Ads

Saturday, September 1, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 038

◄◄◄◄ Kembali

Sementara itu, di tempat sembunyinya Han Sin menonton pertempuran. Ingin ia muncul dan membantu kakek bertopi. Ia maklum bahwa Hoa Hoa Cinjin jahat, akan tetapi ia tidak mengenal kakek bertopi, bagaimana ia bisa membantu? Siapa tahu kakek bertopi itupun bukan manusia baik­-baik?

Pada saat itu, pertempuran sudah mencapai puncaknya dan keduanya sudah mengeluarkan pukulan­-pukulan maut yang kalau mengenai lawan tentu akan mendatangkan bencana hebat. Melihat ini, Han Sin menjadi tidak tega juga. la tidak dapat mendiamkan saja dua orang berkepandaian tinggi hendak saling bunuh. Dari sambaran-sambaran angin pukulan kedua fihak, sebagai seorang ahli dia sudah tahu akan bahayanya pertempuran itu. Maka ia lalu melangkah keluar dari tempat sembunyinya, langsung menghampiri tempat pertempuran dan membentang kedua lengan di tengah-tengah antara mereka.

"Hoa Hoa Cinjin, di mana-mana kau hendak membunuh orang? Bagus!"

Hoa Hoa Cinjin dan Phoa Kok Tee kaget setengah mati ketika tiba-tiba mereka merasa tubuh mereka terpental mundur, tertolak oleh tenaga dahsyat sekali namun tidak merupakan dorongan yang berbahaya, hanya bertenaga kuat. Melihat bahwa yang datang adalah Han Sin, hampir Hoa Hoa Cinjin melompat dan menangkapnya. Namun ia cerdik.

Menghadapi Phoa Kok Tee saja sukar baginya mencari kemenangan, apa lagi sekarang ada pemuda aneh. Siapa tahu kalau-kalau pemuda aneh ini benar-benar telah memiliki kepandaian tinggi? Tiba-­tiba ia mendapat akal baik. Sebagai tokoh kang-ouw tentu si tukang obat juga ingin mendengar tentang kitab rahasia Tat Mo Couwsu atau hendak mendapatkannya. Maka ia lalu menegur.

“Kiranya Cia Han Sin! Kau telah menipu kami, setelah memasuki guha kau membawa lari kitab pusaka peninggalan Lie Cu Seng. Ayoh, kembalikan kitab itu!”

Han Sin tertawa. “Kitab memang ada, akan tetapi bukan untuk manusia jahat. Sekarang sudah kubakar, kukirim kembali kepada mendiang Tat Mo Couwsu. Kau mau apa?”

Melihat sikap pemuda ini menantang, Hoa Hoa Cinjin tertegun juga. Ia melirik Phoa Kok Tee, menaksir-naksir apakah si Raja Obat itu akan membantu Han Sin kalau ia menyerang pemuda ini dan menawannya.

“Yok-ong, pemuda ini merampas kitab pusaka, mari kita tangkap dia. Kita bagi bersama kitab itu,” ia memancing.

Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum mengejek. “Tosu jahat, kau kira semua orang sejahat dan seserakah engkau? Tak sudi aku orang tua menghina orang muda.”

Bukan main mendongkolnya hati Hoa Hoa Cinjin. Ia cemberut dan mengebutkan ujung lengan bajunya.

“Sudahlah, dasar kau tua bangka tak tahu diri. Biar lain kali kita lanjutkan pertempuran kita.” Ia lalu berkelebat dan pergi dari tempat itu.

Sementara itu, Phoa Kok Tee sudah amat tertarik ketika melihat munculnya pemuda ini. Ia hanya menduga-duga karena iapun tidak bisa percaya begitu saja kalau pemuda ini tadi telah mengeluarkan ilmunya untuk memisah. Masa sekali membentang lengan bisa membuat dia terhuyung ke belakang?

“Jadi kau bernama Cia Han Sin? Kau putera mendiang Cia Sun?”

Han Sin bersikap waspada. Lagi-lagi orang mengenalnya, apakah juga hendak merampas kitab yang sudah dibakarnya? Ia menjura.

“Betul, locianpwe, aku bernama Cia Han Sin putera Cia Sun. Aku mendengar tadi kau orang tua menyebut bahwa Phang Yan Bu adalah muridmu. Dia seorang yang amat baik, sayang ibunya galak sekali .......”

Yok-ong tertawa. "Akupun mendengar namamu dari mereka."

Han Sin teringat akan peristiwa ketika anak dan ibu itu diserang Hoa Hoa Cinjin, maka ia segera bertanya,

"Bagaimana dengan keadaan nyonya tua itu? Apakah lukanya akibat pukulan Hoa Hoa Cinjin sudah sembuh?"

Yok-ong menggeleng kepala. "Marilah kau ikut denganku. Ang-jiu Toanio tak tertolong lagi dan ia berpesan kalau aku bertemu denganmu, supaya membawamu kepadanya."

"Memanggil aku? Ada apakah?"

"Entah, urusan penting katanya. Mengenai adikmu. Ayoh lekas, atau kau tidak mau memenuhi permintaan orang yang sudah hampir mati?"

"Tentu saja aku mau!" Cepat Han Sin menjawab, apa lagi karena urusan itu mengenai diri adiknya. Ada urusan apakah? Jangan-jangan Bi Eng tidak berada di kota raja, siapa tahu sudah berada bersama Yan Bu!

Phoa Kok Tee cepat meloncat dan lari setelah menyambar pikulannya. Mula-mula ia berlari agak lambat karena takut pemuda itu tertinggal. Akan tetapi, ia melihat Han Sin dengan mudah dapat mengimbangi kecepatannya, maka ia lalu menambah kecepatan.
Ketika menoleh dan melihat Han Sin masih berada di dekatnya, kakek ini mulai terheran-heran dan mengerahkan semua tenaga dan ginkangnya untuk berlari secepat terbang melalui jurang-jurang dan bukit. Akan tetapi, ketika ia melirik, ia melihat pemuda itu dengan enaknya masih berada dekat di belakangnya. Kagetlah Yok-ong dan mulai ia mengerti bahwa keturunan orang-orang gagah di Min­san ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi!

Dua orang itu berlari cepat sekali menuruni Bukit Tai-hang-san di sebelah timur dan beberapa jam kemudian Phoa Kok Tee membawa Han Sin masuk ke dalam sebuah hutan kecil yang penuh bunga. Di tengah hutan terdapat sebuah pondok bambu dan keadaan di situ amat indah. Tanaman daun-­daun obat dan bunga-bunga memenuhi tempat itu, burung-burung berkicau di udara dan keadaan yang sunyi dan menyenangkan ini benar-benar amat mengamankan hati.

Ketika mereka memasuki pintu pondok, Han Sin melihat Yan Bu duduk bertopang dagu, nampaknya sedih benar. Pemuda ini mengangkat muka dan girang rnelihat gurunya datang bersama Han Sin. Juga Han Sin girang dan segera menegurnya,

"Saudara yang baik, kau telah berlaku baik sekali kepadaku dan kepada adikku. Baru sekarang aku sempat bertemu dan bercakap denganmu. Terima kasih atas semua kebaikanmu dahulu."

Yan Bu terpaksa mengusir kemuraman wajahnya dan menjawab sederhana, "Jangan berlaku sungkan, saudara Cia. Ibu ingin sekali bertemu dan bicara denganmu. Kau sudah mau datang ini saja menandakan kebaikan hatimu."

Phoa Kok Tee dan Yan Bu mengajak Han Sin memasuki sebuah kamar bersih di sebelah kiri dan di atas sebuah pembaringan kelihatan Ang-jiu Toanio berbaring. Keadaannya payah dan lemah sekali, wajahnya kurus dan pucat. Nyonya tua ini kehilangan kegarangannya dan sekarang dengan lemah ia menoleh, memandang kepada Han Sin yang datang bersama Yan Bu dan Phoa Kok Tee. Untuk sesaat sepasang matanya bersinar seperti orang mau marah, akan tetapi hanya sedetik dan lenyap kembali sinar itu.

“Kau ...... kau putera Cia Sun ....” katanya perlahan.

Han Sin memberi hormat dan tidak tahu harus bicara apa. Maka ia hanya berkata perlahan,

“Menyesal sekali toanio dilukai orang jahat tanpa dapat menolong, kuharap saja toanio segera sembuh kembali.”

“Orang muda, sebelum aku mati .... aku hendak bertanya padamu. Siapakah gadis yang selalu kau sebut sebagai adikmu itu? Yang bernama Cia Bi Eng itu?”

Han Sin tertegun, bingung oleh pertanyaan itu. “Apa maksudmu, toanio? Bi Eng adalah adik kandungku.”

Ang-jiu Toanio menggeleng-geleng kepalanya, nampak tidak sabar. “Bukan, sama sekali bukan. Dia bukan adikmu, juga bukan anakku ...... Ahhhhh, apa yang terjadi dengan anakku ....?” Dan nyonya itu menangis!

Han Sin merasa jantungnya berdebar. Ia mengerti bahwa diwaktu mudanya, nyonya ini mempunyai urusan dengan orang tuanya, buktinya dahulu uwak Lui disaat kematiannya memperingatkan kepadanya supaya berhati-hati terhadap orang yang bernama Ang-jiu Toanio!

“Toanio, apa maksudmu? Bi Eng itu adikku ......” jawabnya bingung.

“Katakan, apakah di dekat telinga adikmu itu ada tanda tahi lalat merah?”

Makin berdebar hati Han Sin. Juga dulu uwak Lui menyebut-nyebut tentang gadis bertahi lalat merah dekat telinga dan gadis bertahi lalat di mata kaki kiri! Ia masih ingat akan pesan semua itu baik-baik.

“Tidak toanio, tidak ada tanda itu pada diri Bi Eng.”

Ang-jiu Toanio menarik napas panjang. “Apa kataku, dia bukan anakku ....”

“Tentu saja bukan, toanio. Dia adikku, anak ayah dan ibuku .....”

“Bodoh! Kau tahu apa? Kau dengar baik-baik! Karena dulu tidak berhasil membalas dendam terhadap ayahmu, aku lalu menukarkan anakku dengan anak ayah ibumu. Celakanya, anakku itu kiranya sudah ditukar orang pula .... ah, celaka. Apa yang terjadi dengan anak perempuanku ......?”

Han Sin menjadi pucat. Jadi Bi Eng yang selama ini dianggap adiknya, orang satu-satunya di dunia ini yang dicintainya, sebenarnya bukan adik kandungnya?

“Kalau begitu, di mana adikku yang telah kauculik itu?” tanyanya agak ketus karena ia merasa akan perbuatan Ang-jiu Toanio yang dianggapnya keji itu.

“Dia telah dirampas seorang Mongol gundul yang memelihara harimau .... katanya hendak dijadikan mangsa harimau .......!”

“Kau keji ......!”

Ang-jiu Toanio tersenyum lemah. “Pembalasan terhadap ayahmu. Perbuatan yang keliru. Susiok telah menginsyafkanku. Banyak penderitaan kurasakan setelah itu, aku .... aku rindu kepadamu anakku. Ah, kenapa kulakukan hal gila itu? Kemana sekarang anakku .......?”

Han Sin merasa kasihan sekali, akan tetapi juga hatinya sendiri tak karuan rasanya. Bi Eng bukan adiknya! Bagaimana mungkin ini?

“Anak Cia Sun, adikmu itu, ada tahi lalat di kaki kirinya, dan anakku ..... anakku yang mungil ..... ada tanda merah di dekat telinga. Ah, anakku .... anakku .....!” Ang-jiu Toanio lalu menangis sedih dan tak dapat bicara lagi.

Tiba-tiba wajah Han Sin menjadi merah dan sepasang matanya yang bersinar tajam itu mengeluarkan cahaya kilat. Ia melangkah maju dan berkata,

“Kalau begitu, kaulah orangnya yang membunuh ayah bundaku, kemudian menukarkan anakmu dengan adikku!”

Mendengar ucapan ini, wajah Yan Bu menjadi pucat, akan tetapi Ang-jiu Toanio yang menangis, sekarang mengangkat mukanya dan mendadak tertawa.

“Hi hi hi, sayang sekali bukan aku! Ketika malam itu aku datang ke kamarnya, dia dan isterinya sudah mati. Aku lalu menukarkan anak untuk memberikan pembalasan terakhir, tapi .... tapi ..... ah, anakku ......!” Kembali nyonya ini menangis dan kini mukanya membayangkan warna kehijauan.

Yok-ong Phoa Kok Tee melangkah maju melihat ini, lalu ia memegang nadi tangan Ang-jiu Toanio yang kelihatan lemas, kemudian menggeleng kepalanya.

“Saudara Cia, harap kau suka keluar. Dia sudah terlalu lelah dan racun hijau makin menjalar, kasihanilah dia .....”

Yan Bu menahan isak dan menubruk kaki ibunya. Sebetulnya Han Sin masih ingin bertanya kepada nyonya itu siapa pembunuh ayah bundanya, akan tetapi melihat keadaan Ang-jiu Toanio, ia tidak tega mendesak lagi, lalu ia keluar dari kamar.

Ternyata Ang-jiu Toanio tidak dapat lama lagi bertahan. Beberapa jam kemudian nyonya ini menarik napas terakhir dalam pelukan puteranya, Phang Yan Bu. Ketika Yok-ong dan Yan Bu keluar dari kamar itu, ternyata Han Sin sudah tidak kelihatan bayangannya lagi. Pemuda ini sudah lama pergi dari situ, sebelum Ang-jiu Toanio meninggal.

****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment