Ads

Saturday, September 1, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 039

◄◄◄◄ Kembali

Thio-ciangkun, perwira she Thio yang mendapat kedudukan tinggi dalam pemerintahan Mancu, marah-marah kepada dua orang puterinya. Pembesar ini merasa malu sekali ketika menerima dua orang puterinya, Li Hoa dan Li Goat, yang diantar oleh Tung-hai Siang-mo sebagai utusan Bhok-­kongcu. Setelah Tung-hai Siang-mo pergi membawa Bi Eng untuk menahan gadis ini di gedung Bhok-kongcu, Thio-ciangkun lalu marah-marah kepada dua orang puterinya.

“Kalian ini benar-benar membikin malu orang tua!” bentak pembesar itu setelah puas memaki-­maki. “Ayahmu dikenal sebagai seorang petugas yang setia, sekarang kau rusak namaku dengan perbuatan-perbuatan yang tak tahu malu. Dengan menentang Bhok-kongcu dan membantu musuh, bukankah berarti kalian ini menjadi pembantu para pemberontak? Hemm, anak-anak macam apa kalian ini?”

Li Hoa dan Li Goat berdiri tegak di depan ayah mereka, sama sekali tidak takut. Memang dua orang gadis ini semenjak kecil dimanja, maka mereka tidak takut biarpun ayah mereka marah besar. Selain ini, memang mereka mempunyai pendirian sendiri dan kini dengan penuh semangat Li Hoa menjawab,

“Ayah, yang anak berdua tentang adalah orang-orang Mongol yang mengabdi kepada pemerintah penjajah. Yang anak berdua bela adalah orang-orang Han yang tertindas!”

Merah wajah pembesar itu dan ia membanting kakinya. “Keparat, dengan lain kata kau hendak memaki ayahmu yang membantu pemerintah baru? Setan, memang aku membantu pemerintah baru, karena kuanggap pemerintah Mancu bijaksana. Kau tahu apa tentang pemerintahan? Ketika negara berada di tangan bangsa Han sendiri, keadaan kacau balau, pertahanan lemah dan rakyat sengsara. Lihat sekarang, perubahan terjadi dan kaisar yang bijaksana telah membangun pemerintahan yang kuat dan sanggup membikin makmur rakyat. Beras siapa yang kau makan setiap hari dan pakaian dari mana yang kalian pakai? Semua dari hasilku mengabdi kepada pemerintah baru. Dan sekarang kau mencela ayahmu?”

Li Hoa menjadi pucat mukanya, matanya berkilat ketika ia menghadapi ayahnya dan berkata keras.

“Ayah! Bagaimana seorang Han bisa bicara seperti ayah? Bagi aku, lebih baik miskin dari pada menjadi penjilat penjajah!”

“Enci Li Hoa berkata benar, ayah. Betapapun juga bangsa yang terjajah merupakan bangsa yang rendah dan terhina. Di samping enci Hoa, akupun rela mengorbankan nyawa untuk membela tanah air dari cengkeraman penjajah!” kata Li Goat, penuh semangat pula.

Kalau orang luar mendengarkan ucapan dua orang gadis ini, tentu mereka akan menjadi heran dan tak percaya. Siapa bisa percaya ucapan-ucapan seperti itu keluar dari mulut dua orang puteri dari Thio-ciangkun yang terkenal sebagai pembasmi kaum pemberontak, sebagai pembesar setia dari pemerintah Mancu!

“Anak-anak setan .....!” Thio-ciangkun membanting cawan araknya sampai hancur di atas lantai. Kemarahannya memuncak dan sudah gatal-gatal tangannya untuk menampar kedua orang anaknya yang ia sayang itu. Pada saat itu, tiba-tiba dari pintu dalam terdengar suara wanita bersajak halus merdu suaranya.

“Biarpun sangkar diselaput emas Sangkar tetap mengurung! Biarpun belenggu dihias mutiara Belenggu tetap mengikat
Patahkan belenggu! Hancurkan sangkar!
Biar darah rakyat bagai api membakar! Biarpun belenggu mutiara Biarpun sangkarnya emas Enyahkan segera! Kami ingin bebas!”

“Ibu .....!”

Li Hoa dan Li Goat menoleh memandang seorang nyonya setengah tua keluar dari pintu itu. Nyonya ini adalah nyonya Thio yang cantik dan lemah lembut, berwajah agak pucat namun sepasang matanya memancarkan semangat berapi-api.

Thio-ciangkun yang tadinya marah-marah, menjadi reda. Ia cemberut dan menjatuhkan dirinya duduk lagi di atas kursinya, lalu menarik napas panjang dan berkata perlahan.

“Hemm, selalu kau yang terlalu memanjakan mereka, yang menjadikan pikiran yang bukan-bukan dalam kepala mereka yang kecil dan tak berotak. Sekarang, sajak apalagi yang kau ucapkan tadi?”

Nyonya itu tersenyum dan dari senyum ini dapat dengan jelas dilihat betapa cantik manisnya ketika ia masih muda. Ia mengambil tempat duduk di samping suaminya, memandang penuh kasih kepada kedua puterinya, lalu berkata kepada suaminya.

”SUAMIKU, ucapan anak-anak kita tadi memang benar belaka. Coba kautanyakan kepada burung-­burung dalam sangkar. Biarpun kau mengurungnya dalam sangkar emas yang indah dan mahal, biarpun setiap hari kau memberinya makan minum secukupnya, biarpun setiap saat kau memuji-­mujinya dengan muka manis seperti yang dilakukan setiap penjajah kepada rakyat jajahannya, tetap saja burung-burung di dalam sangkar itu ingin bebas merdeka. Demikian pula rakyat. Kemakmuran duniawi yang bagaimana hebatpun yang bisa didatangkan oleh kaum penjajah kepada bangsa terjajah, tetap saja tak dapat melenyapkan hasrat untuk merdeka. Apa sih enaknya dilolohi makanan lezat, diselimuti pakaian mahal, oleh bangsa lain yang menginjak-injak tanah air dan bangsa? Anak-­anakmu lebih benar .......” Nyonya itu lalu bernapas panjang, nampaknya sedih sekali.

"Habis kau mau suruh aku bagaimana? Suruh aku menyerahkan kepalaku untuk dipenggal sebagai pemberontak? Apa kalian ibu dan anak sudah begitu ingin melihat aku mampus?“ akhirnya Thio­ciangkun berkata penuh kejengkelan. Ia merasa diperlakukan tidak adil oleh isteri dan anak-­anaknya. la sudah bekerja keras, merebut pangkat, semua ini untuk menyenangkan anak-isterinya.

la tahu bahwa isterinya dahulu adalah puteri seorang patriot pengikut Lie Cu Seng dan tahu bahwa isterinya adalah seorang gadis pejuang. Akan tetapi karena cinta, ia mengawininya juga dan ternyata sekarang isterinya itu menurunkan semangat kepatriotan itu kepada dua orang anaknya!

"Tidak, ayah. Kami hanya ingin melihat ayah insyaf dan meninggalkan kedudukan ini, meninggalkan pemerintah penjajah," kata Li Hoa dengan berani.

"Huh, bicara sih gampang. Ayoh masuk ke sana."

"Ayah ada satu hal lagi," kata Li Hoa. "Bhok-kongcu telah menawan seorang gadis bernama Cia Bi Eng dan sekarang dia dibawa oleh dua orang iblis tadi ke gedung Bhok-kongcu. Dia itu kawan baik kami, ayah. Penangkapan itupun bermaksud keji. Harap sudi menolongnya."

"Dia itu gadis pemberontak?" tanya Thio-ciangkun.

"Pemberontak atau bukan, melihat seorang gadis baik-baik dalam cengkeraman si keji Bhok, kau harus berusaha menolongnya," kata nyonya Thio-ciangkun dengan suara tetap.

"Sudahlah, sudahlah akan kudayakan."

Percakapan ini ternyata telah menolong Bi Eng. Karena terdesak oleh isterinya yang amat dicintainya dan yang selalu membela anak-anaknya, Thio-ciangkun lalu menemui seorang yang amat dihormatnya, seorang pangeran yang selalu menjadi tempat ia bermohon, seorang yang dianggapnya arif bijaksana dan karenanya membuat Thio-ciangkun rela menjadi abdi pemerintah Mancu.

Pangeran ini adalah putera kaisar dari seorang selir Bangsa Han. Namanya juga nama Han dan berjuluk Pangeran Yong Tee. Pangeran ini paling pandai menyesuaikan diri dengan Bangsa Han, malah tak sedikitpun ada tanda bahwa dia berdarah Mancu. Wajahnya tampan, seorang ahli sastera dan nasehat-nasehatnya dalam pemerintahan banyak mendatangkan kemajuan dalam pekerjaan ayahnya, Kaisar dari Mancu.

Kesukaan Pangeran Yong Tee adalah berdandan sebagai seorang rakyat kecil dan melakukan perjalanan seorang diri, keluar masuk kampung dan mempelajari perikehidupan rakyat jelata. Sesungguhnya kebaikan-kebaikan yang diperlihatkan oleh Pangeran Yong Tee inilah yang menarik hati Thio-ciangkun, membuat perwira ini berkesan baik terhadap pemerintah Ceng yang dipimpin oleh orang-orang Mancu itu.

Ketika Pangeran Yong Tee mendengar permohonan Thio-ciangkun untuk menolong seorang gadis sahabat anak-anaknya yang ditawan oleh Bhok-kongcu, segera pangeran ini memenuhi permintaannya. Dengan sepucuk surat pendek saja, para petugas di rumah gedung Bhok-kongcu tak berani membantah dan segera mengirim Bi Eng ke istana Pangeran Yong Tee!

"Kalau Bhok-kongcu pulang, tentu terjadi hal-hal tidak enak antara dia dan aku," kata kemudian Thio-ciangkun kepada dua orang puterinya. "Semua ini gara-gara kalian berdua. Maka lebih baik kalian pergi kepada suhu kalian, jangan berada di kota raja untuk sementara waktu agar tidak terjadi hal-hal yang tidak baik."

"Aku tidak mau pergi kepada suhu, ayah. Suhu juga hanya seorang kaki tangan Bhok-kongcu, tentu suhu akan marah kepada kami. Kami akan pergi dari kota raja dan akan membantu para patriot yang berusaha mengusir penjajah."

"Setan! Kau akan menjadi lawan ayahmu sendiri?"

"Bukan ayah yang kami lawan, melainkan penjajah!" Dengan kata-kata ini, Li Hoa dan adiknya, Li Goat, lalu berpamit kepada ibu mereka dan pergi meninggalkan kota raja lagi. Memang dua orang gadis ini jarang berada di kota raja. Kembalinya mereka ke situ hanya karena terpaksa dan tak berdaya menghadapi Tung-hai Siang-mo yang mengawal mereka sebagai tahanan-tahanan. Juga kalau dahulu dua orang gadis ini membantu ayah mereka, itu hanyalah ketika mereka masih muda dan semangat yang sejak kecil ditanam dalam hati mereka oleh Nyonya Thio, belum berkobar seperti sekarang setelah mereka banyak berhubungan dengan para patriot.

****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment