Ads

Friday, August 31, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 031

◄◄◄◄ Kembali

“Cuwi yang bertempur silahkan mundur. Sudah cukup memperlihatkan kepandaian masing-masing. Jiwi locianpwe dari Tung-hai, harap jangan salah sangka. Perebutan gelar Thian-he-tee-it Kauwsu (Jago Silat Nomor Wahid di Dunia) belum dimulai. Silahkan ji-wi mengambil tempat duduk.”

Dengan ramah Bhok-kongcu turun tangan sendiri menyediakan dua kursi kehormatan di sebelah kanannya dan dua orang itu sambil tertawa-tawa lalu duduk, tanpa mengacuhkan semua orang yang berada di situ kecuali Bhok-kongcu, kepada siapa mereka menjura dan menghaturkan terima kasih. Lalu Bhok-kongcu memperkenalkan dua orang tua yang baru datang ini kepada semua tamu.

Kiranya mereka ini adalah Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis dari Laut Timur). Yang tinggi besar bermuka hitam adalah Ji Kong Sek yang suka tertawa seram, sedangkan yang pendek tubuhnya tapi panjang sekali lehernya adalah adik kandungnya bernama Ji Kak Touw, suka mengeluarkan suara seperti ringkik kuda. Memang lehernya panjang dan bentuknya seperti leher kuda.

It Cin Cu dan Ji Cin Cu, juga ketiga Huang-ho Sam-ong, telah merasai kelihaian dua orang ini, maka mereka lalu kembali ke tempat duduk masing-masing tidak berani lagi memperlihatkan kepandaian. Akan tetapi, di antara para tamu, Tok-gan Sin-kai merasa marah dan kecewa sekali.

Seperti telah diketahui, Tok-gan Sin-kai si pengemis mata satu ini pernah menyerbu ke Cin-ling-pai dan masih merasa penasaran dan benci kepada It Cin Cu dan Ji Cin Cu. Ketika tadi dua orang tosu ini bertempur melawan Huang-ho Sam-ong, diam-diam ia mengharapkan dua orang tosu ini mendapat hajaran. Maka kedatangan dua orang yang disebut Tung-hai Siang-mo membuat harapannya itu gagal dan karenanya ia menjadi kecewa. Apalagi melihat betapa Bhok-kongcu amat menghormati dua orang tamu baru ini, ia makin mendongkol.

Memang nama Tung-hai Siang-mo tidak begitu terkenal, maka Tok-gan Sin-kai memandang rendah kepada mereka. Apalagi melihat mereka itu seperti orang biasa saja. Ia pikir bahwa belum tentu ia kalah oleh dua orang itu, kenapa datang-datang diberi penghormatan demikian besar? Aku harus unjuk gigi dan bikin malu mereka, pikirnya. Cepat ia lalu menuangkan dua cawan kosong dengan arak sampai penuh sekali, kemudian sambil tertawa lebar ia bangkit dan menghampiri Tung-hai Siang-mo.

Tok-gan Sin-kai adalah sute (adik seperguruan) dari Coa-tung Sin-kai, tokoh besar di utara, maka kepandaiannya tentu saja sudah amat tinggi. Ia sengaja membawa cawan-cawan arak dengan terbalik, akan tetapi diam-diam mengerahkan lweekang yang “menyedot” sehingga tenaga sedotan ini membuat arak di dalam cawan yang dibalikkan itu tak tumpah keluar!

“Sudah lama mendengar nama besar Tung-hai Siang-mo, aku Tok-gan Sin-kai menghormat dengan secawan arak,” katanya sambil tertawa dan memberikan cawan-cawan arak itu kepada Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw.

Dua orang iblis Laut Timur itu saling pandang, lalu keduanya tertawa terbahak-bahak. Dengan gerakan sembarangan mereka menerima cawan-cawan arak yang terbalik itu. Arak di dalam cawan yang dibalikkan itu tiba-tiba jatuh ke bawah ketika Tok-gan Sin-kai melepaskan cawan dan sekaligus menarik kembali tenaga lweekang yang menyedot. Ia sudah girang sekali karena menganggap usahanya berhasil, yaitu membikin malu dua orang tamu yang diagungkan itu. Akan tetapi, tiba-tiba dua orang kakek itu berseru dengan suara perlahan,

“Naik!” dan aneh sekali.

Arak yang sudah mulai tumpah itu, tiba-tiba tertahan seperti kena sedot dari atas sehingga ketika cawan diturunkan, arak itu kembali ke dalam cawan yang sekarang sudah mereka pegang berdiri sebagaimana mestinya. Pada saat itu juga, Tok-gan Sin-kai merasa kedua lututnya lemas.

“Celaka .....” serunya akan tetapi terlambat.

Tidak terlihat olehnya bagaimana kedua lututnya tahu-­tahu sudah terkena totokan, juga ia tidak tahu siapa di antara dua orang kakek itu yang melakukannya. Ia mencoba untuk menahan diri, akan tetapi tetap saja lututnya tidak bertenaga dan di luar kehendaknya ia berlutut!

“Eh, eh .... Tok-gan Sin-kai sudah memberi arak, tak perlu melakukan penghormatan berlebih­-lebihan,” kata Ji Kong Sek sambil tertawa seram dengan nada mengejek. Tahulah kini Tok-gan Sin­kai bahwa si tinggi besar itu yang menotok kedua lututnya.

Sementara itu, Ji Kak Touw si leher kuda itupun tertawa lalu menggunakan tangan kirinya menarik pundak Tok-gan Sin-kai seperti orang mencegah si mata satu ini memberi hormat sambil berlutut dan berkata.

“Tak usah berlutut ..... tak usah berlutut, lebih baik kembali ke tempat dudukmu.”

Hebat sekali, entah bagaimana, biarpun tangannya hanya kelihatan memegang pundak, tahu-tahu tubuh Tok-gan Sin-kai mencelat, terlempar dan jatuh di atas tempat duduknya yang tadi seperti barang ringan saja dilontarkan. Jatuhnya persis di tempat duduknya dan otomatis kedua lututnya yang tertotok sudah bebas lagi. Karuan saja si mata satu menjadi tertegun, seluruh mukanya merah dan dia tidak berani berkutik lagi! Kini tahulah dia dan orang-orang lain bahwa dua orang kakek yang disebut Sepasang Iblis Laut Timur ini benar-benar memiliki kepandaian yang luar biasa tingginya. Adapun Tung-hai Siang-mo lalu minum arak suguhan tadi sambil tertawa-tawa.

“Ha ha, Bhok-kongcu memang berbintang terang. Sampai ada pengemis luar biasa yang bermata satu dan begitu tahu hormat mau membantunya,” kata Ji Kong Sek.

“Bhok-kongcu telah memanggil datang kami yang tinggal jauh dari sini, entah di sini akan diadakan perayaan apakah?” tanya Ji Kak Touw.

“Ji-wi loenghiong sudi datang dari tempat yang jauhnya ribuan li, benar-benar membuat siauwte girang dan bangga,” jawab Bhok Kian Teng, “Ada beberapa urusan maka cuwi sekalian siauwte undang ke puncak Lu-liang-san ini. Pertama-tama untuk bersama menikmati keindahan pemandangan puncak ini, sambil saling berkenalan di antara kawan segolongan sendiri. Tanpa saling mengenal, bukankah mudah timbul salah paham yang akan memecah persatuan? Pada dewasa ini, amat penting untuk mengenal siapa kawan untuk membedakan mana lawan. Kedua kalinya, siauwte dalam pertemuan ini juga mengundang orang-orang gagah dari seluruh wilayah untuk dapat insyaf dan sadar bahwa pemerintah kita akan mendatangkan kebahagiaan bagi rakyat sehingga sudah selayaknya dibantu. Ketiga kalinya, untuk memenuhi perintah kaisar, dalam pertemuan ini siauwte hendak mengadakan pemilihan jago silat nomor satu untuk menerima kedudukan sebagai calon koksu di istana. Keempat kalinya, siauwte hendak mengajak cuwi sekalian berunding dalam menghadapi gangguan-gangguan para pemberontak.”

Pada saat itu terdengar suara lengking yang aneh dan menggetarkan kalbu para tamu. Semua orang terkejut sekali, malah sebagian dari pada tamu muda yang duduk di barisan belakang, ada yang roboh terguling, tidak kuat menahan lagi mendengar suara yang hebat ini. Bhok-kongcu cepat bangun berdiri dan dengan muka berseri girang ia berseru.

“Hoa Hoa Cinjin locianpwe sudah datang! Silahkan .... silahkan masuk .....”

Ji Kak Tow berkata kepada suhengnya setelah saling pandang dengan suhengnya ini.

“Diapun pembantu Bhok-kongcu? Hebat. Dengan adanya dia di sini tak perlu lagi bicara tentang jago silat nomor satu!” Ji Kong Sek mengangguk-angguk sambil memandang keluar.

Dari luar bertiup angin dan tahu-tahu seorang tosu bertubuh tegap dan gagah menyeramkan masuk ke ruangan itu. Di punggungnya nampak gagang pedang dan yang amat menarik adalah sepasang matanya yang tajam dan liar, bukan seperti mata manusia lagi. Atas sambutan Bhok-kongcu yang amat menghormat, ia hanya membalas dengan menjura, sikapnya dingin dan tenang.

“Bhok-kongcu sudah berhasil mengumpulkan banyak pembantu, itu bagus,” kata Hoa Hoa Cinjin dengan suaranya yang serak seperti suara burung gagak. “Akan tetapi harus dipilih betul-betul jangan hanya mengumpulkan segala kantong nasi yang tiada gunanya.”

Dengan matanya yang luar biasa tosu ini menyapu semua tamu di situ. Tak seorangpun berani menentang pandang mata yang hebat ini. Pandang mata Hoa Hoa Cinjin terhenti pada dua orang tosu Cin-ling-pai. It Cin Cu dan Ji Cin Cu yang berani menentang pandang matanya dengan tabah.

“Kalian ini tosu-tosu tertua dari Cin-ling-pai, apa buktinya bahwa kalian benar-benar hendak membantu pemerintah baru? Kalau kalian tidak bisa menyeret sute-sute kalian Cin-ling Sam-eng dan dihadapkan kepada Bhok-kongcu, siapa percaya bahwa kalian benar-benar hendak mengabdi dengan hati bersih?”

Dua orang tosu itu berubah air mukanya, dan Bhok-kongcu segera berkata. “Ji-wi tosu, siauwte percaya penuh bahwa ji-wi tentu akan dapat memenuhi permintaan Hoa Hoa Cinjin yang memang sepantasnya ini. Siauwte menanti di sini selama satu bulan.”

Ucapan ini merupakan perintah, juga merupakan ujian bagi kesetiaan dua orang tosu Cin-ling-pai itu. It Cin Cu dan Ji Cin Cu bangkit berdiri, menjura dan berkatalah It Cin Cu.

“Dalam waktu sebulan pasti pinto berdua akan membawa para sute datang menghadap Bhok-kongcu.” Setelah berkata demikian, keduanya berkelebat pergi dan turun dari puncak Lu-liang-san.

“Kongcu, bocah she Cia itu sedang menuju ke sini. Dia agaknya dilindungi oleh Thio-siocia. Hemmm, sikap Thio-siocia amat aneh, harap kongcu berhati-hati terhadapnya. Dua orang puteri Thio-ciangkun itu makin lama makin mencurigakan.”

Bhok-kongcu mengangguk-angguk, senyumnya berubah pahit. “Memang banyak terjadi hal aneh, locianpwe. Seperti baru-baru tadi, seorang kawan baruku, nona Cia telah diculik oleh nona berkedok. Siauwte pernah mendengar bahwa locianpwe mempunyai seorang murid perempuan yang selalu berkedok. Entah dia ......”

HOA HOA CINJIN mengeluarkan suara aneh, lalu mengomel, “Kau tahu satu tidak tahu dua, kongcu. Apa hatimu akan senang kalau melihat nona Cia itu dibuntungi hidungnya oleh pembantumu? Ha ha ha!”

Bhok Kian Teng menjadi pucat dan ia cepat menengok ke belakang di mana Leng Nio berdiri dengan wajah pucat pula.

“Aku .... aku hanya mengancamnya, kongcu, karena dia hendak melarikan diri,” kata Yo Leng Nio kepada Bhok Kian Teng. Pemuda ini mengangguk, percaya akan keterangan Leng Nio.

Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba meloncat keluar dan di lain saat ia sudah melempar tubuh Bi Eng ke dalam ruangan itu. Tadinya Bi Eng kaget setengah mati ketika tahu-tahu ada orang melayang ke dekatnya, akan tetapi sebelumnya ia sempat bergerak, orang itu sudah mencengkeram pundaknya dan melemparkannya ke dalam ruangan. Terpaksa Bi Eng menggunakan ginkangnya untuk mengatur keseimbangan tubuhnya dan turun dengan tenang sambil menghadapi Bhok­kongcu.

“Hoa-ji, turunlah kau,” terdengar Hoa Hoa Cinjin berseru sambil memandang keluar.

Terdengar jawaban suara merdu dari luar yang gelap, “Tak usah, gi-hu. Biar aku di sini saja, terlalu banyak orang menjemukan di sana.”

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Sesukamulah, akan tetapi coba kau amat-amati di luar, jangan sampai Thio-siocia membawa bocah she Cia itu ke lain tempat.”

Pada saat itu terdengar suara nona Thio Li Hoa yang nyaring di luar pintu. “Hoa Hoa Cinjin, jangan menjual omongan busuk. Aku datang bersama Cia Han Sin. Ayoh kau keluarkan obat pemunah pukulanmu yang busuk beracun!”

Dan muncullah Li Hoa bersama Han Sin yang menggandeng tangan Siauw-ong.

Diam-diam Hoa Hoa Cinjin memandang penuh perhatian dan kagetlah dia. Kenapa pemuda itu tidak kelihatan seperti menderita sakit? Ia tahu betul bahwa beberapa hari yang lalu ia melukai pemuda ini dengan pukulannya Tong-sim-ciang (Pukulan Menggetarkan Jantung) dan dalam waktu sepuluh hari kalau tidak dia obati, tentu akan mati. Kenapa sekarang nampak segar bugar seperti tidak menderita sama sekali?

Tentu saja kakek ini tidak tahu bahwa dengan lweekangnya yang luar biasa, ditambah daya tahan dari racun Pek-hiat-sin-coa ditubuhnya, jangankan baru pukulan Tong-sim-ciang, biarpun pukulan sepuluh kali lebih jahat, belum tentu akan dapat merampas nyawa pemuda ini.

“Sin-ko .....!” Bi Eng melompat dan menubruk kakaknya.

“Eh, Bi Eng .....!” Han Sin merangkul adiknya penuh kasih sayang. “Alangkah senangku bertemu dengan kau dalam keadaan selamat di sini.”

Siauw-ong yang nampak girang sekali dan monyet ini lalu menari-nari.

“Sin-ko, banyak sekali orang jahat di dunia ini ....” kata Bi Eng dengan suara mengandung kekecewaan dan penasaran.

“Tidak jahat, Eng-moi, tidak jahat. Mereka itu hanya tersesat dari jalan kebenaran, terpengaruh oleh nafsu. Kalau mereka sudah insyaf dan sadar dari pada kesesatan, mereka akan menyesal dan menjadi baik kembali. Juga tidak semua orang tersesat, Eng-moi. Contohnya, seorang pemuda yang bernama Phang Yan Bu adalah seorang baik, juga nona Thio Li Hoa ini amat baik kepadaku. Mereka berdua tidak bisa digolongkan orang-orang yang sesat.”

Bi Eng memandang ke arah Li Hoa dengan sinar mata penuh selidik, dan wajahnya berseri ketika mendengar nama Phang Yan Bu.

“Kau sudah bertemu dengan saudara Phang Yan Bu? Memang dia orang baik. Koko, akupun tidak mau bilang bahwa semua orang jahat, Bhok-kongcu inipun amat baik kepadaku.” Ia menoleh kepada Bhok-kongcu dan memperkenalkan kakaknya. “Bhok-kongcu, inilah kakakku Cia Han Sin.”

Akan tetapi, alangkah heran dan kagetnya hati Bi Eng ketika melihat Bhok-kongcu tiba-tiba bangkit berdiri dan dengan suara keren memberi perintah.

“Tangkap pemuda ini.” Ia memberi perintah kepada Huang-ho Sam-ong, maka tiga orang ini lalu melompat maju dan di lain saat kedua tangan Han Sin sudah mereka pegang dengan kuat. Terlalu heran hati Han Sin melihat ini sehingga ia tidak sempat bergerak, malah tidak ada niat untuk melawan.

Li Hoa melompat maju. “Bhok-kongcu, dia telah terluka hebat oleh pukulan Hoa Hoa Cinjin. Aku minta kau suka menyuruh Hoa Hoa Cinjin mengobatinya lebih dulu. Soal lain dapat diurus belakangan.!”

Bhok-kongcu tersenyum masam.

“Aha, tidak nyana nona Thio Li Hoa yang biasanya angkuh dan memandang rendah pria, agaknya sekarang hatinya terjerat oleh keturunan Cia! Aneh .... aneh ....!”

Merah muka Li Hoa.

“Sratttt!” Pedangnya telah tercabut dan ia menudingkan ujung pedang di depan hidung Bhok-kongcu sambil membentak.

“Bhok Kian Teng! Orang lain boleh takut kepadamu dan gentar kepada ayahmu, akan tetapi jangan kira aku Thio Li Hoa boleh kau hina begitu saja!” Gadis ini menggerakkan pedangnya dan “Siuuttt!” pedang itu telah melakukan serangan hebat, menusuk leher Bhok Kian Teng. Inilah hebat.

Bhok Kian Teng atau lebih terkenal Bhok-kongcu adalah seorang yang pada waktu itu memiliki kekuasaan dan kedudukan tinggi, jauh lebih tinggi dari pada kedudukan Thio-ciangkun ayah Li Hoa, jangankan menyerangnya, bersikap kurang ajar saja orang tidak berani. Malah Hoa Hoa Cinjin tokoh besar yang ditakuti orang itupun bersikap hormat dan takut terhadap kongcu ini.

Sekarang Li Hoa mendamprat dan menyerangnya, ini menunjukkan betapa tabah hati nona ini. Memang di antara gadis dan pemuda ini sudah ada permusuhan atau kebencian. Pihak Bhok-kongcu benci karena ketika dahulu ia tergila-gila dan mencoba untuk mengganggu Li Hoa, ia menghadapi dampratan. Pihak Li Hoa memang sudah lama benci melihat tingkah laku pemuda hidung belang ini.

Namun ilmu kepandaian Bhok-kongcu jauh lebih tinggi tingkatnya dari pada kepandaian Li Hoa. Diserang secara hebat itu, ia tersenyum saja. Cepat kipasnya ia gerakkan dan tahu-tahu ujung pedang di tangan Li Hoa sudah “ditangkap” oleh kipas itu yang tertutup secara mendadak. Selagi Li Hoa berusaha menarik pulang pedangnya, Hoa Hoa Cinjin melangkah maju dan sekali totok pergelangan nona itu, pedangnya terlepas dan nona itu sendiri terhuyung-huyung dengan lemas.

Bi Eng marah bukan main. Setelah dapat menindas keheranannya, ia melangkah maju dan membentak.

“Lepaskan kakakku! Bhok-kongcu, kenapa kau bersikap begini terhadap kakakku? Ayoh, lepaskan dia!”

Bhok-kongcu menggerakkan tangannya dan dilain saat kedua lengan Bi Eng sudah dipegangnya sehingga gadis itu tidak dapat bergerak lagi.

“Nona Cia, menyesal sekali, aku tidak dapat memenuhi permintaanmu ini. Jangan kau kuatir, kakakmu tidak apa-apa asal dia mau menunjukkan di mana tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng. Maaf, nona. Aku benar-benar menyesal harus mengecewakan hatimu, akan tetapi kita menghadapi urusan besar sehingga terpaksa aku mengesampingkan perasaan pribadiku.” Suaranya benar-benar mengandung penyesalan besar dan sinar matanya dengan lembut memandang Bi Eng, membuat gadis ini bingung dan tidak mengerti.

Pada saat itu terdengar suara tertawa bergelak dan dari luar berkelebat bayangan orang. Bayangan ini menyerbu ke arah Huang-ho Sam-ong sambil berkata,

“Han Sin, kau ikut aku!”

Kim-i Tok-ong melihat bahwa yang menyerbu ini adalah seorang kakek pengemis yang rambutnya awut-awutan, suaranya tinggi kecil, dan tangan kirinya memegang sebuah guci arak. Melihat pengemis tua ini datang-datang hendak menarik lengan Han Sin yang menjadi orang tangkapannya, Kim-i Tok-ong serentak mengirim pukulan dengan tangan kirinya ke arah telinga pengemis tua itu. Juga Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong yang serentak mengenal pengemis tua itu, cepat mengirim serangan.

“Hemmm, tiga manusia beracun, pergilah!”

Pengemis tua itu yang bukan lain adalah Ciu-ong Mo­kai Tang Pok, menggerakkan guci araknya, sekaligus menangkis serangan Ban-jiu Touw-ong dan Hui-thian Mo-ong, kemudian lengannya yang memegang guci itu ditangkiskan ke arah kepalan tangan Kim-i Tok-ong. Serangan tiga orang itu terpental kembali dan kuda-kuda mereka gugur!

Ciu-ong Mo-kai tertawa bergelak dan tiba-tiba dari mulutnya tersembur keluar sinar kuning emas yang bukan lain adalah arak. Semburan arak ini seperti puluhan batang jarum yang menyerang muka ketiga Huang-ho Sam-ong. Kaget bukan main tiga orang itu dan cepat mereka meloncat mundur karena mereka sudah mendengar akan hebatnya senjata aneh dari Raja Arak ini.

Secepat kilat Ciu-ong Mo-kai sudah menarik lengan Han Sin. Akan tetapi sebelum ia dapat membawa pemuda itu keluar, Hoa Hoa Cinjin bergerak mendekati sambil membentak,

“Pengemis busuk, di mana-mana kau mengacau saja!” Sambil berkata demikian ia menggerakkan tangan kiri dan sinar hijau menyambar tiga belas jalan darah terpenting dari tubuh Ciu-ong Mo-kai. Itulah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang amat ganas dari Hoa Hoa Cinjin. Hebat kepandaian Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi hebat pula pengemis tua itu.

Sekali ia meniup, semburan arak yang bersisa di mulutnya dengan tepat telah menahan jarum-jarum itu sehingga terdengar suara halus ketika jarum-jarum itu runtuh di atas lantai. Sementara itu, Tung­hai Siang-mo yang tidak mau kalah dalam mencari jasa di depan Bhok Kian Teng, sudah melompat maju. Tamu-tamu lain biarpun rata-rata berkepandaian tinggi, mereka jerih menghadapi Ciu-ong Mo-kai dan tidak berani sembarangan turun tangan. Tung-hai Siang-mo menyerang Ciu-ong Mo-kai dari kanan kiri dengan pukulan-pukulan tunggal yang keras dan kuat.

“Ha ha, iblis-iblis timur juga menjadi anjing-anjing Mancu? Bagus!” seru Ciu-ong Mo-kai sambil menggerakkan kedua lengan menangkis. Kedua lengannya bertemu dengan lengan lawan dan pengemis sakti ini terhuyung mundur dua langkah. Akan tetapi dua orang lawannya juga terhuyung mundur sampai tiga tindak. Dari sini saja sudah dapat diukur kepandaian tiga orang tokoh besar ini dan ternyata dalam hal tenaga lweekang, pengemis sakti itu masih menang setingkat.

Namun diam-diam Ciu-ong Mo-kai Tang Pok mengeluh. Baru dua orang iblis ini saja sudah amat sukar dikalahkan. Dalam pertandingan sungguh-sungguh, tak mungkin dia bisa menang dalam waktu dua tiga ratus jurus. Apalagi di situ masih ada Hoa Hoa Cinjin.

Hoa Hoa Cinjin menyesuaikan dirinya dengan kedudukannya yang tinggi. Karena sekarang Ciu-ong Mo-kai tidak lagi memegangi lengan Han Sin, maka iapun diam saja, hanya siap untuk menghalangi apabila pengemis itu hendak membawa pergi pemuda yang diperebutkan itu. Ciu-ong Mo-kai menarik napas panjang, lalu memanggil muridnya.

“Bi Eng, budak tak tahu malu, kesinilah!”

Kaget sekali Bi Eng mendengar makian gurunya ini.

“Suhu ....” serunya penasaran dan heran.

“Ke sini kau, pergi bersamaku!” bentak lagi gurunya. “Kau sudah begini tak tahu malu bergaul dengan manusia-manusia rendah, memalukan aku saja. Ayoh pergi!”

Ia menyambar lengan Bi Eng yang sudah bertindak dekat, lalu membawa muridnya melompat pergi. Pengemis ini maklum bahwa kalau ia mengajak pergi Bi Eng muridnya, takkan ada yang berani menentangnya dan pikirannya ini ternyata tepat. Tak seorangpun melihat kepentingan dalam diri Bi Eng maka tidak ada yang berani mengambil resiko menahan kepergian pengemis itu dengan muridnya.

“Han Sin, kalau kau membuka rahasia warisan, adikmu akan kubunuh!” terdengar Ciu-ong Mo-kai berkata dan suaranya menandakan bahwa dia sudah tiba di tempat jauh.

“Kejar, tangkap pemberontak itu!” Bhok Kian Teng berseru marah. Tentu saja pemuda mata keranjang yang sudah tergila-gila kepada Bi Eng itu tidak rela melihat gadis yang disayanginya itu dibawa pergi.

Banyak kaki tangannya mengejar keluar, akan tetapi di tempat gelap itu tidak kelihatan lagi bayangan Ciu-ong Mo-kai dan Bi Eng. Dengan marah ditahan-tahan Bhok Kian Teng yang tadi ikut mengejar, memasuki lagi ruangan itu dan ia memberi perintah kepada tiga orang hwesio yang sejak tadi berada di situ,

“Sam-wi losuhu harap bawa bocah she Cia ini ke dalam kamar tahanan dan paksa sampai dia mengaku dan membuka rahasia warisan Lie Cu Seng!”

Tiga orang hwesio itu bukan lain adalah Thian-san Sam-sian, itu tiga orang hwesio yang dahulu pernah memusuhi Cia Sun ayah Cia Han Sin di Min-san. Mereka memang sudah lama menjadi pembantu-pembantu Bhok-kongcu. Adanya Bhok Kian Teng menyuruh mereka, karena pemuda yang pintar ini tahu akan adanya dendam permusuhan yang terkandung di hati tiga orang tokoh Thian-san itu terhadap keluarga Cia, maka ia maklum bahwa mereka tentu cukup tega dan kejam untuk melakukan penyiksaan terhadap Han Sin.

“Baik, kongcu. Percayalah, pinceng bertiga pasti akan berhasil memaksa dia membuka mulut, biarpun untuk itu pinceng harus menguliti atau membakar dia hidup-hidup!” jawab Gi Ho orang termuda dari tiga hwesio itu.

Dengan kasar mereka menyeret Han Sin.

“Tunggu dulu!” kata Hoa Hoa Cinjin.

Kakek ini cepat menggerakkan tangan menotok beberapa jalan darah di tubuh Han Sin dan pemuda ini yang masih terlalu heran menyaksikan munculnya Ciu-ong Mo-kai dan dibawanya pergi adiknya oleh pengemis itu, tidak mampu melindungi dirinya. Setelah menotok, Hoa Hoa Cinjin lalu mengeluarkan rantai baja dan membelenggu kaki tangan pemuda itu.

“Nah, sekarang seret dia pergi,” katanya puas.

Bhok Kian Teng mengerutkan alisnya yang bagus.

“Locianpwe, perlu apa mesti begini berhati-hati? Apakah dia berlengan enam berkepala tiga?”

Hoa Hoa Cinjin menarik napas panjang. “Pemuda ini bermata iblis dan aneh sekali, lebih baik jangan sampai gagal.”

Sementara itu, Thian-san Sam-sian menyeret tubuh Han Sin yang sudah dibelenggu itu ke dalam. Tiba-tiba Li Hoa melompat dan mendorong mereka dengan marah.

“Mundur kalian! Jangan ganggu dia!”

Thian-san Sam-sian sudah mengenal Li Hoa. Mereka takut menghadapi kekuasaan Thio-ciangkun, maka dengan bingung mereka memandang Bhok-kongcu, tak tahu harus berbuat apa.

Sementara itu, setelah Bi Eng hilang, muncul kekejaman Bhok-kongcu dan lenyaplah sifat lemah lembut yang memang palsu dan dia keluarkan hanya di depan Bi Eng. Dengan kecepatan luar biasa pemuda ini sudah meloncat ke depan Li Hoa, kipasnya bekerja dua kali dan Li Hoa roboh tertotok, tak mampu bergerak lagi.

“Bawa dia sekalian ke dalam kamar siksaan, biar dia menyaksikan dengan mata sendiri bagaimana jantung hatinya disiksa!” katanya sambil menyeringai, kemudian disambungnya kepada Li Hoa. “Thio Li Hoa, kau adalah seorang puteri Thio-ciangkun, akan tetapi sikapmu benar-benar memalukan. Apakah kau mau berpihak kepada pemberontak? Biarlah aku melancangi, kuwakili ayahmu untuk membikin kau merasai sedikit hukuman. Kelak ayahmu akan memaafkan dan berterima kasih kepadaku.”

Demikianlah, Han Sin diseret ke dalam kamar siksaan dan Li Hoa terpaksa harus mengikuti karena orang menarik tubuhnya yang sudah lemas tak berdaya oleh totokan Bhok-kongcu yang lihai. Gadis itu didudukkan di pojok kamar siksa, duduk di lantai tak berdaya. Dengan sedih ia memandang kepada Han Sin yang masih tersenyum tenang.

Pemuda itu tidak begitu kuatir lagi setelah melihat adiknya selamat dan kini adiknya dibawa pergi Ciu-ong Mo-kai. Biarpun sikap pengemis tua itu marah-marah, namun seribu kali lebih baik Bi Eng pergi dengan gurunya dari pada berada di sini, di antara orang-orang yang memusuhinya. Melihat Li Hoa memandangnya begitu sedih, Han Sin berkata perlahan,

“Li Hoa, jangan kuatir. Biar dipukul mampus tak nanti aku membuka rahasia itu.”

Pemuda itu tahu betul bahwa Li Hoa juga menghendaki warisan itu, maka ia salah kira. Dianggapnya bahwa Li Hoa membelanya mati-matian karena tidak ingin warisan itu terjatuh ke dalam tangan orang lain, maka ia mengeluarkan kata-kata hiburan ini.

Lanjut ke jilid 032 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment