Ads

Saturday, September 1, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 037

◄◄◄◄ Kembali

“Bi Eng, kau harus percaya kepadaku, harus! Jangan dengarkan obrolan orang lain.”

Kemudian ia berseru kepada orang-orangnya dengan suara tinggi. “Ji-wi lo-enghiong Tung-hai Siang-mo! Tolong tangkap dua orang gadis itu!”

Pada saat itu, mendadak terdengar suara keras, “Bocah she Bhok, jangan kau kurang ajar terhadap muridku!" Muncullah tubuh Ciu-ong Mo-kai dan dari mulutnya tersembur arak ke arah muka Bhok­kongcu.

Pemuda ini maklum akan kelihaian pengemis tua ini. Maka ia lalu melempar tubuh Bi Eng ke bawah pohon sambil mengelak dari serangan semburan arak, tangannya mencabut keluar kipasnya. la masih tersenyum mengejek melihat pengemis itu.

"Aha, kiranya Ciu-ong Mo-kai si pengemis kelaparan yang datang. Setelah menerima hajaran, kau masih belum kapok dan berani muncul lagi?"

Ciu-ong Mo-kai mengeluarkan seruan keras dan dengan marah menyerang dengan guci araknya, dihantamkan ke arah kepala Bhok-kongcu. Pemuda ini cepat mengelak dan membalas dengan totokan maut yang dimainkan dengan kipasnya. Sebentar saja dua orang jago tua dan muda ini saling gempur dengan hebatnya.

Bhok-kongcu boleh jadi seorang pemuda yang pada jaman itu jarang dicari tandingnya. Sebagai putera tunggal dari Pak-thian-tok, tentu saja ia memiliki kepandaian yang tinggi juga, berkat kecerdikan otaknya ia telah banyak mempelajari ilmu-ilmu silat yang luar biasa. Sayangnya dia adalah seorang pemuda mata keranjang yang terlalu suka menuruti nafsu hatinya sehingga dalam hal lweekang, tenaganya belum dapat dikatakan sempurna.

Sekarang ia menghadapi seorang tokoh besar seperti Ciu-ong Mo-kai, tentu saja biarpun dengan ilmu silatnya ia dapat melakukan perlawanan dan bahkan dapat membalas dengan serangan-­serangan maut, namun perlahan-lahan ia terdesak oleh hawa pukulan-hawa pukulan yang amat kuat dari pengemis sakti itu. la mencoba hendak mempergunakan senjata rahasianya yang beracun, akan tetapi Ciu-ong Mo-kai Tang Pok tidak memberi kesempatan kepadanya.

Sementara itu dua orang iblis laut timur, Tung-hai Siang-mo, setelah mendapat perintah Bhok­kongcu tanpa ragu-ragu lagi lalu melompat maju dan kuda putih yang ditunggangi oleh Li Hoa dan Li Goat kaget dan berdiri di atas kedua kaki belakang ketika sepasang iblis itu menghadang di depannya.

Sambil mempertahankan diri agar jangan jatuh dari atas kuda, Li Hoa membentak, "Tung-hai Siang-lo-enghiong, apakah kalian berani kurang ajar kepada kami? Ayah akan menghukum kalian!"

Tentu saja Tung-hai Siang-mo sudah mendengar tentang kekuasaan Thio-taijin, ayah kedua orang gadis ini, akan tetapi merekapun tahu bahwa kedudukan Bhokkongcu lebih tinggi dari pada ayah mereka. Maka mendengar ancaman Li Hoa ini, Ji Kong Sek tersenyum.

"Heh-heh, nona berdua yang manis, mana kami berani kurang ajar terhadap puteri-puteri Thio-taijin? Kami hanya menerima tugas dari perintah Bhok-kongcu supaya kalian jangan lari pergi. Kalau ayah kalian marah, biarlah marah kepada kongcu. Heh-heh-heh!"

Li Hoa mengeluarkan seruan marah. la tahu bahwa percuma saja menggunakan nama ayahnya untuk menggertak, dan iapun tahu pula bahwa kalau ayahnya tahu akan sepak-terjangnya di sini terhadap Bhok-kongcu dan orang-orangnya, ayahnya malah akan marah kepadanya! Maka tanpa banyak cakap lagi gadis yang berani ini lalu memberi isyarat kepada adiknya.

"Li Goat serang!"

Seperti dua ekor singa betina, enci dan adik ini lalu melompat turun dan menerjang Tung-hai Siang-mo dengan pedang mereka. Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw tertawa mengejek. Dengan girang mereka lalu melayani dua orang nona muda yang cantik-cantik ini, menghadapi permainan pedang mereka dengan tangan kosong saja. Memang tingkat kepandaian sepasang iblis ini tentu saja jauh lebih tinggi, maka dengan enak dan mudah mereka dapat mempermainkan Li Hwa dan adiknya.

Di lain pihak, Bhok-kongcu yang lihai itu ternyata tidak kuat menghadapi amukan Ciu-ong Mo­kai yang hendak menolong muridnya. Jago tua ini mengeluarkan ilmu silatnya Liap-hong-sin-hoat dan setelah dengan mati-matian mempertahankan diri, akhirnya Bhok-kongcu mulai terdesak dan permainan kipasnya kalang-kabut. Pada jurus ketiga puluh, dengan seruan keras sekali Ciu-ong Mo-kai mengayun guci araknya ke arah Bhok-kongcu sambil membentak,

"Pangeran keji, mampuslah!"

Bhok-kongcu terkejut sekali melihat sambaran guci yang amat tidak tersangka-sangka dan cepat sekali ini. la mengangkat kipas menangkis sambil menusukkan jari-jari tangan kirinya ke arah mata lawannya. Akan tetapi mendadak dari mulut guci itu melesat keluar segumpal arak yang menyambar ke arah muka Bhok-kongcu!

Pemuda ini berusaha miringkan kepala, namun masih ada sebagian arak yang mengenai pipi dan matanya, sehingga terpaksa ia meramkan mata. la merasa pipinya pedas sekali dan serangan jari-­jari tangan kirinya tidak mengenai sasaran. Adapun kipas di tangan kanannya bertemu dengan guci, mengeluarkan suara keras dan ....... senjata istimewa di tangannya itu patah-patah! Otomatis Bhok­kongcu melompat mundur ke belakang dan gerakannya ini amat indah dan baik karena kalau tidak demikian, tentu ia telah tertimpa bencana oleh serangan susulan yang dilakukan oleh Tang Pok.

Pada saat itu, muncul Hoa Hoa Cin¬jin yang mengeluarkan suara marah, "Tang Pok pengemis kelaparan! Pinto lawanmu, bukan orang-orang muda!"

Angin menyambar dahsyat ketika Hoa Hoa Cinjin menyerang. Tosu ini tidak berlaku sungkan lagi. Tangan kanannya menggerakkan pedangnya yang bersinar hijau, sedangkan tangan kiri dikepal dan menyerang pula dengan pukulan-pukulan jarak jauh.

"Tosu keparat! Siapa takut padamu?" Ciu-ong Mo-kai Tang Pok yang maklum akan kelihaian Hoa Hoa Cinjin, segera melayani tosu ini dengan sungguh-sungguh. Pedang hijau di tangan tosu itu sudah lihai, akan tetapi pukulan-pukulan tangan kirinya lebih berbahaya lagi. Namun, dengan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat, Tang Pok masih dapat membuat Hoa Hoa Cinjin yang lihai itu menghadapi tembok baja dan sukarlah baginya untuk mengalahkan pengemis sakti ini.

Menyaksikan bahwa kekuatan kedua fihak berimbang Bhok-kongcu menjadi penasaran dan tidak sabar lagi. Li Hoa dan Li Goat kini sudah roboh tertawan oleh Tung-hai Siang-mo, akan tetapi dua orang kakek ini tentu saja tidak sudi membantu Hoa Hoa Cinjin, karena merekapun orang-orang berkedudukan tinggi sehingga memalukan mengeroyok lawan. Maka setelah merobohkan Li Goat, dua orang tua inipun hanya berdiri sambil tertawa-tawa menonton. Bhok-kongcu lalu minta bantuan mereka untuk mengantar Li Hoa, Li Goat, dan Bi Eng ke kota raja.

"Serahkan dua orang gadis Thio itu kepada ayah mereka dan ceritakan semua sepak-terjang mereka yang tidak semestinya, dan nona Cia ini harap ji-wi (kalian) bawa ke rumahku, biar mengaso di sana," pesannya.

Tung-hai Siang-mo menjadi girang dengan tugas yang ringan ini, maka mereka segera membawa tiga orang nona muda itu pergi turun gunung.

Setelah membereskan tiga orang nona itu, Bhok-kongcu lalu maju membantu Hoa Hoa Cinjin. Kipasnya sudah rusak, maka kini ia membantu dengan serangan-serangan senjata rahasia ke arah Ciu-ong Mo-kai. Tentu saja serangan-serangan yang cukup dahsyat ini membuat Tang Pok menjadi kewalahan.

Kakek pengemis ini sudah merasa bingung melihat Bi Eng dibawa pergi Tung-hai Siang-mo, dan menghadapi desakan Hoa Hoa Cinjin saja sudah amat berat. Sekarang ditambah lagi dengan serangan-serangan senjata rahasia berupa jarum-jarum halus beracun dari Bhok-kongcu, ia kaget dan cepat menyemburkan arak untuk melindungi dirinya. la tahu bahwa senjata rahasia pemuda ini tak boleh dipandang ringan. Sebagai putera tunggal Pak-thian-tok (Racun Utara), tentu saja senjata rahasia itu mengandung racun yang amat jahat.

Adapun Hoa Hoa Cinjin yang melihat keadaan lawannya terdesak, cepat memperhebat serangannya, malah iapun kini menggunakan jarum-jarum hijau diseling dengan pukulan-pukulan Cheng-tok-ciang!

"Curang .... curang ....!" Berkali-kali Ciu-ong Mo-kai Tang Pok berseru sambil membuang diri ke kanan kiri, namun percuma saja karena hujan serangan itu akhirnya membuat pundak kirinya terkena jarum hijau yang dilepas dari jarak dekat oleh Hoa Hoa Cinjin.

Tang Pok menggigit bibirnya menahan sakit. Seluruh lengan kirinya menjadi lumpuh oleh racun jarum itu. Cepat ia menotok jalan darah di leher kiri dan mengerahkan tenaga untuk menahan menjalarnya racun, ia memutar guci araknya dengan pukulan Ciu-san-cam-liong (Dewa Arak Membunuh Naga), jurus terakhir yang paling dahsyat dari Liap-hong Sin-hoat.

Guci arak itu berputar cepat sekali mengarah kepala Hoa Hoa Cinjin dan terus menyerang Bhok­kongcu yang berada agak jauh. Dua orang ini kaget dan cepat meloncat mundur melihat dahsyatnya serangan guci arak ini dan diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat kakek pengemis yang sudah terluka oleh jarum hijaunya itu ternyata tidak roboh malah dapat melakukan serangan balasan demikian hebatnya.

"Mo-kai, kau hebat ......!” Tak terasa lagi ia memuji sambil melompat mundur.

Tang Pok hanya tertawa bergelak, lalu tubuhnya melesat jauh, lari dari situ. Bhok-kongcu dengan gemasnya menghujankan senjata rahasia ke arah pengemis itu. Akan tetapi jaraknya sudah terlalu jauh dan dengan sekali mengibaskan ujung lengan baju kanannya, semua jarum itu dapat diruntuhkan.

"Jangan-jangan dia nanti mengejar Tung-hai Siang-mo dan merampas muridnya,” kata Hoa Hoa Cinjin.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Selain dia tidak berdaya menghadapi dua orang tua itu, juga mereka diantar oleh sepasukan pengawal bersenjata yang sudah dipilih. Tak usah khawatir, paling baik kita segera mengeluarkan pemuda she Cia itu."

Demikianlah, dengan bekerja siang malam, Bhok-kongcu akhirnya berhasil membongkar semua batu-batu yang menutup terowongan dan seperti telah diceritakan di bagian depan, Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin menyerbu ke dalam, akan tetapi mereka berdua tidak mendapatkan apa-apa, bahkan tidak melihat adanya Cia Han Sin yang sudah bersembunyi di dalam sumur!

Kita kembali kepada Han Sin. Seperti telah kita ikuti bersama, pemuda ini telah menggembleng diri dalam terowongan, mempelajari ilmu silat tinggi Thian-po-cin-keng. Tanpa ia sadari sendiri, ia telah mewarisi ilmu yang hebat dan berkat latihan-latihannya, kini hawa sinkang di dalam tubuhnya menjadi berlipat ganda kuatnya.

Setelah ia mendengar percakapan antara Bhok-kongcu dan Hoa Hoa Cinjin, dan mengerti bahwa Bhok-kongcu sebenarnya adalah Pangeran Mongol yang bercita-cita merampas kembali negara Tiongkok, jiwa patriotnya bergolak. Ia melihat ancaman hebat mengancam tanah air dan bangsanya, yang tidak saja kini dicaplok oleh penjajah Mancu, malah terancam pula oleh orang-orang Mongol yang ingin menjajah kembali.

Akan tetapi saat itu, perhatiannya tertumpah pada nasib adiknya yang ia dengar telah terjatuh ke dalam tangan pangeran Mongol, Bhok-kongcu itu. Maka dengan kemarahan ditahan-tahan, pemuda ini lalu berjalan keluar dari terowongan, tidak jadi melarikan diri!

"Awas kalian kalau adikku diganggu .....!” gerutunya.

Kesabaran manusia ada batasnya dan pemuda ini yang biasanya amat sabar, saking seringnya diganggu dan setelah mendapat gemblengan di dalam terowongan, dibangunkan semangatnya oleh Thai-lek-kwi Kui Lok, kini benar-benar menjadi marah.

Pada saat itu Bhok-kongcu dengan kecewa karena pekerjaan berat yang sudah dilakukan itu ternyata tidak mendatangkan hasil yang amat diharapkan, yaitu kitab rahasia yang ia rindukan, sedang mengatur orang-orangnya untuk mengangkuti harta pusaka yang banyak terdapat di dalam guha. Pekerjaan ini dibantu oleh Thian-san Sam-sian, Tok-gan Sin-kai, dan lain-lain jagoannya. Tung-hai Siang-mo sudah pergi mengantar tiga orang nona ke kota raja, sedang Hoa Hoa Cinjin sudah pergi melakukan pengejaran terhadap Cia Han Sin yang mereka sangka sudah kabur dari dalam guha.

DAPAT dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka ketika tiba-tiba mereka melihat Han Sin berjalan keluar dari dalam guha. Wajah pemuda ini merah sekali, sepasang matanya yang luar biasa sinarnya itu menyapu semua orang, amat menyeramkan. Pakaiannya kumal dan compang camping, rambutnya kusut tidak terpelihara. Akan tetapi sekali melihatnya, Bhok-kongcu segera mengenalnya. Pangeran muda ini amat terkejut dan heran, akan tetapi ia segera dapat menekan perasaannya dan dengan wajah tersenyum ia melangkah maju dan menyambut Han Sin dengan suara ramah,

"Ah, kiranya saudara Cia masih selamat. Syukur ...., syukur ......! Kami telah bersusah payah berusaha menolongmu, membongkar semua batu untuk sebulan lebih lamanya."

Akan tetapi Bhok­kongcu menghentikan langkahnya ketika melihat muka pemuda itu yang kelihatan mengancam dan marah.

"Di mana Bi Eng? Di mana adikku itu?" Pertanyaan ini keluar dari mulut Han Sin dengan nada penuh ancaman dan sinar matanya berapi-api.

Dengan muka masih tersenyum ramah Bhok-kongcu menjawab, "Adikmu itu selamat dan berada di kota raja menanti kedatanganmu. Saudara Cia, apakah kau sudah mendapatkan kitab rahasia itu?"

Diam-diam Han Sin terkejut. Bagaimana pemuda pangeran ini bisa tahu tentang kitab? la menggeleng kepala.

"Takkan kukatakan kepadamu, atau kepada siapapun juga. Kau bohong tentang adikku. Kau telah menawannya. Ayoh lepaskan dia!"

Bhok-kongcu mendongkol sekali, akan tetapi masih dapat menahan kemarahannya. la tahu bahwa Han Sin memiliki keberanian dan kekerasan hati luar biasa, maka harus dihadapi dengan lemah-­lembut.

"Saudaraku yang baik, seorang kuncu tak akan menjilat kembali ludah yang sudah dikeluarkannya. Kau sudah berjanji padaku ........"

"Berjanji apa? Berjanji hendak membawamu ke tempat penyimpanan harta peninggalan pahlawan Lie Cu Seng. Bukankah aku sudah membawamu ke sini? Ayoh, jangan banyak cakap, lekas lepaskan adikku!"

Bhok-kongcu seorang cerdik. Melihat pemuda itu tidak mau bicara tentang kitab wasiat, ia menaruh curiga bahwa kitab itu tentu telah ditemukan Han Sin. Maka ia lalu berkata manis,

"Saudara Cia, adikmu selamat di kota raja. Mudah saja melepaskan dia supaya berkumpul lagi denganmu, akan tetapi kitab itu ...... kau harus berikan dulu kepadaku sebagai penukaran diri adikmu. Bukankah ini adil?"

Kemarahan Han Sin meluap. Sepasang matanya seperti kilat menyambar ke arah wajah Bhok­kongcu, membuat kongcu itu surut dua langkah saking kagetnya.

"Aku tidak mau lagi masuk perangkapmu yang keji!'" seru Han Sin. "Aku tidak sudi berjanji apa-apa, tidak sudi menukar apa-­apa. Adikku tidak bersalah, mengapa kau tawan? Ayoh keluarkan!" Dengan penuh kemarahan pemuda ini melangkah maju menghampiri Bhok-kongcu.

Tentu saja Bhok-kongcu tidak takut menghadapi Han Sin yang dianggapnya seorang pemuda yang hanya berani dan aneh, akan tetapi lemah. Pada saat itu terdengar suara tertawa mengejek dan majulah tiga orang hwesio, menghadang Han Sin. Mereka ini adalah Thian-san Sam-sian, yaitu Gi Ho Hosiang, Gi Hun Hosiang dan Gi Thai Hosiang. Yang tertawa adalah Gi Hun Hosiang, yang sudah mencabut pedang dan tasbehnya.

"Ha-ha-ha, bocah she Cia. Apakah kau masih belum kapok dan minta disiksa lagi seperti dulu? Ingin pinceng mencokel keluar kedua matamu yang seperti mata iblis itu!"

Melihat tiga orang hwesio yang menaruh dendam kepada keluarga Cia itu sudah maju, Bhok­kongcu berkata,

"Jangan bunuh dia, tangkap saja!"

Adapun Han Sin ketika melihat tiga orang hwesio yang pernah menyiksanya ini, bangkit kemarahannya.

"Kalian ini setan-setan berwajah manusia berselimut pakaian pendeta. Kalian mencemarkan agama dan mengotorkan dunia!" serunya marah sambil maju terus, sama sekali tidak memperdulikan tiga orang itu.

Serentak tiga orang hwesio itu maju dan sesuai dengan perintah Bhok-kongcu, mereka tidak menggunakan senjata, melainkan menggunakan tangan kosong untuk mencengkeram Han Sin. Yang maju lebih dulu adalah Gi Hun Hosiang yang menggunakan tangan kiri menampar kepala dan tangan kanan mengcengkeram pundak.

Han Sin tidak perdulikan serangan itu, hanya menggerakkan tangan kiri mengibas ke depan dan ....... tubuh Gi Hun Hosiang terlempar sampai empat meter lebih, bergulingan dan mengaduh-aduh! Gi Thai Hosiang dan Gi Ho Hosiang kaget dan marah sekali. Serentak mereka maju mengirim serangan dahsyat.

Namun, dengan hanya satu kali menggerakkan kedua tangannya, kembali Han Sin membuat dua orang kepala gundul itu terpelanting dan tak dapat bangun lagi. Ternyata Thian-san Sam-sian telah roboh dengan tulang-tulang pundak patah-patah dan menderita luka dalam yang sekaligus melenyapkan sebagian besar dari pada tenaga dan kepandaian mereka. Biarpun Han Sin tidak membunuh mereka, namun selanjutnya tiga orang hwesio ini tidak dapat berbuat sewenang-wenang lagi karena mereka telah menjadi penderita-penderita cacat di sebelah dalam dadanya!

Semua orang melongo melihat kejadian ini. Akan tetapi Tok-gan Sin-kai yang tidak kenal gelagat, masih tidak percaya dan menganggap hal itu bisa terjadi karena kesembronoan dan kebodohan Thian-san Sam-sian. Tanpa menanti perintah lagi ia meloncat maju dan menyerang dengan tongkatnya. Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai, ilmu tongkatnya berbahaya dan lihai sekali.

Tentu saja Han Sin mengenal pengemis mata satu ini. Pernah dulu ia diberi hadiah Coa-kut-teng (Paku Tulang Ular) oleh pengemis ini sampai ia menderita luka di pundaknya dan terkena racun. Ia tahu bahwa di ujung tongkat pengemis mata satu itu terdapat alat senjata rahasia paku itu.

"Tua bangka keji, apa kau hendak menggunakan lagi paku-paku busukmu?" katanya sambil tersenyum mengejek. Watak Han Sin benar-benar banyak berubah setelah ia "bertapa" selama empat puluh hari di dalam guha. la kini menjadi jenaka, tidak pendiam lagi seperti dulu. Welas asih terhadap sesama manusia memang sudah menjadi dasar wataknya, hanya sekarang ia tidak menurutkan perasaan ini secara membuta. la bukan seorang yang bersemangat tahu lagi, ia bukan seorang pemuda yang berjiwa lemah. Ia harus membasmi kejahatan!

Tok-gan Sin-kai yang memandang rendah pemuda ini, sudah melakukan gerakan pertama, tongkatnya menyambar dan menusuk ke arah ulu hati Han Sin. Pemuda itu kelihatannya tidak mengelak sama sekali, malah menanti sampai ujung tongkat mengenai kulitnya.

Alangkah kagetnya hati Tok-gan Sin-kai ketika ia merasa ujung tongkatnya meleset ketika mengenai kulit dada pemuda itu, seakan-akan baja yang keras dan licin. Sebelum ia menarik kembali tongkatnya, Han Sin sudah menyambar tongkat itu dan seperti mematahkan sebatang biting, ia patah-patahkan tongkat itu lalu menjumput tujuh buah paku yang tersembunyi di pucuk tongkat.

"Makanlah paku-pakumu!" katanya sambil melemparkan paku-paku itu ke arah pemiliknya.

Tok­gan Sin-kai kaget dan mencoba untuk mengelak, namun terlambat. Ia merasa sakit pada kedua pundak, kedua siku, kedua lutut dan roboh terguling seketika itu juga. Ternyata di antara tujuh batang paku, yang enam telah menancap di kedua pundak, kedua lengan dan kedua kaki membuat urat-uratnya di tempat itu putus dan selanjutnya, seperti halnya Thian-san Sam-sian, pengemis mata satu ini juga menjadi seorang tak berguna lagi, cacat selama hidupnya!

Gegerlah semua orang yang menyaksikan kejadian ini. Bhok-kongcu hampir tak dapat mempercayai pandangan matanya sendiri. Sekilat pikiran melintas dalam benaknya. Tentu pemuda Min-san itu sudah menemukan kitab wasiat! Akan tetapi mungkinkah hanya dalam puluhan hari saja sudah dapat mewarisi isi kitab dan memiliki kepandaian sehebat itu? Wajahnya menjadi pucat ketika ia melihat Han Sin dengan langkah tegap menghampirinya dan mulut pemuda itu terus mendesak,

"Di mana Bi Eng? Lepaskan dia!"

Bhok-kongcu bukanlah pemuda yang nekat mengandalkan kepandaian sendiri. Dia lebih mengandalkan kecerdikannya. Melihat keadaan Han Sin, dia tidak mau berlaku sembrono, cepat ia memberi perintah,

"Tangkap dia!".

Puluhan orang kaki tangannya yang tadinya bungkam dan tak bergerak saking herannya melihat pemuda aneh itu merobohkan tiga orang tokoh besar secara demikian mudah, kini mendengar perintah majikannya, serentak maju menyerang Han Sin. Pemuda ini makin mendongkol.

"Kalian semua bukan orang baik-baik!" tegurnya dan ketika kedua lengannya bergerak, orang-orang yang mengeroyok roboh bergelimpangan.

Betapapun marah hati Han Sin, pemuda ini masih tidak tega untuk membunuh orang, maka ia membatasi tenaganya dan hanya merobohkan para pengeroyoknya itu dengan mematahkan tulang-tulang mereka.

Keadaan menjadi ribut dan makin lama makin banyak orang roboh tumpang-tindih, membuat yang lain menjadi jerih dan ragu-ragu untuk maju. Ketika akhirnya Han Sin terbebas dari pengeroyokan dan tak seorangpun berani maju, ia mendapatkan bahwa Bhok-kongcu sudah tidak berada di tempat itu lagi, kongcu yang cerdik itu ternyata telah kabur! Han Sin tidak mau perdulikan, Bhok-kongcu, sebaliknya ia menyambar lengan seorang pengeroyok dan membentak,

"Ayoh katakan, di mana adanya nona Cia Bi Eng, adikku!" Pandang matanya yang tajam luar biasa itu membuat, orang yang dipegangnya ketakutan setengah mati.

"Ampun, taihiap ........ nona itu dibawa oleh Tung-hai Siang-mo ke kota raja .......”

"Siapa yang menyuruh dan dibawa ke rumah siapa?"

"Bhok-kongcu yang memerintah dan ....... tentu saja dibawa ke rumah Bbok kongcu .......”

Han Sin melepaskan lengan orang, lalu pergi turun gunung tanpa banyak cakap lagi. Tujuannya hanya satu, menolong adiknya di kota raja kemudian baru bersama adiknya melakukan perjuangan bersama para patriot bangsa lainnya, mengusir kaum penjajah yang hendak mencengkeram tanah air!

Dengan melakukan perjalanan cepat tak kenal lelah Han Sin turun dari puncak Lu-liang-san sebelah timur dan terus menuju ke timur, ke kota raja. Ia merasa tubuhnya amat ringan dan kuat, jauh sekali bedanya dengan sebulan yang lalu. Bukan main girangnya karena ia maklum bahwa kesemuanya ini adalah berkat ketekunannya mempelajari ilmu dari kitab Thian-po-cin-keng yang sudah ia bakar ketika ia hendak keluar dari dalam guha. Kitab itu sudah dibakarnya karena ia maklum bahwa banyak sekali tokoh kang-ouw menghendaki kitab itu, maka untuk mencegah keributan lebih lanjut, ia membakar kitab itu sampai habis menjadi abu.

Ketika pemuda ini sedang melakukan perjalanan yang sukar melalui Pegunungan Tai-hang-san, di lereng gunung yang amat sunyi dan indah pemandangannya, tiba-tiba ia mendengar suara orang dari jauh. Hatinya tertarik, apa lagi ketika mendengar suara-suara itu seperti dua orang tengah berselisih.

Segera ia mengerahkan ginkang dan berlari ke arah suara itu. Makin dekat ia menjadi makin tertarik karena mengenal bahwa seorang di antara mereka adalah Hoa Hoa Cinjin! Cepat ia menyelinap dan bersembunyi di belakang batu besar ketika sudah tiba dekat dan melihat benar-benar Hoa Hoa Cinjin sedang bercekcok dengan seorang kakek bertopi lebar yang bertubuh jangkung kurus.

Kakek ini membawa sebuah pikulan yang ditaruhnya di tanah, pakaiannya sederhana, wajahnya keren dan sepasang matanya bersinar-sinar. Namun mulutnya selalu tersenyum dan dari mulutnya inilah nampak kesabaran dan kebaikan hatinya.

"Hoa Hoa Cinjin," terdengar kakek bertopi itu berkata, suaranya mengandung kehalusan dan kesabaran, "dahulu kau menewaskan suteku Koai-sin-jiu Bhok Kim, aku diam saja karena itu adalah urusan pribadi antara dia dan kau. Juga kau menyerang dan memukul murid keponakanku, Ang-jiu Toanio, inipun masih kusabarkan karena mungkin sekali dia yang menyerangmu lebih dulu. Dalam pertempuran, kalah menang bukan soal aneh dan sudah semestinya. Akan tetapi kau orang tua sampai menghina yang muda, menghina muridku Phang Yan Bu, malah mengucapkan kata-kata menantangku. Hemmm, tosu sombong, hal ini tidak bisa kudiamkan saja!"

Hoa Hoa Cinjin tertawa seram, melengking nyaring seperti suara setan. Kemudian ia berkata mengejek, "Heh heh, tukang obat. Percuma saja kau berjuluk Yok-ong (Raja Obat). Ternyata kau tidak mampu mengobati perempuan galak itu dan sekarang karena penasaran kau mencariku. Ha ha ha! Kepandaianmu mengobati sudah kulihat, hanya kepandaianmu silat yang belum. Hendak pinto lihat apakah sama rendahnya dengan kepandaianmu tentang pengobatan!"

Setelah berkata demikian, Hoa Hoa Cinjin bersiap untuk melakukan penyerangan. Kakek bertopi itu yang bukan lain adalah Yok-ong Phoa Kok Tee, guru Yan Bu dan merupakan seorang tokoh yang aneh dan jarang keluar di dunia kangouw, bersikap tetap sabar.

"Hoa Hoa Cinjin, memang aku sengaja hendak mencoba kepandaianmu. Orang keji macam kau ini kalau tidak dilenyapkan dari muka bumi, hanya akan menimbulkan bencana saja bagi orang baik-­baik."

"Tukang obat sombong, kaulah yang akan mampus!" Hoa Hoa Cinjin mengakhiri seruannya dengan sebuah serangan kilat. Pukulannya mengeluarkan hawa menyambar dahsyat dan melihat warna lengannya itu yang bersemu hijau, tahulah Yok-ong Phoa Kok Tee bahwa lawannya itu telah mempergunakan Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) yang amat berbahaya.

Namun ia tidak menjadi gentar karenanya. Untuk menghadapi Cheng-tok-ciang lawan, ia lalu menggunakan ilmu totoknya yang paling lihai, yaitu yang disebut It-yang-ci. Raja Obat ini sudah melatih diri dengan ilmu ini puluhan tahun lamanya. Tidak saja totokan satu jari ini dapat dipergunakan untuk mengobati orang-orang terluka dalam, akan tetapi juga dapat dipergunakan dalam pertempuran sebagai ilmu yang dahsyat. Hawa totokannya saja cukup untuk merobohkan orang, sehingga ilmu ini memang tepat untuk menghadapi Cheng-tok-ciang yang berbahaya.

Pertempuran berlangsung dengan hebat, keduanya mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian. Diam-diam Hoa Hoa Cinjin kagum sekali melihat lawannya. Baru kali ini ia menghadapi lawan yang amat tangguh, dan Ilmu Totok It-yang-ci yang sudah lama ia dengar itu, baru sekarang ia buktikan kelihaiannya.

Di lain pihak, Phoa Kok Tee juga amat kagum. Pukulan-pukulan yang dilancarkan oleh Hoa Hoa Cinjin mengandung tenaga mukjizat yang sukar ia lawan. Dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, baru ia dapat mengimbangi saikong itu.

Lanjut ke jilid 038 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment