Ads

Friday, August 31, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 032

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, dengan muka menyeringai tiga orang hwesio itu sudah menggosok-gosok tangan, nampaknya puas sekali mendapat kesempatan untuk membalas dendam kepada cucu Cia Hui Gan, yang mereka anggap musuh besar karena Cia Hui Gan dahulu pernah membunuh seorang murid mereka yang terkasih. Mereka tidak berhasil membalas kepada Cia Hui Gan karena sudah keburu tewas, tidak dapat membalas Cia Sun pula karena ketika mereka dulu bermaksud membunuh Cia Sun, muncul Balita yang menolong Cia Sun. Sekarang, mereka dengan mudah saja mendapat kesempatan untuk menyiksa putera Cia Sun, tentu saja mereka yang sudah menjadi gila karena benci dan dendam ini menjadi girang sekali.

“Eh, Orang muda she Cia. Tahukah kau siapa pinceng bertiga?” tanya Gi Ho Hosiang, yang termuda.

“Aku belum mendapat keberuntungan berkenalan dengan losuhu bertiga yang terhormat,” jawab Han Sin yang biasa amat menghormat orang-orang beribadat, apalagi terhadap tiga orang hwesio yang berkepala gundul dan berpakaian sederhana, tanda manusia-manusia yang sudah menindas hawa nafsu keduniawian.

Gi Thai Hosiang, yang tertua, tertawa mengejek. “Orang muda, kami adalah Thian-san Sam-sian yang mempunyai dendam dan permusuhan besar dengan kakek dan ayahmu! Sekarang lekas kau mengaku di mana adanya rahasia warisan Lie Cu Seng, kalau kau tidak mengaku, jangan harap kami akan menaruh kasihan lagi kepada kau keturunan musuh besar kami.”

“Ah, lebih baik jangan lekas-lekas kau mengaku, agar pinceng puas menyiksamu setengah mampus. Ha ha ha!” kata Gi Hun Hosiang sambil mengepal tinjunya.

Han Sin melengak. Inilah sama sekali tak pernah ia sangka. Mungkinkah ada pendeta-pendeta gundul begini jahat? Benar-benar jauh bedanya dengan apa yang ia baca dalam kitab-kitab. Ia menarik napas panjang dan sambil mendongak pemuda itu berkata,

“Sam-wi losuhu. Mengapa kalian begini jauh tersesat? Apakah kalian tidak ingat lagi ujar-ujar Sang Buddha yang kalian puja? Dengar, lupakah kau akan kata-kata ini:
“Usirlah benci, marah, dan nafsu dari pikiranmu, Jangan hadapi kejahatan dengan kejahatan pula, Melainkan kalahkan kejahatan dengan kebajikan, Hadapi kemarahan dengan cinta kasih, hadapi kejahatan dengan kebajikan, hadapi ketamakan dengan kedermawanan, hadapi kebohongan dengan kebenaran. Karena orang yang dikuasai kebencian dan kemarahan lalu menyiksa orang lain, sebetulnya hanyalah akan menyiksa diri sendiri.”

“Sa-wi losuhu, sedikit ujar-ujar yang kupetik dari kitab-kitab suci agamamu ini, apakah kalian sudah lupa lagi? Aku tidak takut kalian siksa, juga tidak sudi membuka rahasia yang bukan menjadi hak orang lain. Akan tetapi aku betul-betul kasihan kepada kalian yang sudah menyeleweng terlalu jauh dari pada kebenaran dan dari pada ajaranmu sendiri.”

Untuk sejenak tiga orang hwesio itu melengak dan saling pandang. Mereka, pendeta-pendeta Buddha, sekarang mendapat kuliah dari seorang pemuda yang menjadi tawanan! Tentu saja mereka kenal ujar-ujar itu yang terdapat di dalam kitab suci Dham-ma-pa-da. Akan tetapi, sebagaimana patut disayangkan, sebagian besar di antara orang yang mempelajari kebatinan atau agama, hanyalah menghafal dan mempelajari kata-katanya saja tanpa memperdulikan persesuaian antara kelakuan dan kata-kata dalam pelajaran itu.

Alangkah menyedihkan kalau melihat seseorang yang baru saja keluar dari kelenteng setelah mendengarkan atau membaca kitab-kitab pelajaran tentang cinta kasih antara sesama, begitu keluar dari kelenteng serta merta membuka mulut memaki orang atau memukul karena sesuatu hal yang merugikan. Alangkah menyedihkan mendengar seseorang bicara panjang lebar tentang cinta kasih sesama manusia, akan tetapi di dalam rumahnya sendiri selalu ribut dengan anak isteri atau saudara­saudaranya!

Ah, kalau saja manusia bisa menyesuaikan kelakuan dengan isi pelajaran kitab-kitab suci, tidak usah seratus persen, baru sepuluh persen saja, kiranya dunia ini akan aman, tidak muncul oknum­oknum yang angkara murka, ingin menjajah dan menguasai orang lain, ingin enaknya sendiri saja tanpa memperdulikan orang lain, tidak segan-segan mengorbankan kepentingan bangsa atau negara lain demi kesenangan bangsa dan negara sendiri.

Inilah kiranya yang membuat Nabi Locu selalu mencela adanya pelajaran-pelajaran kebatinan, karena agaknya sudah dapat melihat bahwa yang penting adalah si manusia. Sebelum manusia kembali kepada asalnya, yaitu seperti watak anak-anak, putih bersih dan suci, biarpun dilolohi (diberi makan) seribu satu macam pelajaran kebatinan, tetap akan menyeleweng dan makin tersesat.

Demikian pula tiga orang hwesio itu. Karena hati dan pikiran mereka sudah dikotori oleh benci dan dendam, mana sedikit kata-kata Han Sin itu bisa memasuki sanubari mereka? Bahkan ujar-ujar beberapa kitab-kitab tebal sudah mereka lupakan isinya. Dengan marah Gi Hun Hosiang malah mengayunkan kepalan tangan memukul mulut Han Sin.

“Plakk!” Anehnya, bukan Han Sin yang roboh, melainkan Gi Hun Hosiang sendiri yang memekik kesakitan sambil memegangi tangannya yang mendadak menjadi matang biru dan bengkak-bengkak!

Kenapa bisa begini? Tiga orang hwesio itu terkejut bukan main. Pemuda tadi sudah ditotok oleh Hoa Hoa Cinjin, kenapa sekarang setelah dipukul malah pemukulnya yang bengkak-bengkak tangannya? Tentu saja mereka tidak tahu bahwa totokan Hoa Hoa Cinjin tadi sama sekali tidak mempengaruhi Han Sin.

Pemuda ini sekarang sudah memiliki kepandaian cara menyalurkan jalan darahnya, sehingga ketika ditotok tadi, otomatis ia menghentikan jalan darahnya dan totokan itu tidak ada artinya. Ia hanya mandah di belenggu karena tadi ia terlalu heran dan kaget. Sekarang begitu menghadapi pukulan, otomatis pikirannya lalu memerintahkan hawa sakti di dalam tubuhnya ke arah bagian yang terpukul sehingga tenaga pukulan Gi Hun Hosiang membalik dan melukai si pemukul sendiri.

Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang tentu saja masih belum percaya bahwa Gi Hun Hosiang tadi memukul dengan tenaga besar dan menjadi korban hawa pukulannya sendiri. Merekapun melayangkan pukulan dan terdengar suara “buk” dua kali ketika pukulan mereka itu mengenai tubuh Han Sin. Akan tetapi, dua orang hwesio inipun memekik kesakitan dan merekapun menjadi terheran-heran dan berbareng marah dan penasaran.

“Bocah setan, kau menggunakan ilmu siluman!” pekik Gi Hun Hosiang.

“Kalian bertiga ini hwesio-hwesio murtad, sudah memukul orang masih memaki-maki lagi,” kata Han Sin mendongkol juga.

Sementara itu, Li Hoa yang menyaksikan peristiwa itupun menjadi heran bukan main. Thian-san Sam-sian yang menjadi marah dan penasaran, kini sibuk memikirkan cara untuk menyiksa pemuda aneh itu. Gi Hun dan Gi Ho sudah mencabut pedang dan tasbeh masing-masing, senjata yang mereka andalkan. Akan tetapi sebelum mereka bergerak, Gi Thai berkata.

“Tak usah menggunakan senjata. Bhok-kongcu tidak ingin melihat dia mampus sebelum dia membuka rahasianya.”

Setelah berkata demikian, Gi Thai Hosiang lalu mengeluarkan tiga buah obor dan menyuruh dua orang suhengnya menyalakan obor-obor itu. Kemudian ia mengangkat obor itu dan mengancam,

“Cia Han Sin, apakah sekarangpun kau tidak mau mengaku?”

Han Sin menggigit bibirnya. “Hwesio sesat, kau mau bunuh aku boleh bunuh, jangan harap kau dapat memaksaku membocorkan rahasia itu.”

Gi Thai Hosiang tertawa mengejek, “Bagus, memang pinceng tidak ingin kau cepat-cepat mengaku. Biar kau rasakan panasnya api, hendak kulihat apakah kau masih bisa menggunakan ilmu siluman lagi.” Ia lalu mendekatkan api pada muka Han Sin.

“Sam-wi losuhu, jangan!” Li Hoa menjerit. “Tidak boleh kalian menyiksa dia sampai begitu!”

Akan tetapi, tidak seperti tadi, tiga orang hwesio itu kini tidak menghiraukan larangan Li Hoa.

“Thio-siocia harap tenang saja, pinceng bertiga hanya menjalankan perintah Bhok-kongcu.” Kata Gi Thai Hosiang sambil mendekatkan api itu pada muka Han Sin.

Pemuda itu terhuyung ke belakang dan meramkan mata karena karena merasa amat panas pada mukanya. Akan tetapi dari belakang ia dipapak obor oleh Gi Hun Hosiang sehingga sebentar saja tiga batang obor menyala sudah didekatkan di sekeliling mukanya, seakan-akan kepalanya sedang dipanggang.

Muka pemuda ini menjadi merah sekali dan peluh bercucuran, namun ia hanya menggigit bibir dan mengerutkan kening, sama sekali tidak mengeluarkan suara mengeluh. Melihat pemuda yang dicintainya disiksa begitu rupa, Li Hoa yang tidak berdaya menolong, tidak kuasa memandang lebih lama lagi dan gadis itu membuang muka, Air matanya tak dapat dicegah lagi, turun berlinang dan membasahi kedua pipinya.

“Han Sin …….. kasihan kau ….” bisiknya dengan perasaan hancur.

Ia mendengar suara berdebuk dan ketika ia memberanikan hati menengok, ia melihat pemuda itu sudah roboh bergulingan di atas lantai, akan tetapi tiga batang obor itu masih saja didekatkan pada mukanya yang sudah menjadi merah sekali seperti udang direbus! Li Hoa tidak kuat lagi.

“Han Sin, demi keselamatanmu, kau mengakulah. Biarlah warisan terkutuk itu membawa mereka ke neraka jahanam!”

Han Sin membuka matanya yang menjadi merah dan bengkak, ia memandang Li Hoa dan menggeleng kepala.

“Tidak bisa, Li Hoa. Aku tidak bisa mengorbankan nyawa adikku …..” suara Han Sin terengah-engah.

“Ha ha ha, kau masih tidak mau mengaku?” ejek Gi Thai Hosiang.

“Bunuhlah ….. bunuhlah …….. aku tidak takut ….” Jawab Han Sin.

Gi Thai Hosiang marah dan menekan obornya pada leher pemuda itu maka terciumlah bau sangit ketika kulit leher itu termakan api dan melepuh!

“Hwesio keji, tahan!” Li Hoa berseru keras dengan suara penuh ancaman.

Gadis ini adalah puteri Thio-ciangkun yang berkuasa besar di kota raja. Biarpun tiga orang hwesio itu sudah mendapat perkenan dari Bhok-kongcu dan kebencian mereka kepada keturunan Cia Hui Gan amat besar, namun terhadap Thio-siocia mereka masih mempunyai rasa jerih. Gi Thai Hosiang memberi tanda kepada dua orang sutenya untuk menunda siksaan itu. Biarpun lehernya melepuh dan sakitnya bukan main, namun tanpa mengeluh Han Sin berdiri tegak.

“Thio-siocia hendak bicara apakah?” tanya Gi Thai Hosiang.

“Biarkan aku bicara dengan dia, tunda siksaan yang keji ini.”

Li Hoa lalu menghadap Han Sin, karena biarpun ia tak dapat menggerakkan kaki tangannya, ia dapat menggerakkan leher dan dapat bicara seperti biasa.

“Han Sin, jangan bodoh kau. Mereka ini mana berani membunuhmu? Bhok-kongcu takkan membiarkan kau terbunuh. Mereka akan menyiksamu setengah mati. Untuk apa kau memberatkan warisan Lie Cu Seng atau warisan siapapun juga lebih dari pada nyawamu? Warisan, betapapun juga, hanyalah warisan duniawi, biarpun di sana ada kitab pelajaran ilmu silat yang bagaimana hebatpun, untuk apa disembunyikan terus dengan taruhan nyawa? Tentang adikmu, percayalah. Tidak ada guru yang mengganggu muridnya. Ciu-ong Mo-kai tak mungkin akan mengganggu adikmu. Diapun bukan orang goblok yang lebih suka melihat kau disiksa sampai mati dari pada memberikan rahasia tempat warisan Lie Cu Seng.”

“Tapi ….. tapi …. Kalau warisan terjatuh kedalam tangan orang jahat …. Kalau Eng-moi betul-­betul dibunuh suhunya …… apa artinya hidup bagiku?”

“Bodoh benar! Warisan berupa apapun juga terjatuh ke dalam tangan orang jahat, baik harta ataupun kepandaian, itu hanya akan mempercepat mereka masuk neraka! Tentang adikmu, andaikata dia tidak dibunuh, kalau kau mati di sini, bukankah itu sama saja? Apakah dia tidak akan susah setengah mati melihat kau tewas? Han Sin, bukalah matamu, pergunakanlah pikiranmu. Kalau kau menolak permintaan mereka, kemungkinan mati bagimu sudah seratus persen. Kalau menuruti permintaan mereka, kemungkinan mati bagi adikmu hanya sepuluh persen. Kau pilih yang mana?”

Han Sin kalah debat. Ia anggap pikiran gadis ini memang tepat sekali. Iapun tidak percaya kalau Ciu-ong Mo-kai akan membunuh adiknya kalau dia memberikan rahasia tempat penyimpanan warisan Lie Cu Seng itu kepada Bhok-kongcu. Ia lalu mengangguk dan berkata kepada Thian-san Sam-sian.

“Katakan kepada Bhok-kongcu bahwa aku akan membawanya ke tempat disimpannya warisan menurut peta yang sudah kuhafal. Akan tetapi bukan sekali-kali karena aku takut akan siksaan kalian, melainkan karena aku setuju akan kata-kata Thio-siocia tadi. Pergilah!”

Tiga orang hwesio itu kecewa. Memang mereka boleh dianggap berjasa telah berhasil menyiksa pemuda ini sampai mengaku, akan tetapi mereka merasa belum puas. Gi Hun Hosiang menyeringai sambil menghampiri pemuda itu. Hatinya masih sakit karena tangan kanannya bengkak-bengkak dan belum sembuh karena tadi ia gunakan memukul Han Sin.

“Enak saja. Dengan kedua kakimu putus kau juga masih dapat membawa Bhok-kongcu ke tempat itu!” Ia mencabut pedangnya dan mengayun pedang ke arah kedua kaki Han Sin.

“Hwesio busuk!”

Li Hoa menjerit lalu menutup matanya, tak tahan menyaksikan pemuda yang ia cinta itu dibuntungi kakinya. Akan tetapi ia mendengar suara keras dari beradunya senjata dan terdengar suara keras hwesio itu menjerit kesakitan. Ketika gadis itu membuka matanya, ia melihat Bhok-kongcu sudah berada di dalam kamar itu dan Gi Hun Hosiang menggeletak dengan lengan berlumur darahnya sendiri.

Ternyata pada saat hwesio galak itu hendak membuntungi kaki Han Sin, Bhok-kongcu yang sejak tadi memang mengintai, segera turun tangan mencegah, malah melukai tangan Gi Hun Hosiang. Dan ini ia kerjakan dalam sekejap mata saja, menggunakan biji-biji catur sebagai senjata rahasia. Dapat dibayangkan betapa lihainya pemuda ini.

“Tugasmu hanya menyiksa sampai dia mengaku, tidak boleh menurutkan nafsu dan kepentingan pribadi.” Bhok-kongcu mengomel dan Gi Hun Hosiang bersama dua saudaranya membungkuk-­bungkuk minta maaf lalu mundur.

Bhok Kian Teng kini menghadapi Han Sin sambil tersenyum, lalu melirik ke arah Li Hoa dengan muka mengejek. Ia makin yakin bahwa Li Hoa ternyata jatuh cinta pada pemuda gunung itu, dan diam-diam ia merasa sakit hati dan cemburu sekali. Pernah ia tergila-gila pada Li Hoa dan ditolak dengan keras oleh gadis itu.

Sekarang ia melihat Li Hoa begitu menyinta Han Sin, bagaimana hati pemuda mata keranjang ini takkan merasa sakit dan iri hati? Tapi, dasar Bhok Kian Teng orangnya luar biasa, perasaan hatinya ini tak terbayang pada wajahnya yang tampan putih itu. Diam-diam ia memutar otak untuk membalas sakit hati ini, maka ia tersenyum kepada Han Sin dan berkata,

”Cia Han Sin, apakah kau seorang laki-laki yang boleh dipercaya mulutnya?”

Tentu saja Han Sin menjadi marah. ”Saudara she Bhok, aku tidak kenal kau dan tidak tahu kau manusia bagaimana, akan tetapi percayalah bahwa aku Cia Han Sin sekali mengeluarkan omongan takkan kutarik kembali!”

”Ha ha ha, bagus sekali. Kau benar-benar seorang laki-laki sejati. Kau tadi sudah berjanji hendak membawaku ke tempat disimpannya warisan Lie Cu Seng. Apakah kau takkan menjilat kembali ludahmu dan menarik kembali omongan dan janjimu itu?”

Pandai sekali Bhok Kian Teng memanaskan hati orang. Han Sin yang masih hijau itu makin marah, dengan mata melotot ia membentak.

”Orang she Bhok, ternyata kau tidak tahu akan aturan. Apa kau kira aku ini orang yang tidak mengikuti syarat kebajikan jin-gi-lee-ti-sin (welas asih, pribudi, peraturan, pengertian dan kepercayaan)? Ucapan yang keluar dari mulut seorang kuncu (budiman) lebih berharga dari pada nyawanya. Tahukah kau?”

Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan. ”Hebat .... hebat ..... pujian nona Bi Eng terhadap kakaknya ternyata tidak berlebihan. Cia Han Sin, kau benar-benar seorang kuncu tulen.”

Kemudian Bhok­kongcu menoleh pada Li Hoa dan dengan gagang kipasnya ia menotok jalan darah nona ini, membebaskan totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan Hoa Hoa Cinjin tadi. Setelah bebas dari totokan, Li Hoa meloncat bangun, memandang kepada Han Sin dengan mata berduka.

”Nona, Thio Li Hoa, benar-benar kaupun harus dipuji. Pandai sekali kau menjalankan siasatmu sehingga bocah she Cia ini masuk perangkap dan mau mengaku di mana adanya warisan yang diperebutkan itu. Ha ha ha, tidak percuma kau menjadi puteri Thio-ciangkun yang sudah menjerat leher ratusan orang pemberontak. Ha ha, jangan kuatir, nona Li Hoa aku sendiri yang akan mencatat jasa-jasamu dan menyampaikan kepada kaisar.”

Han Sin kaget sekali, mukanya menjadi pucat dan ia menoleh kepada Li Hoa.

“Li Hoa, kau .... kau ....” Ia lalu menarik napas panjang untuk menindas perasaannya yang tertusuk dan amat kecewa. Di antara sekian banyaknya manusia sesat yang mengganggunya dan melakukan perbuatan jahat, ia masih terhibur melihat Li Hoa yang ia anggap seorang baik-baik. Dalam diri Li Hoa ia melihat seorang sahabat baik yang melindunginya. Eh, tidak tahunya itu semua hanya siasat. Hal ini membuktikan bahwa gadis itu malah lebih jahat dan palsu dari pada yang lain!

Sementara itu, Li Hoa mendengar kata-kata Bhok-kongcu dan melihat pandang mata Han Sin kepadanya, penuh penyesalan dan kekecewaan, segera melangkah maju.

“Han Sin .... aku ... aku tidak begitu .... jangan kau menyangka yang bukan-bukan ....”

“Ha ha ha, nona Thio Li Hoa. Kurasa tak perlu lagi kau bersandiwara di depan bocah she Cia ini!” Bhok-kongcu memotong cepat. “Bagus sekali siasatmu tadi, berpura-pura membelanya, berpura-­pura menangis tidak tega melihat dia disiksa. Bagus pula bujukanmu sehingga dia mau mengaku. Sekarang tak perlu lagi, dia akan membawa kita ke tempat penyimpanan warisan. Ha ha ha!”

“Orang she Bhok, kubunuh kau!” Li Hoa melompat dan menyerang Bhok-kongcu dengan pukulan keras. Namun Bhok Kian Teng dengan mudah mengelak sambil miringkan tubuh, lalu menyampok ke samping. Tubuh gadis itu terlempar ke atas lantai.

“Eh, eh, kau berani menyerangku? Kau tentu menghendaki warisan itu, bukan? Celaka, apakah kau hendak memberontak karena warisan itu?”

Benar-benar pandai Bhok-kongcu. Ia bisa mengatur sedemikian rupa sehingga Han Sin terpedaya dan makin marah pemuda ini karena menganggap Li Hoa benar-benar seorang yang berhati palsu. Memang ia percaya bahwa Li Hoa menghendaki warisan, karena bukankah dahulu gadis itu sudah secara terang-terangan menghendaki harta warisan Lie Cu Seng? Kiranya sikap manis dahulu itu adalah karena warisan itu!

“Gadis berhati palsu!” katanya penuh kekecewaan. Li Hoa menjadi demikian berduka dan mendongkol dan akhirnya gadis itu hanya bisa menangis.

Pada saat itu muncullah Hoa Hoa Cinjin sambil tertawa. “Selamat, Bhok-kongcu. Dia sudah mau berjanji hendak membawa ke tempat penyimpanan harta. Lebih baik sekarang saja suruh dia menjadi penunjuk jalan.”

Bhok-kongcu sambil tersenyum menjawab, “Cinjin berkata benar, akan tetapi saudara Cia Han Sin masih lelah, perlu beristirahat dulu. Sekarang kuminta kepada Cinjin sukalah memberitahu kepada semua kawan di luar supaya pulang semua. Tentang pertempuran dan pemilihan jago diundurkan, nanti pada cap-gwe-je-it (tanggal satu bulan sepuluh) di istana ayah di kota raja. Diminta saja supaya masing-masing kawan membawa teman-teman baru sebanyak mungkin. Suruh Leng Nio memberi bekal masing-masing seratus tail perak disertai ucapanku selamat jalan.”

HOA HOA CINJIN mengangguk dan hendak keluar, akan tetapi Bhok-kongcu berkata lagi.

“Harap Cinjin menahan Tung-hai Siang-mo ji-wi loenghiong itu untuk menemani kita mengambil warisan. “

Hoa Hoa Cinjin mengangguk lagi, diam-diam memuji Bhok-kongcu yang selalu berhati-hati. Memang, semua orang di dunia kang-ouw mengingini warisan itu, maka bukanlah hal yang tidak ada bahayanya kalau nanti mereka mengambilnya. Perlu penjagaan yang kuat. Memang tidak usah menguatirkan sesuatu dengan adanya dia di situ, akan tetapi kalau dibantu pula oleh dua orang iblis dari laut timur itu, kedudukan mereka menjadi lebih kuat lagi.

Setelah Hoa Hoa Cinjin keluar, dengan wajah berseri Bhok-kongcu lalu menghampiri Han Sin, “Saudara Cia, harap kau maafkan bahwa kau tadi telah menderita kaget. Kami tidak bermaksud mengganggumu, hanya warisan Lie Cu Seng itulah yang menimbulkan semua urusan ini. Sekarang kuharap kau suka mengaso dulu dan menerima hidanganku.”

Dengan kedua tangannya sendiri Bhok-kongcu melepaskan belenggu pada kaki tangan Han Sin, kemudian menuntun pemuda yang sudah lemas dan sakit-sakit tubuhnya ini menuju ke ruang tengah. Ia menoleh kepada Thian-san Sam-sian supaya keluar dari situ, kemudian kepada Li Hoa ia berkata,

“Nona Thio, apakah kau juga hendak melihat aku mengambil warisan itu?”

Ucapan ini mengandung ejekan. Li Hoa yang tadi menundukkan muka sambil menangis, sekarang mengangkat mukanya dan sepasang matanya yang indah itu memandang penuh kebencian kepada Bhok-kongcu kemudian memandang kepada Han Sin dengan penuh keharuan.

“Han Sin, berhati-hatilah kau menjaga dirimu,” katanya perlahan.

Kemudian tanpa pamit kepada Bhok-kongcu, gadis ini melompat keluar dari kamar itu dan terus melarikan diri turun puncak. Bhok-kongcu tertawa bergelak,

“Saudara Cia, kau masih belum berpengalaman. Lain kali jangan kau terlalu mudah tertipu oleh wajah cantik dan omongan manis. Dia itu bersama adiknya, sudah terkenal amat licik dan seringkali menggunakan kecantikan mereka untuk menggoda orang.”

Han Sin makin tak senang kepada Bhok-kongcu, juga makin kecewa kalau mengingat gadis itu. Akan tetapi dia diam saja dan karena memang perutnya lapar dan tubuhnya lemas, ia tidak menolak ketika orang menyuguhkan makanan dan arak. Setelah makan minum sampai kenyang, Han Sin lalu tidur di dalam kamar yang indah.

Bhok-kongcu biarpun masih muda namun pandangannya luas dan kecerdikkannya luar biasa. Sekali bertemu dan melihat sikap Han Sin, ia sudah tahu bahwa pemuda Min-san itu adalah seorang kutu buku yang terlalu banyak dipengaruhi kitab-kitab kuno dan karenanya tentulah seorang yang selalu berusaha untuk bersikap sebagai seorang kuncu sebagaimana sering kali dimunculkan sebagai teladan di dalam kitab-kitab. Maka ia segera memegang kelemahan Han Sin, yaitu menyuruh pemuda itu berjanji. Ia yakin bahwa pemuda seperti itu takkan mungkin mau mengingkari janjinya.

Ia tahu pula bahwa pemuda itu sudah menderita hebat, maka perlu diberi makan dan mengaso agar pulih kembali tenaganya. Kalau dipaksa mencari warisan dan terlalu lelah menderita, mungkin akan menjadi nekat karena tidak kuat menahan lagi. Itulah mengapa dia bersikap ramah dan menjamu Han Sin, malah memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk menghilangkan lelahnya dan tidur.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Han Sin sudah bangun dan merasa tubuhnya sehat dan segar. Lehernya yang melepuh ternyata telah diberi obat oleh gadis pelayan atas perintah Bhok­kongcu dan bukan main manjurnya obat itu. Rasa sakit sudah lenyap, malah kulit yang melepuh sudah pulih kembali. Ia tidak tahu bahwa obat ini adalah pemberian Hoa Hoa Cinjin, juga ia tidak tahu betapa Hoa Hoa Cinjin diam-diam merasa terheran-heran ketika melihat bahwa pemuda ini sama sekali sudah terbebas dari pengaruh pukulannya.

Tentu saja sebagai seorang tokoh besar, ia tidak mau membicarakan urusan ini dengan orang lain, karena hal ini akan merugikan namanya sendiri. Diam-diam ia menduga barangkali Li Hoa telah berusaha minta pertolongan orang pandai untuk mengobati luka Han Sin. Mungkin Ciu-ong Mo-kai yang telah menyembuhkannya, pikirnya. Mana ia tahu bahwa pemuda itu dengan lweekangnya yang ajaib telah dengan sendirinya melindungi tubuhnya dari pukulannya yang beracun?

Begitu Han Sin bangun, empat orang gadis-gadis pelayan yang muda dan cantik, dengan sikap genit memikat memasuki kamarnya dan segera pemuda ini mendapatkan pelayanan sebagai seorang kongcu. Han Sin menjadi likat malu-malu, namun ia sama sekali tidak mau melayani sikap mereka yang genit-genit itu. Malah diam-diam ia menjadi jemu dan menyuruh mereka keluar setelah ia menerima bawaan mereka, yaitu air untuk mencuci muka, makanan pagi dan minuman hangat.

Tadinya mereka berkeras hendak melayaninya. Dengan kata-kata halus, senyum manis dan kerling mata memikat mereka membujuk, namun Han Sin tetap menyuruh mereka keluar. Dengan bibir dicibirkan dan dengus mengejek empat orang gadis pelayan yang mendapat tugas menyenangkan hati Han Sin itu terpaksa keluar. Han Sin segera membersihkan diri lalu makan pagi.

Ketika Bhok-kongcu memasuki kamarnya, Han Sin sudah siap. “Selamat pagi, saudara Cia. Apakah kau sudah segar kembali? Sudah siapkah mengantar siauwte pergi?”

“Aku sudah siap,” jawab Han Sin sederhana.

Ketika mereka keluar, ternyata Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo juga sudah menanti.

“Di mana tempat penyimpanan itu?” Bhok-kongcu bertanya ketika mereka sudah berada di luar gedung.

“Menurut petunjuk peta yang sudah lenyap, tempat itu berada di lereng sebelah sana. Marilah ikut denganku,” jawab Han Sin yang segera melangkah dengan kening berkerut, menuruni puncak.

Pemuda ini mencurahkan pikirannya, mengingat-ingat letak tempat penyimpanan itu. Di dalam peta sudah dilukis dengan jelas, yaitu di lereng di mana terdapat sebuah batu besar berbentuk segi tiga. Ia sudah hafal benar dan tahu ke mana harus mencarinya. Karena bukit di mana gedung Bhok­kongcu berada inipun tergambar di dalam peta, maka ia tahu bahwa ia harus menuruni puncak itu menuju ke selatan.

Bhok-kongcu mengiringkan Han Sin, diikuti oleh Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo yang menjadi penjaga atau pengawal. Beberapa jam setelah mereka turun dari puncak dan tiba di sebuah hutan yang penuh pohon besar, terdengar suara berkresek di antara daun-daun pohon. Bhok-kongcu mengira bahwa itu adalah suara binatang semcam tupai atau burung besar yang hinggap di dahan pohon. Akan tetapi tiba-tiba Ji Kong Sek tertawa menyeramkan lalu membentak.

“Pengecut, keluarlah!” tangan kirinya bergerak dan sebatang paku atau bor yang disebut Toat-beng­cui (Bor Penyabut Nyawa) melayang ke arah pohon.

Lanjut ke jilid 033 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment