Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 044

◄◄◄◄ Kembali

Dua pasang mata bertemu. Han Sin terheran-heran dan bingung karena tidak tahu harus berkata apa. Wanita ini memandang dengan tajam, seolah-olah pandang mata itu hendak menembus dada Han Sin. Kemudian terdengar suaranya, halus merdu tapi ketus. Kain penutup kepala dan muka di bagian bibirnya bergerak-gerak,

"Kau yang bernama Cia Han Sin putera Cia Sun?"

Han Sin tersenyum, lalu berdiri dan menjura. Lagi-lagi seorang pengenal mendiang ayahnya, pikirnya. Kalau bukan bekas kawan ayahnya tentulah musuh baru baginya.

"Betul, aku bernama Cia Han Sin dan mendiang ayahku Cia Sun. Kau siapakah dan apa keperluanmu datang malam-malam? Bicaramu seperti seorang Bangsa Hui ....." Tiba-tiba Han Sin teringat akan Balita, Puteri Hui yang katanya menjadi musuh ayahnya, "Ada hubungan apa kau dengan Balita?"

"Sraaattt!" Wanita itu mencabut pedangnya yang gemerlapan di bawah sinar lampu. Han Sin tetap tenang, malah kini ia duduk kembali ke atas pembaringannya.

"Cia Han Sin, sebelum kau mati di tanganku, ketahuilah lebih dahulu agar rohmu tidak penasaran. Aku bernama Tilana, aku puteri dari wanita yang kau sebut namanya tadi. Balita adalah ibuku dan kedatanganku ini bukan lain hendak membalaskan dendam ibuku, hendak mengambil nyawamu."

Han Sin tersenyum. "Kau dan aku tak pernah saling bertemu, tidak pernah ada permusuhan apa-apa, kenapa kau datang-datang hendak membunuhku? Urusan lama antara ibumu dan ayahku sudah habis karena ayah sudah meninggal dunia, kenapa kau dan aku harus pula ikut-ikut melanjutkan permusuhan?"

Kemudian Han Sin teringat akan pesanan uwak Lui tentang orang yang bernama Balita itu, maka ia sengaja memancing, "Pula, urusan hebat apa sih. yang membuat ibumu itu masih terus mendendam terhadap ayahku yang sudah meninggal?"

Melihat sikap tenang-tenang saja dari pemuda yang gagah dan tampan di depannya itu, gadis berkerudung menjadi tercengang juga. Mana ada orang mau dibunuh bersikap tenang-tenang dan enak-enakan seperti ini, malah mengajaknya mengobrol?

"Ayahmu telah menghina ibuku! Karena aku tidak dapat membalas kepada ayahmu, aku akan bunuh kau sebagai puteranya! Ayahnya tukang menghina wanita anaknyapun takkan banyak bedanya!" Suara wanita ini benar-benar halus merdu, biarpun ketus sekali, namun harus diakui oleh Han Sin bahwa suaranya amat merdu dan bicaranya dengan dialek Hui itu amat enak didengar, lucu pula.

"Aiihh ...... aiihh ....., kau menuduh sembarangan saja. Baik ayah maupun aku bukanlah sembarang laki-laki yang suka menghina wanita. Kau ini seorang wanita yang begini cantik jelita, kenapa berhati kejam, hendak membunuh orang? Sayang ...........”

"Setan! Mulutmu saja sudah kurang ajar!"

"Lhoh! Kenapa kurang ajar?"

"Kau bilang aku cantik segala .........”

"Eh, eh! Apakah memuji kecantikan berarti kurang ajar?"

"Melihat mukakupun belum, bagaimana kau bisa bilang cantik segala? Apa lagi kalau bukan karena kau hendak kurang ajar?"

"Waduh, waduh ...... galak amat kau! Mudah saja menduga bahwa kau cantik jelita. Seorang gadis dengan bentuk tubuh seperti kau, dengan suara halus merdu, dengan sepasang mata seperti itu, bisa lain tentulah cantik jelita. Biarlah kita bertaruh. Kau buka kerudungmu itu, Kalau kau betul-betul cantik jelita, berarti kau kalah dan sudahlah, kau boleh pergi dari sini dengan damai, tak perlu kita bermusuhan. Sebaliknya, kalau dugaanku keliru, kalau kau bermuka buruk, biar aku menghaturkan maaf kepadamu dan boleh kaupukul mukaku tiga kali!"

"Keparat! Setan!!" Wanita itu memaki, sepasang matanya berkilat-kilat. "Siapa juga, terutama kalau dia laki-laki, yang berani membuka kerudungku, aku akan membunuhnya sampai tujuh kali!"

Mau tak mau Han Sin bergidik mendengar ini. Ucapan itu bukan main-main, apa lagi sepasang mata itu menyatakan betapa ucapan ini keluar dari hati, bukan gertak sambal belaka.

"Hemm, nona Tilana. Lebih baik kau pulang saja kepada ibumu dan katakan bahwa aku akan menghabisi permusuhan lama, asal saja bukan ibumu yang membunuh ayah bundaku. Aku masih harus menyelidiki akan hal ini."

"Manusia sombong, jangan banyak cakap. Keluarkan senjatamu!"

"Bukan aku yang ingin berkelahi, kau yang ingin berkelahi yang selalu membawa-bawa senjata memasuki kamar orang, dan .......”

"Setan!" Tilana, gadis berkerudung itu lalu menubruk sambil berseru, "Lihat pedang!"

Han Sin dengan mudah dan tenang mengelak. la melihat betapa gerakan gadis ini bukan main cepat dan kuatnya, bahkan setingkat lebih kuat dan lebih cepat dari pada Bi Eng sendiri! Diam-diam ia merasa kagum dan merasa sayang kalau gadis selihai ini sampai tersesat. Ia tidak tega melukainya. Ayahnya dulu pernah bentrok dengan Balita, puteri Bangsa Hui. Sekarang adalah kewajibannya untuk menghabiskan permusuhan itu dan sekali-kali ia tidak boleh melukai gadis puteri Balita ini.

Tilana menjadi penasaran sekali. Di daerahnya, selain ibunya sendiri yang sudah hampir setingkat dengannya, tak ada orang lain mampu menghadapi serangan-serangan pedangnya. Akan tetapi pemuda ini, pemuda yang terlalu lemah lembut, terlalu tampan, terlalu pandai bicara manis, yang tersenyum-senyum dan terlalu tenang ini, dengan tangan kosong menghadapi serangan-serangannya dan selalu dapat mengelak.

"Kau lihai ....... kau galak .......!” Han Sin sengaja menggoda. Pemuda ini pada hakekatnya memang berwatak romantis, maka kini menghadapi gadis galak, otomatis timbullah watak nakalnya yang hendak menggodanya tanpa disertai maksud-maksud tidak sopan.

Ia sekarang malah duduk di atas bangku, membelakangi gadis itu dan tangannya merayap ke meja mencari kuweh kering yang lalu dimakannya. Sama sekali ia tidak memperdulikan gadis itu yang hendak menyerangnya dari belakang.

Tilana gemas sekali. "Mampus kau kali ini!" bentaknya sambil menusukkan pedangnya dari belakang. Agak gemetar tangannya ketika melihat pemuda itu sama sekali tidak mengelak. Ujung pedangnya hampir menyentuh punggung dan ........ eh, tahu-tahu pemuda itu sudah "melayang" ke atas meja tanpa menggerakkan kaki tangannya. Tahu-tahu seperti dipindahkan oleh tangan tak terlihat, tubuhnya sudah berpindah, sudah duduk di atas meja. Sebelah tangannya masih memegangi kuweh kering yang digigitnya.

Tilana menggigit bibir. Bagaikan kilat pedangnya menyerampang, membabat pinggang pemuda itu. Seperti tadi, tubuh pemuda itu hilang dan tahu-tahu sudah berada di atas pembaringan, kini rebah terlentang dengan mata dimeramkan!

Tilana menjadi pucat. Belum pernah ia menyaksikan hal seperti ini. Setankah pemuda ini? Dalam kemarahannya, gadis ini yang menganggap gendewanya menjadi perintang, melepaskan gendewa dan anak panah, melemparkannya di atas meja. Kemudian sambil mencekal gagang pedang erat-­erat, ia menubruk maju dan menikam.

"Capppp .......!" Pedangnya menusuk kasur sampai tembus! Sebelum hilang kagetnya, gadis ini merasa tubuhnya lemas dan tanpa dapat dicegah lagi ia terguling ke atas pembaringan yang sudah kosong, jatuh terlentang. la melihat pemuda itu sambil tersenyum sudah berdiri di pinggir pembaringan dan tangan kanan pemuda itu bergerak ke arah mukanya. Tilana menjadi kaget setengah mati, tak terasa pula menjerit lirih penuh ketakutan,

"Jangan ..... jangan ohh...... jangan .......!”

Han Sin menjadi gemas sekali. Dia dikira orang macam apakah? Gadis ini benar-benar keterlaluan, menyangka yang bukan-bukan kepadanya.

"Bodoh! Kau sangka aku orang macam apa? Aku hanya akan membuka kerudungmu, hendak kulihat macam apa muka orang yang galak dan suka salah sangka .....!”

Tangannya bergerak dan sekali renggut saja terbukalah kerudung yang menutupi muka gadis itu.

Han Sin ternganga, berdiri seperti patung. Bukan main cantiknya muka gadis ini, jauh melampui semua dugaannya. Mata yang tadi sudah nampak indah seperti mata burung hong itu kini nampak lebih hebat lagi. Hidung yang mancung, bibir yang ..... ah, bukan main cantik dan manisnya.

Kulit muka yang sering kali tertutup itu halus sekali. Rambutnya panjang menutupi kedua telinga yang terhias anting-anting besar dari emas murni. Hanya sebentar ia melihat muka luar biasa cantiknya itu karena gadis itu segera bangun, duduk di atas pembaringan dan menutupi muka dengan kedua tangannya, menangis terisak-isak sedih sekali ......!

Han Sin termangu-mangu. "Ah ....... kau maafkan aku, nona ....... maafkan aku sebesar-besarnya. Kalau perlu, kaugamparlah mukaku. Aku ...... aku bukan bermaksud jahat, sungguh mati aku hanya ingin melihat muka orang yang datang hendak membunuhku ......”

Mata yang indah menarik itu kelihatan ketika kedua tangan diturunkan. Mata yang penuh air mata, tapi malah nampak makin indah seakan-akan terhias butiran-butiran mutiara, kini memandang kepadanya dengan sinarnya yang sukar ia gambarkan.

"Kau ....... kau betul-betul tidak ...... tidak bermaksud menghinaku .....? Kau .... kau tidak bermaksud menghina .......?" Tilana bertanya, suaranya gemetar, malah tanpa disadarinya ucapan ini dilakukan setengahnya dalam Bahasa Hui. Baiknya Han Sin sudah mempelajari bahasa ini, maka untuk menyenangkan hati gadis Hui itu, iapun menjawab ke dalam Bahasa Hui sambil tersenyum,

"Tentu saja tidak. Aku bukanlah laki-laki yang suka menghina kaum wanita.....”

Terbelalak mata indah itu yang masih berlinang air mata, bibir yang mungil itu terbuka sedikit.

"Kau .... kau bisa berbahasa Hui .......?”

Han Sin mengangguk sambil tersenyum. "Pernah aku mempelajarinya .......”

Aneh sekali, gadis itu kini memandangnya penuh selidik, dari atas ke bawah, lalu ke atas lagi sampai berkali-kali, kemudian berhenti pada mata Han Sin. Dua pasang mata bertemu pandang. Han Sin terheran-heran karena melihat pandang mata itu kini menjadi aneh, penuh kemesraan yang membuat ia bergidik.

Tiba-tiba, ia benar-benar merasa bulu tengkuknya berdiri ketika gadis itu dengan sedu-sedan menubruknya, memeluknya. Ketika dengan bingung ia mencium bau semerbak harum yang amat aneh dari rambut gadis itu, barulah Han Sin tersadar dan cepat-cepat ia menolak pundak gadis itu perlahan-lahan. Tilana lalu menjatuhkan diri berlutut, memeluk kedua kaki Han Sin, bahkan lalu mencium ujung kaki pemuda itu!

"No ...... nona ......, nona Tilana ...." Sukar sekali Han Sin mengeluarkan suara seakan-akan lehernya tercekik sesuatu. "Apa ....... apa artinya ini .......?”

Tilana mengangkat mukanya dalam keadaan berlutut ia memandang ke atas dengan muka berseri dan mata penuh cinta kasih!

"Kanda ....... kanda Cia Han Sin ...... artinya ...... artinya bahwa aku menyerahkan jiwa ragaku kepadamu ..... aku isterimu yang bodoh, yang buruk tapi yang setia kepadamu ........!”

Kalau pada saat itu ada kilat menyambar kepalanya, belum tentu Han Sin akan menjadi begitu kaget seperti setelah mendengar kata-kata ini. la mencelat ke tengah kamarnya tanpa disadarinya. Kemudian ia menekan batinnya yang berdebar-debar tidak karuan, memaksa diri berlaku tenang. Agaknya gadis cantik berotak miring yang memasuki kamarnya ini. Han Sin memasang muka keren, lalu bersedakap sambil berkata,

"Nona Tilana, jangan kau main-main di sini. Kuanggap kata-katamu tadi main-main belaka. Sudahlah, kuminta kau keluar dari sini dan jangan mengganggu aku lagi!"

Heran sekali. Tiba-tiba Tilana menjadi pucat bagaikan mayat. Gadis ini berdiri dengan tubuh limbung. Seperti orang bingung ia mencabut pedang dari kasur dan memasangnya lagi di pinggang dengan tangan menggigil. Kemudian, barulah ia berdiri menghadapi pemuda itu dengan muka masih pucat. Betapa kuat ia berusaha menenteramkan hatinya, tetap saja ia masih bergemetar dan mukanya masih pucat.

"Kanda Cia...... kau tadi bilang apa......? Aku...... aku tidak begitu jelas........ mendengar ......”

Han Sin makin bingung. Mungkinkah gadis cantik jelita seperti bidadari aneh ini benar-benar gila?

"Nona Tilana, aku bilang bahwa sudah cukup permainan ini. Harap kau suka tinggalkan aku. Keluarlah dan jangan menggangguku lagi."

Beberapa kali mulut yang bergerak-gerak itu tak mengeluarkan kata-kata, akhirnya keluar juga setelah dipaksa,

"Tapi .... tapi ... kanda .... aku isterimu ....“

"Gila ........!” Han Sin menendang bangku sampai benda itu terlempar membentur dinding dan bergulingan. "Siapa bilang kau ..... kau ...... isteriku ........?”

"Kanda Cia Han Sin, bukankah tadi kau ..... kau tidak bermaksud menghinaku?"

"Memang. Kuulangi lagi, aku tidak dan sama sekali takkan mau menghinamu?" jawab Han Sin.

"Kalau begitu, kenapa kau tidak mau mengakui aku sebagai isterimu? Kau....... kau sudah membuka kerudung mukaku! Dan aku sudah bersumpah bahwa kalau ada laki-laki membuka kerudung mukaku, hanya ada dua jalan bagiku. Hidup menjadi isterinya atau mati bersama dengan laki-laki itu! Tadi kau telah membuka kerudung mukaku. Kalau tadi kau menjawab bahwa kau sengaja menghinaku, tentu akan kubunuh kau lalu kubunuh diriku sendiri. Akan tetapi kau..... kau tidak menghinaku dan aku......." Mukanya menjadi merah sekali, "aku suka dan rela menjadi isterimu ......"

Kagetlah Han Sin. Baru ia tahu sekarang dan diam-diam ia menyumpahi diri sendiri. "Celaka......!” Tak terasa pula ia berseru. "Tapi...... tapi, nona Tilana. Aku membuka kerudungmu hanya karena ingin mengenal rupa orang yang hendak membunuhku tadi. Sama sekali bukan...... bukan karena itu...... eh, tentang suami isteri itu.... aku tidak dapat menerima. Maaf..... maafkan aku, tak mungkin kita menjadi suami isteri."

Wajah yang merah tadi menjadi pucat lagi. Tiba-tiba Tilana menyambar gendewa dan anak panahnya, lalu memasang tiga batang anak panah pada gendewanya. Dengan mata berkilat dan tangan tetap ia menodong dada Han Sin dengan anak-anak panah itu.

"Cia Han Sin! Kalau begitu berarti kau menghinaku. Bagiku tiada pilihan lagi. Kita menjadi suami isteri dan aku rela melayanimu dengan setia sampai aku mati atau.... kubunuh engkau kemudian kubunuh diriku sendiri." Kemudian disambungnya cepat-cepat, "Atau.... karena kau jauh lebih pandai dariku..... kalau aku gagal membunuhmu, biarlah aku mati di tanganmu.......!”

Han Sin adalah seorang berjiwa satria, seorang laki-laki sejati. Biarpun dalam perbuatannya merenggutkan kain penutup muka Tilana tadi seujung rambutpun tidak ada maksud hatinya untuk berbuat sesuatu yang jahat, sama sekali tidak bermaksud menghina, akan tetapi setelah melihat bahwa akibatnya begini hebat, ia dengan secara jantan hendak menghadapi segala akibatnya.

Pernah ia membaca tentang kebiasaan aneh seperti ini, yaitu yang biasa dilakukan oleh kaum bangsawan atau keluarga kerajaan Bangsa Hui. Kebiasaan aneh pada kaum wanitanya. Kalau ia ingat bahwa Tilana adalah Puteri Balita, Puteri Hui yang amat aneh dan terkenal itu, tak perlu diherankan lagi sumpah gadis ini yang sudah diceritakannya tadi. Dengan tenang ia lalu memangku kedua lengan di depan dada, duduk bersandar pada meja dan berkata,

"Kalau begitu, Tilana, kau boleh bunuh aku! Aku takkan lari dari tanggung jawabku. Tanpa kusengaja aku sudah membuka kerudung mukamu, telah melanggar pantangan yang menjadi sumpahmu. Bagainanapun juga tak mungkin aku menjadi suamimu, dan kalau kau berkeras hendak membunuhku ....... nah, silakan kaubunuhlah ......!”

Kedua tangan yang tadinya tetap dan sudah menarik tali gendewa itu, kini menggigil. Mata yang tadinya berapi-api, kini mulai membasah dan tak lama kemudian air mata bercucuran keluar mengalir di sepanjang pipi.

Kedua tangan makin lemas dan berdetaklah gendewa itu terjatuh di atas lantai! Tak dapat ia membunuh pemuda ini. Pemuda gagah perkasa, tampan dan halus, sopan dan luhur pribudinya, sampai-sampai mau mengorbankan nyawa sendiri demi menjaga kehormatan seorang gadis! Bagaimana dia bisa membunuh seorang satria seperti ini? Tilana makin menggigil tubuhnya, lalu dengan lemas ia jatuh berlutut, menangis sedih sekali.

"Tidak...... tidak...... tak dapat aku membunuhmu..... kanda Han Sin..... kau orang termulia bagiku......, lebih baik aku saja yang mati....." Cepat Tilana mencabut pedangnya dan benda tajam itu diayunkannya ke leher sendiri.

"Plakk! Traaanggg ......!” Pedang terlepas dari pegangan Tilana dan jatuh berdering di atas lantai.

"Tilana, kau seorang gagah, masih muda. Mengapa mengambil keputusan pendek dan nekat hanya karena urusan kecil saja?" Han Sin yang menangkis pedang tadi menghibur. "Di dunia ini masih banyak sekali pria yang gagah perkasa dan yang tentu akan bersedia menjadi suamimu ......”

Tilana menggeleng kepala. "Kaukira aku orang serendah itu, mudah sekali menukar hati bermain cinta? Laki-laki di dunia ini hanya kau seorang bagiku. Menjadi isterimu atau menjadi isteri maut, satu di antara dua!"

Tilana memungut pedangnya lagi dan menusuk dadanya. Kembali Han Sin mencegah pembunuhan diri ini, dan mencoba untuk menghiburnya. Makin dihibur, Tilana menjadi makin sedih dan nekat.

Pada saat itu, tiba-tiba muncul Bi Eng! Gadis ini tadi sudah tertidur, akan tetapi kaget mendengar suara ribut-ribut di kamar Han Sin. Cepat ia membetulkan pakaiannya, membawa pedang lalu berloncatan cepat ke kamar kakaknya. Begitu ia membuka pintu kamar, ia berdiri termangu, terbelalak matanya dan mulutnya celangap!

"Sin-ko....! Apa.... apa artinya ini....? Siapa dia?" Dengan kagum sekali Bi Eng memandang kepada Tilana yang berdiri dengan muka pucat setelah untuk kedua kalinya pedangnya ditangkis oleh Han Sin, iapun memandang ke arah Bi Eng.

Han Sin mendapat kesempatan baik untuk mencegah Tilana bunuh diri, maka cepat-cepat ia memperkenalkan,

"Nona Tilana, dia ini adalah adikku, Bi Eng. Eng-moi, nona Tilana ini puteri Jin­cam-khoa (Algojo Manusia) Balita, puteri Hui yang sudah kita kenal namanya itu. Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya, tapi.... tapi....."

Pada saat itu, Tilana mempergunakan kesempatan ini untuk melempar diri ke arah tembok, hendak membenturkan kepalanya kepada dinding yang keras supaya kepalanya pecah! Bi Eng melihat ini menjerit, lalu meloncat dan memeluk tubuh Tilana. Saking kuatnya gerakan Tilana, dua orang gadis itu roboh terguling!

"Eh, cici yang baik. Kenapa kau hendak berlaku nekat?" tanya Bi Eng yang masih memeluknya. Bau semerbak harum membuat Bi Eng makin kagum. Belum pernah selama hidupnya, biar di kota raja sekalipun, ia melihat seorang gadis secantik ini. Cantik jelita luar biasa sekali, dan keharuman yang semerbak itupun amat aneh dan menggairahkan.

Karena yang memeluknya juga seorang wanita yang agaknya menaruh kasihan kepadanya, baru Tilana dapat menumpahkan kesedihannya. Ia menangis terisak-isak dalam pelukan Bi Eng yang saking terharunya ikut pula menangis!

"Cici yang baik, kau kenapakah? Kenapa begini sedih? Ceritakanlah kepadaku, dan aku berjanji akan membantumu....." kata Bi Eng menghibur, tidak melihat betapa Han Sin berdiri dengan bingung di sudut kamar.

"Adik Bi Eng..... lebih baik aku mati saja.... tak kuat aku menerima penghinaan sebegini besar...." kata Tilana terengah-engah di antara isaknya.

Bi Eng membelalakkan matanya, lalu mengerling tajam ke arah kakaknya yang berdiri menundukkan muka di sudut kamar.

"Siapakah yang menghinamu, enci Tilana?"

"Siapa lagi kalau bukan kakakmu itu.... kanda Han Sin telah menghinaku, menolak untuk menjadi suamiku..... dan menolak pula untuk membunuhku, ada jalan lain apa lagi kecuali aku membunuh diri untuk mencuci penghinaan ini?"

Bi Eng bingung, sebentar memandang kepada Tilana, sebentar kepada Han Sin. "Sin-ko, bagaimanakah ini? Apa sih yang telah terjadi di antara kalian .......?”

Berdebar tidak karuan hati Han Sin. Memang ia menghadapi urusan yang ruwet sekali. Akhirnya ia bercerita dengan suara perlahan penuh penyesalan,

"Dia datang hendak membunuhku atas perintah ibunya yang menaruh dendam kepada ayah. Tanpa kusengaja.... eh, yaitu maksudku tanpa maksud-­maksud jahat kurenggut kerudung yang menutupi mukanya karena aku hendak melihat muka orang yang datang hendak membunuhku. Nah, aku hanya berbuat begitu dan...... eh, dia itu menuntut bahwa aku harus menjadi suaminya, kalau tidak mau, dia akan bunuh diri. Tentu saja aku keberatan!"

Bi Eng terheran. Lalu menoleh kepada Tilana. "Betulkah itu, cici?"

Tilana mengangguk malu.

"Kenapa kau bersikap begitu aneh? Tentu ada sebab-sebabnya......." tanya Bi Eng.

Tilana menarik napas panjang dan berusaha keras menahan isaknya. Setelah reda tangisnya, ia menjawab,

"Adik Bi Eng, coba saja kaupertimbangkan. Aku adalah seorang gadis suci, semenjak kecil belum pernah ada orang melihat mukaku kecuali ibuku sendiri. Aku selalu berkerudung dan di depan ibu aku sudah disumpah bahwa aku tak akan membiarkan orang, apa lagi pria, membuka kerudung mukaku. Kalau hal itu terjadi, yaitu kalau ada seorang laki-laki membuka kerudungku, hanya ada dua jalan bagiku, pertama menjadi isterinya, ke dua membunuh laki-laki itu kemudian membunuh diri sendiri untuk menebus dosa. Dia..... kakakmu itu........ mengingkari sumpahku, tak mau menjadi suamiku. Membunuhnya aku tak sanggup. Diapun tidak mau membunuhku. Tidak ada jalan lain bagiku. Kalau aku tidak bisa menjadi isterinya, biarlah aku menjadi isteri maut....." Kembali Tilana menangis sedih.

Bi Eng tertarik sekali dan terpukul hatinya. la merasa terharu. Diam-diam ia memuji gadis ini sebagai seorang gadis yang memegang teguh kesucian dan kehormatannya. Sekali lagi ia memandang Tilana. Tak ada cacadnya sama sekali. Potongan tubuh yang indah menarik, kulit yang putih mulus, wajah yang seperti bidadari, suaranya halus merdu, kepandaiannya hebat pula. Di dunia ini, mana ada wanita yang lebih patut menjadi jodoh kakaknya? Mana ada yang lebih patut menjadi kakak iparnya? Sekali melihat ia sudah suka kepada Tilana.

Inilah jodoh terbaik untuk kakaknya. Memang agaknya melihat gelagat, kakaknya itu harus lekas-­lekas kawin! Sikapnya akhir-akhir ini terhadap dirinya, seperti tiga hari yang lalu. Kadang-kadang ia sendiri mempunyai perasaan yang aneh terhadap kakaknya itu. Sikap yang terdorong oleh perasaan yang luar biasa sekali, yang membuat ia ingin selalu berdekatan dengan Han Sin.

Aneh! Memalukan! Sering kali ia merasa takut terhadap diri sendiri, takut terhadap Han Sin, kakaknya! Kenapa tiga hari yang lalu dia mendekapku seperti itu? Kenapa hatinya sendiri berdebar tidak karuan kalau kakaknya menyentuhnya? Padahal dahulu tidak demikian? Memang, lebih baik Han Sin lekas menikah dan gadis ini cocok sekali menjadi jodohnya! Dalam beberapa detik saja Bi Eng sudah mengambil keputusan, kakaknya harus berjodoh dengan Tilana!

"Sin-ko, biasanya..... biasanya kau suka menolong orang. Kenapa kau sekarang tidak mau menolong cici Tilana yang patut dikasihani ini?"

Han Sin menjadi pucat dan ia memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak, seolah-olah pada saat itu Bi Eng sudah berubah menjadi setan yang menakutkan!

"Bi Eng.....! Kau..... kau bilang apa.....??" tanyanya gagap, tidak percaya kepada telinga sendiri.

"Sin-ko, kurasa sudah sepatutnya kau menolong cici Tilana. Sudah sepatutnya kau memenuhi isi sumpahnya......”

"Bi Eng! Kau gila?? Aku bersedia menolong siapa saja, akan tetapi menolong.... macam itu... kawin?? Tak mungkin!"

"Sin-ko! Apa salahnya kalau kau menikah dengan cici Tilana? Usiamu sudah dua puluh, bahkan lebih barangkali. Sudah sepatutnya kalau kawin. Pula, pernahkah kau melihat seorang gadis yang lebih baik dari pada Tilana, lebih baik dalam segala halnya? Dia seorang gadis cantik jelita, gagah perkasa, dan setia pula. Kau harus menerimanya.....”

Bi Eng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena Han Sin dengan muka pucat sudah melompat keluar dan lari dari rumahnya. Hatinya menjerit-jerit.

"Bi Eng...., Bi Eng...., mana bisa dia atau siapapun juga melebihi engkau sendiri ....??"

Tilana mengeluh dan hendak mengambil pedangnya. Akan tetapi Bi Eng yang maklum akan kenekatannya malah berbisik.

"Cici, jangan kau putus asa. Siapa yang lemah harus cerdik. Percayalah, aku tidak setuju dengan pendirian kakakku, aku akan suka sekali kalau kau menjadi isterinya. Aku akan membantumu, cici Tilana, biar aku akan membujuknya."

Tilana menggeleng kepala dan wajahnya yang cantik itu nampak sedih sekali. "Kau baik sekali, Bi Eng. Akan tetapi akan sia-sia belaka. Dia tidak suka kepadaku dan aku...... hanya ada satu jalan bagiku untuk mencuci penghinaan ini, yaitu dengan kematian ......”

"Jangan, cici Tilana. Jangan putus asa. Kakakku itu, mana bisa dia tidak suka kepadamu? Mana ada laki-laki yang tidak akan suka kepadamu? Mungkin dia itu malu-malu. Ah, biarlah aku akan membujuknya perlahan-lahan. Kau bersabarlah dan kau tinggallah dulu di sini bersama kami."

TIBA-TIBA awan gelap yang menyelimuti muka cantik itu lenyap dan kini sepasang matanya yang tajam memandang Bi Eng penuh pengharapan.

"Apakah benar-benar kau suka mempunyai kakak ipar seperti aku? Benar-benarkah kau hendak membantuku sehingga ikatan jodoh antara aku dan kakakmu dapat terjadi?"

Bi Eng merangkulnya. "Tentu saja! Kau cocok sekali dengan Sin-ko. Kalian akan merupakan pasangan yang amat mengagumkan dan setimpal!" 

Lanjut ke jilid 045 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment