Ads

Saturday, September 1, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 036

◄◄◄◄ Kembali

Jurus ini dilakukan dengan pengerahan tenaga lweekang, mendorong ke depan sambil membanting kaki kanan dengan keras. Patung itu terdorong ke kiri dan tiba-tiba dinding batu karang sebelah kanan berlubang sebesar tubuh orang.

Selagi Han Sin kegirangan, tiba-tiba lantai yang diinjaknya nyeplos ke bawah dan tubuhnya ikut terbawa turun! Han Sin kaget sekali namun ia masih dapat menguasai diri, dapat dengan tenang mengerahkan ginkangnya. Ia merasa tubuhnya terus melayang ke bawah sampai beberapa lama, baru lantai itu berhenti dan tubuhnya tentu akan terbanting hancur kalau saja ia tidak menggunakan ginkang.

Dengan ilmu ini, kedua kakinya yang menginjak lantai seperti dipasangi per sehingga ketika lantai berhenti, tubuhnya terpental kembali ke atas setinggi tiga kaki, lalu ia melompat turun dengan tenang. Lantai yang nyeplos itu lebarnya dua meter persegi dan ia mulai meraba-raba di tempat gelap. Di empat penjuru semua dinding batu karang yang kasar. Hal ini menggirangkan hatinya, karena ia merasa sanggup untuk merayap naik.

Setelah mengumpulkan semangat dan mengerahkan hawa sinkang di tubuhnya, pemuda ini lalu mulai merayap melalui dinding kasar, seperti seekor cecak saja! Tiba-tiba ia berhenti di tengah-­tengah karena mendengar suara orang-orang bicara di atas. Untuk mendapatkan tempat yang enak ia lalu menggunakan pedang Im-yang-kiam, menggores dan membuat lubang pada dinding itu untuk tempat kaki berpijak dan tangan bergantung. Kemudian ia lalu memasang telinga mendengarkan. Mula-mula ia mendengarkan suara Bhok-kongcu.

“Hemm, dia telah lolos dari sini. Yang ditinggalkan hanya harta pusaka. Tidak ada kitab. Cinjin, bagaimana pikiranmu?”

“Bhok-kongcu, pinto sendiri masih sangsi apakah betul ada kitab yang didesas-desuskan orang itu di sini. Kalaupun ada dan terjatuh ke dalam tangan bocah she Cia itu, apa susahnya kelak kita merampasnya?”

“Hoa Hoa Cinjin, kau terlalu memandang rendah kitab itu. Ayah telah terluka hebat, sampai sekarang masih beristirahat dan sakit, itu saja sudah membuktikan betapa hebatnya orang yang tadinya berada di sini dan telah mempelajari isi kitab. Kalau kita bisa mendapatkan itu, terutama sekali ilmu perang, bukankah itu akan menambah kekuatan untuk melakukan rencana kita, sesuai yang dicita-citakan oleh bangsaku? Ah, betapa inginku dapat lekas-lekas menindas dan mengusir bangsa Mancu yang tiada bedanya dengan anjing penjilat itu dari Tiongkok!”

Han Sin terkejut mendengar ini. Setahunya Bhok-kongcu adalah seorang penting dari pemerintah Mancu, bagaimana sekarang bersama Hoa Hoa Cinjin bicara tentang mengusir bangsa Mancu dari Tiongkok?

“Ssttt, harap kongcu berhati-hati. Kalau ada mata-mata Mancu mendengar, bisa celaka .......” terdengar suara Hoa Hoa Cinjin.

“Mereka semua di luar, orang-orang pengecut itu. Siapa berani masuk selain kau dan aku? Bangsa Mancu pengecut, setelah menjajah Tiongkok malah menjilat-jilat orang Han. Mengangkat orang-orang Han sebagai pembesar dan pembantu, malah kaisar tolol itu berusaha melebur bangsanya menjadi orang Han. Coba kau lihat, alangkah lucunya mereka itu bersikap seperti orang Han, berbahasa Han, berpakaian Han. Ah, muak aku melihat mereka itu, kaisar dan orang-orangnya seperti monyet-monyet meniru manusia!”

“Memang menjemukan,” kata Hoa Hoa Cinjin. “Pinto sendiri yang mempunyai darah campuran, darah Mongol dan darah Han, tetap merasa lebih tinggi dari pada orang-orang Han. Memang, kongcu. Tiongkok harus diperintah lagi oleh bangsa kita, baru beres.”

“Tak usah kau sangsi lagi, saat bangunnya kerajaan Mongol pasti akan tiba! Roh nenek moyang kita, roh Yang Mulia Jenghis Khan pasti akan membantu usaha yang kurencanakan. Pangeran Galdan takkan gagal. Kegagalannya hanya dapat dibeli oleh nyawaku!”

“Ssttt ....., pangeran ....., eh, kongcu. Harap berhati-hati. Ayahmu sendiri tak pernah berani membuka rahasia pribadi.”

“Kau betul, Cinjin. Biarlah mulai sekarang takkan kulupakan lagi bahwa sebelum kerajaan Goan (Mongol) bangun kembali, aku adalah Bhok Kian Teng. Biarlah pangeran Galdan bersabar dan baru muncul kalau kerajaan kita sudah bangun.”

“Mari kita keluar, kongcu. Jangan sampai harta pusaka itu tercecer. Tentang bocah she Cia, tak usah khawatir. Pinto akan mengejar dan menangkapnya. Lagi pula .......” Makin lama suara Hoa Hoa Cinjin makin perlahan karena mereka berdua sudah mulai pergi meninggalkan ruang itu. Akan tetapi setelah mengerahkan tenaga pendengarannya, Han Sin masih dapat menangkap sedikit lanjutannya “... adiknya berada di tanganmu ........”

Han Sin menjadi gelisah. Celaka, kalau begitu Bi Eng masih berada dalam tangan Bhok-kongcu atau sebetulnya adalah pangeran Galdan itu. Hemm, dan kongcu seorang pangeran Mongol yang pada luarnya saja membantu pemerintah baru, akan tetapi sebetulnya hendak mengangkangi daratan Tiongkok sendiri, hendak membangun kembali kerajaan Goan-tiauw yang sudah hancur, hendak menegakkan kembali kekuasaan Mongol sebagai penjajah di Tiongkok.

“Aduhai tanah airku ........, bangsaku ......., alangkah buruk nasib kita. Seorang musuh, penjajah Mancu masih belum dapat kita usir, sekarang sudah ada ancaman penjajah baru, orang-orang Mongol yang hendak kembali menindas kita ....”

Jiwa patriot yang sudah mulai bersemi di dalam hati Han Sin memberontak. Segera ia melanjutkan usahanya, merayap naik keluar dari “sumur” itu. Diam-diam ia merasa puas bahwa jatuhnya ke situ malah menguntungkan, karena memberi kesempatan kepadanya untuk mendengarkan percakapan yang maha penting. Apakah untuk keperluan macam inikah maka jebakan sumur itu dibuat oleh pencipta gua itu?

Sementara itu, di luar guha juga terjadi hal-hal yang menarik. Untuk mengetahui ini, baiklah kita menengok apa yang terjadi selama Han Sin terkurung di dalam guha terowongan dan mempelajari isi kitab Thian-po-cin-keng. Telah kita ketahui bahwa Pak-thian-tok Bhok Hong, juga terkurung di sebelah luar terowongan karena pingsan dan terluka oleh tenaga gabungan dari Han Sin dan Kui Lok.

Adapun Bhok-kongcu, ketika melihat mulut guha itu tertimbun batu-batu besar, menjadi amat khawatir akan keselamatan ayahnya. Juga nafsunya untuk mendapatkan harta pusaka rahasia dari Lie Cu Seng makin membesar. Cepat ia memberi perintah kepada Tung-hai Siang-mo untuk pergi memanggil bala bantuan. Tak lama kemudian sebuah pasukan terdiri dari ratusan orang datang ke puncak gunung itu dan pembongkaran batu-batu itu mulai dilakukan. Pekerjaan ini memakan waktu lama sekali karena batu-batu besar itu amat berat.

Setelah sepuluh hari, barulah tubuh Bhok Hong dapat ditemukan dalam keadaan terluka dan payah karena selama sepuluh hari tidak makan dan minum. Hanya seorang dengan kekuatan tubuh luar biasa seperti Bhok Hong dapat menahan derita hebat ini dan tidak menjadi mati karenanya. Namun kakek kosen ini harus beristirahat dan berobat untuk memulihkan tenaganya. Oleh puteranya ia segera dikirim ke kota raja untuk beristirahat di gedungnya.

Kemudian Bhok-kongcu memimpin orang-orang untuk melakukan pembongkaran terus. Pekerjaan ini tidak mudah karena ternyata bahwa batu-batu yang menutup guha sebelah dalam ini malah lebih banyak dan lebih sukar disingkirkan dari pada batu-batu yang menutupi sebelah luar.

Bhok-kongcu yang amat bernafsu untuk segera melihat isi guha dan kalau mungkin mendapatkan kitab rahasia yang ia idam-idamkan, memimpin sendiri pekerjaan ini, malah ia menyuruh orang-­orangnya membuatkan sebuah pondok kecil di tempat itu untuk dia bermalam! Iapun mengerahkan tenaga orang-orang kang-ouw. Selain Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, juga kongcu ini mendatangkan Thian-san Sam-sian dan beberapa orang kosen lagi untuk membantu pekerjaan membongkar batu-batu itu.
Pada suatu pagi ketika Bhok-kongcu sedang membongkar batu-batu yang seperti tiada habisnya itu, tiba-tiba ia mendengar bentakan nyaring,

“Bhok-kongcu, di mana kakakku?”

Bhok-kongcu berdebar hatinya dan cepat ia menoleh. Ternyata Bi Eng, gadis pujaan hatinya itu, dengan segala kecantikannya telah berdiri di situ, wajahnya agak pucat namun kecantikannya malah makin menonjol.

Selama ini tak pernah Bhok-kongcu dapat melupakan Bi Eng, akan tetapi karena ia menghadapi pekerjaan yang lebih penting, untuk mendapatkan kitab rahasia yang amat ia rindukan maka terpaksa ia menahan hatinya dan tidak pergi mencari Bi Eng yang sudah dibawa pergi oleh suhunya, Ciu-ong Mo-kai. Sekarang, melihat kedatangan gadis ini tentu saja ia merasa kejatuhan bintang. Cepat ia melangkah maju dengan wajah berseri dihias senyum, lalu menjura dengan sikap amat hormat.

“Ah, Cia-siocia ....! Alangkah girang hatiku melihat kau dalam keadaan selamat. Betapa gelisahku selama ini karena tidak tahu kau berada di mana dan bagaimana keadaanmu. Cia-siocia, kebetulan sekali kedatanganmu ini .....”

“Mana Sin-ko? Kau apakan dia ....??” Bi Eng bertanya pula, matanya membayangkan kegelisahan besar.

“Nona Bi Eng, bagaimana kau bisa menyangka yang bukan-bukan? Aku tidak bermusuhan dengan kakakmu, bagaimana aku bisa mencelakakan dia? Andaikata ada apa-apa antara aku dan dia, melihat kau tentu aku takkan tega mengganggu kakakmu itu.”

“Bhok-kongcu, tak usah putar-putar omongan! Di mana dia?” Bi Eng tidak sabar dan membanting kakinya.

“Sabar ....., sabarlah, nona manis. Dengan baik-baik kakakmu membawaku ke guha ini. Siapa sangka, sesampainya di sini, ketika kakakmu sudah memasuki guha, tiba-tiba saja batu-batu besar dari atas berjatuhan ke bawah dan menutup guha. Sekarang aku sedang memimpin orang-orangku untuk membongkar batu-batu ini dan menolong kakakmu.”

Saking pandainya Bhok-kongcu bersandiwara, Bi Eng yang masih hijau itu tentu saja dengan mudah dapat ditipunya. Gadis ini percaya akan semua cerita Bhok-kongcu, karenanya ia merasa sangat berterima kasih dan ikut membantu membongkari batu-batu dengan hati gelisah.

Ia merasa khawatir kalau-kalau kakaknya takkan dapat ditolong lagi. Dengan susah payah dia telah dapat memberi penjelasan kepada Ciu-ong Mo-kai bahwa dia sama sekali bukannya menjadi sahabat baik Bhok-kongcu seperti yang tadinya dikira oleh kakek pengemis ini, sebaliknya Bhok­kongcu malah hendak membantunya bertemu kembali dengan kakaknya di Lu-liang-san. Ciu-ong Mo-kai menggeleng-geleng kepala ketika mendengar penuturan muridnya.

“SEMUA orang kang-ouw hendak menangkap kakakmu karena ingin merampas surat wasiat peninggalan Lie Cu Seng,” kata Ciu-ong Mo-kai Tang Pok kepada muridnya ini. “Dan di antara semua orang kang-ouw itu, yang paling berbahaya hanyalah Bhok-kongcu itulah! Bahkan sebagian besar orang kang-ouw itu bekerja untuk dia. Ah, Bi Eng! Kau tidak tahu orang macam apa adanya Bhok-kongcu yang bernama Bhok Kian Teng itu. Dia putera Pak-thian-tok Bhok Hong. Kepandaiannya tinggi sekali dan dia jahat sekali. Kalau melihat wanita ..... hemmm, aku tadinya benar-benar gelisah melihat kau bersama orang macam dia itu.”

Wajah Bi Eng memerah ketika mendengar omongan suhunya ini. Cepat-cepat dia berkata,

“Suhu, teecu bukan tidak tahu dia seorang pemuda yang kurang baik. Akan tetapi, terhadap teecu dia sopan sekali dan teecu ..... teecu bukan macam wanita-wanita yang menjadi pelayan-pelayannya!” Sepasang mata gadis ini bersinar-sinar marah ketika ia berkata demikian.

Gurunya tersenyum, mengangguk-angguk, “Aku percaya kepadamu, muridku. Akan tetapi, pendirianmu itu takkan dapat menyelamatkan kau dari pada bahaya besar yang mengancammu kalau kau berdekatan dengan manusia macam dia. Lain kali, melihat bayangannya saja kau harus cepat-cepat pergi jauh-jauh dari padanya.”

Bi Eng mengerutkan alisnya yang bagus. “Sebaliknya, suhu. Sekarang teecu ingin sekali kembali ke sana, ke Lu-liang-san.”

Ciu-ong Mo-kai kaget. “Apa katamu? Mau apa kau ke sana?”

“Suhu, Sin-ko berada di sana, tidak tahu bagaimana nasibnya. Bagaimana teecu bisa meninggalkan dia? Teecu maklum bahwa suhu hendak menyelamatkan teecu. Akan tetapi sebaliknya, teecu takkan bisa hidup kalau Sin-ko tidak berada di dekatku. Suhu, teecu harus kembali ke sana.” Sepasang mata itu sekarang menjadi basah dan suaranya penuh permohonan.

“Bi Eng, apa kau gila? Di sana ada Hoa Hoa Cinjin, ada Tung-hai Siang-mo, ada Bhok-kongcu dan kaki tangannya yang banyak serta lihai. Ke sana sama artinya dengan memasuki guha harimau yang ganas.”

“Teecu tidak takut! Untuk menolong Sin-ko, teecu rela mengorbankan selembar nyawa. Kalau ... kalau suhu tidak berani, biar teecu pergi sendiri!” Kata-katanya penuh semangat dan kakek pengemis itu tertawa masam.

“Bi Eng .... bocah bodoh. Kau masih terlalu hijau, tidak bisa membedakan antara takut dan bersiasat. Menghadapi lawan banyak yang lebih kuat dari pada kita, kita harus menggunakan siasat. Bukannya nekat saja mengandalkan keberanian, lalu roboh dan gagal. Kalau kita nekat dan roboh, apa kau kira kakakmu masih akan dapat ditolong?”

Bi Eng kaget dan sadar. Ia lalu menjatuhkan diri berlutut dan memohon, “Suhu, kau harus tolong Sin-ko. Teecu mohon petunjuk bagaimana kita harus menolongnya.”

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tertawa. “Tanpa kau mintapun, apa kau kira aku akan membiarkan saja dia dicelakai anjing-anjing penjilat penjajah itu? Bi Eng, setelah mendengarkan penuturan tadi, aku mendapat siasat yang baik sekali. Tak dapat disangkal pula, agaknya iblis muda Bhok Kian Teng itu jatuh hati kepadamu.”

“Suhu ....!” Wajah Bi Eng menjadi merah sekali.

Tang Pok tertawa. “Apa anehnya! Setiap pria muda melihat kau tentu akan berhal demikian. Hanya memang ajaib sekali kalau iblis muda itu betul-betul jatuh cinta kepadamu dengan wajar, dengan murni. Tadinya kukira orang macam dia sudah mati perasaannya. Tidak bisa mengenal cinta murni lagi, hanya menjadi budak dari nafsu buruknya. Ini kebetulan sekali. Melihat sikapnya terhadapmu yang sudah-sudah, sekarang kau boleh kembali ke Lu-liang-san untuk melihat keadaan. Mungkin dengan adanya kau di sana, keselamatan Han Sin lebih terjamin. Sementara itu, secara diam-diam aku akan melindungimu dan mencari kesempatan baik untuk membawa kau dan kakakmu pergi dari sana.”

Demikianlah, karena tahu bahwa diam-diam suhunya mengikuti perjalanannya dan melindunginya, dengan berani dan tenang Bi Eng lalu muncul di depan Bhok-kongcu mencari kakaknya. Tentu saja ia kaget sekali dan cepat membantu membongkar batu-batu ketika diberi tahu bahwa Han Sin tertutup di dalam guha. Ketika Bi Eng tiba di situ, pembongkaran batu-batu sebelah luar guha sudah selesai dan tubuh Pak-thian-tok Bhok-Hong sudah ditemukan dalam keadaan terluka hebat dan sudah dikirim ke kota raja untuk berobat dan beristirahat, maka gadis ini tidak tahu akan hal itu sama sekali.

Pada malam kedua, ketika dengan hati gelisah Bi Eng termangu-mangu di depan pondok memandang ke arah guha yang masih tertutup batu-batu, tiba-tiba dari samping melayang sebuah benda kecil yang ringan ke arah dirinya. Gadis ini mengira ada senjata rahasia, maka cepat ia miringkan tubuh dan mengulur tangan menyambar. Dengan gerakan indah ini ia dapat menangkap benda itu yang ternyata adalah segumpal kertas kecil saja.

Cepat ia membawa kertas itu ke bawah lampu yang tergantung di pinggir pondok setelah ia celingukan ke sana ke mari. Akan tetapi tidak melihat bayangan orang. Ia mengira bahwa tentu surat itu datang dari suhunya. Ia membuka surat dan membaca, terheran ketika melihat tulisan tangan wanita yang halus:

Mendekati Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut. Harus cepat-cepat menjauhkan diri. Tunggu sampai pagi, aku berusaha mendapatkan kuda dan menjemputmu pergi dari sini. Urusan kakakmu, aku tentu berusaha menolongnya. Bersiaplah!

Thio Li Hoa

Bi Eng terkejut dan terheran. Pernah ia melihat gadis yang bernama Thio Li Hoa ini, malah ketika Han Sin muncul di Lu-liang-san, dia datang bersama Li Hoa sebagai seorang gadis yang amat baik kepadanya. Sekarang gadis ini yang tadinya telah dirobohkan oleh Bhok-kongcu, tiba-tiba muncul hendak mengajak dia pergi dan berjanji hendak menolong Han Sin. Diam-diam Bi Eng dapat menduga bahwa gadis yang cantik jelita itu tentulah jatuh cinta kepada kakaknya.

“Hemmm, karena cinta kepada Sin-ko, maka kau berusaha menolong aku dan kakakku. Akan tetapi dengan kepandaianmu, menghadapi Bhok-kongcu saja kau tidak berdaya, apalagi di sini banyak sekali kaki tangan Bhok-kongcu seperti Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan lain-lain? Li Hoa, kau mimpi!”

Demikian kata hatinya sambil meremas hancur surat itu. Betapapun juga, ia harus mendengarkan dulu apa yang hendak direncanakan oleh gadis she Thio itu dalam usahanya. Aku akan menanti sampai pagi, siapa tahu dia betul akan dapat menolong Sin-ko, pikirnya. Gurunya sendiri mengatakan bahwa Bhok-kongcu adalah seorang pemuda jahat sekali. Sekarang Li Hoa bilang bahwa Bhok-kongcu lebih berbahaya dari pada maut.

Akan tetapi mengapa terhadap dia pemuda itu begitu baik dan halus? Betulkah pemuda seramah dan sehalus itu akan mengganggunya? Mukanya menjadi merah dengan sendirinya kalau ia teringat betapa suhunya dengan terus terang bilang bahwa Bhok-kongcu cinta kepadanya! Apa itu cinta? Dia tak pernah merasa, kecuali cinta kasihnya terhadap Han Sin. Dia selalu terkenang kepada Han Sin dan selalu ingin berdekatan, merasa sunyi dan hampa kalau berjauhan. Dan dia rela berkorban apapun juga, bahkan nyawanya, untuk kakaknya itu.

Bi Eng lalu teringat kepada Yan Bu. Juga pemuda itu amat baik, amat ramah dan halus. Dan pandang mata pemuda itu ..... eh, kok ada persamaannya dengan pandang mata Bhok-kongcu jika memandang kepadanya. Bersinar-sinar, berseri-seri namun mengandung suatu kelembutan dalam sinar mata itu, sesuatu yang mengharap, memohon dan ...... seperti mata orang minta dikasihani.

“Aku tidak tahu tentang cinta,” pikirnya kemudian, bingung dan tidak perduli lagi. “Apakah Yan Bu dan Bhok-kongcu mencintaiku, masa bodoh. Aku suka kepada Yan Bu, akupun .... tidak bisa membenci Bhok-kongcu, akan tetapi cinta? Entahlah. Akan kutanyakan kepada Sin-ko tentang cinta ini kelak .....”

Setelah malam berganti pagi, Bhok-kongcu dan orang-orangnya mulai lagi dengan pekerjaan membongkari batu-batu. Seperti biasa pada setiap pagi, pemuda ini menemui Bi Eng untuk diajak sama-sama ke tempat pekerjaan. Akan tetapi gadis ini masih belum keluar dari kamarnya. Ketika ia mengetuk dan memanggil-manggil, Bi Eng menjawab dari dalam.

“Bhok-kongcu, harap kau berangkat lebih dulu. Nanti aku akan menyusul!”

“Kau kenapakah, nona? Apakah tidak enak badanmu? Ataukah kau terlalu lelah? Biar aku panggilkan Hoa Hoa Cinjin, agar kau diperiksa dan diberi obat .....”

Bi Eng menarik napas panjang di dalam kamarnya. Suara pemuda itu begitu halus, lemah lembut dan penuh perhatian, terdengar amat khawatir dan mencinta. Betulkah dugaan Ciu-ong Mo-kai bahwa Bhok Kian Teng ini mencintainya? Buru-buru ia menjawab.

“Tidak usah, Bhok-kongcu. Aku tidak apa-apa, hanya lelah sedikit dan malas bangun. Nanti kalau sudah enakan, tentu aku akan menyusul. Kau pergilah!”

Dari dalam kamar terdengar betapa pemuda itu masih belum mau pergi, agaknya ragu-ragu. Kemudian terdengar suaranya,

“Aku .... aku amat khawatir, jangan-jangan kau sakit. Aku ingin sekali melihatmu, nona Bi Eng. Kalau perlu akupun tidak pergi ke tempat pekerjaan. Ataukah aku panggil seorang pelayan untuk menemanimu dan melayanimu?”

“Tak usah ...... tak usah, aku betul-betul tidak apa-apa.” Untuk melenyapkan kecurigaan orang Bi Eng lalu membuka pintu kamarnya. Ia melihat pemuda itu seperti biasa, sudah berpakaian rapi dan bersih, wajahnya yang putih tampan itu nampak gelisah dengan sepasang mata penuh perhatian memandangnya. “Aku tidak apa-apa, hanya ingin mengaso lebih lama. Kau berangkatlah dulu, nanti aku menyusul.”

Bhok Kian Teng dengan penuh kasih sayang dalam pandang matanya menatap wajah gadis itu. Rambut Bi Eng masih kusut, juga pakaiannya kusut karena memang belum berganti pakaian dan belum menyisir rambut. Akan tetapi dalam pandang mata pemuda yang sudah jatuh hatinya itu, ia nampak makin jelita. Melihat betapa sepasang pipi gadis itu kemerah-merahan dan segar, kekuatiran Kian Teng lenyap dan berserilah wajahnya.

“Ah, syukur kau tidak apa-apa, nona. Kalau kau merasa lelah tidurlah lagi. Tak usah kau membantu. Kalau sudah merasa enakan, dan kau ingin melihat, kau datang melihat-lihat saja orang bekerja, tak perlu kau mengeluarkan tenaga membantu mereka. Nah, aku pergi dulu.” Ia menjura dan mengundurkan diri.

Bi Eng bernapas lega. Semua orang sudah pergi, leluasa baginya untuk menanti datangnya Li Hoa di situ. Gadis ini sama sekali tidak mengira bahwa Bhok Kian Teng adalah seorang pemuda yang cerdik luar biasa. Ketika melihat gadis yang dikasihinya itu muncul dalam keadaan sehat dan segar dengan pipi kemerahan, malah timbul kecurigaan di dalam hatinya.

Gadis ini amat rindu kepada kakaknya dan saking besar keinginan hatinya melihat sikap kakaknya tertolong dari dalam guha, setiap hari sampai ikut-ikut mendorong batu-batu dengan kedua tangan sendiri. Kecuali kalau jatuh sakit, tak mungkin gadis itu mau menghentikan bantuannya.

Sekarang melihat keadaannya demikian segar dan sehat, kenapa berdiam saja di kamar dan mengajukan alasan tidak enak badan? Akan tetapi di depan Bi Eng ia tidak menyatakan apa-apa, malah segera pergi dan meninggalkan gadis itu seorang diri di dalam pondok.

Belum lama Bi Eng berada seorang diri di dalam pondok yang telah menjadi sunyi itu, ia mendengar suara kaki kuda di depan pondok, disusul suara perlahan seorang wanita,

“Adik Bi Eng, lekas keluar!”

Ketika Bi Eng berlari keluar dari pondok kecil itu, ia melihat dua orang gadis cantik yang menunggang dua ekor kuda, seekor putih, seekor hitam. Gadis yang seorang bukan lain adalah si cantik Li Hoa yang sudah pernah dilihatnya. Akan tetapi gadis kedua belum pernah ia melihatnya. Gadis kedua ini lebih muda dari pada Li Hoa, juga cantik dan matanya bersinar gagah.

“Bi Eng, dia ini adalah adikku, Thio Li Goat.” Gadis bernama Li Goat itu tersenyum manis kepada Bi Eng, lalu ia melompat turun dari kuda hitamnya dan berkata.

“Enci Bi Eng, kau pakailah kudaku. Biar aku membonceng enci Li Hoa.”

Bi Eng ragu-ragu. Hatinya tertarik melihat keramahan dua orang gadis cantik itu, akan tetapi karena dia tidak mengenal mereka, tentu saja dia tidak merasa yakin apakah dia harus ikut mereka. Li Hoa maklum akan isi hati Bi Eng, maka dengan suara perlahan dia berkata cepat,

“Bi Eng, tak usah kau ragu-ragu. Kau berada dalam bahaya besar. Bhok-kongcu sengaja menahanmu untuk memaksa kakakmu menyerahkan kitab rahasia yang berada di dalam guha. Marilah kau ikut dengan kami dan nanti kita berunding bagaimana baiknya untuk menolong kakakmu.”

Biarpun masih agak ragu-ragu, akan tetapi Bi Eng dapat merasa dalam hatinya bahwa dua orang ini tak mungkin termasuk orang-orang jahat. Maka sudah dengan sendirinya, ia lalu meloncat naik ke atas punggung kuda hitam yang tangkas itu, sedangkan Li Goat juga meloncat ke atas punggung kuda Li Hoa, dengan sigap tubuhnya melayang dan tahu-tahu ia sudah membonceng di belakang encinya. Melihat gerakan Li Goat yang ringan dan tangkas, diam-diam Bi Eng kagum dan maklum bahwa dua orang enci adik itu memiliki kepandaian silat yang tinggi.

“Mari kita pergi dari sini sebelum mereka mengetahui,” ajak Li Hoa. “Kalau kita sudah berhasil lari, mereka takkan mampu mengejar kuda-kuda pilihan kita ini!”

Bi Eng menarik kendali kudanya dan kuda itu melesat ke depan mengejar kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat. Akan tetapi pada saat itu, berkelebat bayangan orang dibarengi bentakan,

“Nona Cia Bi Eng, jangan kau percaya bujukan mereka!”

Kuda hitam itu berjingkrak, mengangkat kedua kaki depan ke atas ketika Bi Eng yang terkejut menahan tali kendalinya. Juga dua orang gadis itu kaget sekali. Tadi secara diam-diam mereka telah mengintai dan melihat Bhok Kian Teng bersama pembantu-pembantunya sudah pergi ke guha, kenapa pemuda ini tahu-tahu muncul di situ?

Memang Bhok-kongcu orangnya cerdik. Dia memang pergi ke guha, akan tetapi cepat kembali, secara diam-diam dan bersembunyi di dekat pondok mengintai hingga ia melihat segala yang terjadi di depan pondok.

“Orang she Bhok! Biarkan dia pergi! Dia apamukah maka kau berani menahan seorang gadis? Apa kau tidak malu?” bentak Li Hoa dengan marah.

“Dia tawananku dan kalian ini bocah-bocah nakal tak usah mencampuri urusanku!” jawab Bhok Kian Teng.

“Tawanan ......?” Bi Eng berseru kaget. “Aku bukan tawanan! Bagaimana kau berani bilang demikian?”

“Nona yang baik, jangan kau mendengarkan bujukan mereka. Mereka itu dua orang gadis yang jahat, suka mengacau .......”

“Kurang ajar kau! Kau kira kami boleh kau hina sembarangan? Awas senjata!” bentak Li Goat yang menggerakkan tangan kanannya dan dua buah benda yang berkilauan dengan cepat sekali menyambar ke arah tubuh Bhok-kongcu, mengarah dua jalan darah yang berbahaya. Itulah senjata rahasia Lian-hoa-piauw (Piauw Bunga Teratai), yang selain indah bentuknya, menyerupai bunga dengan dironce merah, juga amat cepat sambarannya dan amat berbahaya.

Namun Bhok-kongcu adalah seorang pemuda yang memiliki kepandaian tinggi. Sambil mengeluarkan suara tawa mengejek, dengan mudah saja ia miringkan tubuh dan dua buah senjata rahasia itu menyambar lewat di atas punggungnya.

Sebelum Bi Eng sempat melarikan kudanya lagi, tiba-tiba Bhok-kongcu yang berada di depan kudanya itu menggerakkan tangan menarik kendali kuda. Kuda hitam kesakitan dan merontah-­rontah sehingga tak dapat ditahan lagi tubuh Bi Eng terlempar dari punggungnya.

Alangkah kaget dan marah hati Bi Eng ketika tahu-tahu ia telah diterima oleh kedua lengan tangan Bhok-kongcu, dipondong sehingga tidak terbanting jatuh. Ia merontah-rontah dalam pelukan pemuda itu dan berteriak-teriak,

“Lepaskan aku! Lepaskan!”

Akan tetapi mana Bhok-kongcu mau melepaskannya? Malah pemuda ini lalu menotok jalan darah gadis itu sehingga membuat Bi Eng lemas tak berdaya lagi.

Lanjut ke jilid 037 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment