Ads

Friday, August 31, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 035

◄◄◄◄ Kembali

Pada masa ini, hukum manusia tidak berlaku, yang berlaku adalah hukum alam yaitu siapa yang kuat dia menang. Celakalah kalau si kuat itu termasuk golongan jahat, tentu perbuatannya menjadi sewenang-wenang. Sebaliknya, kalau si kuat itu termasuk golongan baik, barulah terdapat keadilan. Maka, kewajibanmulah sebagai seorang pemuda untuk menggembleng diri, memperkuat diri kemudian mengabdi kepada keadilan dan kebajikan.

Sekarang ini kejahatan merajalela, karena kekuasaan berada di tangan orang-orang sesat. Dunia kang-ouw dikuasai manusia-manusia penjilat, manusia-manusia pengejar kemuliaan dunia seperti Bhok Hong dan lain-lain. Kalau kau tidak memperdalam kepandaian ilmu silatmu, mana bisa kau menghadapi orang-orang seperti mereka?”

Kui Lok berhenti sebentar untuk bernapas, karena tadi dalam keadaan bernafsu ia bicara tergesa-­gesa dan napasnya menjadi makin terengah-engah. Han Sin mendengarkan dengan tertarik sekali. Baru sekarang ia mendengarkan filsafat yang baru baginya. Semua kitab agama dan filsafat yang pernah dibacanya, hampir semua menganjurkan kebajikan dalam bentuk kehalusan budi, yang menganjurkan dia selalu mengalah dan bersabar dalam segala hal.

Sebaliknya Kui Lok ini menganjurkan kekerasan demi keadilan. Ini lain sekali! Kui Lok menganjurkan kekerasan untuk merebut kekuasaan, bukan kekuasaan untuk keuntungan diri sendiri, melainkan kekuasaan untuk mengatasi dan mengalahkan si jahat demi keamanan orang-orang yang tertindas.

”Kau seorang keturunan patriot sejati. Kong-kong dan ayahmu adalah patriot-patriot tulen dan sekarang dengarlah baik-baik apa yang menjadi kewajiban seorang patriot. Seorang patriot adalah seorang pengabdi rakyat, seorang pembela negara dan bangsa. Kalau tanah air sedang diserang musuh, kalau tanah air sedang diancam oleh bangsa lain, seorang patriot harus membelanya mati-­matian. Kalau rakyat sedang tertindas, seorang patriot harus membela dan melindungi rakyat kecil yang tertindas itu. Dalam melakukan tugas ini kepentingan pribadi harus dikesampingkan, bukan saja demikian, malah kalau perlu seorang patriot rela berkorban apa saja, berkorban harta, kesenangan pribadi, bahkan berkorban nyawa.”

Ucapan ini menggores dalam-dalam di hati Han Sin. Memang ia sudah banyak membaca tentang patriot-patriot jaman dahulu, hanya dalam bacaan yang berupa sejarah itu tidak disertai nasehat-­nasehat seperti ini. Ia mengangguk-angguk dan berkata,

”Kurasa, locianpwe, setiap orang memang harus bersikap demikian. Itulah kebajikan.”

”Huh, bicara gampang! Kalau hanya bersikap dan berpikir saja, apa artinya? Apa kau kira mudah melakukan semua tugas itu tanpa menggembleng diri, tanpa memodali diri dengan kepandaian tinggi? Bagaimana kau hendak membela negara, bagaimana kau dapat mengusir musuh negara, bagaimana kau dapat melawan penjajah angkara murka? Kalau kau melihat rakyat yang tertindas, diperlakukan sewenang-wenang oleh orang-orang jahat yang memiliki kepandaian tinggi, bagaimana kau bisa membela rakyat? Apakah hanya dengan omongan-omongan dan teori-teori muluk dari kitab-kitabmu kau akan bisa membikin orang-orang jahat itu tunduk? Huh, anak Cia Sun taihiap, kau benar-benar perlu dibakar semangatmu, perlu dicuci otakmu!”

Mendengar ucapan yang penuh semangat dan dianggapnya penuh kebenaran itu, Han Sin benar-­benar tunduk hatinya. Serta merta ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

”Aku yang muda dan bodoh benar-benar bahagia sekali mendengar wejangan locianpwe. Akan tetapi, kalau aku mempelajari ilmu silat tinggi, untuk menjadi patriot apakah aku harus melakukan pembunuhan-pembunuhan? Locianpwe, terus terang saja, sifat mudah membunuh sesama manusia dari orang kang-ouw benar-benar mengerikan hatiku dan sampai matipun kiranya aku takkan dapat melakukan hal itu.”

Melihat sikap Han Sin, Kui Lok tertawa terbahak-bahak dan di luar tahunya Han Sin yang sedang berlutut dan menundukkan muka, kakek itu mengusap darah yang mengalir dari mulutnya. Sebetulnya kakek ini terluka hebat sekali di dalam tubuhnya, luka oleh hawa pukulan Pak-thian-tok Bhok Hong.

”Ha ha ha, anakku! Anakku yang baik, Cia-kongcu kau benar-benar seorang kuncu tulen. Begini mudah kau sadar dan insyaf akan kesalahan jalan pikiranmu. Kau telah menanam welas asih yang besar sekali terhadap sesama manusia, itu baik sekali. Cia-kongcu, justru karena menurutkan dasar welas asih di antara sesama manusia inilah yang kadang-kadang mengharuskan kau membunuh orang.”

Han Sin terkejut dan mengangkat keheranan. ”Membunuh orang berdasar welas asih? Apa artinya ini?”

Thai-lek-kwi Kui Lok mengerti akan keheranan Han Sin dan dia tertawa lagi. ”Coba kau jawab. Andaikata kau melihat seorang yang dengan hati keji mengamuk dan membunuhi orang-orang tidak berdosa sehingga jatuh banyak korban, apa yang hendak kau lakukan?”

Tanpa banyak ragu Han Sin menjawab dan teringat akan perbuatan Hoa Hoa Cinjin yang membunuhi orang-orang kampung.

”Tentu aku akan mencegah dia dan menasehatinya, melarang dia melakukan pembunuhan lebih lanjut.”

”Huh, nasehat lagi! Kalau dia tak mau dinasehati dan terus saja melakukan pembunuhan, kau mau apa?”

”Dengan sekuat tenaga aku akan menghalang-halanginya.”

”Bagus, itu pendirian seorang gagah. Akan tetapi kalau dia tidak menurut dan malah hendak membunuh?”

”Akan kulawan terus, biar aku berkorban nyawa demi menolong orang-orang itu.”

”Baik sekali, tentu kau membela orang-orang yang terbunuh itu berdasarkan welas asih, bukan? Nah, kalau si penjahat itu lebih baik mati dari pada menurut kehendakmu, apakah kau masih merasa ragu-ragu untuk membunuhnya, yaitu andaikata kau memiliki kepandaian? Ataukah kau akan tidak tega membunuhnya dan membiarkan dia membunuh orang-orang itu?”

Han Sin tak dapat menjawab. Di dalam hati kecilnya, harus ia akui bahwa tentu saja ia lebih memberatkan orang-orang itu dari pada si pembunuh yang jahat. Akan tetapi untuk membunuh orang itu ..... dia masih ragu-ragu apakah ia akan tega?

”Sekarang lain contoh lagi,” kata pula Kui Lok yang mengerti bahwa pemuda itu mulai terbuka pikirannya. ”Andaikata kau melihat barisan-barisan asing menyerang tanah air, membakari rumah-­rumah dan merampoki serta membunuh rakyat hendak menjajah tanah air kita, apakah kau juga mau duduk memeluk lutut saja? Ataukah kau hendak menggunakan filsafat-filsafatmu untuk menasehati barisan yang terdiri dari puluhan ribu orang itu? Ataukah kau ingin menggabungkan diri dengan barisan para patriot bangsa dan melakukan perlawanan untuk membela ibu pertiwi dan bangsa?”

Kembali Han Sin tak dapat menjawab, hanya mengangguk-anggukkan kepalanya.

”Seorang pemuda harus bersemangat gagah perkasa, harus berjiwa patriot pencinta tanah air dan bangsa. Harus rajin belajar mengejar cita-cita dan membuang jauh-jauh kebiasaan yang buruk, memupuk dan melatih diri dengan jalan kebenaran. Tentu kau sudah membaca sampai kenyang semua ini dalam kitab-kitabmu, bukan begitu, Cia-kongcu?”

Han Sin mengangguk-angguk.

”Itu bagus sekali. Sayangnya, kau terlampau dalam terpendam dalam kata-kata emas dari kitab-­kitab filsafatmu sehingga kau hanya penuh dengan teori tanpa mengenal prakteknya. Pemuda yang tidak dapat menjadi pembela bangsa dan tanah air, pemuda macam itu tak patut menyebut diri menjadi pemuda harapan bangsa. Segenap cita-cita harus diatasi dengan tugas suci yang utama, yaitu kelak menempatkan diri sebagai seorang manusia yang berguna bagi masyarakat, kalau mungkin menjadi pelindung, menjadi pemimpin, menjadi seorang yang menuntun bangsanya ke tempat yang terang menuju kemakmuran dan ketentraman. Inilah seorang patriot sejati. Bukan hanya mereka yang melakukan perjuangan dengan senjata saja, pendeknya semua orang, asalkan dia itu benar-benar dengan hati ikhlas dan sebulatnya mempersiapkan diri untuk bekerja demi kepentingan nusa bangsa tanpa menghiraukan kepentingan diri pribadi, dia adalah seorang patriot.”

”Wejangan locianpwe benar-benar amat berharga, teecu yang bodoh akan selalu memperhatikannya,” kata Han Sin yang tidak ragu-ragu lagi menyebut diri sendiri teecu atau murid.

KUI LOK tersenyum pahit. ”Dahulu akupun seorang pemuda yang menyeleweng, Cia-kongcu. Kau seribu kali lebih baik dari pada aku. Akan tetapi, karena pergaulanku dengan pahlawan-pahlawan bangsa seperti Lie Cu Seng, kakekmu Cia Hui Gan, dan yang lain-lain, terbukalah hatiku. Bahagialah orang yang dalam hidupnya dapat menempatkan diri sebagai orang yang dibutuhkan oleh negara, oleh bangsa atau setidaknya oleh masyarakat, dan paling tidak dibutuhkan oleh orang-orang lain di sekitarnya. Orang yang sudah tidak dibutuhkan apa-apanya oleh orang lain, kecuali oleh nafsu diri sendiri, orang demikian itu tidak ada gunanya lagi hidup ..... seperti ..... seperti aku ini ....”

”Kui-locianpwe, jangan kau bilang begitu,” Han Sin menghibur. ”Aku orangnya yang masih amat membutuhkan bimbinganmu.”

”Hemmm, hatimu yang terlampau baik itu mendorongmu untuk menghiburku. Apa yang kau butuhkan lagi dari diriku? Nasehat-nasehat seperti yang sudah kuucapkan tadi? Ah, aku bukan seorang ahli filsafat .....”

”Tidak, Kui-locianpwe. Aku membutuhkan pelajaran ilmu silat! Sekarang terbukalah mataku. Semua nasehat tadi memang tepat. Teecu ingin meniru jejak langkah kakek dan ayah, teecu ingin berbakti kepada nusa dan bangsa. Teecu akan turun tangan menghadapi orang-orang yang tersesat, orang-orang yang membikin celaka sesama manusia. Untuk semua itu, sekarang teecu tahu betul-­betul, teecu harus memiliki kepandaian tinggi dalam ilmu silat. Dan kiranya hanya Kui-locianpwe yang akan dapat memberi bimbingan kepada teecu.”

Tiba-tiba Kui Lok meloncat bangun, wajahnya yang kurus kering itu berseri. ”Bagus! Begini baru pantas kau menjadi seorang she Cia! Ha ha ha, Cia Hui Gan, Cia Sun, lihatlah keturunanmu ini. Sudah sepatutnya kalau dia menjadi ahli waris Thian-po-cin-keng. Ha ha ha!” Ia lalu berlari ke sebuah kamar lain di dalam terowongan di bawah tanah itu, dan tak lama kemudian ia datang lagi membawa sebuah kitab.

”Kau terimalah ini, inilah Thian-po-cin-keng (Kitab Mustika Langit). Inilah yang sebetulnya diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw, bukan harta benda di dalam tempat ini. Terimalah dan bersujudlah karena semenjak saat ini, kau langsung menjadi murid Tat Mo Couwsu!”

Han Sin menjatuhkan diri berlutut dan menerima kitab yang kelihatannya kuno sekali itu. Memang dia seorang kutu buku, tentu saja melihat sebuah kitab, ia merasa seperti seorang kelaparan melihat roti yang enak! Seperti seorang kelaparan yang terus saja makan dengan lahapnya roti yang diberikan kepadanya. Han Sin juga sama halnya, begitu menerima kitab itu, lalu membalik-balik lembarannya dan membaca.

Ia tidak tahu betapa Kui Lok memandang dengan terheran-heran melihat pemuda itu membaca kitab dengan mudah seperti orang membaca cerita yang mengasyikkan saja. Padahal dia sendiri, dia harus memeras otak setengah mati untuk dapat menangkap arti dari pada huruf-huruf kuno yang amat sukar dibaca, sukar dimengerti, malah selama puluhan tahun ia hanya dapat memahami sebagian kecil saja.

Melihat pemuda itu begitu tekun membaca kitab Thian-po-cin-keng, saking girangnya Kui Lok tidak mau mengeluarkan suara berisik, tidak mau mengganggunya malah menjauhkan diri dengan diam-diam untuk merawat lukanya. Akan tetapi ia mendapat kenyataan bahwa lukanya di dalam dada amat parah sedangkan racun hawa pukulan tangan Bhok Hong sudah meresap ke dalam jalan darah dan jantungnya! Karena tahu bahwa ia takkan tertolong lagi, Kui Lok kembali ke ruangan itu dan melihat Han Sin masih terus ”tenggelam” ke dalam lautan huruf kitab kuno itu.

Berkali-kali Kui Lok menggeleng kepala dan di dalam hati terheran-heran melihat betapa Han Sin terus membaca kitab sampai hari menjadi malam dan pemuda ini seperti tidak merasa betapa sinar matahari telah diganti oleh sinar obor yang dibuat Kui Lok. Terus saja membaca dengan amat tekun dan kelihatan tertarik sekali.

Mengapa Han Sin begitu tertarik? Hal ini bukan hanya disebabkan oleh karena dia memang seorang kutu buku, akan tetapi terutama sekali karena isi pada kitab itu adalah tulisan huruf Tiongkok kuno dan mengandung filsafat-filsafat yang lebih tinggi dari pada kitab-kitab yang pernah dibacanya!

Di samping ini, di antara filsafat-filsafat itu diselipkan pelajaran tentang pengerahan dan penggunaan hawa sakti dalam tubuh, malah dengan lengkap diselipkan pelajaran-pelajaran mukjizat berdasarkan tenaga lweekang seperti Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), Im­kang-hoan-hiat (Dengan Tenaga Lemas Pindahkan Jalan Darah) dan paling akhir, di antara sajak-­sajak kuno terkandung pelajaran ilmu silat Thian-po-cin-keng sendiri.

Dan semua ini, semua pelajaran yang tinggi dan aneh ini ditulis di antara filsafat-filsafat tinggi dan sajak-sajak indah. Kalau bukan seorang ahli tak mungkin dapat menangkap dan memisahkan sari pelajaran dari filsafat dan sajak itu! Han Sin sekali baca saja sudah dapat membedakan mana pelajaran silat mana filsafat atau sajak indah. Inilah yang membuat ia amat tertarik sampai lupa waktu dan lupa diri. Apalagi ketika mendapat kenyataan bahwa semua filsafat yang terkandung di situ adalah sejalan dengan filsafat yang pernah ia baca, malah peraturan-peraturan tentang cara bersamadhi juga sejalan dengan cara-cara yang pernah ia latih.

Berbeda dengan Han Sin, Kui Lok bukanlah seorang ahli sastra. Huruf-huruf kuno itu baginya amat sukar dimengerti, apalagi berisi filsafat dan sajak. Oleh karena itu, maka selama puluhan tahun itu ia hanya berhasil menangkap sari ilmu silat Thian-po-cin-keng sebanyak dua belas jurus saja! Juga karena sukarnya inilah maka semenjak kitab itu berada di tangan Lie Cu Seng, belum pernah ada orang yang dapat menangkap seluruh inti sari pelajaran itu dengan lengkap, seperti hal Kui Lok.

Padahal, ketika Han Sin membaca habis, pemuda ini mendapat kenyataan bahwa ilmu silat Thian­po-cin-keng, biarpun hanya terdiri dari tiga bagian saja, namun setiap bagian mempunyai tiga puluh enam gerakan sehingga seluruhnya terdapat tiga kali tiga puluh enam menjadi seratus delapan jurus!

Karena semalam suntuk Han Sin terus membaca, Kui Lok yang terluka hebat itu tidak kuat mengawani terus dan tahu-tahu kakek ini sudah tertidur bersandar dinding di ruangan itu. Menjelang pagi, kakek ini kaget dan tersadar karena mendengar angin bersiutan yang amat aneh. Ia membuka mata dan merasa betapa dadanya amat sakit, akan tetapi segera ia melupakan rasa sakit ini ketika melihat apa yang dilakukan oleh Han Sin.

Pemuda ini ternyata sedang menggerak-gerakkan kaki, digeser ke sana ke mari sambil memukulkan kedua tangan secara lambat sekali dan mulutnya menyebut jurus-jurus Thian-po-cin-keng. Hebatnya, biarpun pukulan-pukulan itu lambat saja, namun angin pukulannya bersiutan seperti pedang menyambar!

Ketika melihat pemuda itu melakukan gerakan Jip-hai-siu-to (Masuk Laut Sambut Mustika), sebuah di antara jurus-jurus dari Thian-po-cin-keng yang telah ia pelajari, Kui Lok melompat.

”Eh, tahan ....., jangan ......!”

Akan tetapi terlambat. Han Sin sudah melakukan gerakan itu, yaitu tangan kiri dipukulkan ke depan lurus-lurus kemudian tangan kanan menyambar dari kanan dan ditarik ke arah dada sendiri secara keras dan mendadak. Kui Lok mengeluh dan membelalakkan mata, akan tetapi ..... ia tidak melihat pemuda itu roboh. Dengan penuh keheranan ia lalu melompat maju, melihat Han Sin sudah berhenti bersilat dan sedang memandangnya dengan senyum.

Kui Lok dengan muka pucat meraba lengan dan dada Han Sin. “Kau …. Kau tidak terluka …..? Gerakan tadi itu ….., dulu aku hampir mati karena hawa pukulanku membalik menyerang jantung …..”

Han Sin menggeleng kepala. “Tidak apa-apa, locianpwe. Ilmu ini hebat sekali, teecu merasa semua hawa di dalam tubuh bergerak-gerak tegang. Hebat, hebat ….!” Dan pemuda ini lalu bersilat lagi.

Kui Lok mengeluarkan teriakan perlahan dan ….. roboh terguling. Han Sin kaget dan cepat menubruk, akan tetapi ternyata kakek itu telah menghembuskan napas terakhir dalam keadaan tersenyum. Dari mulutnya mengalir darah yang mulai menghitam. Ternyata bahwa setelah menderita luka hebat dari pukulan Bhok Hong yang beracun, dalam keadaan berbahaya ini Kui Lok sekarang menerima getaran jantungnya saking heran dan girang melihat Han Sin dengan mudah dapat mempelajari Thian-po-cin-keng, maka jantungnya menjadi pecah dan mengakibatkan kematiannya.

“Kui-locianpwe ……!” Han Sin memanggil dan mengguncang-guncang tubuh kurus itu beberapa kali. “Ah, dia sudah mati ……” Pemuda itu tenang-tenang saja. Ia merasa kasihan kepada kakek ini, akan tetapi tentang mati hidup, bagi pemuda itu bukan apa-apa. Dengan sepenuh hatinya ia yakin bahwa mati atau hidup bagi manusia adalah hal yang sudah semestinya dan wajar.

Manusia mana yang takkan mati kalau saatnya sudah tiba? Tiba-tiba ia teringat bahwa ia tidak tahu akan jalan keluar dari terowongan itu. Ia teringat pula di dalam kitab kuno bahwa ada jalan darah tertentu di belakang otak yang kalau dihidupkan, akan dapat membuat syaraf bagian kepala bekerja sehingga untuk sejenak tubuh yang sudah mati dapat bekerja kembali, sehingga otomatis mata, telinga, hidung dan mulut berikut pikiran dapat bekerja.

Ia lalu mengerahkan seluruh semangat dan hawa saktinya, miringkan kepala Kui Lok dan menotok jalan darah ini, memutar sedikit ke kiri untuk membuka jalan darah dan memberi tenaga pendorong dengan hawa saktinya untuk menghidupkan atau menjalankan darah yang sudah hampir tak bergerak. Karena dorongan hawa sakti dari lweekang yang tinggi, seketika darah di bagian itu menjadi panas dan dapat didorong menggerakkan syaraf-syaraf di bagian kepala. Benar saja, Kui Lok mengeluh perlahan dan bulu matanya bergerak-gerak.

“Locianpwe, mohon petunjuk terakhir. Bagaimana teecu bisa keluar dari sini?” Han Sin membisikkan kata-kata ini di telinga Kui Lok lalu ia menempelkan telinganya sendiri ke mulut Kui Lok untuk mendengarkan jawaban. Kebetulan sekali bagi Han Sin, memang hal inilah yang jadi pikiran Kui Lok pada saat ia menghembuskan napas terakhir tadi, maka begitu syarafnya bekerja ia berkata lemah.

“Di ruang belakang ada Tiat-lo-han …. Dorong ke kiri .... tiga .....” hanya sampai di situ Kui Lok sanggup mengeluarkan kata-kata, darah keburu membeku karena tidak mendapat dorongan dari jantung yang sudah tidak bekerja lagi. Han Sin menarik napas panjang, hatinya lega, juga ada keraguan. Terang bahwa ucapan itu masih belum habis, akan tetapi kata-kata ”tiga” itu sudah menjadi pegangan yang kuat baginya. Setelah merebahkan mayat Kui Lok, ia lalu cepat menambah kayu kering pada api obor yang hampir padam dan membuat api unggun.

Hatinya makin tenang karena melihat kayu-kayu kering yang terkumpul di situ, ia merasa yakin bahwa tentu ada jalan keluar, selain jalan keluar dari depan yang sudah teruruk oleh batu-batu besar itu. Mengingat jalan keluar ini, hatinya berdebar. Bhok-kongcu adalah seorang yang mempunyai kekuasaan besar. Apakah tidak mungkin dia mengerahkan ribuan orang untuk menyingkirkan batu-­batu itu? Ah, tentu mereka akan menyerbu ke dalam, pikirnya.

Setelah tampak sinar matahari, Han Sin lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam pemberian Giok Thian Cin Cu yang selalu dipakai sebagai ikat pinggang, untuk membuat lubang kuburan. Digalinya tanah di dalam ruangan itu dan berkat ketajaman Im-yang-kiam serta tenaga lweekangnya yang besar, tak lama kemudian ia sudah dapat menggali lubang dan mengubur jenazah Kui Lok secara sederhana.

Setelah penguburan selesai, pemuda ini lalu memasuki lorong sampai ia tiba di ruang paling belakang dan alangkah girangnya ketika ia melihat sebuah patung besi berdiri di pojok ruangan. Patung itu kecil saja, paling tinggi dua kaki. Tentu inilah patung Tiat-lo-han, pikirnya. Ia melihat patung itu menempel pada dinding karang. Cepat ia menghampiri dan berbisik,

”Tiat-lo-han, harap kau suka menunjukkan jalan keluar untukku.”

Lalu dengan kuat ia mendorong ke kiri. Patung itu bergerak miring, akan tetapi memantul kembali dan tidak terjadi sesuatu. Ia teringat akan kata-kata ”tiga”, maka lalu mendorong lagi untuk kedua kalinya. Alangkah herannya ketika patung itu kini sama sekali tidak bergeming! Ia mengerahkan tenaganya, namun tetap saja tidak dapat mendorong patung itu miring.

Han Sin menjadi gelisah. Ia meneliti patung itu dan meraba-raba. Akhirnya jari-jari tangannya menyentuh ukiran-ukiran pada punggung patung. Cepat ia memeriksa dan ternyata di situ terdapat ukiran beberapa buah huruf kecil yang berbunyi,

”Untuk mendorong ke dua dan ke tiga, pergunakan Heng-pai-koan-im (Puja Kwan Im Dengan Tangan Miring) dan Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar) dengan tenaga sempurna.”

Han Sin girang sekali. Kiranya demikian. Dia sudah membaca Thian-po-cin-keng dan sekali membaca saja dia sudah hafal sebagian besar dari seratus delapan jurus itu. Di antara yang ia ingat adalah dua jurus yang disebut tadi. Segera ia melakukan jurus Heng-pai-koan-im untuk mendorong patung, dilakukan dengan tangan miring. Akan tetapi, tetap saja patung tidak bergerak, hanya bergoyang sedikit saja. Han Sin kecewa dan ia menduga bahwa tulisan ”dengan tenaga sempurna” itu tentu ada artinya. Bisa jadi karena belum berlatih betul-betul, jurus Heng-pai-koan-im yang ia lakukan tadi tidak menggunakan takaran tenaga sebagaimana mestinya.

”Aku harus berlatih dulu sampai sempurna, baru berusaha mencari jalan keluar,” pikirnya dan ia mulai melakukan pemeriksaan di dalam terowongan itu. Alangkah girangnya ketika ia melihat banyak persediaan makanan di situ, buah-buahan dan di situ bahkan ada daging binatang yang sudah dikeringkan. Juga banyak kayu-kayu kering bahan bakar.

”Ah, Kui-locianpwe tentu telah mengambilnya dari jalan depan. Dengan persediaan ini aku dapat berlatih dengan tenang.”

Tidak saja bahan makan, malah airpun banyak di situ, karena dari batu karang di atas menetes banyak sekali air jernih. Dengan menggunakan mangkok butut yang tersedia di situ sebentar saja dapat menadahi air semangkok. Dengan hati amat tenang, Han Sin mulai melatih diri dengan ilmu Thian-po-cin-keng, dari jurus pertama sampai terakhir

Malah peraturan-peraturan melatih lweekang ia pelajari pula sehingga pengetahuannya tentang ilmu ini sekarang menjadi sempurna, tidak lagi ia melatih lweekang secara ”tidak sengaja” seperti dulu. Di samping melatih Thian-po-cin-keng, pemuda ini juga melatih Liap-hong Sin-hoat dan Lo-hai Hui-kiam. Gerakan-gerakannya lincah dan mantap, karena memang bahan-bahan ginkang dan lweekang pada dirinya sudah cukup. Makin matang latihannya, makin girang hatinya. Tidak disangkanya sama sekali bahwa latihan-latihan ilmu silat itu membuat ia merasa enak sekali tubuhnya, membuat semangatnya bangun dan timbul sifat gembiranya. Entah mengapa, ia merasa gembira dan tidak lagi ada sifat pendiam tenang dan agak pemurung seperti yang sudah-sudah.
Ia teringat akan adiknya dan tahulah kini ia mengapa adiknya itu selalu berseri dan bergembira jenaka. Agaknya karena latihan-latihan ilmu silat itulah. Tentu saja hal ini hanya dugaan Han Sin. Sebetulnya hal itu tergantung dari pada watak pembawaan masing-masing, hanya harus diakui bahwa latihan ilmu silat memang betul mendatangkan rasa nyaman dan sehat pada tubuh, juga membangun semangat dan mempertebal rasa kepercayaan kepada diri sendiri, mempertinggi harga diri

Sebulan lebih Han Sin setiap saat melatih diri. Pemuda ini memang termasuk golongan sedikit orang yang memiliki ketekunan luar biasa. Tiada bosannya ia melatih diri dan belum merasa puas kalau belum sempurna gerakan-gerakannya. Setelah berlatih, baru ia mendapatkan kenyataan bahwa biarpun Thian-po-cin-keng termasuk ilmu silat yang paling tinggi tingkatnya, namun dalam ilmu silat Liap-hong Sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, Im-yang-kun dan Lo-hai Hui-kiam ajaran Giok Thian Cin Cu, masing-masing mengandung keindahan dan keampuhan tersendiri.

Harus ia akui bahwa di antara semua ilmu silat yang sudah ia pelajari, Lo-hai Hui-kiam mengandung sifat yang paling ganas mengerikan, maka diam-diam ia berjanji kepada diri sendiri takkan mempergunakan ilmu ini kalau tidak sangat terpaksa.

Pada suatu pagi ketika ia sedang membakar daging kering untuk dijadikan santapan pagi, ia mendengar suara ”duk duk duk” yang terus menerus dan makin lama makin keras suaranya. Suara itu datang dari luar, dari timbunan batu-batu yang menutup jalan keluar. Namun ia tidak memperdulikan dan berlatih terus. Sampai tiga hari ia mendengar suara ini dan pada hari keempat, ia mendengar suara itu sudah keras sekali. Tiap kali terdengar suara ”duk”, lantai terowongan itu tergetar. Menjelang tengah hari, ia malah mulai mendengar suara-suara orang!

”Ah, Bhok-kongcu tentu mengerahkan tenaga membongkar tempat ini. Hampir empat puluh hari aku berada di sini dan baru ia akan dapat menembus timbunan batu. Hebat memang alat rahasia guha ini, akan tetapi lebih hebat semangat tak kenal mundur dari Bhok-kongcu.”

Tentu saja Han Sin tidak ingin diserbu oleh Bhok-kongcu dan kawan-kawannya, maka pemuda ini lalu menjatuhkan diri berlutut, memberi hormat untuk pengabisan kali di depan kuburan Kui Lok, kemudian ia menuju ke ruang belakang, tempat Tiat-lo-han berada.

Ia menjura kepada patung kakek tua itu. ”Tiat-lo-han, harap kali ini kau tidak pelit dan mau menunjukkan jalan keluar.” Ia, seperti dulu, mendorong ke kiri. Patung itu bergerak dan memantul kembali. Kemudian, Han Sin menggunakan Heng-pai-koan-im dan mendorong sambil mengatur tenaganya dengan tepat. Terdengar bunyi ”krekk” dan patung itu bergeser selangkah. Pemuda itu girang sekali.

”Terima kasih ......, terima kasih .......” katanya sambil tersenyum dan terbayanglah wajah Bi Eng. Memang ia sudah amat rindu kepada adiknya itu dan setelah jalan keluar sudah dekat, ia ingin cepat-cepat keluar untuk mencari adiknya yang tercinta itu.

Pada saat itu, sebelum ia melakukan dorongan ke tiga, terdengar suara keras sekali di depan dan ternyata tumpukan batu-batu sudah dapat diruntuhkan. Lalu disusul suara-suara yang ramai-ramai menyerbu ke dalam, di antaranya ia mendengar suara lengking ketawa yang menyeramkan dari Hoa Hoa Cinjin!

Aneh sekali, pada saat itu mendadak timbul semacam pikiran dalam kepala Han Sin untuk menggoda dan mempermainkan orang-orang itu. Dia sendiri merasa heran. Pikiran untuk mempermainkan orang biasanya hanya terdapat dalam kepala kecil Bi Eng! Kenapa sekarang ia seperti ketularan dan bernafsu hendak mempermainkan orang?

Ia tertawa sendiri, kemudian ia melangkah mundur, membalikkan tubuh dan mengeluarkan pekik menyeramkan. Han Sin sudah mempelajari Coan-im-tong-te (Mengirim Suara Menggetarkan Bumi), maka ketika ia keluarkan ilmu ini dan memekik, suara itu menerjang keluar dan menimbulkan getaran serta gema yang amat hebat sampai lantai terowongan itu tergetar karenanya! Sekaligus suara lengking ketawa yang disertai khikang dari Hoa Hoa Cinjin itu tenggelam dan tidak terdengar lagi.

Han Sin mendengar orang-orang menjerit. Dia tidak tahu bahwa suara pekik yang ia keluarkan itu telah merobohkan belasan orang terdepan yang kurang kuat tenaga lweekangnya!

Suara orang-orang yang riuh rendah tadi sirap, untuk sesaat kemudian terdengar kegaduhan seperti orang-orang melarikan diri disertai jerit ketakutan,

”Ada setan ....! Ada siluman .....!!” Disusul suara orang lari tunggang-langgang.

Han Sin tertawa geli sampai perutnya kaku. ”Ah, kiranya begini menyenangkan menggoda orang. Pantas saja Bi Eng suka sekali menggodaku dan suka main-main.”

Pemuda ini merasa cukup menakut-nakuti orang yang pada menyerbu ke dalam guha. Ia mendengar gerengan marah dari Hoa Hoa Cinjin, maka ia pikir tidak baik kalau ia berdiam terus di situ. Ia siap melakukan dorongan ketiga pada patung Tiat-lo-han. Segera ia melakukan jurus Cio-po-thian-keng (Batu Meledak Langit Gempar).

Lanjut ke jilid 036 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment