Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 041

◄◄◄◄ Kembali

BHOK-KONGCU mencak-mencak ketika kembali dari Lu-liang-san ke rumahnya di kota raja mendengar bahwa Bi Eng diminta oleh Pangeran Yong Tee. Ia mendongkol sekali, akan tetapi apa yang dapat ia lakukan terhadap putera kaisar? Biarpun Yong Tee hanya putera dari selir, namun tetap saja kedudukan pangeran itu jauh lebih tinggi dari padanya. Maka ia hanya dapat menyimpan kemarahannya dan hal ini malah memperhebat nafsunya untuk menggulingkan pemerintah Mancu dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar dari pemerintah baru yang ia idam-idamkan, yaitu pemerintah Mongol, berdirinya kembali kerajaan Goan yang telah gugur.

Oleh karena itu ia segera mengutus orang-orangnya untuk memanggil para tokoh kang-ouw yang dahulu sudah berkumpul di Lu-liang-san, dan makin giat mengumpulkan pembantu-pembantu baru terdiri dari orang-orang berkepandaian tinggi dengan jalan mengobral harta bendanya yang cukup banyak.

Pada hari itu, di gedungnya sudah berkumpul banyak sekali orang kang-ouw. Di antara mereka tentu saja hadir pula Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo, malah hadir pula Coa-tung Sin-kai, ketua dari Coa-tung Kai-pang dari utara. Dengan adanya mereka ini, para tokoh lain tidak berani lagi memperebutkan kedudukan orang terkuat, karena mereka tahu bahwa tingkat kepandaian Hoa Hoa Cinjin adalah amat tinggi dan di antara mereka yang boleh dibandingkan dengan dia hanyalah Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai.

Di situ hadir pula Thio-ciangkun yang memberi laporan kepada Bhok-kongcu bahwa ketika pasukan yang ia kirim pergi ke dusun di mana dikabarkan orang-orang Cin-ling-pai mengadakan kerusuhan ternyata bahwa It Cin Cu dan Ji Cin Cu dan sepasukan pengiringnya telah tewas semua oleh orang-orang Cin-ling-pai. Tentu saja berita ini membuat Bhok-kongcu menjadi makin mendongkol sekali.

"Orang-orang Cin-ling-pai memberontak," katanya kepada semua kaki tangannya yang hadir di situ. "Mulai sekarang kita harus berusaha untuk membasmi mereka, kalau tidak mereka akan merupakan gangguan besar. Setelah siauwte mengadakan perjalanan, ternyata banyak orang-orang selatan masih mempunyai sikap memberontak. Oleh karena itu, siauwte hendak merencanakan gerakan pembersihan dan cu-wi (tuan-tuan sekalian) masing-masing akan mendapat tugas memimpin pasukan untuk membasmi mereka itu. Semua perkumpulan dilarang, kecuali kalau ketua-ketuanya sudah menyatakan hendak membantu pemerintah kita. Yang membantah boleh terus dibunuh dan mulai sekarang, rakyat tidak diperkenankan lagi membawa senjata tajam. Siauwte akan minta kepada kaisar untuk mengeluarkan maklumat ini sehingga apa yang kita kerjakan adalah menurut peraturan yang sah dari junjungan kita."

Karena Bhok-kongcu hanya menjamu mereka dan membagi-bagikan hadiah serta tugas, diam-diam Tung-hai Siang-mo dan Coa-tung Sin-kai merasa kecewa. Mengapa tidak disebut-sebut tentang pemilihan jago nomor satu yang akan mendapat kedudukan istimewa?

Akhirnya karena tidak sabar, Ji Kong Sek berkata, "Bhok-kongcu, maafkan pertanyaanku ini. Aku hanya menagih janji, bukankah dahulu kongcu sendiri yang berjanji tentang pemilihan tokoh nomor satu untuk dipekerjakan di istana?"

Inilah yang dinanti-nanti oleh sebagian besar tamu di situ. Biarpun tidak mempunyai harapan untuk merebut kedudukan jago nomor satu, sedikitnya mereka itu ingin sekali melihat perebutan kedudukan itu dan menyaksikan pertandingan silat yang menarik.

Bhok-kongcu menggeleng kepalanya. "Hal itu menyesal sekali harus dibatalkan, ayah tidak menyetujui."

Hoa Hoa Cinjin melirik tak puas. "Ah, jadi Bhok-ongya hendak bertugas kembali?"

Pertanyaan ini sama dengan sangkaan bahwa raja muda yang ditakuti itu hendak merampas sendiri kedudukan koksu, dan memang kalau raja muda itu maju, siapa yang sanggup melawan Pak-thian-tok Bhok Hong? Mendengar ini, semua orang yang hadir bungkam, tidak berani lagi membuka suara dan semua mata memandang ke arah pintu yang menembus ke dalam, mencari-cari dan dengan pandang mata bertanya di mana gerangan Pak-thian-tok yang dikabarkan sakit itu.

Kini Bhok-kongcu tersenyum. "Harap cu-wi jangan salah kira. Ayah sudah tua, sejak lama tidak mau perduli lagi urusan dunia, mana beliau mau bercapek lelah dengan segala macam pekerjaan? Bahkan sudah lama ayah telah pergi lagi merantau, entah ke mana karena itulah yang menjadi kesukaannya. Akan tetapi, karena ayah sudah melarangku untuk mengadakan pemilihan jago nomor satu di sini, terpaksa aku harus mentaati perintahnya. Ayoh cu-wi sekalian minum araknya. Hai, pelayan, lekas ambil arak wangi dan isi semua cawan sampai penuh!"

Pada saat itu, tiba-tiba dari luar terdengar suara orang, "Bhok Kian Teng lekas kaubebaskan adikku, Cia Bi Eng!"

Suara ini nyaring sekali menusuk semua telinga orang yang hadir, bahkan mengatasi semua suara gaduh dari puluhan orang itu sehingga serentak mereka menengok.

Keadaan menjadi sunyi sekali sehingga langkah Han Sin yang tenang itu seakan¬akan terdengar nyata. Memang Han Sin lah orangnya yang tadi berseru dari luar dan kini dengan tenang dan pandang mata tajam, pemuda ini memasuki ruangan ini, langsung menghampiri Bhok-kongcu.

Para tamu yang tak pernah bertemu dengan Han Sin bertanya-tanya heran. Siapakah pemuda ini dan apa maunya datang dengan sikap seperti itu? Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang-mo dan tokoh-tokoh yang tadinya ikut membantu pembongkaran batu-batu di gua rahasia di Bukit lebih heran lagi kenapa pemuda itu begitu berani mengunjungi tempat ini?

Di samping keheranannya, juga mereka itu diam-diam girang sekali. Bhok-kongcu mencari-cari pemuda ini, bukankah dia telah mendapatkan warisan kitab rahasia? Dicari ke mana-mana tidak jumpa, eh sekarang tahu-tahu muncul atas kehendak sendiri!

Bhok-kongcu juga kaget sekali dan menjadi pucat. Akan tetapi pemuda ini tidak kehilangan akal dan cepat dapat menenteramkan hatinya. la berdiri dan tersenyum.

"Eh, kiranya saudara yang gagah Cia Han Sin yang datang berkunjung. Silakan duduk dan minum arak dengan kami."

"Bhok Kian Teng, tak perlu lagi kau berputar lidah. Aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, lekas kaubebaskan Bi Eng!" kata Han Sin sambil melangkah terus maju dengan sikap mengancam.

Sementara itu, ketika mendengar bahwa pemuda ini yang bernama Cia Han Sin, pemuda yang telah membikin sutenya lumpuh, Coa-tung Sin-kai sudah tak dapat mengendalikan kemarahannya. Seperti diketahui, Tok-gan Sin-kai adalah sute dari Coa-tung Sin-kai dan dengan menggunakan paku-paku rahasianya sendiri, Han Sin telah merobohkan pengemis mata satu itu.

"Keparat kiranya kau anak pemberontak she Cia!" Coa-tung Sin-kai meloncat dan sudah menghadang di depan Han Sin.

"Awas, lo-enghiong, bocah ini lihai sekali, dia telah mewarisi kitab pelajaran Tat Mo Couwsu!" kata Bhok-kongcu sambil duduk lagi. Pemuda bangsawan ini ternyata telah membakar hati ketua pengemis itu dengan kata-kata ini.

"Ha, ha, ha, memang tidak baik saling gempur untuk menguji kepandaian. Biarlah bocah ini menjadi semacam juru penguji!" kata Ji Kong Sek yang juga ingin sekali tahu sampai di mana kepandaian ketua Coa-tung Kai-pang yang tersohor ini.

Sementara itu, tanpa memperdulikan ucapan-ucapan orang lain. Han Sin memandang kakek di depannya. Kakek ini usianya sudah enam puluhan, tubuhnya jangkung kurus tangan kanannya memegang sebatang tongkat ular kering yang lidahnya menjulur keluar dan amat runcing. Sikapnya lemah lembut dan agung, akan tetapi sepasang mata yang berminyak itu menandakan bahwa kakek ini masih belum terlepas dari pelukan nafsu duniawi.

"Tidak tahu siapa lo-enghiong dan kenapa mencampuri urusan pribadiku dengan Bhok Kian Teng?" tanya Han Sin, sabar. Menuruti keinginan hatinya, tidak mau ia bertengkar dengan segala macam orang tanpa ada sebab-sebabnya.

Ketika sinar matanya bentrok dengan sinar mata Han Sin, diam-diam kakek ini kaget bukan main. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu pandang dengan orang yang memiliki sinar mata seperti ini. Diam-diam ia kagum dan melihat sikap halus Han Sin, ia merasa tidak enak kalau bersikap terlalu kasar, apa lagi mengingat kedudukannya yang tinggi dan usianya yang jauh lebih tua.

"Orang muda, setelah kau tahu namaku, seharusnya kau cepat-cepat berlutut mohon maaf kepada Bhok-kongcu atas sikapmu yang tidak semestinya ini. Kau berada di kota raja, di dalam rumah Bhok kongcu, masa sikapmu seperti ini? Apa yang kauandalkan? Ketahuilah, aku adalah Coa-tung Sin-kai dan kau bocah cilik sesungguhnya bukan lawanku ......”

Han Sin pernah diceritai oleh Li Hoa tentang gurunya maka tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan guru Li Hoa dan Li Goat, juga ketua Coa-tung Kai-pang dan suheng dari Tok-gan Sin-kai. la tersenyum dan menjawab.

"Lo-enghiong, kalau kau masih mempunyai sedikit sifat gagah, tentu kau tidak membenarkan Bhok Kian Teng menawan adik perempuanku yang tidak berdosa. Aku datang bukan untuk berlaku kurang ajar, melainkan hendak minta dibebaskan adikku. Salahkah ini?"

"Hemmmmm, kau sombong. Agaknya kau memang berkepandaian dan kau sudah pula menghina suteku. Tak dapat tidak, kalau kau tidak mau berlutut minta ampun, tongkatku akan memaksamu."

"Silakan!" tantang Han Sin tenang-tenang saja.

Coa-tung Sin-kai mulai marah, tapi ia masih ragu-ragu, malu untuk menyerang seorang muda yang tak bersenjata.

"Keluarkan senjatamu," katanya.

"Aku bukan tukang pukul, bukan tukang bunuh orang, mengapa harus bersenjata? Untuk menjaga diri, Thian telah melengkapi anggauta tubuhku."

"Pemuda sombong, lihat serangan!" Coa-tung Sin-kai tak sabar lagi, tongkatnya menyambar cepat ke arah jalan darah di pundak kiri Han Sin. Pemuda ini maklum dari sambaran tongkat bahwa lawannya yang memiliki gerakan cepat dan tenaga dalam yang sempurna, maka ia tidak berani main-main, dengan sigap ia miringkan tubuhnya mengelak.

Benar saja, baru saja dielakkan serangan pertama, serangan ke dua, tiga dan selanjutnya susul-­menyusul bagaikan hujan, sama sekali tidak memberi kesempatan kepada pemuda itu untuk balas menyerang. Namun Han Sin tetap tenang, dengan Liap-hong-sin-hoat ia menghadapi semua serangan kakek itu dan selalu dapat menghindarkan setiap desakan.

"He, pernah apa kau dengan Ciu-ong Mo-kai?" teriak Coa-tung Sin-kai dengan heran.

Ketua perkumpulan pengemis dari utara ini pernah bertanding melawan Tang Pok yang juga menggunakan Liap-hong-sin-hoat maka ia segera mengenal ilmu silat yang tangguh ini, yang membuat ia bertanding dengan Ciu-ong Mo-kai sampai hampir sehari penuh tanpa dapat merebut kemenangan!

"Ciu-ong Mo-kai Tang Pok adalah suhuku," jawab Han Sin masih tenang.

Mendengar jawaban ini Coa-tung Sin-kai lalu mendesak makin hebat. Masa aku tak dapat merobohkan murid Tang Pok, pikirnya penasaran sekali. Akan tetapi ia kecelik karena Liap-hong-sin-hoat yang dimainkan oleh pemuda ini benar-benar aneh dan luar biasa sekali.

Nampaknya pemuda itu hanya bergerak perlahan saja untuk menghadapi serangan-serangannya, namun setiap pukulannya yang akan mampir di tubuh pemuda itu seperti menyeleweng sendiri, seakan-akan kedua tangannya sudah tidak menuruti lagi kehendaknya! Hal ini sebetulnya bukan karena kehebatan Liap-hong-sin-hoat, melainkan kehebatan hawa sinkang di tubuh Han Sin yang sudah demikian kuatnya sehingga sanggup menolak hawa pukulan kakek itu dan membuat semua pukulan meleset.

Han Sin mengerti orang yang sudah menjadi kaki tangan Bhok-kongcu bukanlah orang baik-baik. Akan tetapi karena teringat bahwa lawannya ini adalah guru dari Li Hoa, ia merasa tidak enak juga untuk merobohkan atau melukainya.

Setelah berkali-kali mengelak dan menggunakan hawa pukulan untuk menangkis semua serangan lawan selama dua puluh jurus lebih, tiba-tiba Han Sin mengeluarkan suara bentakan keras sekali sambil mengerahkan khikang. Coa-tung Sin-kai kaget dan terhuyung mundur. Han Sin mendesak, tangannya bergerak dan di lain saat, tongkat ular itu sudah berhasil ia rampas. Sekali tekuk tongkat itu mengeluarkan suara "pletakk!" dan patah menjadi tiga potong, lalu dilemparkannya ke atas tanah.

Bukan main kaget, heran, dan malunya Coa-tung Sin-kai. Dia yang menjadi ketua Coa-tung Kai­pang, yang datang-datang hendak ikut pula memperebutkan jago silat nomor satu, dalam pertandingan dua puluh jurus lebih, malah boleh dibilang baru diserang satu jurus saja oleh seorang pemuda hijau, telah kalah mutlak! Dengan muka merah seperti udang direbus ia lalu melangkah mundur, tidak ada muka lagi untuk mencoba menempur Han Sin.

Terdengar suara ketawa mengejek dan dua bayangan orang berkelebat cepat, tahu-tahu Tung-hai Siang-mo sudah berdiri di depan Han Sin. Pemuda ini mengenal sepasang iblis itu dan kemarahannya memuncak. Sebelum mereka bergerak, ia menegur lebih dulu,

"Aku datang hanya untuk minta dibebaskannya adikku, aku hanya berurusan dengan orang she Bhok, kenapa segala macam orang tua ikut campur?"

Hoa Hoa Cinjin tiba-tiba berkata dengan nada mengejek, "Dua orang tua bangka dari utara inipun belum tentu bisa menangkan dia."

Mendengar ini, Ji Kong Sek dan Ji Kak Touw menjadi panas perutnya, Ji Kong Sek segera mengeluarkan suara ketawanya yang menyeramkan, lalu tanpa banyak cakap lagi ia menubruk maju dengan kedua tangan dipentang dengan jari-jari terbuka seperti seekor garuda menubruk. Ji Kak Touw juga tidak mau tinggal diam, langsung menyerang bagian bawah tubuh Han Sin sambil menggereng seperti ringkik kuda.

Han Sin mendongkol sekali melihat sikap orang-orang tua ini. Ia menggeser kakinya mundur dan melihat bahwa serangan mereka itu malah lebih berbahaya dari pada serangan Coa-tung Sin-kai tadi, ia lalu menggunakan Ilmu Silat Im-yang-kun untuk menghadapi dua orang iblis yang sifat serangannya berlawanan ini. Hanya Im-yang-kun yang mengandung dua macam sifat dapat menghadapi daya serangan mereka.

Terdengar suara "plak-plak!" keras sekali ketika sepasang lengan tangan Han Sin menangkisi pukulan-pukulan kedua orang lawannya. Tung-hai Siang¬mo setelah menyerang beberapa jurus dan dapat ditangkis, saling pandang dengan heran.

"Bukankah itu Im-yang-kun dari Cin-ling-pai. Bocah, Giok Thian Cin Cu itu apamu?" bentak Ji Kak Touw.

"Giok Thian Cin Cu itu adalah suhuku pula," jawab Han Sin tenang.

Semua orang terkejut mendengar ini. Yang lebih kaget adalah Bhok Kian Teng karena ia tidak mengerti bagaimana bocah gunung itu ternyata adalah murid dari orang-orang pandai.

Pertempuran berjalan terus dan dengan hati gelisah Bhok-kongcu melihat bahwa juga Tung-hai Siang-mo tidak banyak berdaya. Seperti mempermainkan anak-anak kecil, Han Sin berdiri tegak dan hanya kedua tangannya bergerak-gerak ke depan, namun dua orang iblis itu sama sekali tidak mampu mendekatinya.

"Cinjin, bocah ini berbahaya. Harap kau suka maju dan membantu untuk menangkapnya hidup atau mati," kata Bhok-kongcu perlahan.

Namun ucapan yang perlahan ini masih dapat terdengar oleh Han Sin yang selalu memperhatikan agar kongcu itu tidak melarikan diri. Pemuda ini mengeluarkan suara ketawa mengejek dan sekali berkelebat ia telah meninggalkan lawannya dan tahu-tahu ia telah berada di depan Bhok-kongcu.

"Orang she Bhok, aku datang untuk minta adikku, kenapa kau bermaksud membunuhku? Di mana Bi Eng?"

Bhok-kongcu menjawab dengan sebuah serangan kilat, menggunakan kipasnya. Kipas ini tidak saja ia pergunakan untuk menyerang jalan darah maut di leher Han Sin, malah sekaligus dari ujung kipas keluar jarum-jarum beracun yang menyambar ke dada pemuda dari Min-san itu.

"Keji!" Han Sin yang bermata jeli dapat melihat ini. Tangannya mengibas, jarum-jarum runtuh dan kipas itu dapat ia cengkeram. "Krak-krak!" Hancurlah kipas itu dilain saat kedua tangan Bhok­kongcu sudah dapat ia pegang dengan erat.

"Lepaskan adikku!" Han Sin membentak lagi.

Akan tetapi tiba-tiba dari arah belakangnya menyambar hawa pukulan dahsyat berturut-turut. la terpaksa melepaskan tangan Bhok-kongcu dan memutar tubuh sambil menangkis.

"Dukk!" Tubuh Hoa Hoa Cinjin terpental, demikian pula Tung-hai Siang-mo yang tadi bersama-­sama mengirim serangan dari belakang. Hebat sekali tangkisan Han Sin tadi, sekaligus membuat tiga orang kakek itu terpental.

"Kalian memang orang-orang jahat, perlu dihajar!" Timbul amarah dalam hati Han Sin dan pemuda ini lalu mainkan Ilmu Silat Lo-hai Hui-kiam yang dahsyat. Kedua ujung jari telunjuknya menjadi pengganti pedang namun dua buah jari tangan ini malah lebih berbahaya lagi karena dapat menotok jalan darah dari jarak jauh.

Sebentar saja Hoa Hoa Cinjin dan Tunghai Siang-mo menjadi sangat repot menghadapi hujan totokan ini. Coa-tung Sin-kai juga cepat melompat maju untuk membantu sehingga sesaat kemudian Han Sin sudah dikeroyok oleh empat orang tokoh besar yang amat disegani orang kang-ouw.

Memang amat mengherankan kalau dilihat. Seorang pemuda yang masih amat muda belia, kini dikeroyok oleh empat orang tokoh yang biasanya merupakan jago-jago yang berkedudukan tinggi, bahkan yang dianggap merupakan calon-calon jago silat yang terpilih di kota raja! Dan tetap saja mereka tak dapat berdaya banyak menghadapi Lo-hai Hui-kiam yang bukan dimainkan dengan pedang, melainkan dengan dua buah jari tangan!

Baru tiga puluh jurus saja, dua buah jari tangan yang bergerak-gerak cepat sehingga kelihatannya berubah menjadi puluhan banyaknya, serta yang amat berbahaya biarpun dipergunakan dari jauh, tak dapat ditahan oleh Tung-hai Siang-mo yang sudah roboh terguling karena totokan, sedangkan pada lain saat, Coa-tung Sin-kai juga terhuyung-huyung karena terserempet pundaknya oleh hawa totokan dari jari tangan kanan Han Sin!

Hanya Hoa Hoa Cinjin yang kosen itulah yang masih dapat melawan, biarpun kini hanya mempertahankan diri saja. Dari sini dapat diukur bahwa di antara empat orang tokoh itu, Hoa Hoa Cinjin ternyata lebih kuat.

Bhok-kongcu gelisah sekali, mukanya pucat dan keringatnya mengucur. Ia menyesal sekali mengapa ayahnya tidak berada di situ. Untuk menghadapi pemuda aneh itu kiranya hanya ayahnya yang boleh diandalkan. Diam-diam ia lalu memberi isyarat kepada para pengawalnya yang lari keluar dan tak lama kemudian, di luar istana itu terdengar derap kaki banyak orang. Kiranya pengawal tadi memanggil pasukan dan kini di luar telah menjaga ratusan orang serdadu Ceng untuk menangkap Han Sin!

"Cia Han Sin, kalau kau tidak menyerah, ratusan anak panah akan menghancurkan tubuhmu!" Tiba-­tiba Bhok-kongcu berseru ketika pasukannya sudah berbaris masuk dengan anak panah terpasang pada busur setiap orang serdadu.

Hoa Hoa Cinjin melompat mundur dan ketika Han Sin menoleh, ia sudah ditodong oleh ratusan orang serdadu yang memegang busur dan anak panah.

Pemuda ini tertawa aneh, mengangkat dada menghadapi para serdadu sambil berkata pada Bhok-­kongcu,

"Hidup bukan punyaku mati bukan milikku, aku takut apa? Hidup mati tidak penasaran, pokoknya aku berada di dalam kebenaran. Orang she Bhok, aku datang untuk minta kembali adikku. Kau tidak menuruti permintaanku yang pantas, malah hendak membunuhku. Bunuhlah, siapa takut?"

Bhok-kongcu memberi tanda dan para serdadu yang berada paling depan, segera melepas anak panah menyambar secepat kilat, mendatangkan suara mengaung mengerikan, ke arah tubuh Han Sin! Pemuda ini tenang-tenang saja, kedua tangannya digerakkan ke kanan kiri sambil mengerahkan sinkang untuk mengebut dan menangkis. Runtuhlah semua anak panah itu, kecuali sebatang yang menancap di ujung pundaknya dan keluarlah darah membasahi baju!

Betapapun hebat kepandaian Han Sin menghadapi hujan anak panah itu tetap saja ia terluka biarpun luka itu amat ringan. Ia menjadi marah, diserbunya ke depan dan sekali tangan kakinya bergerak enam orang serdadu roboh! Keadaan menjadi kalut sekali dan Han Sin sudah bersiap mengamuk mati-matian dalam gedung Pangeran Mongol yang menyebut diri Bhok-kongcu itu.

Pada saat itu terdengar bentakan dari luar, bentakan halus berpengaruh,

"Tahan semua senjata!"

Hebat sekali pengaruh bentakan ini. Tidak hanya para serdadu itu serentak minggir dan berdiri tegak memberi hormat, malah Bhok-kongcu sendiri berikut kaki tangannya, Hoa Hoa Cinjin dan yang lain-lain, cepat membungkuk-bungkuk memberi hormat, kepada orang yang membentak tadi. Han Sin menoleh dan kaget serta herannya bukan kepalang.

"Yong-giheng .......!” serunya, memandang dengan mata terbelalak.

Orang itu memang Pangeran Yong Tee. Ia tersenyum kepada Han Sin, lalu tanpa menghiraukan yang lain ia menghadapi Bhok-kongcu dan berkata,

"Saudara Cia ini adalah ..... saudara angkatku, kalau ada persoalan boleh diselesaikan secara damai, tidak boleh sekali-kali menggunakan kekerasan."

Han Sin melongo ketika melihat betapa Bhok-kongcu tiba-tiba menjatuhkan diri berlutut!

"Mohon paduka sudi mengampunkan. Hamba sama sekali tidak tahu bahwa ..... bahwa ...... saudara Cia ....."

"Bangunlah, cukup semua itu. Cuma saja lain kali, harap tidak melakukan pengeroyokan seperti yang baru terjadi tadi. Benar-benar amat memalukan. Hemmmm, kulihat tidak banyak gunanya orang-orangmu ........" Pangeran Yong Tee lalu menggandeng tangan Han Sin dan menariknya pergi dari situ. "Adikku, mari kau ikut aku ke rumahku."

Sejak tadi Han Sin bengong terheran, sekarang ia ragu-ragu. Urusannya dengan Bhok-kongcu belum selesai, ia belum dapat menemukan Bi Eng.

"Tapi ...... adikku Bi Eng ........" bantahnya bingung.

"Serahkan urusan ini kepadaku, tentu beres. Marilah!" Yong Tee mengajak.

Biarpun masih sangsi, Han Sin yang terpengaruh oleh kejadian aneh dan sikap kakak angkatnya yang nampaknya amat berpengaruh itu, tidak membantah dan mengikuti Yong Tee keluar dari gedung Bhok-kongcu.

Akan tetapi, ketika melihat ke mana saudara angkatnya yang aneh itu membawanya masuk yaitu ke sebuah gedung yang amat besar, seperti istana, jauh lebih mewah dan besar dari pada gedung tempat tinggal Bhok-kongcu, Han Sin menjadi pucat dan melepaskan pegangan Yong Tee sambil berkata,

"Gi-heng ...... kau membawaku ke mana ini? Ke rumah siapa?"

Yong Tee tersenyum dan memegang lengan Han Sin lagi. "Ke rumah siapa lagi kalau bukan ke rumahku? Ini rumah ibuku. "Mari masuk ke dalam ......."

Sementara itu, beberapa orang pelayan yang berada di luar sudah cepat menyambut kedatangan Yong Tee sambil memberi hormat secara khidmat sekali.

"Gi-heng ...... kau ........ kau siapakah ......?” Han Sin bertanya gugup, sama sekali belum menyangka bahwa saudara angkatnya adalah seorang pangeran!

Akan tetapi Yong Tee tidak menjawab, melainkan memberi perintah kepada orang-orangnya dengan ucapan,

"Lekas beritahu Cia siocia bahwa kakaknya, Cia-kongcu sudah datang!"

Tentu saja perintah yang cepat-cepat dilakukan oleh para pelayan ini membuat Han Sin kaget dan girang luar biasa sampai ia melupakan pertanyaannya tadi. Dengan erat-erat ia genggam tangan Yong Tee, matanya berseri dan hampir ia berteriak-teriak saking girangnya.

"Gi-heng, jadi ...... jadi adikku Bi Eng sudah berada di sini??"

Yong Tee mengangguk-angguk dengan senyum manis. "Bukankah tadi aku sudah bilang bahwa urusan adikmu itu kauserahkan saja kepadaku tentu beres?"

Digandengnya lengan Han Sin, diajak memasuki rumah gedung besar itu. Sampai terbelalak mata Han Sin memandangi dan mengagumi isi ruangan yang mereka masuki. Semuanya serba indah. Serba megah dan besar.

"Sin-ko ........!”

Bi Eng berlari-lari dari dalam dan langsung menubruk dan memeluk leher Han Sin sambil menangis.

Han Sin kembali membuka matanya lebar-lebar melihat Bi Eng berpakaian amat indah. Rambut adiknya yang hitam panjang itu digelung semodel dengan gelung Li Hoa. Indah, cantik dan manis adiknya ini.

"Bi Eng......!” Iapun memeluk dan pada saat itu hatinya berdebar tidak karuan. Bi Eng ini bukan adik kandungnya!

"Sin-ko, syukur kau selamat. Ah, betapa selama ini hatiku selalu gelisah dan berduka. Ternyata Thian masih belum melupakan kita, Sin-ko. Thian telah menurunkan seorang penolong, yaitu Pangeran Yong Tee yang bijaksana ini. Mari kita menghaturkan terima kasih kepadanya."

Begitu mendengar ucapan ini, Han Sin menjadi makin pucat dan ia melepaskan pelukan adiknya, membalikkan tubuh memandang Yong Tee sambil berkata,

"Bi Eng! Apa katamu tali? Pangeran ....... pangeran siapa ..........?”

Bi Eng tersenyum di antara air matanya, air mata kegirangan. la memegang tangan Han Sin dan dibimbingnya kakaknya untuk maju. Lalu Bi Eng menjatuhkan diri berlutut, mengajak Han Sin juga berlutut. Akan tetapi Han Sin tidak mau berlutut, hanya berdiri menatap wajah Yong Tee dengan pandang mata tajam.

"Cia-siocia, tak pernah aku mengijinkan orang berlutut kepadaku ......." tegur Yong Tee.

Lanjut ke jilid 042 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment