Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 043

◄◄◄◄ Kembali

"KELIRU, adik Eng …..! Kembali kau tidak curahkan perhatianmu ke dalam gerakan ini."

Gadis cantik jelita itu berhenti bersilat, menarik napas panjang lalu duduk di atas bangku dalam taman bunga itu. Kembali ia menarik napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan sutera hijau menghapus peluh dari leher dan pipinya yang kemerah-merahan. Bibirnya menjadi merah sekali karena pergerakan-pergerakan tadi, merah membasah, segar seperti buah masak. Sayang mata yang jeli itu kini membayangkan rasa duka.

Si pemuda yang melatih ilmu silat, berdiri bengong. Bagaikan terkena hikmat luar biasa, ia berdiri terpesona menatap wajah si gadis yang tertimpa sinar matahari pagi, wajah yang pada saat itu demikian elok dan jelita seperti wajah bidadari.

Si gadis menengok, bertemu pandang. Cepat si pemuda menundukkan kepalanya.

"Eh, Sin-ko (kakak Sin)! Apa-apaan kau berdiri seperti patung di situ? Kau tentu kecewa, ya? Memang otakku bebal, gerakan Heng-pai Kwan-im (Memuja Kwan Im Dengan Tangan Miring) tadi bagiku amat sukar, Sin-ko."

Pemuda itu bukan lain adalah Cia Han Sin, sudah dapat menenteramkan hatinya. Ia mengangkat muka, memandang kepada Bi Eng tenang-tenang. Keningnya agak berkerut.

"Bi Eng, adikku. Sebetulnya tidak ada barang sukar di dunia ini. Tergantung seluruhnya dari pada besar kecilnya kemauan kita. Gerakan kaki dan tanganmu sudah tepat, pengaturan tenaga dan napas juga sudah cocok sebagaimana mestinya. Akan tetapi, sayang sekali perhatianmu kurang tercurah dalam gerakan itu. Ketahuilah, adikku. Seperti juga dalam mengerjakan sesuatu, di dalam ilmu silatpun harus dipergunakan pencurahan pikiran ditujukan bulat-bulat kepada gerakan yang dilakukan (konsentrasi). Karena hanya dengan konsentrasi ini, kita akan dapat melihat setiap perubahan gerakan lawan dan dapat mengatur perkembangan gerakan kita sendiri."

Bi Eng tertawa. Gadis ini memang riang gembira sifatnya. Biarpun tadi matanya membayangkan kedukaan, namun sekarang begitu giginya yang putih berderet rapi itu terlihat dalam ketawanya, lenyaplah segala awan mendung. Cahaya matahari seakan-akan menjadi lebih gemilang. Dengan lagak manja Bi Eng menyambar tangan Han Sin dan menariknya duduk di sampingnya, di atas bangku.

"Duduklah, Sin-ko, jadi enak kita mengobrol. Kau berdiri marah-marah seperti seorang guru yang galak terhadap muridnya yang tolol!"

Mau tidak mau Han Sin tertawa juga. Kegembiraan Bi Eng selalu menjadi sinar dalam pondok mereka, menjadi cahaya terang dalam kesunyian di puncak Gunung Min-san, menjadi cahaya yang selalu bersinar-sinar di dalam lubuk hatinya!

"Eh, Sin-ko. Kau ini sekarang seperti dewa saja. Bagaimana kau bisa menyelami pikiranku? Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak mencurahkan seluruh perhatian dan pikiran ke dalam gerakan tadi padahal menurut kau sendiri, kaki tangan, tenaga dan napas yang kupergunakan sudah tepat!"

"Pandang matamu yang membuka rahasiamu, Eng-moi."

"Pandang mataku? Ada apanya sih yang aneh?" Gadis itu menengok menatap wajah kakaknya. Muka mereka berdekatan, hati Han Sin kembali berdebar-debar aneh. Cepat-cepat ia memalingkan muka.

"Pandang matamu membayangkan sesuatu yang menyatakan bahwa di dalam pikiranmu kau mengkhawatirkan sesuatu, membuat kau gelisah dan tak dapat mencurahkan seluruh perhatian ke dalam pelajaran tadi. Ilmu Silat Thian-po Cin-keng yang terdiri dari tiga bagian kali tiga puluh enam jurus adalah ilmu silat yang gerakan-gerakannya selalu disesuaikan dengan batin. Karena itu tidak mudah dipelajari. Aku hanya ingin menurunkan tiga jurus saja kepadamu. Yang tiga ini, Heng-pai Kwan-im, Jip-hai-siu-to, dan Ci-po-thian-keng, biarpun hanya tiga macam, akan tetapi sekali kau dapat menguasainya dengan sempurna sukarlah kau dikalahkan orang. Akan tetapi ...., sudahlah soal itu, aku hanya ingin tahu kenapa kau agaknya mengkhawatirkan dan menyusahkan sesuatu, adikku?"

Sinar kekaguman terpancar keluar dari pandang mata Bi Eng.

"Kau memang hebat, Sin-ko. Alangkah bangga hatiku mempunyai kakak seperti kau! Eh, dewa yang bijaksana, setelah kau ketahui keadaan pikiranku, tentu kau tahu pula akan isi hatiku!"

Han Sin menggeleng kepalanya. "Mana aku bisa tahu apa yang terkandung dalam hatimu?" Biarpun mulutnya berkata demikian, hati pemuda ini mengeluh. "Aduhai Bi Eng, kaupun mana bisa tahu akan isi hatiku? Mana kau tahu bahwa kita ini bukan saudara kandung bukan sanak bukan kadang, dan mana kau tahu bahwa aku .... aku cinta padamu?"

Bi Eng mengerut. Bibirnya diruncingkan matanya mengerling, pura-pura marah. "Kau tentu bisa menerka. Kalau kau tidak mau menerka, aku akan marah, Sin-ko!"

Han Sin tersenyum. Senang melihat kalau "adiknya" ini sudah mengambul dan bermanja seperti itu.

"Baiklah, akan kucoba. Eng-moi, bukankah selama kita berdiam lebih dari tiga bulan di atas gunung ini, hatimu selalu terkenang kepada tempat-tempat jauh di bawah sana? Bukankah hatimu selalu hendak mengajak aku turun gunung seperti dulu lagi? Itukah agaknya yang selalu mengganggumu dalam gerakan ilmu silat."

Aneh! Tiba-tiba Bi Eng menubruk Han Sin, menyandarkan kepala dengan rambut yang hitam halus harum itu di atas dada kakaknya, dan menangis!

Akan tetapi keanehan sikap Bi Eng ini masih tidak seaneh sikap Han Sin bagi Bi Eng. Gadis itu merasa betapa Han Sin mendekapnya, seakan-akan kakaknya itu hendak berusaha memasukkan kepalanya ke dalam dada kakaknya! Erat-erat dan menggigil kedua tangan kakaknya itu memeluknya dan Bi Eng merasa betapa muka kakaknya dengan panas disembunyikan ke dalam rambutnya. Tentu saja hal ini terasa aneh sekali bagi Bi Eng. Gadis ini menggerakkan kepalanya, menoleh ke arah muka Han Sin yang tadi dibenamkan ke dalam rambut yang gemuk itu.

Seperti baru sadar dari mimpi, Han Sin mengeluarkan keluhan aneh, melepaskan pelukannya, melangkah mundur membuang muka tak berani menentang pandang mata Bi Eng. Gadis itu melihat betapa wajah kakaknya pucat sekali dan betapa dua titik air mata membasahi pelupuk mata Han Sin. Timbul kasihan di dalam hati Bi Eng, ia mengira bahwa kakaknya itu menangis dan bersikap seaneh itu karena tadi terharu melihatnya. Ia melangkah maju dan memegang tangan kakaknya yang terasa dingin dan gemetar.

"Sin-ko, maafkan aku .... aku hanya membuat kau susah saja. Tidak, Sin-ko. Aku takkan rewel lagi. Aku takkan mengajak kau turun gunung selama kau belum menghendakinya. Aku akan belajar lebih rajin lagi. Sin-ko, jangan kau marah padaku, ya?"

Sikap manja kekanak-kanakan ini membuyarkan semua ketegangan di hati Han Sin. la kini dapat menatap wajah adiknya lagi, dan mukanya menjadi merah sekali.

"Eng-moi, tentu akan tiba saatnya kita turun gunung. Karena akupun ingin mencari Siauw-ong, monyet kita yang hilang tak karuan di mana adanya itu. Kukira dia tentu masih berada di sekitar Lu­liang-san, di sebuah hutan yang banyak monyetnya. Akan tetapi, selain rindu kepada Siauw-ong, aku tidak ingin mencari siapapun juga ...."

Ia berhenti sebentar, kemudian dengan pandang mata penuh selidik dan tajam sekali sampai membuat Bi Eng berdenyut takut, ia bertanya, "Mungkin kau ingin turun karena sudah rindu sekali kepada ......kepada teman-temanmu .....?"

"Sin-ko, kau ini aneh benar! Siapa sih temanku di dunia ini selain kau sendiri dan Siauw-ong?"

Masih saja wajah Han Sin memperlihatkan sikap penuh selidik dan aneh. "Apa .....apa kau tidak ingin bertemu dengan .... dengan Yong Tee? Bukankah dia sahabat baikmu?"

Bi Eng membelalakkan matanya. Ia heran sekali melihat sikap Han Sin yang tidak sewajarnya dan tidak seperti biasanya ini, dan dia sebetulnya masih terlalu bodoh untuk dapat menduga apa sebabnya maka Han Sin berhal demikian. Namun perasaan wanitanya yang halus seakan-akan mengerti bahwa Han Sin tak senang kalau dia bersahabat baik dengan pangeran itu, atau bahkan dengan orang-orang lain atau tepatnya dengan laki-laki lain!! Cemburu!! Tentu saja belum sampai pengertian Bi Eng untuk menyangka bahwa Han Sin cemburu seperti layaknya seorang pria mencemburukan wanita pilihannya!

"Sin-ko! Kau ini bagaimana sih? Yong Tee adalah kakak angkatmu, dengan sendirinya diapun menjadi kakak angkatku. Dan sikapku terhadapnya tak lebih tak kurang hanya seperti seorang adik, demikianpun dia memperlakukan aku sebagai seorang adiknya!"

Akan tetapi jawaban ini masih belum mengubah sikap Han Sin yang aneh. "Bagaimana hubunganmu dengan .... Yan Bu? Bukankah dia amat baik padamu dan kau memuji­mujinya?"

Bi Eng makin merasa heran. Kakaknya hari ini benar-benar aneh! "Dia memang orang baik, seorang gagah perkasa dan pernah menolongku. Akan tetapi bagiku, hanya habis sampai di situ sajalah. Tentu saja kalau dapat bertemu dengan dia sebagai seorang teman kita yang baik, kita akan menjadi girang. Akan tetapi, aku tidak akan mencari-carinya ....dan .... eh, Sin-ko, kau kenapakah? Hari ini sikapmu kok luar biasa. Tadi seperti guru galak, lalu baru saja ketika aku menangis kau seperti .... seperti ....”

"Seperti apa .....??

Gadis itu berpikir keras, namun tak dapat memecahkan persoalan itu, hanya menggeleng kepala, "Seperti entahlah, pendeknya aneh sekali! Dan sekarang, kau seperti hakim saja!"

Sikap aneh tadi lenyap dari muka Han Sin. Ia sudah dapat tersenyum lagi. "Jangan marah, adikku yang baik. Aku tadi hanya main-main saja. Sssttt, dengar. Ada orang datang ......!"

Pendengaran Bi Eng sudah amat tajam walaupun tidak setajam Han Sin. Setelah mencurahkan perhatian, barulah ia dapat mendengar langkah kaki orang yang mendaki puncak itu. Mereka terheran karena langkah kaki ini menunjukkan bahwa yang datang bukanlah seorang ahli silat, kalaupun ada kepandaiannya, namun kepandaian orang yang datang ini tidak berarti.

Han Sin dan Bi Eng sudah berlari keluar dari taman, kini berdiri menanti di depan rumah mereka, rumah peninggalan orang tua mereka. Siapakah yang datang di tempat sunyi ini? Langkah kaki yang kelelahan makin terdengar dekat. Batu terakhir yang banyak mengelilingi puncak itu dipanjat orang dan muncullah kepala seorang pemuda tampan berpakaian sederhana.

"Dia ....??" Berubah wajah Han Sin ketika ia mengenal orang ini.

Wajah Bi Eng berseri, tapi hanya sebentar saja. Ketika ia mengerling kepada Han Sin, segera ia mengerutkan kening. Kakaknya nampak tak senang, bahkan kelihatan marah-marah. Dengan tindakan cepat Han Sin menghampiri pemuda yang baru datang itu. Bi Eng cepat menyusulnya.

"Mau apa kau datang ke sini? Muslihat busuk apakah yang akan kaulakukan? Pergi!" seru Han Sin marah.

Pemuda itu menarik napas panjang dan memandang dengan muka sedih. Sejak tadi Bi Eng melihat bahwa orang yang datang ini diliputi kedukaan besar. la merasa kasihan, lalu memegang lengan kakaknya dan berkata kepada orang itu,

"Yong-ko (kakak Yong), maafkan kalau kami tidak dapat menyambut sebagaimana mestinya. Ada keperluan apakah Yong-ko mendatangi tempat kami yang sunyi?"

Kembali orang itu yang bukan lain adalah Yong Tee, pangeran dari Kerajaan Mancu, menarik napas panjang.

"Terima kasih atas sikapmu yang baik, siauw-moi. Sayang sekali gi-te (adik angkat) nampaknya masih membenci aku, sehingga agaknya perjalananku yang amat jauh dan susah payah ini akan tersia-sia, harapanku akan musnah dan hidupku akan hancur ...."

Dan tiba-tiba pangeran yang biasanya amat cerdik, amat tenang dan dapat menguasai segala hal itu menjatuhkan diri di atas tanah dan ...... menangis!

Bukan main terharunya hati Bi Eng. Ingin ia menghiburnya, akan tetapi ia merasa tidak enak dan takut kepada Han Sin. Adapun Han Sin yang menyaksikan sikap pangeran ini, heran sekali. la sudah mengenal baik-baik watak Yong Tee, tahu bahwa kalau tidak ada hal yang amat hebat, tak mungkin pangeran itu akan memperlihatkan sikap seperti ini, demikian lemahnya.

Tergerak hatinya, tetapi, keangkuhannya mengekangnya. Bagaimana ia bisa bersikap manis terhadap seorang pangeran dari kerajaan yang menjajah nusa bangsanya? Untuk menutupi keharuan hatinya melihat bekas saudara angkat yang dahulu amat dipandang tinggi dan dikasihinya, Han Sin membentak,

"Seorang laki-laki boleh mengeluarkan peluh dan darah, pantang mengeluarkan air mata! Kau datang mau apakah? Harap segera terangkan, atau tinggalkan kita!"

Diam-diam rasa cemburu timbul lagi dalam dada Han Sin. Harus ia akui bahwa pangeran ini amat tampan, halus tutur sapanya, baik budinya, dan mempunyai kepandaian yang amat luas. Benar-­benar seorang pemuda yang menjadi harapan tiap orang gadis, tentu saja termasuk Bi Eng! Agaknya perasaan cemburu inilah yang mempertebal rasa bencinya terhadap pangeran Bangsa Mancu ini.

Mendengar ucapan Han Sin itu, pangeran Yong Tee memaksa tersenyum masam. "Kau betul sekali, Cia-gite. Kau adalah jauh lebih gagah dari pada aku. Aku lemah sekali ....... kali ini terpaksa kuakui betapa lemahnya aku ...... Cia-te, aku datang untuk memohon pertolonganmu."

"Kau adalah seorang Pangeran Mancu, bagaimana bisa minta pertolonganku? Aku adalah musuh kerajaanmu, mengerti? Kedudukan kita menempatkan kita berhadapan sebagai musuh, tak mungkin menjajarkan kita sebagai teman atau saudara."

"Saudaraku, ucapanmu lagi-lagi tepat sekali. Akan tetapi kali ini, aku minta pertolonganmu karena urusan pribadi, sama sekali tidak menyangkut urusan politik dan negara .....”

Melihat sikap Han Sin masih bersikeras, dan kasihan melihat sikap pangeran itu yang tak segan-­segan merendahkan diri dan agaknya amat berduka, Bi Eng lalu berkata,

"Sin-ko selalu bersiap sedia menolong siapapun juga tanpa memilih bulu, asal saja pertolongan yang dibutuhkan tidak menyimpang dari pada kebenaran. Saudara Yong, katakanlah, apa gerangan yang menyusahkanmu?"

Yong Tee memandang kepada gadis itu dengan berterima kasih. Kemudian ia bercerita tentang keadaan di kota raja yang sudah banyak mengalami perubahan semenjak Han Sin dan Bi Eng meninggalkannya. Ringkasan cerita Pangeran Yong Tee adalah sebagai berikut.

Seperti telah diketahui, penyerbuan Bangsa Mancu ke daerah Tiongkok, mendapat bantuan pula dari bangsa-bangsa lain di utara, di antaranya yang paling berjasa adalah Bangsa Mongol. Karena itulah nama besar Raja Muda Bhok Hong atau di dunia kang-ouw lebih terkenal dengan sebutan Pak-thian-tok (Racun Dunia Utara), yaitu seorang pangeran Bangsa Mongol, bersama puteranya yang bernama Bhok Kian Teng, lebih terkenal dengan sebutan Bhok-kongcu dan sebetulnya bernama Pangeran Galdan, amat terkenal dan merupakan orang-orang yang mempunyai pengaruh besar di Kerajaan Mancu.

Namun ternyata kemudian bahwa jalan politik Bangsa Mancu amat jauh bedanya dengan Bangsa Mongol. Bangsa Mongol yang dulu pernah menjajah Tiongkok, merupakan penjajah yang kejam dan mementingkan bangsanya sendiri. Sebaliknya, bangsa Mancu berusaha menyesuaikan diri, malah melakukan banyak kebaikan untuk rakyat jelata seperti membasmi korupsi, penyuapan, dan juga mereka ini malah menyesuaikan diri mengikuti perkembangan kebudayaan Han.

Hal ini amat mengecewakan Bangsa Mongol, di bawah pimpinan Pangeran Galdan atau Bhok-­kongcu yang dibantu banyak orang pandai, juga mengandalkan nama besar dan kepandaian ayahnya, Pak-thian-tok Bhok Hong! Apa lagi setelah pihak pemerintah Mancu muncul orang-orang seperti Pangeran Yong Tee yang selalu berusaha merintangi perbuatan sewenang-wenang dari orang-orang Mongol, pemberontakan orang Mongol tak dapat dicegah lagi!

Setelah berkali-kali mengalami perselisihan dengan pemerintahan Mancu, akhirnya Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan membawa semua anak buah dan pembantunya, melarikan diri ke utara dan di sana dia menyusun kekuatan untuk memberontak kepada Kerajaan Mancu, untuk mengusir Bangsa Mancu dari daratan Tiongkok, bukan dengan maksud membebaskan rakyat dari pada penjajahan, malah sebaliknya, hendak melanjutkan penjajahan nenek moyangnya dahulu, yaitu Jenghis Khan yang maha besar!

"Banyak orang gagah dapat ia bujuk dan ikut pula memberontak, ikut lari ke utara," demikianlah Pangeran Yong Tee melanjutkan ceritanya. "Yang tidak mau ikut, banyak yang dibunuh, di antaranya Thio-ciangkun yang setia kepada kerajaan kami. Juga orang-orang yang ternama di kalangan kang-ouw banyak yang ikut terbujuk oleh Pangeran Galdan, malah di antaranya Hoa Hoa Cinjin ikut pula memberontak." Pangeran itu lagi-lagi menarik napas pagjang, nampaknya berduka sekali. "Yang lebih hebat lagi, puteri angkatnya, nona Hoa-ji ....., ikut pula ke utara ........"

Han Sin mengerutkan kening. "Perduli apa dengan Hoa Hoa Cinjin? Dia manusia busuk!"

Akan tetapi Bi Eng yang lebih tajam pendengarannya dan lebih halus perasaannya, memotong,

"Sin-ko, yang disedihi Pangeran Yong bukanlah Hoa Hoa Cinjin, akan tetapi nona Hoa-ji itulah!"

Pangeran Yong Tee menarik napas panjang. "Adik Bi Eng, memang tepat sekali ucapannya itu. Terus terang saja, aku...... aku sejak lama........ jatuh cinta kepada nona Hoa-ji, biarpun belum kulihat mukanya....... aku bodoh dan edan sekali, aku tergila-gila kepada seorang gadis yang selalu bersembunyi di balik kedoknya ......"

Tadinya ia menunduk, sekarang ia mengangkat muka dan berkata, "Demikianlah, gi-te. Aku sudah membuka rahasia hatiku yang tidak diketahui siapapun juga, bahkan ibukupun belum tahu akan rahasia hatiku ini. Aku putus asa...... aku sedih dan bingung sekali ........”

Aneh dalam pandangan Bi Eng, tiba-tiba wajah Han Sin berseri, malah ia seperti melihat senyum kegembiraan membayang di balik bibir dan pandang mata kakaknya. la mengenal benar setiap tarikan muka, setiap sinar mata atau senyum kakaknya ini. Heran benar, mengapa kakaknya demikian gembira dan bahagia mendengar penuturan Pangeran Yong Tee?

Tentu saja nona ini tidak tahu apa yang terjadi di dalam hati Han Sin. Memang tepat dugaannya, Han Sin merasa gembira dan berbahagia karena setan cemburu sekaligus terbang lenyap dari lubuk hatinya ketika Pangeran Yong Tee secara terus terang mengakui cintanya terhadap nona Hoa-ji, gadis bertopeng itu. Kalau demikian, berarti pangeran yang tampan menarik ini tidak mencintai Bi Eng, hanya menyayangnya sebagai adik angkat belaka! Maka lembutlah kata-katanya ketika ia bicara kepada pangeran itu,

"Pangeran, setelah mendengar ceritamu dan mengingat akan kebaikanmu yang dulu-dulu kepada aku dan adikku, biarlah aku sanggupi untuk mencari kekasihmu itu di utara. Akan kususul nona Hoa-ji, kulindungi dia dari pada bahaya, dan kalau mungkin akan kubawa dia pulang ke kota rajamu. Akan tetapi dengan syarat bahwa aku tidak mau mencampuri urusan pertempuran dan peperangan antara Bangsa Mancu dan Bangsa Mongol, karena itu bukan urusanku."

Bukan main girang hati Yong Tee. Dia tadinyƤ sudah putus asa, karena setelah kekasihnya itu berdiri di pihak musuh, tiada harapan pula baginya untuk melanjutkan cinta kasihnya. Nona itu tentu akan terancam bahaya. Untuk minta tolong orang lain, ia tentu saja harus membuka rahasia hatinya dan hal ini ia tidak inginkan. Satu-satunya harapan baginya hanyalah pertolongan Han Sin yang ia ketahui kegagahannya.

Ia menjura. "Gi-te, aku terharu, girang dan juga kecewa mendengar kesanggupanmu. Tentu saja aku terharu dan girang karena ternyata kau masih sudi menolongku dan terima kasih sebelumnya kuhaturkan. Akan tetapi aku kecewa karena ternyata kau sudah tidak mau mengakuiku sebagai saudara angkatmu lagi ......”

"Hal itu sudah lewat, pangeran Harap jangan diulang lagi. Apakah kau mau memperingatkan aku bahwa kau mengusulkan pengangkatan saudara karena hendak menarikku ke pihak Mancu, pihak penjajah tanah airku? Tidak! Sebagai manusia secara perorangan kita memang saudara, namun sebagai bangsa, kita berlawan karena bangsamu menjajah bangsaku. Nah, selamat berpisah, pangeran. Aku dan adikku baru akan turun gunung beberapa hari lagi setelah selesai latihan-latihan kami. Mudah-mudahan saja akan dapat berhasil usahaku mencari nona Hoa-ji dan mengantarkannya kepadamu."

Menyaksikan kekerasan hati Han Sin, pangeran itu terpaksa pergi meninggalkan puncak itu dengan muka muram. Setelah tamu itu pergi tidak kelihatan lagi, Bi Eng mengomel,

"Sin-ko, kau benar-­benar terlalu. Dahulu aku di istananya mendapat perlakuan baik sekali. Sekarang dia datang, secawan air teh saja kita tidak keluarkan untuknya."

"Bi Eng, rumah ini adalah peninggalan ayah ....." Ia ragu-ragu dan menelan kembali kata-kata "kita" di belakang kata-kata "ayah". "Aku tidak ingin melihat arwah ayahku marah menyaksikan anaknya menjamu seorang pangeran penjajah."

Bi Eng tak berani membantah lagi. Gadis inipun memang mempunyai watak keras dan patriotik, maka biarpun ia merasa menyesal bahwa mereka terpaksa memperlakukan Pangeran Mancu itu seperti seorang musuh, namun iapun tak dapat menyalahkan sikap Han Sin. Selain ini, hatinya sudah penuh kegembiraan bahwa beberapa hari lagi Han Sin akan mengajak dia turun gunung! Pergi ke dunia ramai, bertemu orang-orang, mencari Siauw-ong!

"Sin-ko, kapan kita berangkat?" Dia sudah lupa akan hal-hal tadi, dan kini wajahnya berseri-seri.

Han Sin juga tersenyum melihat kegembiraan ini. "Kau harus berlatih dulu, setelah sempurna tiga jurus Thian-po Cin¬keng itu, baru kita turun gunung."

Otomatis Bi Eng segera berlatih lagi, tanpa mengenal lelah dan bosan, dan Han Sin membantu adiknya. Memang Han Sin ingin supaya sebelum turun gunung Bi Eng sudah memiliki tiga jurus pukulan ajaib ini sebagai bekal, karena hanya setelah tiga jurus ini dapat dimainkan dengan sempurna, Bi Eng akan dapat melindungi dirinya sendiri dengan baik.

Memang betul bahwa Bi Eng takkan mungkin terancam bahaya selama berada di sisinya, akan tetapi siapa tahu keadaan di dunia ramai? Banyak sekali manusia jahat dan besar kemungkinan sewaktu-waktu dia sendiri takkan sempat melindungi keselamatan Bi Eng sehingga gadis ini harus memiliki jurus-jurus lihai yang akan menyelamatkan dirinya sendiri.

Tiga hari kemudian. Malam terang bulan yang amat indah di puncak Min-san. Bi Eng masih berlatih silat di taman. Akhirnya Han Sin menyuruh ia berhenti.

"Hawa makin dingin, Eng-moi. Kau berhentilah, besok dilanjutkan lagi. Kau sudah maju banyak. Kalau begini terus, dua tiga hari lagi kita bisa turun gunung."

Bukan main girangnya hati Bi Eng. Ia mengaso duduk di atas bangku. Setelah berhenti bersilat, baru terasa olehnya betapa dinginnya. Ia lelah dan hawa dingin membuat ia mengantuk.

"Aku pergi tidur lebih dulu, Sin-ko. Besok bangun pagi-pagi dan berlatih lagi."

Han Sin mengangguk dan tersenyum. Sampai lama ia memandang ke arah adiknya yang berjalan memasuki pondok mereka, tubuh langsing dengan rambut mengkilap tertimpa cahaya bulan. Bukan main, pikirnya. Dan dia bukan adik kandungku, bukan apa-apaku ...... eh, bukan apa-apa? Tidak, malah segala-segalanya! Bi Eng milik satu-satunya di dunia ini. Tanpa Bi Eng hidupnya akan hampa. Han Sin termenung ....

Bagaimana ia harus membuka semua rahasia itu? Apa yang akan dilakukan Bi Eng bila gadis itu tahu akan rahasia ini? Tak boleh, bantahnya. Tak boleh aku membuka rahasia ini sebelum tahu betul siapa sebenarnya adik kandungnya yang sejati, sebelum ia tahu betul apa yang telah terjadi di saat kedua orang tuanya terbunuh. Siapa pembunuh mereka dan penukaran-penukaran aneh apa yang terjadi atas diri bayi perempuan, adik kandungnya!

Tidak adanya Bi Eng di taman itu membuat ia serasa sunyi sekali. Aneh, pikirnya. Padahal Bi Eng berada di pondok itu, tidak jauh dari situ. Begitu saja ia sudah merasa kesepian. Apa lagi kalau Bi Eng pergi jauh meninggalkannya. Bagaimana rasanya? Tak berani ia membayangkannya.

Perlahan pemuda ini berdiri meninggalkan taman memasuki pondok, ke dalam kamarnya sendiri. Agak jauh dari kamar Bi Eng. Rumah itu cukup besar, banyak kamarnya dan ia sengaja memakai kamar yang berjauhan dengan kamar Bi Eng. Tergoda oleh asmara, Han Sin takut akan dirinya sendiri!

Han Sin tak dapat tidur. Sudah lama tiap malam sukar ia meramkan matanya. Pikirannya selalu melayang, tentu saja penuh bayangan Bi Eng yang kadang-kadang membuat ia berduka, kadang-­kadang membuat ia tersenyum-senyum dalam tidurnya.
Lampu belum dipadamkannya. Tiba-tiba seluruh panca inderanya tegang. Ada suara dari jendelanya. Orang jahatkah? Ataukah Pangeran Yong Tee .........? Hatinya berdebar. Bagaimanapun juga, pangeran itu adalah Pangeran Mancu. Siapa tahu kalau-kalau kedatangannya tiga hari yang lalu hanya sebagai penyelidikan dan kini datang kaki tangannya yang hendak berlaku jahat? Diam-­diam ia tersenyum mengejek. Dia tidak takut. Biarlah penjahat itu masuk!

TANPA bangun dari ranjangnya, Han Sin melirik ke arah jendela. la kagum juga karena tanpa mengeluarkan suara berisik, jendela itu dibuka orang dari luar. Agaknya dengan tenaga dorongan yang disertai lweekang cukup tinggi. Tiba-tiba ia membelalakkan matanya.

Sebuah lengan, terbungkus lengan baju sampai di bawah siku, kelihatan. Lengan tangan yang halus putih kulitnya, runcing mungil jari-jari tangannya, lengan tangan wanita! Tiba-tiba tangan itu lenyap dan daun jendela terbuka lebar, lalu disusul berkelebat bayangan orang dan tahu-tahu di dalam kamarnya telah berdiri seorang wanita!

Wanita yang amat aneh, pakaiannya sederhana dengan potongan yang asing baginya. Pakaian itu membungkus tubuh dengan ketat, memperlihatkan bentuk tubuh yang amat indah. Tubuh seorang gadis muda, seperti Bi Eng. Akan tetapi muka dan kepala tertutup kain pembungkus yang terbuat dari pada sutera tebal, yang membungkus semua tubuh bagian atas, dari kepala, muka dan leher! Hanya di bagian matanya saja tidak tertutup kain kepala itu, memperlihatkan sepasang mata yang luar biasa, bening seperti mata burung hong. Kini sepasang mata itu menyambar ke arahnya.

Han Sin serentak bangkit dan duduk. la maklum bahwa wanita ini, siapapun juga dia, bukanlah orang sembarangan. Di pinggangnya tergantung sebatang pedang, di sebelah kiri tergantung sebuah kantong dan tampak gagang-gagang hui-to (golok terbang) tersembul dari kantong. Di punggungnya tergantung sebuah gendewa berikut beberapa batang anak panah! Lengkap benar persenjataannya, seperti panglima wanita hendak maju perang!

Lanjut ke jilid 044 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment