Ads

Friday, August 31, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 033

◄◄◄◄ Kembali

“Tahan .....!” Hoa Hoa Cinjin berseru dan lengan bajunya dikipatkan.

Angin pukulan dahsyat menyambar dan Toat-beng-hui menyeleweng arahnya, tidak mengenai tempat yang dijadikan sasaran. Ji Kong Sek terheran dan tak senang, akan tetapi segera Hoa Hoa Cinjin berseru ke arah pohon itu,

“Hoa-ji, jangan main sembunyi, bisa-bisa disangka musuh. Ayoh, turunlah, ada apa kau di situ?”

Terdengar suara ketawa merdu sekali disusul suara yang bening dan manja, “Gi-hu pergi, masa anak tidak boleh ikut?”

Hoa Hoa Cinjin tertawa bergelak. “Bocah manja! Turunlah di sini.”

“Banyak orang di situ, aku malu, gi-hu (ayah angkat)!”

Bhok-kongcu yang segera tertarik dan kagum sekali mendengar suara yang demikian merdunya, tersenyum bertanya,

“Cinjin, apakah dia itu puteri angkatmu?”

“Betul, kongcu. Dia nakal dan bandel, bukan aku yang membawanya ke sini.” Ucapan ini seakan-­akan mengandung permintaan supaya puterinya itu diperbolehkan ikut.

“Tidak apa, tidak apa. Bukankah dia itu puterimu dan boleh dibilang orang sendiri? Suruhlah dia turun, aku sudah lama mendengar namanya dan aku ingin sekali berkenalan.”

“Hoa-ji, kalau kau tidak mau turun, kau tidak boleh mengikuti kami. Ayoh, turun!”

“Gihu, kau bilang semua laki-laki jahat belaka, biar dia itu pangeran atau sastrawan. Aku tidak mau berkenalan dengan orang lelaki!” jawab suara itu. Kali ini tidak hanya Bhok-kongcu, malah Tung­hai Siang-mo juga tertawa bergelak.

“Betul sekali! Ha ha ha!” kata Ji Kak Touw yang panjang lehernya.

“Betul apa?” tiba-tiba terdengar suara Han Sin dengan suara mendongkol. Sifatnya sebagai “kuncu” memberontak tiap kali mendengar pendapat yang dianggapnya salah. “Siapa berani bilang semua laki-laki jahat belaka? Laki-laki maupun wanita sama saja, dan sudah jamak kalau ada yang tersesat jalan hidupnya. Akan tetapi tidak kurang yang bijaksana, terutama manusia laki-laki malah. Pernahkah orang mendengar tentang orang bijaksana atau Nabi wanita, kecuali Kwan im Pouwsat seorang? Yang bilang laki-laki semua jahat adalah seorang sombong dan bodoh!”

Bhok Kian Teng bertepuk-tepuk tangan dan tertawa terbahak-bahak. “Hebat, hebat! Saudara Cia Han Sin benar-benar hebat.”

Sementara itu wanita yang bicara tadi, yang bukan lain adalah Hoa-ji si gadis berkedok puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, bukan main mendongkolnya mendengar ucapan Han Sin. Tampak berkelebat bayangan dan tubuhnya yang ringan seperti sehelai daun kering itu melompat turun dari pohon.

Bhok-kongcu menghentikan tawanya dan mulutnya melongo. Baru sekarang ia melihat gadis berkedok yang pernah ia dengar namanya ini. Bukan main kagumnya melihat bentuk tubuh yang ramping dan molek itu, dengan pakaian sederhana yang ketat. Tubuh seorang gadis muda yang luar biasa indahnya, dan kulit lengan yang keluar dari lengan baju pendek sebatas siku itu amat halus dan putih, dihias gelang perak. Biarpun seluruh kepala ditutup kedok, Bhok-kongcu berani bertaruh batok kepala bahwa di balik kedok itu tentu tersembunyi wajah yang cantik jelita. Hatinya berdebar-debar dan cepat ia menjura dengan senyum manis dan suara ramah.

“Siauwte Bhok Kian Teng merasa bahagia sekali dapat bertemu dengan Hoa-kouwnio (nona Hoa) yang sakti seperti bidadari kahyangan. Benar-benar hati siauwte dipenuhi kekaguman!”

Hoa-ji balas menjura karena maklum bahwa pemuda ini adalah seorang yang amat dihormat oleh ayah angkatnya, namun ia tidak menjawab dan Bhok-kongcu tidak tahu bahwa dibalik kedok itu, mulut si gadis tersenyum mengejek padanya. Akan tetapi muka dibalik kedok itu menghadap kepada Han Sin dan berkata.

“Hemm, berbeda sekali dengan adiknya. Adiknya jenaka dan cerdik, kakaknya kok begini tolol dan sombong. Gi-hu, kau mengantar si tolol ini hendak ke manakah?”

“Kami mengikutinya, dia hendak menunjukkan di mana tempat penyimpanan .....”

“Sst. Harap Cinjin hati-hati sedikit. Siapa tahu pohon-pohon ini bertelinga,” kata Bhok-kongcu perlahan, memotong kata-kata Hoa Hoa Cinjin. Hoa Hoa Cinjin sadar dan tidak melanjutkan kata­katanya.

“Hoa-ji, mari kau ikut dengan kami.”

Nona berkedok itu mengeluarkan suara ketawanya yang merdu. “Main teka-teki, apa dikira aku tidak tahu? Hi hi hi!”

Rombongan itu berjalan terus karena Han Sin sudah mulai berjalan terus, tidak mau memperdulikan gadis yang memakinya tolol dan sombong itu. Semua wanita, demikian pikirnya, kecuali Bi Eng, adalah mahluk-mahluk yang berbahaya! Ia teringat akan Li Hoa, akan Leng Nio, lalu gadis-gadis pelayan di gedung Bhok-kongcu yang amat genit-genit menjemukan. Gadis berkedok ini, sebagai puteri angkat Hoa Hoa Cinjin, tentu juga bukan manusia baik-baik, pikirnya.

Bhok-kongcu berjalan mendekati Hoa-ji dan mengajak gadis itu bercakap-cakap dengan sikap memikat sekali. Sebaliknya, dari balik kedoknya, Hoa-ji memandang Bhok-kongcu dengan jemu dan benci. Hanya apabila ia memandang kepada Han Sin saja wajahnya menjadi berseri dan pandangan matanya bersinar kekaguman.

Ia memang kagum melihat pemuda yang kelihatan lemah itu demikian gagah beraninya, sama sekali tidak kelihatan gentar padahal berada dalam tangan orang-orang seperti Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin yang ia tahu amat ganas dan paling gampang membunuh orang. Tokoh yang bagaimana gagahnya di dunia kang-ouw, kalau berada dalam keadaan seperti pemuda Min-san itu, pasti akan pucat dan ketakutan.

Han Sin membawa rombongan orang-orang itu ke sebuah lereng di mana terdapat sebuah batu karang besar segi tiga dan di atas batu itu, bertumpuk di lereng yang terjal, terdapat batu besar. Yang di depan sendiri, di belakang dan agak di atas batu segi tiga, adalah sebuah batu yang amat besar. Di depan batu segi tiga ini Han Sin berhenti.

“Di sinilah tempatnya,” katanya singkat.

Bhok-kongcu melompat maju dan melihat keadaan sekitarnya. Bukit ini tidak begitu besar, akan tetapi tempatnya berada di bagian paling belakang dari Lu-liang-san, jadi agak terpencil dan tersembunyi. Akan tetapi, tidak ada apa-apanya yang aneh, melainkan lereng yang terjal penuh batu-batu yang besar. Ia menjadi curiga dan bertanya, agak ketus.

“Cia Han Sin, jangan main-main. Di tempat begini gundul, mana bisa untuk simpan harta pusaka?”

Han Sin menggeleng kepala. “Ucapan seorang laki-laki takkan ditarik kembali. Aku tidak main-main dan memang menurut peta di tempat inilah letaknya. Batu segi tiga ini menjadi tanda yang amat jelas. Menurut peta di belakang batu segi tiga inilah tempatnya.” Han Sin menudingkan telunjuknya ke arah batu itu.

Bhok-kongcu menjadi pucat. “Di belakang ini?”

Ia memandang lebih teliti. Batu segi tiga itu tidak berapa tinggi, hanya setinggi orang. Akan tetapi tebal dan karena batu itu adalah batu hitam yang sudah tua sekali, maka beratnya tentu paling sedikit ada dua ribu kati! Kalau tempat itu berada di belakang batu segi tiga, berarti bahwa batu itu harus disingkirkan. Ia lalu berpaling pada Hoa Hoa Cinjin dan bertanya,

“Cinjin, tanpa pembantu-pembantu yang banyak, bagaimana mungkin menggeser batu yang besar ini?”

Hoa Hoa Cinjin menggulung lengan bajunya dan menjawab, “Kongcu, dalam urusan ini, tidak baik mendatangkan banyak pembantu. Biarlah pinto mencobanya.”

Tosu tua yang bertubuh kekar ini lalu mendekati batu segi tiga dari samping. Ia melihat batu itu hanya bersandar pada tebing karang, tidak menjadi satu dengan karang maka ia merasa masih sanggup menggesernya. Dengan memasang kuda-kuda yang amat kuat, ia lalu menggunakan tenaga Jeng-king-kang (Tenaga Seribu Kati) dan mendorong batu itu. Akan tetapi batu itu tidak bergeming. Terdengar suara tertawa dan ternyata Tung-hai Siang-mo sepasang iblis itu yang tertawa.

Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran. Dikerahkan seluruh tenaga dan dari ubun-ubun kepalanya sampai keluar uap, tulang-tulang tubuhnya berbunyi berkerotokan dan urat-urat di kedua lengannya tersembul seperti ular melilit-lilit. Batu besar itu bergerak sedikit, namun tetap tidak dapat bergeser. Akhirnya terdengar suara dan batu yang sudah goyang itu membalik sedangkan kedua kaki Hoa Hoa Cinjin amblas sampai selutut ke dalam tanah! Terpaksa tosu itu melepaskan dorongannya dan menyusut peluh. Ia mencabut keluar kedua kakinya dan mencari injakan lain untuk mencoba pula.

“Gi-hu, batu itu terlampau berat. Tak mungkin tenaga seorang manusia menggesernya,” kata Hoa-ji mencegah ayahnya.

“Ha ha ha, kau benar, nona berkedok. Tenaga Hoa Hoa Cinjin seorang mana mampu?” kata Ji Kong Sek mengejek. Adapun Ji Kak Touw tertawa-tawa mendengus.

Hoa Hoa Cinjin sudah melotot. Matanya yang mempunyai sinar menakutkan, luar biasa tajamnya itu seperti mengeluarkan api. Ia marah sekali kepada Tung-hai Siang-mo yang mengejeknya. Melihat ini, Bhok-kongcu mendahuluinya berkata kepada sepasang iblis itu.

“Ji-wi lo-enghiong berdua yang terkenal memiliki tenaga Pai-san-ciang (Tangan Mendorong Gunung), tentu akan dapat mendorongnya.”

Sepasang iblis itu saling pandang. Tidak enak kalau mereka diam saja tanpa turun tangan. Maka keduanya lalu menghampiri batu itu. Tadi Hoa Hoa Cinjin mendorong dari kiri, sekarang karena di bagian kiri itu tanahnya sudah amblong terinjak kuda-kuda kaki Hoa Hoa Cinjin, mereka mendorong dari kanan. Berdua mengerahkan tenaga dan menyatukan kekuatan, mendorong batu segi tiga itu.

Kembali batu bergoyang-goyang, akan tetapi tetap tidak dapat bergeser. Sampai merah muka kedua orang itu, juga dari kepala mereka mengebul uap karena mereka mengerahkan seluruh tenaga dalam, namun tetap tidak berhasil. Akhirnya mereka menyerah dan melepaskan dorongan.

“Ha ha ha! Tenaga Pai-san-ciang kiranya hanya bisa untuk mendorong gunung-gunungan, jangankan mendorong gunung sungguh-sungguh, mendorong batu saja tidak becus. Ha ha ha!” Hoa Hoa Cinjin membalas kedua orang itu dengan ketawa mengejek. Hoa-ji tentu saja membela ayah angkatnya dan nona inipun tertawa merdu dan nyaring.

Tung-hai Siang-mo malu dan marah. “Hoa Hoa Cinjin, kau sendiri tidak becus, kenapa kau mentertawai orang? Setidaknya tenaga kami berdua tidak kalah oleh tenagamu!” kata Ji Kak Touw sambil melotot.

Hoa Hoa Cinjin mengangkat dada. “Begitukah? Boleh kita coba!”

“Majulah!” dua orang iblis itu memasang kuda-kuda dan siap untuk mengadu tenaga.

Hoa Hoa Cinjin melompat maju, meluruskan kedua lengan dan di lain saat sepasang lengannya sudah bertemu dengan dua pasang lengan Tung-hai Siang-mo dan tiga orang ini saling mendorong, mengerahkan tenaga masing-masing! Ramai sekali adu tenaga ini sampai Hoa-ji bertepuk tangan saking gembiranya. Bhok-kongcu berusaha mencegah, namun tiga orang kakek yang sudah panas perutnya itu mana mau saja?

Han Sin benar-benar merasa mendongkol dan jemu melihat lagak orang-orang kang-ouw yang sedikit-sedikit menonjolkan kepandaiannya ini. Agaknya bagi para tokoh kang-ouw itu, yang terpenting dalam hidup hanyalah memamerkan kepandaian dan bertempur untuk mencari kemenangan! Ia melangkah maju dan berkata tak senang.

“Sam-wi ini orang-orang tua seperti bocah-bocah saja! Kalian mengaku pembantu dari Bhok­kongcu, pembantu-pembantu macam apa ini? Ikut-ikutan ke sini bermaksud membantu Bhok­kongcu mencari pusaka itu atau hanya untuk saling cakar? Masing-masing tidak mampu menggeser batu, malah saling gempur. Kalau tenaga itu semua disatukan mendorong batu, itulah lebih baik dari pada saling dorong seperti bocah tak tahu aturan!”

Ucapan ini dikeluarkan dengan suara yang demikian nyaringnya sehingga pengerahan lweekang tiga orang itu menjadi terganggu, bahkan Hoa-ji dan Bhok-kongcu sampai merasa sakit anak telinganya. Mereka kaget bukan main dan memandang kepada Han Sin dengan bengong.

Adapun Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, ketika mendengar omongan ini lalu sadar. Tadi mereka hampir lupa bahwa mereka berada di situ atas perintah Bhok-kongcu, bahkan mereka telah saling adu kekuatan di depan Bhok-kongcu, lupa akan tugas mereka diajak ke situ. Segera mereka menarik tenaga masing-masing dan memandang kepada Bhok-kongcu dengan muka merah. Pangeran muda ini agak cemberut.

“Maaf kongcu. Pinto telah menuruti nafsu,” kata Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis itupun mengangguk-angguk di depan Bhok-kongcu.

“Hoa Hoa Cinjin, apa yang diucapkan bocah ini memang ada betulnya. Mari kita bertiga mendorong batu keparat ini, masa tidak kuat?” kata Ji Kong Sek.

Hoa Hoa Cinjin mengangguk dan mereka lalu menghampiri batu segi tiga itu. Tenaga tiga orang yang tadinya diadu itu kini bersatu mendorong batu. Hebat bukan main tenaga tiga orang ini. Batu itu perlahan-lahan tergeser.

Melihat bahwa di balik batu itu terdapat gua, Bhok-kongcu menjadi girang dan turun tangan ikut mendorong, demikian pula Hoa-ji. Hanya Han Sin yang berdiri saja memandang, diam-diam ia pun merasa girang bahwa peta itu ternyata tidak bohong. Tentu di dalam guha ini adanya pusaka rahasia itu. Sedih hatinya kalau mengingat bahwa pusaka peninggalan ayah dan kong-kongnya, yang diwariskan kepadanya, kini akan terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang tidak berhak. Bukan sekali-kali karena dia ingin sekali mendapatkan harta benda, melainkan menyayangkan kalau harta pusaka jatuh ke dalam tangan orang-orang yang ia anggap tersesat ke jalan kejahatan ini.

Harta maupun segala benda keduniaan, apabila terjatuh ke dalam tangan orang bijaksana, akan merupakan anugerah, bagi si orang itu sendiri maupun orang-orang lain karena benda dunia malah dapat menjadi alat untuk orang melakukan kebajikan dalam hidup. Sebaliknya, apabila terjatuh ke dalam tangan orang-orang yang sesat, benda itu akan mendatangkan malapetaka, baik bagi si pemilik maupun bagi orang lain, karena benda itu akan dijadikan alat untuk pengumbar nafsu!

Setelah mendapat bantuan Bhok-kongcu dan Hoa-ji yang keduanya juga memiliki tenaga lweekang luar biasa, batu segi tiga itu terguling mengeluarkan suara keras. Han Sin yang tertarik juga akan isi guha yang kini kelihatan jelas, merupakan sebuah guha yang bentuknya seperti mulut naga, cepat melangkah masuk.

Tiba-tiba terdengar suara keras sekali dan ….. batu besar yang tadinya rebah miring di atas batu segi tiga, kini bergerak turun! Agaknya pegangan batu itu pada gunung karang telah patah karena batu segi tiga yang merupakan ganjalnya dipindahkan.

“Celaka ……!” Bhok-kongcu berseru pucat.

“Satukan tenaga, tahan batu ini!” teriak Hoa Hoa Cinjin.

Batu besar itu memang sudah turun hendak menggencet mereka, maka dengan kedua lengan diangkat ke atas, Hoa Hoa Cinjin, kedua Tung-hai Siang-mo, Bhok-kongcu, dan Hoa-ji menahan turunnya batu. Baiknya batu itu di bagian atas masih menyandar kepada gunung karang sehingga bobotnya masih dapat diganjal oleh enam pasang lengan itu. Kalau tidak ada gunung karang yang menahan, mana mereka kuat? Tentu tubuh mereka akan tergencet gepeng.

Akan tetapi keadaan merekapun bukan tidak berbahaya. Mereka sudah menahan batu dan mereka tidak mungkin dapat melepaskan lengan mereka dari bawah batu. Sekali mereka melepaskan diri, batu itu akan menggencet ke bawah dan mereka akan menjadi hancur! Kalau terus melanjutkan usaha menahan turunnya batu besar itu, merekapun takkan kuat menahan terlalu lama. Maju celaka, mundur hancur! Bhok-kongcu agaknya maklum hal ini, maka pemuda ini sudah menjadi pucat dan memutar otak mencari siasat.

Sementara itu, ketika Han Sin menyelinap masuk, ia melihat guha yang amat lebar dan gelap sekali. Guha itu merupakan terowongan dan saking gelapnya ia tidak melihat apa adanya di sebelah dalam. Selagi ia hendak memeriksa, ia mendengar suara-suara mereka yang sedang mati-matian menahan batu. Ia menengok dan pemuda ini berdebar hatinya. Tanpa ragu-ragu lagi ia melompat sambil berseru,

“Celaka ....!” Kemudian serta merta iapun mengangkat kedua lengan dan ikut menyangga batu. Kebetulan, tanpa disengaja tempat ia berdiri adalah di depan Hoa-ji sehingga ia hampir beradu muka dengan gadis itu.

Mata dibalik kedok itu memandang penuh keheranan dan kekaguman.

“Kau .....” bisik Hoa-ji. “Kenapa membantu kami .......?”

“Kenapa tidak? Kalian terancam bahaya, mana bisa aku tidak membantu?” Han Sin balas bertanya dengan heran. Setelah pemuda ini ikut menyangga batu, enam orang itu dapat bernapas seakan-akan batu itu menjadi ringan. Akan tetapi tak seorangpun di antara mereka dapat menduga bahwa ini adalah karena tenaga kedua lengan tangan Han Sin yang amat luar biasa! Dan pemuda itu masih bisa kongkow (mengobrol)!

“Bodoh, kalau sekarang kau lari pergi, siapa yang bisa menghalangimu?” kata pula Hoa-ji.

Mendengar ini, Bhok-kongcu mendongkol sekali. Kenapa semua perempuan mengambil sikap membela Han Sin bocah gunung itu? Ia benar-benar iri hati sekali.

“Kau yang bodoh!” jawab Han Sin membuat heran semua orang. “Kau kira aku manusia macam apa melihat kau dan yang lain-lain terancam bahaya maut malah pergi dan tidak menolong? Huh, aku bukan orang macam itu.”

“Huh, kuncu tulen .....!” Semua orang terheran, juga Han Sin.

Di antara mereka tidak ada yang mengeluarkan kata-kata ini, dan anehnya, kata-kata ini keluarnya dari .... sebelah dalam guha yang gelap itu. Akan tetapi begitu perlahan seperti bisikan dan begitu aneh suara itu seperti bukan suara manusia. Biarpun amat perlahan namun terdengar jelas, benar-benar hebat.

Selagi semua orang terheran, dari luar terdengar suara kerincingan yang amat nyaring. Makin lama suara kerincingan ini makin nyaring dan dekat.

“Ayah datang .......!!” seru Bhok-kongcu girang luar biasa.

Mendengar ini, muka Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo berubah pucat. Diam-diam mereka mengeluh. Biarpun mereka bertiga memang suka membantu pemerintah baru untuk merebut kedudukan dan kemuliaan, namun diam-­diam kalau di atas pusaka rahasia peninggalan Lie Cu Seng benar-benar terdapat kitab pelajaran ilmu silat tinggi seperti yang dikabarkan di dunia kang-ouw, mereka tentu akan berusaha mendapatkannya.

Sekarang munculnya tokoh besar itu, Pak-thian-tok Bhok Hong yang namanya sudah membuat semua orang ketakutan, mereka tentu saja menjadi kecewa. Biarpun mereka bertiga belum pernah bertanding melawan Bhok Hong, akan tetapi pada masa itu di dunia persilatan hanya ada beberapa orang saja yang dapat disejajarkan nama besarnya dengan Pak-thian-tok Bhok Hong. Ketika tentara Mancu menyerbu ke selatan, entah sudah berapa banyak orang-orang gagah di dunia kang-ouw yang roboh di tangan Bhok Hong ini. Malah kabarnya para gembong dari partai persilatan Kun-lun­pai, Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, Siauw-lim-pai dan lain-lain sudah jatuh di bawah tangan besi atau tangan racunnya.

Dari bawah lereng muncul seorang kakek tinggi besar yang amat angker sikapnya. Kakek itu berusia kurang lebih lima puluh tahun, wajahnya seperti wajah pahlawan Kwan In Tiang, merah dan gagah perkasa serta tampan. Pakaiannya seperti pakaian perang, di pinggangnya tergantung sebatang golok. Kerincingan yang berbunyi amat nyaring itu adalah kerincingan-kerincingan perak kecil-kecil berjumlah seratus delapan buah yang digantungkan pada pakaian serta topinya.

Anehnya, begitu kakek itu sudah datang dekat dengan tindakan yang luar biasa cepatnya, kerincingan itu mendadak berhenti semua! Inilah keistimewaan Pak-thian-tok Bhok Hong. Sebagai seorang cabang atas ia selalu memberi warta tentang kedatangannya dengan bunyi kerincingan itu dan setelah dekat, dengan menggunakan kepandaian lweekang yang sudah amat tinggi ia bisa membuat kerincingan-kerincingan itu tidak bergoyang biarpun tubuhnya bergerak-gerak dalam pertempuran.

Melihat keadaan puteranya dan orang-orang lain yang sedang menahan batu besar itu, tanpa berkata sesuatu Bhok Hong lalu menyelinap masuk. Tangan kanannya menyangga batu itu dan tangan kirinya mendorong tubuh puteranya keluar.

“Keluar kau dan minggir!”

Bhok-kongcu percaya akan kesaktian ayahnya, maka ia menurut saja, menggunakan tenaga dorongan ayahnya untuk melompat keluar dan berlindung di samping pada dinding gunung karang. Pak-thian-tok Bhok Hong memandang kepada orang-orang lain yang masih menahan batu dengan sikap tidak acuh.

“Kalian tidak lekas menggelinding pergi, tunggu apa lagi?”

Hoa-ji maklum bahwa batu itu akan dilontarkan oleh kakek sakti ini, memang paling selamat pergi berlindung seperti Bhok-kongcu, maka ia lalu melepaskan kedua tangannya dan melompat keluar. Akan tetapi, Hoa Hoa Cinjin dan dua orang iblis dari laut timur berpikir lain. Kedatangan Racun dari Dunia Utara ini tentu menghendaki kitab rahasia di dalam guha. Maka mereka lalu melepaskan tangan pula, akan tetapi tidak melompat keluar, sebaliknya malah melompat ke dalam guha!

Karena ditinggal oleh lima orang itu, batu yang menggencet terasa berat sekali sehingga Bhok Hong harus mengerahkan tenaga sepenuhnya. Dia tidak tahu bahwa bantuan Han Sin memungkinkan dia menahan batu itu. Andaikata Han Sin juga melepaskan batu, tidak mudah bagi orang sakti itu untuk menahannya seorang diri. Sekarang, ia hanya mengira bahwa batu itu hanya kelihatan besar saja akan tetapi tidak berapa berat, maka ia hanya menahan dengan lengan kanan sedangkan lengan kirinya dilambaikan ke arah Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo.

“Kalian mau apa? Keluar kataku!”

Hoa Hoa Cinjin menjurah. “Bhok-taijin, pinto bertiga bertugas membantu Bhok-kongcu mencari pusaka rahasia ......”

“Tikus-tikus macam kalian mana becus? Keluar!” Tangan kiri itu berkelebat dan ujung lengan baju Bhok Hong bergerak tiga kali melakukan serangan totokan ke arah jalan darah maut di tenggorokan tiga orang itu. Hebat sekali serangan ini, angin pukulannya saja sudah menderu tanda bahwa tenaganya besar. Hoa Hoa Cinjin dan kedua Tung-hai Siang-mo tidak berani menangkis, melainkan mengelak. Akan tetapi di lain saat, tiga kali tangan kiri Bhok Hong bergerak, menangkap belakang leher tiga orang kakek kosen itu dan berganti-ganti mereka dilempar keluar.

Benar-benar hal ini amat ajaib, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo pada masa itu adalah tokoh-­tokoh besar yang di dunia kang-ouw menduduki tempat tinggi. Jarang ada ahli silat dapat melawan mereka. Apalagi Hoa Hoa Cinjin. Akan tetapi sekali gebrak saja Pak-thian-tok Bhok Hong sudah berhasil melempar mereka. Benar-benar hal ini menunjukkan betapa tingginya tingkat kepandaian raja muda ini. Memang ilmu silatnya aneh dan selain ilmu silat di daerah pedalaman Tiongkok, raja muda bangsa Mongol keturunan Jenghis Khan inipun adalah seorang ahli ilmu gulat Mongol yang sudah terkenal ketangkasan dan kekuatannya.

Kemudian Bhok Hong memandang Han Sin yang masih menyangga batu dengan kedua tangan. Ia menjadi geli hati, tidak menyangka sama sekali bahwa tadi ia dapat menggunakan sebelah tangan menjaga batu dan sebelah lagi melemparkan tiga orang tokoh kang-ouw, sebetulnya sepenuhnya adalah atas bantuan Han Sin. Kalau saja pemuda ini tidak menggunakan kedua lengan untuk menahan batu, dengan sebelah tangan saja mana Bhok Hong kuat menahan batu yang beratnya ribuan kati itu?

“Eh, orang muda tolol. Kaupun belum pergi?” bentaknya.

“Locianpwe kuat dan kosen, akan tetapi tanpa dibantu, bisa berbahaya sekali kalau tertimpa batu yang berat ini,” jawab Han Sin dengan tenang.

“Cia Han Sin, ayoh kau melompat keluar. Lekas kalau menyayang jiwamu!” terdengar Hoa-ji berseru dan kembali Bhok-kongcu merasa cemburu dan iri.

Akan tetapi jawaban Han Sin membuat semua orang melengak. Pemuda itu nampak marah.

“Kalian ini pengecut-pengecut besar yang tidak tahu malu! Locianpwe yang gagah ini datang hendak membantu, masa kalian malah meninggalkannya? Benar-benar tak kenal budi. Aku mau membantunya, biar mati tergencet batu aku tidak takut!”

Bhok Hong adalah seorang aneh dan di dunia kang-ouw ini, sudah seringkali ia melihat hal-hal aneh, orang-orang berwatak lain dari pada yang lain dan yang baginya sudah tidak mengherankan lagi. Akan tetapi baru sekarang ia bertemu dengan seorang muda yang demikian tolol dan berlagak seperti seorang kuncu. Akan tetapi ketika mendengar suara Hoa-ji yang menyebutkan nama pemuda itu, ia tertegun.

“Kau she Cia? Masih apanya Cia Hui Gan?”

“Beliau adalah kakekku,” jawab Han Sin, girang bahwa orang tua sakti ini mengenal kakeknya.

“Bagus, nanti kau bawa aku ke dalam!” Setelah berkata demikian, dengan kedua tangannya Bhok Hong mendorong batu itu sambil berteriak keras, “Keluar!”

Han Sin merasa bahwa kakek itu mendorong batu dan ia maklum apa yang dikendaki kakek itu. Maka iapun mengerahkan tenaganya mendorong batu itu keluar. Terdengar suara hiruk-pikuk dan batu besar itu terdorong keluar, bergulingan ke bawah lereng. Bhok-kongcu dan yang lain, yang berlindung di samping, merasa betapa dinding gunung karang itu bergetar seperti ada gempa bumi! Ledakan batu besar yang menimpa batu-batu di bawah itu disusul oleh suara hiruk-pikuk dari atas.

“Ayah, awas .....! Bhok-kongcu berteriak sambil melangkah mundur. Ternyata dari atas, batu-batu besar kecil sekarang bergulingan ke bawah, karena batu besar yang tadi menjadi penahan telah tidak ada. Semua batu itu gugur dan melongsor ke bawah menimpa ke arah guha di mana Han Sin dan Bhok Hong berdiri.

“Han Sin, awas .....!” di antara gemuruh suara batu-batu bergulingan itu terdengar jerit Hoa-ji.

Sementara itu, Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo sibuk menangkisi batu-batu kecil yang mencelat ke arah mereka berdiri.

Lanjut ke jilid 034 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment