Ads

Saturday, September 1, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 040

◄◄◄◄ Kembali

Kita kembali kepada Han Sin yang meninggalkan tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee. Hatinya tidak karuan ketika mendengarkan pengakuan Ang-jiu Toanio. Bi Eng bukan adiknya! Hebat kenyataan ini, membuat hatinya berdebar dan perasaannya penuh diliputi kedukaan. Adiknya sendiri mempunyai tahi lalat di mata kaki, sedangkan puteri Ang-jiu Toanio mempunyai tahi lalat di dekat telinga, tahi lalat merah.

Ah, di mana adanya adiknya yang sesungguhnya? Di mana pula puteri Ang-jiu Toanio dan persoalan terbesar yang dihadapinya sekarang ialah siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng? Anak siapa? Mengapa bisa berada bersama dia? Siapa yang menukar anak Ang-jiu Toanio dengan anak yang sekarang menjadi Bi Eng, adiknya yang cantik manis, mungil lucu dan yang ia cinta dengan sepenuh hatinya itu? Semua pertanyaan ini berputaran dalam otaknya ketika pemuda ini melanjutkan perjalanannya ke kota raja.

Betapapun juga, yang terpenting sekarang ialah bahwa dia harus menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu. la harus tolong Bi Eng, tak perduli gadis itu adik kandungnya sendiri atau bukan! Dia sayang Bi Eng, dia cinta gadis itu, orang satu-satunya di dunia yang dikasihinya. Adik sendiri atau bukan, ia tetap mencinta Bi Eng. Tiba-tiba jantungnya berdebar aneh. Bagaimana kalau dia kelak mengetahui bahwa mereka bukan saudara kandung? Bahwa mereka sebetulnya tidak ada sangkutan kekeluargaan apa-apa?

"Tak perlu kuberi tahu kepadanya, tak perlu," demikian ia mengambil keputusan, khawatir kalau-­kalau berita itu akan membuat Bi Eng berubah sikap kepadanya.

Karena ingin segera mencari Bi Eng di kota raja, dengan melakukan perjalanan cepat, Han Sin turun gunung dan terus menuju ke timur. Beberapa hari kemudian ia telah tiba di sebelah barat tembok kota, di sebuah dusun kecil yang ramai. Dari jauh ia mendengar suara ribut-ribut, tanda bahwa di dalam dusun itu terjadi pertempuran.

la mempercepat langkahnya dan segera ia melihat seorang tosu setengah tua yang bertubuh tinggi besar memimpin empat kawannya menghadapi dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu Mancu. Segera Han Sin mengenal bahwa lima orang tosu itu adalah tosu-tosu Cin-ling-pai, yang memimpin adalah Hee Tojin, seorang di antara Cin-ling Sam-eng, sedangkan empat orang kawannya adalah tosu-tosu Cin-ling-pai gelung tiga.

Adapun dua orang tosu tua yang memimpin sepasukan serdadu penjajah itu bukan lain adalah dua orang pentolan Cin-ling-pai sendiri, yaitu It Cin Cu dan Ji Cin Cu! Tak jauh dari situ menggeletak dua mayat manusia yang ternyata adalah Hap Tojin dan Tee Tojin, dua orang di antara Cin-ling Sam-eng.

"Hee-sute apakah kau tidak mau menyerah? Apakah kau tetap hendak membangkang terhadap perintah suheng-suheng yang menjadi pengganti gurumu?"

Hee Tojin menjadi merah sekali mukanya, matanya melotot merah dan suaranya menggeledek ketika ia membantah, setelah menoleh ke arah dua orang mayat yang membujur di situ.

"Dua orang suhengku yang sudah gugur ini jauh lebih mulia dari pada kalian, dua orang pengkhianat tak tahu malu. Siapa sudi mengaku kalian sebagai pengganti suhu? Cih, mau bunuh boleh bunuh, siapa takut mampus?"

It Cin Cu biasanya paling suka kepada Hee Tojin, maka dengan suara sabar ia mencoba membujuk,

"Hee-sute, apa kau lupa akan hubungan kita sebagai saudara seperguruan? Insyaflah bahwa aku dan Ji-suhengmu ini telah mengambil keputusan setelah memikirkannya masak-masak. Pemerintah baru adalah bijaksana, dan demi keselamatan Cin-ling-pai, kau harus mengajak semua sute dan murid untuk membangun kembali Cin-ling-pai dan menaluk kepada pemerintah. Hee-sute, jangan membuat kami menjadi serba susah dan terpaksa turun tangan terhadapmu."

Hee Tojin mengangkat dada dan tongkat di tangannya tergetar. "Apakah kalian lupa akan ajaran suhu? Seorang gagah, lebih baik mati berdiri dengan senjata di tangan dari pada hidup bertekuk lutut di depan penjajah! Lebih baik kalian yang cepat-cepat insyaf bahwa amat memalukan bagi seorang gagah untuk mengkhianati tanah air dan bangsa sendiri, amat rendah untuk membantu penjajah. It Cin Cu dan Ji Cin Cu, di mana jiwa satria kalian? Sudi menjadi anjing-anjing penjilat?"

It Cin Cu marah sekali. "Setan bermulut busuk! Kaulah yang lupa akan ajaran-ajaran mendiang suhu! Bukankah setiap murid sudah bersumpah untuk menjunjung semua perintah ketua Cin-ling­pai? Setelah suhu meninggal, pinto yang menjadi penggantinya. Pinto yang menjadi ketua Cin-ling­pai. Apakah kau masih hendak membangkang?" Berkata demikian, It Cin Cu mencabut pedangnya dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Hee Tojin memandang ragu. Dia memang seorang yang amat jujur dan setia, maka ucapan ini benar-benar meragukan hatinya. Memang, menurut peraturan Cin-ling-pai, seorang murid harus pertama-tama mentaati perintah ketua, biarpun harus berkorban nyawa untuk perintah itu.

Setelah Giok Thian Cin Cu meninggal dunia, memang tak dapat disangkal pula bahwa It Cin Cu sebagai murid tertua yang menjadi penggantinya. Apa yang harus ia perbuat? Tiba-tiba dua orang di antara tosu-tosu gelung tiga itu sudah menjatuhkan diri berlutut di depan It Cin Cu dan berkata,

"Teecu berdua tidak berani membantah perintah ketua."

Menyaksikan semua ini, bukan main mendongkolnya hati Han Sin. Pemuda ini teringat akan pesan terakhir dari Giok Thian Cin Cu. Pesan itu selain menugaskan dia memimpin Cin-ling-pai, juga mewariskan ilmu pedang dan terutama sekali pesan agar supaya dia bisa menjaga jangan sampai Cin-ling-pai diselewengkan dan menjadi partai pengkhianat nusa bangsa!

Sekarang tiba saatnya. Sudah terang-terangan It Cin Cu dan Ji Cin Cu menjadi anjing penjilat penjajah dan malah mencoba untuk membujuk sute-sutenya dan murid-murid Cin-ling-pai supaya menaluk kepada pemerintah Mancu. Han Sin melompat keluar dari tempat sembunyinya dan berkata nyaring,

"It Cin Cu, kau benar-benar murid Cin-ling-pai yang murtad dan seorang rakyat yang berkhianat!"

Semua orang menengok dan tercengang ketika mengenal siapa yang bicara ini. Han Sin sebaliknya lalu menjura ke arah Hee Tojin dan berkata,

"Totiang patut dicontoh dan diberi hormat. Totiang benar-benar seorang gagah dan patriot yang sejati."

Ji Cin Cu dengan mulut tetap melengeh seperti dulu, menjadi marah sekali melihat Han Sin bersikap dan berkata demikian. la melangkah maju dan membentak, "Eh, kau ini pengacau cilik, mau apa?"

Han Sin kini menghadapi dua orang tosu tua itu dan tersenyum mengejek. "Mendiang Giok Thian Cin Cu memang berpemandangan tajam, agaknya beliau sudah menduga bahwa sepeninggal beliau, akan ada murid-murid murtad seperti kalian. Karena itu beliau mengangkat aku sebagai penggantinya untuk menyelamatkan Cin-ling-pai. Eh, para tosu Cin-ling-pai, aku Cia Han Sin menjadi pelindung Cin-ling-pai dan ahli waris Giok Thian Cin Cu. Inilah buktinya!" Cepat tangannya bergerak dan tahu-tahu sebatang pedang yang tajam berkilau telah berada di tangannya.

“Im-yang-kiam......!" seru Hee Tojin dan bersama empat orang sutenya ia lalu berlutut. "Menanti petunjuk pangcu (ketua).......”

"Kau telah mencuri Im-yang-kiam! Jangan bodoh, dia bohong. Dia mencuri pedang pusaka partai kita!" kata It Cin Cu marah. Ucapan ini kembali membuat Hee Tojin dan kawan-kawannya menjadi ragu-ragu.

"Pedang memang bisa dicuri, akan tetapi ilmu silat tidak. Lihat, bukankah ini ilmu silat Cin-ling­pai? Aku telah mewarisinya dari suhu Giok Thian Cin Cu." Han Sin lalu menggerakkan pedangnya, dengan cepat berturut-turut ia mainkan ilmu Silat Im-yang-kun dan Cin-ling-kun. Hee Tojin tentu saja mengenal ilmu silat ini dan ia memandang kagum, keraguannya melenyap.

Juga It Cin Cu dan Ji Cin Cu kaget setengah mati. Bagaimana suhu mereka dapat menurunkan ilmu silat dan pedang pada pemuda itu? Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda ini hendak merusak tugas mereka, It Cin Cu lalu berseru,

"Kalau betul kau mewarisi ilmu dari suhu, coba kaukalahkan pinto!" Berkata demikian, ia lalu menyerbu dengan pedang dan tongkatnya. Juga Ji Cin Cu yang melihat betapa gangguan pemuda ini membahayakan kedudukannya, lalu menyerang pula.

"Curang.....!” Hee Tojin berseru. "Masa dua orang tua bangka mengeroyok seorang bocah?" Tentu saja Hee Tojin yang tidak tahu bahwa Han Sin sudah memiliki ilmu tinggi, merasa kuatir akan keselamatannya.

Akan tetapi Han Sin berseru, "It Cin Cu dan Ji Cin Cu, kalian benar-benar sudah buta. Kalau masih tidak percaya, lihat dengan gerakan-gerakan apa aku sekarang menghadapi kalian.”

Setelah berkata demikian, tanpa bergerak dari tempatnya berdiri dia menggerakkan pedang Im-yang-kiam secara aneh dan tahu-tahu sinar pedang telah gemerlapan membentur dan menangkis serangan dua orang tosu itu. Inilah ilmu pedang hebat yang ia warisi dari Giok Thian Cin Cu, yaitu Lo-hai Hui-kiam.

"Lo-hai Hui-kiam .....!" It Cin Cu dan Ji Cin Cu berseru kaget. Mereka hanya sedikit sekali tahu tentang ilmu pedang aneh ini, akan tetapi melihat gerakan dan sinar pedang itu, tahulah mereka dan hal ini benar-benar membuat keringat dingin mengucur dari jidat mereka.

Adapun Hee Tojin yang melihat gerakan ini dan mendengar bahwa pemuda itu malah mahir bermain pedang Lo-hai Hui-kiam yang menjadi ilmu ciptaan mendiang Giok Thian Cin Cu, makin kagum dan yakin akan kebenaran pengakuan pemuda itu. Melihat betapa para kaki tangan dua tosu itu, serdadu-serdadu Mancu maju hendak mengeroyok Han Sin, Hee Tojin lalu berseru nyaring dan bersama sute-sutenya lalu menyerbu maju menyerang para serdadu musuh!

Pertempuran antara Han Sin menghadapi dua orang tosu tua itu berjalan sebentar saja. Dengan Lo­hai Hui-kiam, dua orang tosu itu tidak berdaya. Sebelum mereka tahu bagaimana harus menghadapi ilmu pedang yang bersinar seperti halilintar menyambar-nyambar itu, keduanya sudah roboh dengan pundak terluka dan tak mampu bangun kembali.

Sementara itu, para serdadu Mancu itu mana kuat menghadapi Hee Tojin dan sute-sutenya, murid-­murid tingkat dua dan tiga dari Cin-ling-pai? Hampir berbareng dengan robohnya It Cin Cu, para serdadu itupun roboh seorang demi seorang dan akhirnya tak seorangpun tertinggal hidup.

Han Sin mengeraskan hati dan berdiri di pinggiran melihat bagaimana Hee Tojin dengan pedangnya sendiri membunuh It Cin Cu dan Ji Cin Cu.

Pemuda ini diam-diam menaruh kasihan dan tidak tega melihat pembunuhan, namun setelah hatinya berkeras dan semangat kepatriotannya bangkit, ia dapat membenarkan pembunuhan itu. Memang, orang-orang berjiwa pengkhianat seperti dua orang tosu tertua dari Cin-ling-pai itu, sudah sepatutnya dibunuh, bahkan perlu sekali dilenyapkan dari muka bumi karena amat berbahaya bagi keselamatan nusa bangsa.

Hee Tojin bersama empat orang sutenya lalu serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan Han Sin. Hee Tojin berkata, "Kami berlima mengucapkan syukur bahwa mendiang suhu telah mengangkat taihiap sebagai ahli waris. Mulai saat ini, kami semua murid Cin-ling-pai taat kepada petunjuk taihiap."

Han Sin cepat melangkah maju dan mengangkat bangun lima orang tosu itu. Hebatnya bagi para tosu itu, begitu pemuda ini menyentuh pundak mereka, otomatis mereka berdiri karena ada tenaga luar biasa yang memaksa mereka bangun kembali!

"Cu-wi totiang jangan berlaku sungkan terhadap orang sendiri. Biarpun aku telah menjadi ahli waris suhu Giok Thian Cin Cu, tidak seharusnya cu-wi mengangkatku setinggi itu. Tugas kita adalah sama, yakni mempertahankan nusa bangsa dan menolongnya dari cengkeraman penjajah. Marilah kita berjuang bersama. Karena sebetulnya aku hanya kebetulan menjadi murid suhu, tidak berhak aku untuk mengaku menjadi orang Cin-ling-pai. Maka biarlah sekarang kuberikan pedang pusaka ini kepada Hee Tojin dan selanjutnya kuharap Hee Tojin suka menggantikan mendiang suhu untuk memimpin Cin-ling-pai. Aku hanya berdiri di luar sebagai pengawas dan pembantu belaka. Kembali tentang perjuangan, kuharap Hee Tojin suka mengumpulkan semua murid Cin-ling-pai dan memimpinnya untuk menentang pemerintahan Mancu. Sebaliknya totiang jangan menentang secara terang-terangan karena fihak musuh amat kuat. Berjuanglah dengan sembunyi-sembunyi, menyerang bagian-bagian yang terjaga lemah. Lebih baik lagi kalau totiang dan kawan-kawan menggabungkan diri dengan para pejuang lain, di antaranya dapat kuperkenalkan Sin-yang Kai­pang yang dipimpin oleh pangcunya bernama Kui Kong yang amat patriotik. Kurasa semua anak murid yang berada di bawah bimbingan Ciu-ong Mo-kai, pasti termasuk pejuang patriotik, dan boleh dijadikan kawan seperjuangan.”

Hee Tojin menerima pedang dengan ucapan terima kasih. Setelah memberi penjelasan itu, Han Sin lalu minta supaya para tosu itu mengubur jenasah It Cin Cu dan Ji Cin Cu secara baik-baik, juga kalau masih ada waktu mengubur pula jenasah para serdadu Mancu. Kemudian ia sendiri lalu melanjutkan perjalanan, menuju ke kota raja.

Belum lama ia berjalan melalui jalan yang sunyi, di sebuah persimpangan tiga, dari sebelah kanan datang seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana. Dari pakaiannya dapat diketahui bahwa pemuda itu adalah seorang sasterawan miskin.

Yang amat menarik perhatian Han Sin adalah mata yang bersinar lembut serta senyum yang amat ramah dan manis pada bibir pemuda itu. Pemuda itupun memandang kepadanya dengan tertarik, dan pada saat mereka bersua, pemuda itu cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat dan berkata ramah,

"Maafkan kelancanganku menegur saudara. Apakah saudara hendak pergi ke kota raja?"

Han Sin tersenyum dan balas memberi hormat. "Sudah jamak kalau bertemu di jalan saling menegur. Memang tepat dugaanmu, aku hendak pergi ke kota raja. Tidak tahu loheng (saudara) hendak ke manakah?"

Pemuda itu tertawa dan makin sukalah hati Han Sin terhadapnya. Dari suara ketawanya yang wajar dan tarikan wajah yang tampan dan terang itu dapat ia menduga bahwa pemuda ini seorang yang berwatak halus dan jujur.

"Ucapan kuno menyatakan betapa senangnya bertemu dengan sahabat lama, akan tetapi kiranya tidak kalah senangnya bertemu dengan seorang sahabat baru yang cocok! Saudara yang baik, kebetulan sekali aku sendiripun akan ke kota raja. Apakah kau keberatan kalau kita melakukan perjalanan bersama?"

Sebetulnya Han Sin ingin melakukan perjalanan secepatnya. Jika bersama pemuda ini, tentu saja tak mungkin ia menggunakan ilmu lari cepat. Akan tetapi, untuk menolakpun ia tidak dapat, melihat orang demikian ramah dan baik kepadanya. la tersenyum dan menjawab,

"Tentu saja tidak keberatan, malah senang sekali bertemu dengan loheng."

"Bagus ini namanya sekali bertemu sudah cocok!" Pemuda itu memegang tangan Han Sin yang merasa betapa telapak tangan pemuda ini halus. "Saudara yang baik, aku she Yong bernama Tee, dua puluh empat tahun usiaku dan masih membujang." Kata-katanya amat terbuka dan jujur, menyenangkan hati Han Sin.

"Siauwte bernama Han Sin she Cia, dalam hal usia, lebih muda tiga empat tahun dari padamu."

Yong Tee tertawa lagi dengan girangnya sehingga sinar mata yang ganjil ketika ia mendengar nama Han Sin menjadi tertutup dan tidak terlihat oleh Han Sin.

"Cia-lote, kau benar-benar menyenangkan. Melihat gerak-gerikmu, tentu kau pandai dalam hal kesusasteraan, dan dalam perjalanan ini aku banyak mengharapkan petunjuk darimu."

"Ah, Yong-loheng terlalu merendah. Aku hanya seorang gunung, mana ada kepandaian? Sedikit tulisan ceker ayam aku dapat, mana bisa dibandingan dengan kau orang kota? Akulah yang perlu banyak mendapat petunjukmu, Yong-loheng."

Gembiralah dua orang pemuda itu, bercakap-cakap sambil tertawa-tawa dan melanjutkan perjalanan perlahan-lahan. Tiba-tiba tampak debu mengepul dari depan dan sepasukan serdadu berkuda terdiri dari tiga puluh orang lebih mendatangi cepat dari depan.

"Minggir! Minggir kalau tidak mau diinjak mampus!" teriak serdadu terdepan sambil mengayun cambuknya.

Han Sin sudah melompat ke pinggir, akan tetapi alangkah heran hatinya ketika ia melihat Yong Tee tidak minggir malahan berdiri di tengah jalan sambil bertolak pinggang dan kedua matanya melotot.

"Yong-loheng, kau nanti celaka .....!” kata Han Sin, siap hendak menolong jika sahabat barunya ini benar-benar akan diseruduk kuda.

Akan tetapi, tiba-tiba para penunggang kuda itu serentak menahan kendali kuda, membuat binatang­binatang tunggangan itu berdiri di kaki belakang dan meringkik-ringkik.

"Hai.....! Siapa berdiri di tengah jalan menghalang dan mengacaukan barisan?" bentak suara para serdadu di sebelah belakang.

Serdadu-serdadu di depan tentu saja mengenal siapa adanya yang bukan lain adalah pangeran Yong Tee yang suka melakukan perjalanan menyamar sebagai rakyat biasa. Tentu saja mereka tidak berani menerjang putera junjungan mereka itu. Yong Tee marah sekali dan membentak, sikapnya masih seperti seorang biasa,

"Begitukah sikapnya pasukan yang seharusnya menjaga keamanan? Seperti perampok-perampok ganas? Hemmm, ingin aku mendengar apa yang akan dikatakan Thio-ciangkun tentang anak buahnya ini!"

Seorang serdadu, agaknya pemimpin pasukan itu, buru-buru meloncat turun dari kudanya dan memberi hormat kepada Yong Tee. la maklum akan watak pangeran ini dan ia tidak berani membuka rahasia pangeran ini di depan Han Sin, maka katanya,

"Kongcu yang mulia, harap sudi maafkan kami. Karena kami tergesa-gesa hendak menuju ke dusun di depan, menjalankan perintah Thio-ciangkun untuk menangkap tosu-tosu Cin-ling-pai yang memberontak, maka tadi kawan-­kawan minta kongcu minggir. Harap maafkan dan tidak menyampaikan hal ini kepada ciangkun."

Yong Tee dengan senyum mengejek mengibaskan lengan bajunya yang lebar. "Menjadi tentara harus ramah-ramah terhadap rakyat, jangan mengagulkan diri dan memperlakukan rakyat dengan kasar. Makin buruk sikap tentara terhadap rakyat, akan menjadi makin besarlah pemberontakan-­pemberontakan. Segala kekuatan ada pada rakyat, dan negara baru boleh dikata kuat kalau rakyat seluruhnya mendukungnya dan mencintainya. Dan kalian sebagai alat negara harus menjadi pelopor agar rakyat menaruh cinta kepada negara. Awas, terhadap orang-orang yang kalian katakan memberontak tadipun jangan berlaku sewenang-wenang. Kalau memang betul mereka memberontak, harus ada buktinya dan setelah demikianpun jangan gampang-gampang membunuh orang. Tawan saja agar diperiksa oleh Thio-ciangkun sendiri."

Pemimpin pasukan itu memberi hormat. Yong Tee lalu berjalan pergi menghampiri Han Sin dan mengajak pemuda ini melanjutkan perjalanan. Setelah mereka lewat, barulah rombongan serdadu itu menaiki kuda masing-masing dan melanjutkan perjalanan. Han Sin memandang kawan barunya dengan amat kagum.

"Yong-loheng! Tak kusangka kau sedemikian berpengaruh sampai puluhan orang serdadu tunduk kepadamu."

"Bukan, bukan aku yang berpengaruh, melainkan Thio-ciangkun. Aku kenal Thio-ciangkun yang amat adil dan berdisiplin. Tentu saja mereka takut kalau-kalau aku mengadukan mereka kepada Thio-ciangkun, maka mereka menjadi takut kepadaku. Ha ha, saudara Cia yang baik. Orang-orang macam mereka itu yang kasar-kasar sewaktu-waktu memang perlu mendapat petunjuk dan teguran keras."

Han Sin mengangguk. "Kiranya selain pandai, kaupun mempunyai jiwa yang gagah, Yong-loheng."

"Ah, sudahlah Cia-lote. Kau membikin aku malu saja."

Dua orang itu berjalan perlahan sambil bercakap-cakap. Makin lama makin akrab hubungan mereka dan makin tertarik hati Han Sin. Belum pernah ia bertemu dengan seorang pemuda yang secocok ini dengan isi hatinya. Baik dalam persoalan filsafat, maupun kesusasteraan, bahkan dalam hal pendirian orang-orang gagah, Yong Tee ternyata mempunyai pandangan yang amat cocok dengan dia sendiri. Tidak heran apabila mereka sudah melakukan perjalanan sehari lamanya, hati Han Sin demikian tunduk dan tertarik sehingga ia girang bukan main ketika Yong Tee mengusulkan untuk bersumpah mengangkat saudara!

"Yong-loheng! Apakah dengan setulusnya hati kau mengusulkan pengangkatan saudara dengan aku? Kau tidak tahu siapa aku. Aku adalah seorang pemuda miskin, yatim piatu, seorang dari gunung yang bodoh. Jangan-jangan nanti kau ditertawai oleh orang-orang di kota kalau bersaudara dengan aku!" Han Sin berkata karena dia memang benar-benar merasa kaget dan heran di samping kegembiraan hatinya.

Yong Tee memegang pundaknya. "Kau terlalu merendah. Kau seorang jantan, seorang budiman. Kau seorang kuncu! Kalau orang seperti kau tidak bisa disebut kuncu, tidak tahu lagi aku orang macam apa yang layak disebut kuncu. Justeru karena kau yatim piatu, maka lebih keras lagi keinginanku untuk menjadi saudaramu. Tentu saja kalau ....... kalau kau sudi."

"Tentu saja aku suka! Mempunyai seorang giheng (kakak angkat) seperti kau ......... ah, benar-benar anugerah langit!"

Demikianlah, dalam sebuah kelenteng tua, dua orang pemuda ini lalu mengangkat sumpah, menjadi saudara angkat yang saling setia. Yong Tee menjadi saudara tua dan Han Sin menjadi saudara muda.

Han Sin yang masih kurang pengalaman dan amat mudah tertarik oleh sikap yang baik, sama sekali tak pernah mimpi bahwa orang yang ia jadikan saudara angkat ini adalah seorang pangeran, seorang Putera Kaisar Mancu yang sekarang bertahta! Sama sekali tidak pernah menduga bahwa pangeran ini telah menolong Bi Eng dari tangan Bhok-kongcu dan bahwa pangeran ini telah tahu banyak sekali tentang dia dan sengaja mengangkat saudara untuk menariknya berdiri di pihak pemerintah Mancu!

"Adikku, setelah kita menjadi saudara, tentu kau tidak keberatan untuk mengatakan kepadaku apa keperluanmu datang ke kota raja dari tempat begitu jauh," pangeran itu bertanya ketika mereka melanjutkan perjalanan.

"Aku akan mencari adikku Cia Bi Eng yang kabarnya tertawan oleh Bhok Kian Teng di kota raja," kata Han Sin terus terang dengan wajah muram karena ia menjadi gelisah kembali setelah teringat akan Bi Eng.

"Bhok Kian Teng? Kau mau ke sana? Dia itu orang berbahaya, banyak sekali kawannya yang berilmu tinggi. Apa yang bisa kaulakukan terhadap Bhok Kian Teng?" tanya Yong Tee sambil memandang tajam.

Han Sin mengepal tinju dengan gemas. "Aku tidak takut. Kalau benar Bi Eng ia tawan dan ia tak mau membebaskan adikku, biarpun dia mempunyai banyak kaki tangan, aku tidak takut dan pasti aku akan dapat menangkap dia!"

"Ah, kiranya kau memiliki kepandaian silat tinggi pula, adikku. Bagus, aku makin kagum kepadamu. Akan tetapi, kau harus berhati-hati benar menghadapi mereka."

Melihat sikap Yong Tee yang agak takut-takut itu, Han Sin lalu berkata, "Loheng, biarlah urusan ini aku sendiri yang membereskan. Katakan saja di mana kau tinggal di kota raja, setelah urusan selesai tentu aku akan pergi mencarimu."

"Jangan kau memandang aku begitu lemah, adikku. Biarpun aku tidak dapat menggunakan kepandaian silat untuk menghadapi mereka, namun aku bukan seorang pengecut. Kau boleh hadapi mereka dan aku akan menantimu di luar."

Karena tenggelam dalam pikiran masing-masing, kedua orang pemuda ini melanjutkan perjalanan memasuki kota tanpa banyak bercakap lagi. Diam-diam Yong Tee menjadi geli seorang diri. Bi Eng sudah aman berada di dalam gedungnya dan selama ini, hubungannya dengan nona memang sudah seperti kakak beradik saja. Sekarang tiba saatnya untuk menguji pemuda she Cia ini yang menurut penyelidik-penyelidiknya adalah seorang pemuda aneh yang kelihatan lemah namun memiliki kepandaian tinggi. Kalau betul demikian, tidak percuma dia mengangkat saudara dengan Han Sin!

**** ****
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment