Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 042

◄◄◄◄ Kembali

"Akan tetapi kali ini harap diberi kekecualian," jawab Bi Eng. "Hamba berdua kakak beradik harus menghaturkan terima kasih kepada paduka yang mulia. Kalau tidak ada paduka, bagaimana kami kakak beradik dapat saling bertemu .......?"

"Nona Bi Eng, jangan banyak sungkan. Ketahuilah, kita adalah keluarga sendiri. Kakakmu Han Sin ini sekarang sudah menjadi adik angkatku, berarti kaupun adikku sendiri. Bangunlah."

Bi Eng berseru girang dan melompat bangun terus memeluk kakaknya.

"Sin-ko, betulkah itu? Kau menjadi saudara angkat ...... Pangeran?"

"Hush, adik Bi Eng, mulai sekarang tidak ada pangeran-pangeranan, kau boleh menyebutku Yong-­ko saja," kata pangeran itu sambil tersenyum ramah.

Akan tetapi Han Sin kembali melepaskan pelukan Bi Eng, matanya sejak tadi tidak berkedip menatap wajah Yong Tee. Melihat sikap kakaknya seperti orang marah ini, Bi Eng melangkah mundur dengan heran.

"Gi ...... gi-heng ...... jadi kau seorang pangeran Mancu? Kenapa kau tidak katakan hal ini sebelumnya? Kau ...... kau telah menipuku!" kata Han Sin wajahnya pucat.

Yong Tee menaikkan alis matanya dengan senyum membayang di bibir. "Gite, kenapa kau bilang begitu? Pangeran atau bukan, bukankah aku seorang manusia juga? Bukan kehendakku dilahirkan sebagai seorang Pangeran Mancu, juga bukan kehendakmu dilahirkan sebagai seorang Han. Bagiku tiada perbedaan."

"Kau menipuku! Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah tanah airku? Bagaimana mungkin aku bersaudara dengan ....... musuh-musuhku?"

"Bukan musuhmu, adikku. Kami keturunan Aisin-gioro dari Mancu bukan musuh, juga bukan orang lain. Kami dan bangsa Han sebetulnya masih sebangsa, Bangsa Tiongkok yang besar. Kami bermaksud untuk membikin Tiongkok menjadi negara yang besar, megah dan makmur. Kami tidak memusuhi rakyat yang kami cinta. Adikku Cia Han Sin, semua orang menganggap kau sebagai putera pemberontak, sebaliknya aku pribadi amat kagum kepada kakek dan ayahmu yang sudah kudengar riwayatnya. Orang seperti kau inilah yang kami butuhkan untuk kami ajak bekerja sama guna kemakmuran bangsa. Bukan orang-orang berwatak penjilat berhati palsu seperti ....... orang she Bhok dan lain-lain itu. Mari, adikku, terimalah uluran tanganku ini."

Akan tetapi Han Sin melangkah mundur, tidak mau menjabat tangan kakak angkatnya.

"Tidak! Ucapan seorang penjajah selalu manis, manis di mulut pahit di hati. Dengan ucapan manis menipu rakyat yang dijajahnya, menjanjikan kemakmuran bersama padahal maksudnya untuk kemakmuran rakyat dan golongan sendiri. Tidak!"

"Adik Han Sin, kau menyedihkan hatiku. Aku bermaksud baik akan tetapi kau menerima salah. Sekali lagi kujelaskan, kerajaan ayahku sama sekali tidak memusuhi rakyat, malah hendak membangun negara Tiongkok demi kemakmuran kehidupan rakyat."

"Bohong! Mataku telah buta! Aaahhh, mataku telah buta. Kau .... kau yang selama ini kukira seorang yang patriotik, kiranya malah Pangeran Mancu yang hendak kubasmi!" Ia mengepal tinju dan memandang pangeran itu dengan mata penuh kebencian dan sikap mengancam.

Pangeran Yong Tee tersenyum masam. "Begitukah? Saudaraku yang baik, kalau memang sudah tak dapat kuyakinkan hatimu, dan kau tetap menganggap kakak angkatmu ini sebagai musuh dan penjahat besar, marilah, kau boleh bunuh aku."

"Memang sudah sepatutnya aku membunuh anak penjajah!" Han Sin sudah menggerakkan tangan hendak memukul, akan tetapi melihat wajah pangeran itu dengan senyum tenang memandangnya, sinar mata yang selama ini ia kagumi dan ia cinta sebagai saudara angkat, membuat tangannya menjadi lemas kembali. Pada saat itu Bi Eng melompat dan memegang tangannya.

"Sin-ko, kau kenapakah? Jangan berlaku yang tidak-tidak. Kau harus tahu bahwa Pangeran ... eh, Yong-ko ini berbeda dengan sembarang orang dan sama sekali tidak bisa dianggap musuh. Kalau bukan oleh pertolongannya yang mengambilku dari cengkeraman orang she Bhok itu, apa kaukira kita akan masih dapat bertemu? Sin-ko, jangan kau memusuhi dia ini, apa lagi setelah kau dan dia bersumpah mengangkat saudara. Sin-ko, aku tahu kau bukan membenci orangnya, melainkan membenci karena dia keluarga kaisar yang menjajah. Akan tetapi apakah karena itu kita harus lupa akan budi?"

Han Sin menoleh perlahan kepada adiknya dan Bi Eng terharu melihat betapa wajah kakaknya ini pucat sekali dan dari kedua matanya menitik dua butir air mata. Belum pernah ia melihat kakaknya menitikkan air mata dan kenyataan ini menandakan betapa pada saat itu batin Han Sin tersiksa hebat.

"Bi Eng ......," suara Han Sin lemah dan serak, "kau ...... kau bergantilah pakaian, pakaianmu sendiri dan lekas kau menyusulku. Kutunggu di luar." Setelah berkata demikian, sekali berkelebat pemuda ini sudah melesat keluar dari ruangan istana itu.

"Adik Han Sin ......!” Yong Tee berseru memanggil namun Han Sin tidak perduli, menengokpun tidak.

Dengan isak tertahan Bi Eng lalu lari ke dalam kamarnya, menanggalkan pakaian indah pemberian Yong Tee, mengganti dengan pakaiannya sendiri, malah merobah bentuk gelungnya menjadi biasa kembali. Setelah itu ia lalu berlari keluar. Di ruang depan ia melihat Yong Tee masih berdiri seperti patung. Ia cepat menjura dengan hormat dan berkata perlahan,

"Pangeran .....eh, Yong-ko. Ampunkanlah kakakku Han Sin, dan ampunkan aku. Aku ..... aku selamanya takkan melupakan budimu."

Yong Tee hanya mengangguk-angguk dengan senyum pahit. Dengan isak tertahan Bi Eng lalu berlari keluar di mana Han Sin sudah menantinya. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lalu berlari-­lari pergi meninggalkan kota raja.

Yong Tee cepat dapat menenangkan hatinya. Ia lalu bertepuk tangan tiga kali dan muncullah beberapa orang pengawal istana.

"Lekas kalian beritahu kepada para penjaga pintu gerbang supaya pemuda dan pemudi yang baru keluar dari sini, jangan diganggu kalau keluar dari pintu gerbang. Dan bawa dua ekor kuda terbagus dan kuat, bersama dua kantong uang emas ini berikan kepada Han Sin dan Bi Eng itu disertai salamku. Cepat!"

Setelah utusannya pergi, Yong Tee menjatuhkan diri di atas kursi dan duduk seperti patung sampai satu jam lebih lamanya. Berkali-kali ia menarik napas dan sinar matanya menjadi suram-muram.

Han Si dan Bi Eng menjadi heran ketika di pintu gerbang sebelah barat mereka dihadang oleh pengawal-pengawal yang membawa dua ekor kuda. Seorang komandan pengawal berkata dengan hormat,

"Kami diutus oleh Pangeran Yong Tee untuk memberikan dua ekor kuda dan dua kantong emas ini disertai salam beliau untuk kongcu dan siocia."

Bi Eng meramkan matanya untuk menahan keluarnya air mata, saking terharu menyaksikan kebaikan terakhir dari pangeran itu. Namun Han Sin mengeraskan hatinya, dengan dagu mengeras ia menolak pemberian itu sambil berkata kepada si komandan,

"Kembalikan kuda dan uang itu kepada Pangeran Yong Tee, katakan kami sudah cukup menerima kebaikannya dan tidak mau mengganggu lagi." Kemudian pemuda ini menarik tangan Bi Eng dan berlari cepat, keluar dari pintu gerbang kota raja.

Setelah berlari cepat sekali sambil menarik tangan Bi Eng sampai puluhan li jauhnya, akhirnya Han Sin berhenti karena adiknya menangis. la melepaskan tangan Bi Eng, lalu memandang adiknya itu dengan penuh kasih sayang.

"Kau kenapa, Bi Eng?"

Bi Eng makin tersedu-sedu, mengusapi air mata yang membanjir turun di kedua pipinya.

"Sin-ko ....., aku girang sekali dapat bertemu kembali dan berkumpul kembali dengan kau. Tapi ..... tapi sikapmu terhadap Pangeran Yong Tee .... benar mengecewakan hatiku. Dia begitu baik, dia telah menolongku, malah .... malah kudengar tadi kau sudah mengangkat sumpah bersaudara dengan dia ....."

Han Sin mengerutkan keningnya. "Adik Bi Eng, kau tidak tahu betapa hatiku sendiri hancur menghadapi kenyataan ini. Aku suka kepada pribadi pangeran itu. Akan tetapi kau lihatlah kenyataan. Orang-orang seperti Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin dan para pengkhianat bangsa yang sudah kita jumpai, semua adalah anak buah pemerintah penjajah. Kau dan aku adalah keturunan patriot, kita harus melanjutkan jejak perjuangan nenek moyang yang luhur dan jaya. Kita harus menggulung lengan baju bersama para pejuang rakyat lain menyelamatkan tanah air, menghancurkan penjajah dan antek-anteknya. Tentang Pangeran Yong Tee itu andaikata benar-­benar dia itu berhati mulia, apakah kebaikan seorang saja akan melumpuhkan semangat perjuangan kita? Apakah kebaikan seorang Yong Tee dapat membersihkan kejahatan penjajah dan kaki tangannya yang menindas bangsa kita? Apakah karena kebaikan seorang Yong Tee, kau dan aku harus masuk pula menjadi sekutunya, menjadi pengkhianat bangsa?"

Bi Eng menjadi pucat ketika ia memandang kakaknya. Tanpa disadari lagi, kepalanya yang cantik itu menggeleng-geleng keras dan bibirnya yang pucat itu berkata,

"Tidak! Sekali lagi tidak! Tentu saja aku tidak sudi menjadi pengkhianat. Tapi ....,tapi ...., bagaimana aku akan tega memusuhi dia yang begitu baik?" Dan gadis itu menangis lagi.

Han Sin menaruh tangannya di pundak Bi Eng. "Bukan hanya engkau, Eng-moi. Aku sendiripun kiranya takkan sampai hati untuk memusuhi Yong-giheng, seorang yang kuanggap amat baik dan malah sudah menjadi kakak angkatku. Eng-moi, marilah kita kembali dulu ke Min-san. Ketahuilah, selama ini aku sudah mempelajari ilmu silat. Setelah semua pengalaman pahit getir selama kita turun gunung, kita perlu beristirahat di Min-san, di sana kau boleh memperdalam ilmu silatmu, kemudian baru kita akan berusaha menghubungi dan menggabungkan diri dengan para patriot."

Bi Eng mengangkat mukanya memandang kakaknya. "Aku sudah menduga bahwa akhirnya kau akan menjadi seorang ahli silat, Sin-ko. Marilah kalau kau menghendaki kita pulang ke Min-san."

Sambil berjalan cepat di sepanjang perjalanan Han Sin menceritakan pengalaman-pengalamannya. Bi Eng merasa kagum sekali, akan tetapi juga amat berduka ketika mendengar tentang Siauw-ong, monyet peliharaan itu yang lenyap tanpa diketahui ke mana perginya. Ia sampai mencucurkan air mata kalau mengingat Siauw-ong.

"Jangan bersedih, Eng-moi. Kelak aku akan membawamu turun gunung lagi dan kita cari Siauw-­ong di Lu-liang-san. Kukira dia berada di dalam hutan di gunung itu."

Terhiburlah hati Bi Eng dan kedua orang muda ini melanjutkan perjalanannya. Sikap Bi Eng terhadap Han Sin masih biasa, manja dan penuh cinta kasih seorang adik. Sebaliknya, biarpun di luarnya Han Sin masih bersikap biasa pula, namun di dalam hatinya timbul bermacam-macam perasaan. Gadis ini bukan adik kandungnya! Seorang gadis anak orang lain, yang sama sekali tidak dikenalnya! Sinar mata dalam pandangnya terhadap Bi Eng berubah, membuat jantungnya kadang-­kadang berdetak aneh dan.cinta kasihnya terhadap Bi Eng juga mulai berubah. Biarlah pikirnya, kelak akan kubongkar rahasia gadis ini, akan kucari siapa sebetulnya orang tuanya. Dengan pikiran ini, Han Sin dapat menenteramkan hati dan bersikap biasa. Pemandangan di sepanjang perjalanan nampak terang dan indah setelah kakak beradik ini berkumpul kembali, hati penuh rasa bahagia dan tenteram.

**** ****

No comments:

Post a Comment