aha, masih teringat tiang yang bersangkutan untuk memberi penerangan.” Sambil berkata demikian, ia menoleh kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu.

Ji Cin Cu mengeluarkan suara ketawa dan wajahnya yang bundar gemuk itu menjadi makin lucu dan ramah. Memang tosu gemuk pendek ini lucu dan ramah. Memang tosu gemuk pendek ini berjuluk Siauw-bin-hud (Buddha Tertawa), dan dalam keadaan bagaimana, wajahnya selalu ramah dan bibirnya selalu tersenyum.

“Siancai .... siancai .... memang pinto dan twa-suheng selalu menyembunyikan diri selama ini sehingga seperti kodok-kodok di dalam sumur, tidak tahu bahwa di luar sumur masih terdapat dunia luas. Mana pinto tahu bahwa di dunia ini terdapat raja-raja berpakaian emas dan selalu melumur diri dengan racun? Ha ha ha, memang benar ucapan Kim-i Tok-ong tadi, kami hanya dua orang tosu dari Cin-ling-pai, akan tetapi biarpun tua, para sute kami kiranya masih akan mentaati perintah kami. Terima kasih atas kepercayaan Bhok-kongcu, karena kepercayaan itu menebalkan kesetiaan kami.”

Bhok-kongcu juga tertawa. Tentu saja siauwte percaya penuh akan kesetiaan dan kepandaian Siauw-bin-hud Ji Cin Cu totiang.”

Panas perut Kim-i Tok-ong mendengar ucapan tosu gendut itu dan mendengar dia tadi disindir sebagai raja berpakaian emas yang selalu melumur diri dengan racun. Apalagi mendengar jawaban Bhok-kongcu yang amat ramah terhadap tosu gendut itu. Ia bangkit berdiri dengan muka merah dan kedua tangannya yang digerak-gerakkan itu berubah menjadi hitam!

Hui-thian Mo-ong yang melihat saudaranya sudah naik darah. Kuatir kalau terjadi apa-apa yang akan membikin hati Bhok-kongcu tidak senang maka melihat kedua tangan saudaranya sudah hitam tanda bahwa Raja Racun itu hendak menggunakan tangan maut, ia cepat berbangkit dan berkata.

“Kim-i Tok-ong loheng harap bersabar. Kasihanilah tosu-tosu tua ini yang sudah mendapat kepercayaan Bhok-kongcu. Kongcu yang waspada takkan salah pilih orang. Malah kita harus menghormati kedatangan dua orang pilihan baru dengan arak seperti biasa.”

Sambil tersenyum Hui-thian Mo-ong yang bertubuh kurus tinggi dan berpakaian serba hitam itu menghampiri meja di mana ditaruh sebuah guci arak yang amat besar. Guci ini tadi dipikul oleh empat orang pelayan dan sekarang masih penuh arak. Beratnya tidak kurang dari dua ratus kati.

Sambil berjalan menghampiri guci arak, Hui-thian Mo-ong mengerling ke arah Bhok-kongcu. Pemuda ini maklum bahwa Raja Iblis ini hendak mencoba kepandaian dua orang tosu Cin-ling-pai tanpa bertempur, maka ia menjadi gembira dan menganggukkan kepalanya sambil mengipasi diri dengan kipasnya.

Bi Eng yang bersembunyi di balik pohon, melihat semua ini dengan bengong dan alangkah kagetnya ketika melihat Hui-thian Mo-ong menggunakan tangan kiri untuk mengangkat guci arak besar itu, begitu ringan seperti orang-orang mengangkat tempat air teh yang kecil saja! Kemudian Hui-thian Mo-ong berseru keras,

“Harap ji-wi totiang dari Cin-ling-pai sudi menerima suguhan arak dari Hui-thian Mo-ong!”

Dan tiba-tiba guci arak yang berat dan besar itu ia lontarkan ke atas. Guci arak itu melayang ke atas kepala para tamu dan meluncur ke arah Ji Cin Cu si gendut yang masih enak-enak duduk sambil tersenyum-senyum. Hampir saja Bi Eng mengeluarkan seruan kaget melihat hal ini.

Kalau guci itu turun menimpa kepala orang, bukankah kepala yang besar dan bulat itu akan remuk-­remuk? Guci itu, tanpa tumpah sedikitpun arak di dalamnya, kini dari atas meluncur ke bawah, tepat ke arah kepala Ji Cin Cu dan terdengar suara angin meniup.

“Ho ho, biarpun golongan iblis, kalau sudah menjadi raja masih punya aturan. Kamsia .... kamsia .... (terima kasih) ...!” Sambil berkata begini, Ji Cin Cu menggerakkan kedua lengannya ke atas sambil menggerakkan tenaga dalamnya dan ..... sebelum guci arak itu tersentuh ujung tangannya, guci itu terpental oleh hawa pukulannya, kembali ke atas dan di atas menjadi goyang sedikit sehingga ada arak yang tertumpah ke bawah. Sambil membuka mulutnya untuk menerima arak yang sengaja ia tuangkan itu, kembali kedua tangan Ji Cin Cu bergerak mendorong dan kini guci arak itu terbang ke arah It Cin Cu.

”Twa-suheng, penghormatan orang harus diterima,” kata Ji Cin Cu setelah menelan arak tadi. Ia sengaja berkata begini untuk meredakan hati suhengnya yang ia tahu mudah tersinggung.

It Cin Cu mengangguk berkata singkat, “Kau yang disuguh, bukan aku!” Tangan kirinya diangkat untuk menerima guci itu lalu didorongnya sekali gus ke arah Kim-i Tok-ong!

Hebat tenaga dorongan ini, lebih hebat dari pada dorongan Hui-thian Mo-ong tadi sehingga dengan mengeluarkan suara mengaung guci itu terbang ke arah Kim-i Tok-ong dalam keadaan terputar seperti gasingan.

Kim-i Tok-ong maklum akan hebatnya serangan ini. Guci yang dilontarkan begitu saja masih mudah disambut dan ditangkis. Akan tetapi dengan tenaga lweekang yang luar biasa It Cin Cu tidak saja melontarkan, malah membikin guci terputar-putar dan inilah yang sukar bagi si penerima.

Namun Kim-i Tok-ong tidak percuma menjadi seorang di antara ketiga Huang-ho Sam-ong. Ia bangkit berdiri dan begitu tangannya menyambut guci, kedua tangan itu ia putar-putar menurutkan gerakan guci. Makin lama putaran tangannya makin perlahan, kemudian setelah habis tenaga putaran guci, ia melontarkan guci itu tinggi sekali sampai hampir menyentuh langit-langit sambil berkata.

“It Cin Cu totiang, biar sekarang aku yang menyulangi arak kepadamu!”

Tiba-tiba guci yang melayang ke atas itu kini terbalik. Tentu saja arak di dalamnya tumpah keluar dan menimpa turun dikejar gucinya. Arak dan guci melayang ke bawah menimpa ke arah kepala It Cin Cu. Semua orang terkejut. Inilah serangan hebat dan sukar dihadapi. Biarpun guci itu sendiri tentu saja dapat disambut atau dielakkan, namun bagaimana bisa menyambut datangnya arak yang tumpah itu? Sungguhpun tersiram arak tidak berbahaya namun hal ini tentu saja akan memalukan sekali.

Namun It Cin Cu tenang-tenang saja. Dalam ketenangannya, ia dapat bergerak cepat sekali. Tiba-­tiba tubuhnya mencelat ke atas dan kedua tangannya menyambar guci lalu dibaliknya guci itu dan digunakan untuk menadahi arak yang tumpah ke bawah. Gerakannya demikian cepat, melebihi cepatnya arak yang turun sehingga semua arak dapat diterima ke dalam mulut guci, kecuali sedikit yang diterimanya dengan mulut!

Terdengar tepuk tangan memuji dan Bhok-kongcu berseru saking girang dan kagumnya. Akan tetapi suara pujiannya terhenti karena kagetnya melihat It Cin Cu melontarkan guci itu ke arah Ban­jiu Touw-ong. Orang kedua dari Huang-ho Sam-ong. Agaknya It Cin Cu juga ingin sekali mengukur kepandaian tiga orang ini dan setelah Kim-i Tok-ong dan Hui-thian Mo-ong tadi memperlihatkan kepandaiannya, ia ingin melihat kepandaian si Raja Copet.

Hebatnya, kalau tadi guci arak berkali-kali dilontarkan ke atas dan hanya menyerang kepala orang dari atas ketika jatuh ke bawah, sekarang It Cin Cu melontarkan dari samping dan guci itu langsung melayang ke arah kepala Ban-jiu Touw-ong. Sambitan ini kuat sekali dan amat berbahaya kalau orang berani menyambutnya, karena sambitan itu sudah menjadi berlipat ganda dengan beratnya guci itu sendiri.

Semua orang terkejut, tak terkecuali Bhok-kongcu yang maklum akan kehebatan serangan ini. Hanya dua orang di antara Huang-ho Sam-ong yang nampak tenang-tenang saja, agaknya mereka ini percaya penuh akan kemampuan Ban-jiu Touw-ong.

Orangnya sendiri yang menghadapi serangan ini mengeluarkan suara seperti orang ketakutan. Memang Ban-jiu Touw-ong orangnya suka berjenaka, tubuhnya juga serba panjang, pantas saja menjadi raja tangan panjang, pakaiannya belang-belang dan terlalu besar untuknya seperti pakaian badut tukang sulap. Menghadapi serangan ini ia menjatuhkan diri dari atas bangkunya sehingga guci arak itu lewat di atas kepalanya, terus melayang keluar dari jendela yang kebetulan berada di belakangnya!

“Wah, Touw-ong tak berani menerima .....!” kata Bhok-kongcu, menyesal dan kecewa karena hal ini berarti merendahkan nama Huang-ho Sam-ong yang sudah menjadi pembantu-pembantunya. Akan tetapi tiba-tiba Ban-jiu Touw-ong tertawa dan tubuhnya berkelebat melayang keluar.

Semua orang menahan napas dan tak lama kemudian, nampak si tangan panjang itu sudah meloncat kembali ke dalam ruangan sambil memanggul guci arak itu yang sama sekali tidak pecah, bahkan araknya tidak ada yang tumpah. Dengan senyum ia menaruh guci itu ke tempat yang tadi, kemudian ia memandang ke arah It Cin Cu lalu menjura,

“Lihai sekali .... tangan tosu dari Cin-ling-pai benar-­benar berbahaya dan sekali turun tangan tidak kepalang tanggung!”

Ji Cin Cu hanya tertawa ha ha hi hi, lalu berkata, “Memang untuk menjadi tukang copet harus memiliki gerakan cepat. Kagum ...... kagum ......”

Akan tetapi It Cin Cu masih merengut dan berkata singkat. “Tidak percaya sama dengan menghina, menghina sama dengan menantang. Orang gagah tidak pantang mundur menghadapi tantangannya.”

Di antara tiga orang raja ini, Kim-i Tok-ong terkenal berwatak berangasan. Mendengar ucapan It Cin Cu, ia segera berdiri dan memandang tosu itu sambil berkata, “Ilmu silat Cin-ling-kun dan Im­yang-kun yang dibuat andalan Cin-ling-pai semua aku sudah melihatnya dan ternyata tidak sebesar nama Cin-ling Sam-eng. Akan tetapi aku mendengar bahwa mendiang Giok Thian Cin Cu mempunyai ilmu pedang simpanan yang disebut Lo-hai Hui-kiam. Entah berita angin ini ada benarnya atau hanya omong kosong untuk menakut-nakuti orang saja. Kulihat ji-wi totiang dari Cin-ling-pai ini mempunyai kedudukan tertinggi di samping Giok Thian Cin Cu, juga selalu membawa pedang tentu ilmu pedang Lo-hai Hui-kiam itu dapat dipertontonkan di sini. Ingin kami bertiga mencoba-coba sebentar kalau ji-wi totiang memang memiliki kepandaian dan tentu saja kalau Bhok-kongcu memberikan izin.”

It Cin Cu dan Ji Cin Cu saling pandang dengan heran. Memang pendengaran orang-orang kang-ouw sangat tajam. Bagaimana Raja Racun ini bisa tahu bahwa mendiang ketua Cin-ling-pai memiliki ilmu pedang yang amat rahasia itu? It Cin Cu memberi tanda dengan matanya kepada sutenya lalu ........
”Sratt!” Ia sudah mencabut pedangnya, diturut oleh Ji Cin Cu.

“Dengan seizin Bhok-kongcu, pinto berdua siap melayani siapa saja yang memandang rendah Cin­ling-pai,” kata It Cin Cu tenang.

Bhok-kongcu memang ingin sekali menyaksikan kepandaian dua orang tosu Cin-ling-pai ini, maka sambil tersenyum ia berkata,

“Kalau sahabat-sahabat yang gagah suka mengingat bahwa kita adalah orang-orang sendiri dan hendak menambah pengetahuan siauwte dengan mainan ilmu-ilmu silat tinggi, tentu saja siauwte tidak keberatan.”

Huang-ho Sam-ong mendengar ini, maklum bahwa tuan muda mereka itu ingin menggunakan tenaga mereka untuk menguji dua orang tosu ini. Maka bertiga mereka lalu meloncat ke tengah di mana tersedia ruangan cukup luas untuk bermain silat. Gerakan mereka bertiga cepat dan ringan sekali dan begitu meloncat mereka sudah berdiri dalam keadaan teratur dengan bentuk segi tiga, siap menghadapi lawan.

Kim-i Tok-ong tidak bersenjata hanya mengandalkan kedua tangannya yang sudah berubah menghitam ketika ia menyalurkan tenaga beracun ke dalam tangannya itu. Ban-jiu Touw-ong, orang kedua dari Huang-ho Sam-ong, mengeluarkan sepasang senjata yang aneh. Di tangan kirinya terdapat sebatang pisau belati kecil yang amat runcing dan tajam, sedangkan di tangan kanannya ia memegang senjata kaitan seperti sebuah pancing bentuknya, melengkung bentuknya dan di ujung lengkungan ada kaitannya, persis pancing besar bergagang.

Adapun Hui-thian Mo-ong memegang sebatang golok tipis yang berkilauan. Tiga orang tua ini sudah siap memasang kuda-kuda dan mata mereka memandang ke arah It Cin Cu dan Ji Cin Cu dengan menantang.

Dua orang tosu ini bangkit berdiri dan menghampiri ruangan itu dengan tenang dan dengan pedang di tangan. Mereka maju dan berdiri berendeng di depan tiga orang lawan itu, sikapnya tenang sekali.

“Ji-wi totiang lekas kalian bergerak, hendak kulihat bagaimana hebatnya Lo-hai Hui-kiam!” kata Kim-i Tok-ong.

Senyum Ji Cin Cu melebar. Dia tahu bahwa suhengnya tidak mau menyerang lebih dulu.

“Suheng berjuluk Thio-te-kong dan pinto dijuluki Siauw-bin-hud. Malaikat dan nabi tak pernah menyerang orang, kecuali kalau mempertahankan diri. Sebaliknya kalian ini raja-raja racun, copet dan iblis sudah biasa turun tangan, mengapa ragu-ragu?”

Kim-i Tok-ong marah mendengar sindiran ini. Sambil mengeluarkan bentakan keras ia mulai menyerang dengan pukulan tangannya yang hitam ke arah perut Ji Cin Cu yang gendut. Hayaaa, tanganmu hitam kotor, bisa bikin mulas perut,” kata pendeta gendut ini dan dengan mudah saja ia mengelak. Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong juga menggerakkan senjata masing-masing, maju menyerang dua orang tosu Cin-ling-pai itu. Pertempuran hebat segera terjadi dan semua orang yang hadir, yang terdiri dari ahli-ahli silat kenamaan, menjadi gembira dan kagum.

Memang amat menarik menonton pertempuran itu. Huang-ho Sam-ong memiliki kepandaian tinggi dan karena mereka memang sering kali menghadapi lawan-lawan tangguh secara bersama, maka mereka dapat bekerja sama dengan baik dalam setiap pertempuran. Dilain pihak, It Cin Cu dan Ji Cin Cu adalah murid-murid paling tua dari Giok Thian Cin Cu. Selain mereka ini ahli-ahli ilmu silat Cin-ling-kun, juga mereka sudah mempelajari dengan matang ilmu pedang Im-yang Kiam-hoat. Dalam menghadapi tiga orang lawannya yang tangguh, mereka lalu menggunakan ilmu pedang ini untuk mempertahankan diri dan balas menyerang.

Siauw-bin-hud Ji Cin Cu yang amat tinggi tenaga lweekangnya, mengambil kedudukan Im dan menjadi penahan atau pelindung menghadapi setiap serangan lawan, sebaliknya It Cin Cu yang gerak-geriknya cepat dan ganas, menduduki tempat Yang dan menjadi penyerang yang berbahaya. Kadang-kadang dua orang kakak beradik seperguruan ini saling bantu dan saling menukar kedudukan dalam saat-saat yang tak terduga oleh lawan sehingga makin repot. Akan tetapi tiga orang tokoh sungai Huang-ho ini tentu saja pantang menyerah dan mereka mengerahkan tenaga sehingga pertempuran makin lama makin ramai dan bukan merupakan menguji kepandaian lagi, melainkan pertempuran mati-matian.

Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang amat luas pengetahuannya, juga amat tinggi ilmu silatnya. Ia memang suka sekali menguji kepandaian orang-orang pandai dan diam-diam ia mencatat semua gerakan-gerakan Im-yang Kiam-hoat sehingga setelah pertempuran berjalan seratus jurus, sudah banyak jurus-jurus ilmu pedang Cin-ling-pai ini ia catat dan hafalkan! Akan tetapi, melihat betapa pertempuran ini makin hebat, ia kuatir kalau ada kawan terluka, maka ia berkata,

“Cukuplah, di antara kawan sendiri tidak boleh mati-matian. Siauwte harap cuwi suka berhenti.”

Akan tetapi, lima orang yang sudah mulai panas perutnya itu mana mau berhenti begitu saja? Mereka bersikap seolah-olah tidak mendengar ucapan pemuda itu dan melanjutkan pertempuran makin hebat lagi.

Tiba-tiba dari dalam gelap di luar gedung terdengar dua macam suara yang membikin semua orang terkejut. Suara-suara itu adalah suara tertawa yang menyeramkan dan suara ringkik kuda yang lebih seram lagi. Mendengar suara ini, Bhok-kongcu berseri mukanya dan bangkit berdiri.

“Ji-wi locianpwe dari Tung-hai telah tiba, bagus sekali ....!” katanya.

Suara-suara itu berhenti dan sebagai gantinya dua bayangan orang tua berkelebat masuk, langsung tiba di tengah-tengah gelanggang pertempuran.

“Hai, apakah perebutan nama Thian-he-tee-it Kauwsu sudah dimulai? Jangan borong sendiri, beri kesempatan kepada kami!” kata seorang di antara dua bayangan itu sambil tertawa.

Pada saat itu, di satu pihak pedang di tangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menusuk ke depan dan di lain pihak Huang-ho Sam-ong juga sedang menyerang. Serangan dua tosu Cin-ling-pai mengancam bayangan yang bertubuh tinggi besar sedangkan serangan ketiga Huang-ho Sam-ong menghantam bayangan yang bertubuh pendek. Dua orang itu tertawa dan yang tinggi besar mengangkat kedua tangannya. Juga yang pendek menggerakkan kedua tangannya. Sekaligus senjata-senjata kedua pihak terkena gempuran tangan dua orang aneh ini terpental keras dan lima orang itu kaget sekali, cepat mencelat mundur sambil mengeluarkan seruan kaget. Tangan mereka terasa sakit seakan-akan mereka telah menyerang dinding baja yang kuat! 

Lanjut ke jilid 031 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment