Ads

Friday, August 31, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 034

◄◄◄◄ Kembali

Adapun Pak-thian-tok Bhok Hong, ketika melihat batu-batu besar kecil seperti air hujan menimpa turun, cepat ia melangkah mundur dan kedua tangannya ia gerakan berkali-kali mendorong ke depan. Gerakan ini mendatangkan angin dan demikian kuatnya sehingga batu-batu yang hendak menggelinding ke dalam gua, dapat terdorong keluar. Makin lama batu-batu itu menumpuk makin banyak dan di lain saat, guha itu sudah tertutup oleh timbunan batu-batu yang laksaan kati beratnya. Mereka berdua seperti terpendam hidup-hidup di dalam guha itu!

Han Sin berdiri mepet dinding guha sambil memandang kagum. Ia amat kagum melihat kehebatan kakek sakti itu. Akan tetapi makin lama keadaan di situ makin gelap dan setelah seluruh guha tertutup timbunan batu, di situ menjadi gelap pekat.

Bhok Hong tertawa bergelak. “Ha ha ha ha, si pemberontak Lie Cu Seng sampai mampuspun masih memusuhi aku. Akan tetapi, aku Bhok Hong masih hidup dan selama masih hidup, tak seorang pun dapat menguasaiku. Ha ha ha!” Kemudian ia menoleh ke arah Han Sin ketika mendengar suara kaki pemuda itu bergerak.

“Bocah she Cia! Kau datang mengantar Kian Teng mencari pusaka Lie Cu Seng. Katakan, di mana itu? Di mana letaknya dalam guha ini.”

“Locianpwe, kau adalah seorang kakek yang gagah perkasa. Kenapa agaknya kaupun tergila-gila oleh harta pusaka warisan orang lain? Harap kau sadar, locianpwe, bahwa barang yang bukan haknya amat tidak baik kalau diharapkan. Dalam dunia ini, hidup hanya sekejap mata, sementara menanti datangnya kematian kenapa tidak melakukan perbuatan-perbuatan baik? Kenapa orang-orang gagah seperti locianpwe dan yang lain-lain itu memperebutkan barang yang bukan haknya? Apalagi sekarang locianpwe dan aku sudah seperti dikubur hidup-hidup, masa masih memikirkan harta warisan?”

Kembali Bhok Hong tertawa bergelak dan sifat suka ketawa ini mengingatkan Han Sin akan Bhok Kian Teng. Agaknya hanya sifat ini yang sama antara ayah dan anak itu. Akan tetapi kalau suara ketawa Kian Teng terdengar merdu, ramah dan menyenangkan, adalah suara ketawa kakek ini sewajarnya, keras, kasar dan juga menakutkan.

“Barangkali kau sudah gila, bicaramu sudah tidak karuan lagi. Tapi aku suka kau begini berani. Bosan aku melihat orang-orang menyembah-nyembahku, ketakutan setengah mati. Eh, cucu Cia Hui Gan. Harta benda sedunia ini mana kukehendaki? Aku hanya ingin menambah satu dua pukulan warisan Tat Mo Couwsu, karena sebelum mampus aku harus dapat mengalahkan si monyet Hui-kiam Koai-sian!”

Begitu mendengar orang menyebut monyet, sekali gus Han Sin teringat akan Siauw-ong.

“Aduh, celaka! Di mana Siauw-ong ....?” katanya bingung dan mengingat-ingat. Ia teringat bahwa monyet itu tidak nampak lagi ketika ia disiksa oleh Thian-san Sam-sian dulu, tidak tahu ke mana perginya.

Bhok Hong tentu saja makin bingung. “Siapa itu Siauw-ong? Tidak ada Siauw-ong (Raja Kecil) kecuali aku, Raja Muda Bhok Hong! Bocah she Cia, apa kau sudah gila?”

Han Sin sadar dan berkata, “Locianpwe, yang kusebut tadi adalah monyetku yang hilang. Akupun tidak mengerti apa yang kau maksudkan. Siapa itu Hui-kiam Koai-sian? Kenapa kau harus mengalahkannya?”

“Duduklah Tidak ada orang orang lain di dunia ini boleh mendengarkan. Kau takkan lama lagi hidup, maka tiada halangan kau menjadi satu-satunya orang yang mendengarnya. Aku, Pak-thian­tok Bhok Hong, selama menjagoi di daratan Tiongkok ini, entah sudah berapa ratus kali bertanding melawan jago-jago dari seluruh pelosok dan selalu aku menang. Hanya dua kali aku menemui tanding. Pertama-tama adalah seorang nenek pendeta sakti bernama Pek Sim Niang-niang. Kedua adalah Hui-kiam Koai-sian yang baru-baru ini bertanding selama tiga hari dengan aku tanpa ada yang kalah ataupun menang. Karena itu, aku harus memiliki kitab Tat Mo Couwsu yang berada bersama benda warisan Lie Cu Seng, melihat kalau-kalau di situ terdapat jurus-jurus yang akan dapat kupakai mengalahkan Hui-kiam Koai-sian, kemudian kalau mungkin, Pek Sim Niang-niang. Nah, kau sudah tahu sekarang, lekas katakan di mana adanya tempat simpanan itu.”

Pada saat itu terdengar suara keras dan tahu-tahu dinding sebelah dalam guha itu berlubang. Sesosok bayangan merayap keluar di dalam gelap, tentu saja tidak kelihatan, hanya terdengar suaranya saja.

“Heh heh heh heh! Pak-thian-tok sudah tua bangka masih gila nama besar, heh heh!”

Pak-thian-tok Bhok Hong kaget sekali. Ia tidak dapat mengenal siapa adanya orang yang muncul ini, entah manusia entah iblis. Akan tetapi ia maklum bahwa orang ini tentu berbahaya. Tanpa banyak cakap ia lalu menyerang ke arah suara itu. Hebat sekali serangan Bhok Hong ini. Terdengar suara keras dan batu karang yang terkena pukulannya hancur, akan tetapi orang yang diserangnya telah dapat mengelak.

“Heh heh heh, orang Mongol! Mengadu kepandaian dalam gelap tidak ada artinya. Kalau kau betul ingin menguji kepandaian, mari kejar aku! Heh heh heh!”

“Siluman maupun manusia, kau takkan terlepas dari tanganku!” teriak Bhok Hong sambil mengejar ke depan dan dengan berani iapun ikut merayap melalui lubang pada dinding yang tadi jebol.

Han Sin dapat mendengar semua ini dengan jelas. Pendengarannya sudah amat tajam berkat sinkangnya yang tinggi, maka biarpun matanya tidak dapat melihat di dalam gelap, namun dengan pendengarannya ia seakan-akan dapat menyaksikan semua itu. Melihat Bhok Hong mengejar masuk ke dalam terowongan kecil, iapun mengejar pula.

KURANG lebih dua puluh tombak mereka merayap, tibalah mereka pada sebuah ruangan yang besar dan di situ terdapat sinar terang. Sinar ini sebetulnya takkan cukup untuk menerangi ruangan itu, karena cahaya matahari yang menembus celah-celah batu karang hanya sedikit.

Akan tetapi, pada dinding itu terdapat puluhan batu yang mengeluarkan cahaya, atau sebetulnya yang memantulkan sinar matahari, membuat cahaya itu menjadi berlipat kali terangnya. Ketika Han Sin memandang, ternyata bahwa batu-batu itu adalah batu-batu permata yang amat besar, yang dipasang begitu saja pada dinding karang.

Akan tetapi perhatiannya tidak tertuju kepada kemewahan yang ganjil ini. Ia memandang ke depan dan melihat bahwa orang yang tadi mengeluarkan suara, ternyata adalah mahluk yang hampir tidak menyerupai orang lagi. Tubuhnya sudah melengkung ke depan sampai dagunya hampir menyentuh tanah, mukanya kerut merut tanda usia yang sangat tua dan kulitnya hitam seperti tanah. Rambutnya sudah habis dan kepala itu sekarang tertutup kotoran-kotoran menghitam. Ia tidak berpakaian lagi, hanya di bagian bawah tertutup akar-akar pohon yang dibelit-belitkan. Kedua tangannya panjang seperti tangan kera.

Orang mengerikan ini sedang berdiri membungkuk sambil tertawa-tawa, sedangkan Bhok Hong menghadapinya sambil memandang tajam. Bhok Hong mengingat-ingat, kemudian ia berseru heran.

“Bukankah kau Thai-lek-kwi (Setan Bertenaga Besar) Kui Lok?”

“Heh heh heh, matamu masih awas. Heh heh heh, orang she Bhok, kau mengagulkan diri sebagai keturunan Jenghis Khan. Akan tetapi sekarang kau mengekor kepada orang Mancu, menjilat-jilat pantat seperti anjing. Aha, lebih rendah dari pada anjing, heh heh heh!”

“Bangsat! Kau berani memaki aku mengandalkan apa?” bentak Bhok Hong sambil menerjang maju. Kedua tangannya bergerak dan terdengar angin pukulan bersiutan menyambar ke arah kakek bongkok yang bernama Kui Lok itu.

Kakek bongkok itu biarpun tubuhnya sudah bercacad, namun gerakannya gesit sekali. Tadi di dalam gelap ia mampu mengelak dari serangan Bhok Hong, akan tetapi di tempat terang tak mungkin ada orang dapat mengelak dari serangan tokoh besar ini, dan jalan satu-satunya hanya menangkis. Kui Lok agaknya maklum akan hal ini, maka iapun lalu menggerakkan kedua tangannya yang panjang untuk menangkis.

“Bledukk!”

Dalam pertempuran antara tokoh-tokoh persilatan yang besar, tidak mungkin lagi mengandalkan kegesitan untuk mengelak. Serangan-serangan yang dilakukan terlampau lihai dan berat, sehingga jalan satu-satunya hanyalah menindih pukulan itu dengan tangkisan. Siapa yang lebih lihai silatnya, lebih menguntungkan kedudukannya.

Maka dalam pertempuran pertama ini, biarpun kedudukan Kui Lok lebih menguntungkan karena gerakan atau jurusnya memang aneh sekali, namun ia kalah tenaga lweekang. Ketika dua pasang tangan bertemu, tubuh Kui Lok terlempar ke belakang sampai membentur dinding karang, sedangkan tubuh Bhok Hong juga hampir terpelanting ke belakang.

“Hebat tenagamu!” seru Kui Lok.

“Setan, jurus apa yang kaugunakan tadi?” seru pula Bhok Hong kagum sekali.

Tiba-tiba tubuh Kui Lok yang terbentur karang itu membalik seperti sebuah bola karet dan tahu-­tahu dengan gerakan lebih aneh lagi sambil terkekeh-kekeh ia menyerang ke arah kempungan Bhok Hong.

Racun Utara ini kaget sekali biarpun ia menggunakan hawa pukulan menangkis, namun pukulan itu masih terus menyelonong dan hampir saja perutnya kena disodok. Sekuat tenaga ia menangkis. Betul sodokan tangan kanan Kui Lok dapat ia pukul sampai Kui Lok meringis kesakitan, namun tangan kiri Kui Lok yang melakukan serangan mendadak dan tidak terduga-duga itu tahu-tahu telah mampir di lehernya.

“Plakk …..!”

“Aduhhh …..!” Teriakan aduh ini keluar dari dua mulut.

Bhok Hong merasa lehernya sakit dan pandang matanya berkunang ketika leher itu kena dipukul. Baiknya sinkang di tubuhnya sudah kuat sekali sehingga ia dapat menyalurkan tenaga ke arah yang dipukul dan tidak menderita luka berat. Adapun Kui Lok mengaduh karena selain tangan kirinya serasa memukul baja, juga tangan kanan yang ditangkis keras tadi menjadi bengkak.

“Kau menggunakan ilmu silat siluman!” Bhok Hong berseru lagi, marah.

“Heh heh heh, Pak-thian-tok kena kupukul. Heh heh heh!” Kui Lok berseru kegirangan.

Akan tetapi ia tidak dapat bergirang terus karena bagaikan seekor singa menubruk, tahu-tahu Bhok Hong sudah menerjangnya dengan kedua tangannya. Kui Lok juga mementang kedua tangan dan di lain saat dua pasang tangan itu sudah saling cengkeram dan saling dorong!”

Melihat cara dua orang kakek ini bertempur, Han Sin menjadi geli hatinya. Kenapa mereka berkelahi seperti dua orang bocah sedang bergelut saja? Sama sekali tidak indah dilihat, lebih indah kalau Bi Eng bersilat dan bertempur menghadapi lawan. Sekarang mereka saling cengkeram tangan, apa-apaan ini? Akan tetapi alangkah kagetnya ketika ia melihat keadaan Kui Lok tergencet dan terdesak hebat sekali. Tidak saja dari ubun-ubun kepalanya keluar uap putih, juga mukanya makin lama menjadi makin hitam dan dari mulutnya sebelah kiri keluar darah!

Perasaan kasihan timbul di hati Han Sin. Terlalu sekali Bhok Hong, pikirnya. Sudah terang bahwa kakek bongkok ini adalah penghuni guha, berarti tuan rumah. Masa ada tamu begitu kurang ajar mendesak dan menyerang tuan rumah, bahkan hendak membunuhnya?

Ia segera meloncat ke belakang Kui Lok, dan mendorong kedua pundak Kui Lok. Ia sekarang sudah tahu cara menyalurkan sinkang, maka begitu ia mengerahkan perhatian dan mengempos semangat, kedua lengannya menjadi hangat dan di dalamnya mengalir hawa sinkang yang bukan main hebatnya. Kui Lok merasai ini. Dari pundaknya datang hawa sinkang seperti air membanjir, melalui kedua lengannya terus ke depan. Ia girang sekali dan juga heran, maka cepat ia menyalurkan hawa ini untuk menggempur lawannya.

“Apa ini …..?” Bhok Hong berseru kaget, akan tetapi justru inilah yang mencelakakannya. Ia tidak mengira bahwa akan datang serangan pembalasan dengan hawa sinkang begini kuatnya, maka tadi ia telah membuka mulut saking herannya. Begitu ia bicara, pertahanannya mengurang dan ini hebat akibatnya. Andaikata ia mengempos seluruh tenaga dan semangatnya, belum tentu ia akan kuat menahan. Sekarang ia merasa tenaga itu mendorong terus, membuat tenaganya sendiri membalik dan menghantam ke arah pundak dan dadanya.

“Celaka ……!” Tubuhnya terpental bagaikan dilontarkan ke belakang dan ia roboh pingsan. Dari mulut, hidung, dan telinganya keluar darah!

“Heh heh heh, Pak-thian-tok yang lihai mampus di tanganku. Heh heh heh!” Kui Lok menyambar ke depan, tangannya diangkat hendak memukul kepala Bhok Hong. Tiba-tiba tangannya itu tak dapat digerakkan dan ternyata telah dipegang dari belakang oleh Han Sin.

“Locianpwe, harap jangan membunuh orang,” kata Han Sin.

Kakek bongkok itu membalikkan tubuh dan memandang Han Sin dengan mata terbelalak.

“Siapa bilang dia orang? Dia ini iblis, dia siluman jahat! Ah, kau tidak tahu betapa jahatnya dia. Entah sudah berapa banyak patriot-patriot perkasa tewas di tangan Pak-thian-tok Bhok Hong! Dia keturunan Jenghis Khan dan bangsa Mongol menjajah negara kita seratus tahun lebih! Sekarang dia membantu bangsa Mancu yang datang menjajah dan memperbudak bangsa kita. Ah, bocah she Cia. Kalau benar kau ini cucu pahlawan Cia Hui Gan seperti pengakuanmu terhadap Pak-thian-tok tadi, kalau benar kau putera taihiap Cia Sun pejuang rakyat yang mulia, kenapa kau melarang aku membunuhnya? Sebetulnya, kaulah sebagai keturunan Cia Hui Gan yang malah harus turun tangan membunuh jahanam ini!”

Han Sin menggeleng kepala. “Keliru, locianpwe. Membunuh tidak sama dengan membunuh!”

“Eh, ngacau! Apa bedanya membunuh dan membunuh? Jangan kau coba membadut.”

“Yang kumaksudkan, membunuh musuh dalam perjuangan jauh sekali bedanya dengan membunuh orang karena kebencian, apalagi kalau orang itu sedang pingsan tak dapat melawan. Kalau kau membunuhnya dalam keadaan seperti sekarang, berarti locianpwe seorang pengecut!”

“Setan …..! Kakek bongkok itu menerjang hendak menyerang Han Sin yang sama sekali tidak menangkis atau mengelak, akan tetapi pemuda ini memandang dengan sepasang matanya yang bersinar-sinar. Kakek itu tiba-tiba mengeluh dan mengurungkan niatnya menerjang. “Matamu …. matamu sama benar dengan mata Cia Hui Gan ….. akan tetapi luar biasa tajamnya. Kau … kau aneh. Bocah, nanti kita bicara tentang peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Akan tetapi iblis ini harus dikeluarkan dulu.”

Kakek itu lalu menyeret kedua kaki Bhok Hong keluar terowongan, kemudian ia datang kembali ke ruangan itu dan tiba-tiba kedua tangannya memukul ke kiri, ke arah batu karang yang menonjol. Ia menggunakan seluruh tenaganya dan …. Han Sin terkejut sekali ketika mendengar suara berdebukan keras dan lantai yang ia injak sampai tergetar hebat.

“Apa itu …….?” tanyanya kaget.

Kakek bongkok tertawa bergelak. “Batu-batu gunung di atas tak terganjal lagi, merosot turun menutupi terowongan. Nah, kita sekarang aman dari gangguan orang luar.”

“Habis, bagaimana kita bisa keluar ……?”

“Bodoh siapa bicara tentang keluar? Kau dituntun oleh arwah kong-kong dan ayahmu mendatangi tempat ini. Memang kitab itu adalah menjadi hakmu. Aku menjaga di sini sampai puluhan tahun dan sekarang, pada saat kau hendak menerimanya, kau bicara tentang keluar! Benar-benar tak tahu terima kasih!”

“Locianpwe, apakah artinya ini semua? Aku tidak mengerti.”

Thai-lek-kwi Kui Lok menyambar tangan Han Sin dan mengajak pemuda itu menuju ke ruangan lain di dalam kamar-kamar di bawah tanah ini. Ternyata ruangan ini cukup lega dan terang, malah di situ terdapat beberapa buah bangku batu yang kasar.

“Kau duduklah dan dengarkan ceritaku,” kata si kakek.

Tapi baru saja ia menjatuhkan diri duduk di atas bangku, tiba-tiba ia muntahkan darah segar dari mulutnya. Han Sin melompat dan mencoba menolong, akan tetapi dengan isyarat tangannya Kui Lok melarang dia dekat.

“Uuhh ….. uuhh …. jahat benar Pak-thian-tok ……” keluhnya dan setelah beberapa kali muntahkan darah, pernapasannya baru dapat berjalan normal kembali. “Iblis benar dia, dalam adu tenaga tadi ia telah memasukkan pukulan maut yang berbisa. Ah, dia begitu lihai, siapa lagi kelak kalau bukan kau lawannya? Uhhhh, Cia …. Cia-kongcu, berjanjilah kelak kau akan membalaskan ini …..”

Han Sin bingung. Kenapa tiba-tiba orang ini menyebutnya Cia-kongcu?

“Dia …… dia pada saat terakhir telah berhasil melukaiku, aku takkan lama lagi hidup. Berjanjilah, kelak kau akan membalaskan ini ……”

Karena kasihan kepada Kui Lok, juga karena ia menjadi penasaran sekarang melihat kekejaman Pak-thian-tok, Han Sin tak dapat menolak permintaan orang yang sudah menghadapi kematian.

“Dia amat kuat dan lihai, bagaimana aku dapat membalaskan?”

Dalam keadaan yang menyedihkan, sambil terengah-engah, Kui Lok masih tertawa.

“Heh heh heh ….. kau …., kau merendahkan diri ….., memang keturunan keluarga Cia manusia aneh ….., tidak apa kau merendahkan diri, asal mau berjanji.”

“Aku berjanji, locianpwe. Kalau mungkin, kelak akan kubalaskan kau untuk melukainya,” akhirnya Han Sin berkata tenang.

Ucapan ini menyenangkan hati Kui Lok dan ia lalu bercerita. Thai-lek-kwi Kui Lok ini puluhan tahun yang lalu bukanlah orang yang tidak terkenal. Ilmu silatnya tinggi dan terutama sekali ilmu pukulannya yang disebut Thai-lek-jiu pernah menggegerkan dunia persilatan. Namanya tidak saja terkenal sebagai tokoh kang-ouw yang berkepandaian tinggi, juga ia terkenal sebagai seorang pejuang rakyat yang gagah perkasa. Dia seorang patriot tulen yang selalu mengabdikan tenaga demi kepentingan rakyat dan negaranya.

Seperti juga para orang gagah lain yang mencinta rakyat, Kui Lok juga amat tidak senang melihat kelaliman kaisar dan para pembesar kerajaan Beng, biarpun kerajaan ini dipegang oleh bangsa sendiri. Kaisar Beng yang terakhir merupakan boneka belaka yang hidupnya hanya untuk menurutkan hawa nafsu, bersenang-senang dengan para selir tanpa menghiraukan penderitaan rakyatnya.

Yang berkuasa adalah para thaikam yang boleh dibilang menguasai kendali pemerintahan. Korupsi merajalela, Sogok dan suap menjadi kebiasaan yang mendarah daging, yang berpangkat mengandal kedudukannya, yang kaya mengandalkan harta bendanya. Celakalah rakyat kecil yang miskin karena mereka tidak mempunyai andalan. Petani-petani miskin digencet oleh tuan-tuan tanah yang di lain pihak juga diperas oleh para pembesar setempat dan memindahkan tekanan itu, tentu saja, kepada para buruh-buruh taninya.

Akhirnya pemberontakan tak dapat dicegah lagi. Pemberontakan kaum tani dan rakyat kecil yang sudah tidak kuat menahan lagi. Pemberontakan yang disebabkan oleh desakan perut yang kelaparan. Pemberontakan-pemberontakan inilah yang akhirnya menamatkan riwayat pemerintah kerajaan Beng, yang diakhiri dengan pembunuhan diri oleh kaisar terakhir, yaitu kaisar Cung Cen di bukit Ceng San di belakang istananya.

Lie Cu Seng adalah seorang di antara pemimpin-pemimpin pejuang rakyat yang paling terkenal. Dengan gagah berani Lie Cu Seng memimpin barisan petani, barisan rakyat kecil. Dalam barisan inilah termasuk Thai-lek-kwi Kui Lok yang menjadi tangan kanan Lie Cu Seng pula. Kui Lok mengalami suka duka memimpin rakyat itu, malah ikut pula menderita ketika Lie Cu Seng dikejar-­kejar oleh Bu Sam Kwi yang menjadi pengkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Mancu.

Kui Lok ikut pula melarikan diri dan akhirnya, pada saat Lie Cu Seng menemui kematiannya, Kui Lok mendapat tugas menyelamatkan sebuah peti berisi harta pusaka yang tadinya dipergunakan oleh Lie Cu Seng untuk membiayai perjuangannya. Di antara harta pusaka ini terdapat sebuah kitab pelajaran ilmu silat yang amat hebat, peninggalan Tat Mo Couwsu yang paling rahasia dan yang selama ini belum pernah ada yang mampu mempelajarinya.

Kitab ini terjatuh ke dalam tangan Kui Lok yang menyembunyikan kitab di dalam gua rahasia di Lu-liang-san. Kemudian Kui Lok membuat peta dan memberikan peta itu kepada Cia Hui Gan, kawan seperjuangannya. Hanya kepada Cia Hui Gan seorang rahasia ini diketahui, karena bagi dunia luar, Kui Lok sudah lenyap dan orang menyangka bahwa pendekar ini sudah tewas dalam pertempuran melawan orang-orang Mancu.

“Demikianlah riwayatku yang singkat, Cia-kongcu ….” Kui Lok mengakhiri ceritanya dengan napas memburu. “Tadinya aku mengharapkan kedatangan ayahmu, Cia Sun. Kiranya aku harus menanti sampai puluhan tahun dan sekarang kau, cucu Hui Gan, yang datang ….. agaknya roh kakekmu yang menuntun kau ke sini, Cia-kongcu. Kaulah yang akan mewarisi ilmu silat tertinggi di dunia ini …. Kau lihat, dahulu aku bukanlah lawan Bhok Hong si Racun Utara, akan tetapi sekarang, biarpun kalah kuat, aku dapat menghadapinya. Dan ini karena aku baru mempelajari seperseratus bagian dari kitab itu. Kau ternyata sudah memiliki lweekang yang hebat, melebihi kakekmu. Ha ha, kau akan menjadi seorang taihiap yang tidak ada bandingnya! Alangkah girang hatiku.”

“Akan tetapi, aku tidak ingin menjadi taihiap, tidak ingin mempelajari kitab ilmu silat dari Tat Mo Couwsu. Ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan bagi manusia, hanya alat untuk memukul. Menyiksa, membunuh dan mencari permusuhan. Selama aku mempelajari kitab-kitab di Min-san, aku hidup aman dan tenteram. Akan tetapi begitu mengenal ilmu silat dan turun gunung, hanya permusuhan, perkelahian dan kejahatan saja kudapati. Tidak, Kui-locianpwe, aku masuk ke sini hanya karena aku sudah berjanji kepada Bhok-kongcu untuk membawa dia ke tempat pusaka disimpan. Setelah berhasil keluar dari sini, aku akan mencari adik perempuanku dan kuajak kembali ke Min-san, hidup damai di sana.”

Kui Lok melongo. Benar-benar ucapan ini tidak patut keluar dari keturunan Cia Hui Gan dan Cia Sun, dua orang ayah anak yang terkenal sebagai pendekar-pendekar, sebagai pahlawan patriot rakyat.

“Dan kau membiarkan kitab terjatuh ke dalam tangan orang-orang kang-ouw yang jahat?”

”Masa bodoh. Makin sesat seseorang, makin besar malapetaka akan menimpanya. Hukum keadilan Tuhan akan mengatur semua itu,” jawab Han Sin sungguh-sungguh.

Kui Lok adalah seorang patriot, juga seorang sahabat setia dari Cia Hui Gan. Melihat sikap Han Sin, ia menjadi kecewa, sedih dan marah sekali. Tak disangkanya bahwa keturunan Cia Hui Gan akan begini lemah. Ia mengeluh dengan suara sedih,

”Aduhai .... Cia Hui Gan dan Cia Sun, alangkah menyedihkan ..... sia-sia saja kalian dahulu berjuang mati-matian, mengorbankan nyawa untuk negara dan rakyat. Kiranya sekarang keturunanmu begini lemah, nama besarmu akan putus sampai di sini saja. Penghormatan terhadap keluarga Cia sekarang akan berubah menjadi penghinaan ........”

”Kui-locianpwe, siapa akan berani menghinaku? Penghormatan atau penghinaan orang tergantung dari pada sikap kita sendiri. Kalau kita berpegang kepada kebenaran, siapa orangnya mau menghina?”

“Eh eh, sudah dihina dan dipaksa mengantar sampai di sini, masih juga kau belum merasa betapa orang telah menghinamu? Apakah orang-orang seperti Bhok-kongcu, Bhok Hong dan kaki tangannya tadi itu tidak menghinamu?”

Han Sin menghela napas. Harus ia akui bahwa semenjak turun gunung, yang ia hadapi hanyalah penghinaan-penghinaan dari orang-orang kang-ouw.

“Salahku sendiri,” katanya. “Itulah jadinya kalau aku berhadapan dengan orang-orang ahli silat. Kalau aku berdiam saja di Min-san, tidak nanti aku akan mendapat penghinaan. Oleh karena itu, aku akan mengajak adikku pulang saja ke Min­san.”

“Bodoh kau!” Kui Lok tak dapat menahan sabar lagi. “Kalau kau dan adikmu pulang ke Min-san, apa kau kira mereka itu tidak dapat mendatangimu dan menghinamu? Ketika ayah bundamu tewas, bukankah mereka itupun berada di Min-san? Toh ada orang-orang jahat datang mengganggunya!”

“Itulah kalau ayah suka mempelajari ilmu silat,” Han Sin coba membantah.

“Kau ini pemuda apakah? Jiwamu melempem! Kau tidak ada bedanya dengan seekor kacoa! Kau ingat diri sendiri saja, mana ada harganya untuk hidup? Apa kau kira dengan menjaga diri jangan sampai melakukan perbuatan jahat saja sudah cukup untuk membuat kau menjadi seorang kuncu? Huh, kutu buku yang mabok filsafat! Kau benar-benar lebih goblok dari pada segala yang bodoh. Kakekmu seorang patriot gagah perkasa, ayahmu seorang pendekar dan pahlawan yang mulia. Kau ini orang apa? Lemah dan melempem, berjiwa tahu! Hah, muak aku mendengarmu, kau tidak patut hidup di dunia sebagai putera seorang patriot!”

Melihat kakek ini menjadi marah-marah bukan main, Han Sin menjadi merah mukanya. Memang bukan ia tidak tahu tentang jiwa patriot, akan tetapi ia memang terlalu “baik hati”, terlalu lemah karena kekenyangan isi kitab-kitab filsafat kebatinan yang menyingkirkan batinnya jauh-jauh dari pada segala kekerasan. Pemuda ini memang kurang gemblengan maka sekarang menghadapi Kui Lok, seorang patriot sejati yang jujur, ia merasa tertusuk dan menjadi malu sendiri.

“Aku memang muda dan bodoh, mengharapkan petunjuk Kui-locianpwe yang terhormat,” katanya perlahan.

“Nah, itu baru ucapan seorang pemuda yang mengharapkan kemajuan. Kekenyangan buku-buku filsafat membuat kau menjadi sombong, membuat kau menjadi penerawang awang-awang, tukang melamun dan membangun istana-istana awan di angkasa. Perbuatan kebajikan bukan cukup dilakukan dalam lamunan, mengerti? Usir semua lamunan-lamunan kosong itu dan bertindaklah! Sebuah kebajikan kecil yang dilakukan jauh lebih berharga dari pada seribu kebajikan besar yang hanya dilamunkan di dalam hati. Apa kau tahu apa kewajiban seorang manusia yang dilahirkan di dalam dunia?”

“Menjadi seorang manusia yang menjauhkan kejahatan memupuk kebenaran. Pokoknya menjadi seorang manusia yang baik.”

“Huh, apa artinya baik saja kalau tidak berguna? Kau boleh menjadi seorang yang suci, tidak pernah melakukan kejahatan, akan tetapi apa artinya kalau kau tinggal di dalam hutan, jauh dari manusia. Hidup demikian itu tidak ada gunanya, lebih baik mati! Paling-paling hatimu sendiri yang memuji-muji bahwa kau seorang manusia baik, lalu kau menjadi sombong karenanya, merasa lebih bersih dari pada orang lain. Uh, itu bukan sifat seorang kuncu sejati. Sebagai seorang ahli filsafat, kau tentu tahu akan sifat Thian bukan?”

”Thian Maha Kuasa, Maha Benar, Maha Suci, Maha Adil, pendeknya, kekuasaan tertinggi di alam semesta.”

”Cukup! Kalau kau sebut Thian itu Maha Benar dan Maha Adil, tentu Thian menyukai kebenaran dan keadilan. Nah, kau sebagai manusia harus membantu terlaksananya kebenaran dan keadilan di dunia ini. Di mana terjadi hal-hal tidak benar dan tidak adil, kau harus berani memberantasnya. Baik saja tanpa ada gunanya bagi orang lain, itu kosong namanya, bukan baik lagi. Kebajikan hanya dapat ditampung dengan jalan perbuatan yang berguna bagi sesama manusia. 

Lanjut ke jilid 035 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment