Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 045

◄◄◄◄ Kembali

Wajah Tilana menjadi merah. "Adikku yang baik, kalau benar-benar ucapanmu itu keluar dari hatimu, aku mempunyai jalan....., tapi....... aku takut kau akan keberatan ........”

"Jalan bagaimana? Katakanlah." Tilana mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dari dalam bajunya. Mukanya menjadi makin merah ketika ia berbisik, "Ibuku seorang ahli dan banyak tahu tentang obat dan racun. Bungkusan ini, sedikit obat bubuk kalau sampai dapat terminum oleh kakakmu,....... hemm....... kurasa akan dapat membantu terlaksananya maksud kita......."

Bi Eng menerima bungkusan itu, membukanya dan melihat sedikit obat bubuk warna putih yang berbau wangi aneh. la tidak mengerti, termenung sebentar lalu bertanya,

"Membantu bagaimana cici Tilana? Dan apa khasiatnya obat ini? Apakah tidak berbahaya bagi Sin-ko?"

Ditanya demikian jujur oleh Bi Eng, Tilana menjadi makin malu.

"Kalau minum itu, dia....... kakakmu itu...... dia akan mabok dan suka kepadaku......”

Bi Eng melengak, tidak percaya. Masa ada obat seaneh itu khasiatnya? la mengerutkan keningnya.

"Apakah ini bukan racun? Bagaimana kalau kakak nanti menjadi sakit setelah minum obat ini?"

Pertanyaan ini hanya merupakan pancingan belaka, karena Bi Eng sudah mendengar dari cerita Han Sin bahwa kakaknya itu pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa (Ular Sakti Darah Putih) dan racun ular itu sepenuhnya mengalir di dalam tubuh Han Sin sehingga tidak ada racun yang akan dapat mematikan kakaknya itu. Tentu saja ia tidak takut kalau-kalau kakaknya akan celaka minum racun.

”Jangan kau kuatir, adikku. Apa kau kira akupun suka melihat kanda Han Sin celaka? Aku....... aku cinta kepadanya, Bi Eng, mungkin lebih besar daripada cinta kasihmu kepadanya."

Bi Eng tersenyum girang, lalu ia mengajak Tilana ke kamarnya untuk tidur. Pada keesokan harinya Han Sin melihat Tilana bersama Bi Eng di kamar adiknya ini, ia hanya mengerutkan keningnya, akan tetapi diam-diam ia merasa girang bahwa Tilana tidak jadi membunuh diri. Dia amat merasa jengah kalau teringat akan peristiwa malam tadi, maka ia sama sekali tidak berani memandang gadis itu, malah bertanyapun tidak.

"Sin-ko, aku berhasil menghibur cici Tilana. Kau tentu tidak keberatan kalau dia tinggal di sini satu dua hari menemaniku, bukan?"

Tanpa melirik ke arah Tilana yang pagi itu kelihatan amat segar, Han Sin mengangguk.

“Sesukamulah," lalu pemuda ini keluar lagi dari dalam rumah.

"Eh, Sin-ko. Kau mau ke mana?"

"Pergi mencari buah lengkeng. Kulihat banyak yang masak di dekat jurang itu."

"Jangan lupa tangkapkan seekor kelinci yang gemuk. Aku dan cici Tilana hendak masak daging kelinci!"

Han Sin mengangguk. "Baiklah." la merasa heran. Apa yang tersembunyi di balik kepala yang bagus dari Bi Eng itu? Daging kelinci adalah kesukaannya dan mengapa justru pada saat Tilana berada di situ Bi Eng hendak memasak kelinci?

Tak sampai hati ia mengecewakan Bi Eng. Tak lama kemudian ia sudah kembali membawa sekeranjang buah lengkeng dan seekor kelinci yang gemuk dan muda. Bi Eng menerima kelinci itu dengan senyum manis sekali.

"Kakakku yang baik, kau benar-benar menyenangkan! Kau tunggulah, cici Tilana akan mengajarku memasak daging kelinci cara orang Hui. Kau tentu akan menikmatinya nanti!" Sambil memegang kelinci pada dua buah telinganya, gadis ini tertawa-tawa dan berlari-lari ke dapur.

Han Sin memandang, menarik napas panjang lalu melemparkan keranjang lengkeng ke pojok ruangan, menjatuhkan diri di atas kursi dan termenung.

Di dalam hutan tadi, ketika mencari kelinci dan lengkeng, ia sudah melamun terus tentang..... kawin! Gara-gara Tilanalah ini. Berkumandang di telinganya ucapan Bi Eng. "....... usiamu sudah dua puluh, bahkan lebih barangkali sudah sepatutnya kalau kawin.....”

"Bi Eng..... Bi Eng......" hatinya berbisik perih, "bagaimana kau bisa membujukku supaya kawin dengan gadis lain? Jangankan baru seorang gadis cantik seperti Tilana, biar kauturunkan dewi dari kahyangan sekalipun, aku tetap akan memilih engkau seorang....."

Tentu saja pemuda ini sama sekali tak pernah menyangka betapa "adiknya" itu bersama Tilana telah merencanakan sesuatu yang amat berbahaya, sesuatu yang tak dimengerti oleh Bi Eng, yang hanya menginginkan kakaknya itu mendapatkan isteri yang cantik jelita seperti Tilana, dan terutama sekali karena "kakaknya" itu akhir-akhir ini bersikap aneh terhadapnya dan juga karena hatinya sendiri makin lama makin aneh!

Pesta itu dilakukan pada sore hari. Tersenyum girang juga Han Sin ketika ia dihadapkan hidangan yang berbau nikmat, mengebul di atas meja. Ternyata seekor kelinci tadi telah menjadi empat macam masakan yang melihatnya saja sudah membangkitkan seleranya. Apa lagi mencium baunya yang demikian gurih dan enak. Malah ada minuman yang seperti anggur pula.

"Eh, ini apa, Eng-moi?". Han Sin mencium minuman itu. "Dari mana kau memperoleh arak?"

Bi Eng tersenyum. "Bukan arak, Sin-ko, melainkan perasan buah, hasil pekerjaan cici Tilana. Semua inipun masakannya. Hebat, ya?"

Han Sin mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Tilana yang menundukkan mukanya yang merah sekali, tidak berani gadis itu memandang kepadanya. Diam-diam ia menaruh hati kasihan kepada gadis Hui itu, senang juga hatinya melihat Bi Eng ternyata dapat menarik gadis itu sebagai sahabat.

Mereka lalu makan minum dan Bi Eng melayani kakaknya, bahkan secara halus tidak kentara gadis ini seakan-akan sengaja membujuk kakaknya supaya banyak makan dan minum dan selalu memuji-­muji Tilana tentang kecantikannya, tentang kepandaiannya. Tentu saja, dengan lihai sekali Bi Eng telah menaruh obat bubuk ke dalam cawan minuman Han Sin. Berdebar juga ia ketika melihat Han Sin minum anggurnya, akan tetapi hatinya lega karena kakaknya tidak apa-apa, malah memuji perasan buah itu,

"Enak sekali .....!” Kemudian Han Sin memandang kepada pembuat minuman itu.

Kebetulan Tilana juga mengangkat muka memandangnya. Dua pasang mata bertemu untuk kesekian kalinya. Muka Tilana berseri-seri dalam pandangan mata Han Sin, muka itu luar biasa indah jelitanya. Mata yang bening itu setengah berkatup, bersembunyi dan mengintai dari balik bulu mata yang lentik panjang, seperti pandang mata orang mengantuk, hidung yang kecil mancung itu agak kembang-kempis seperti orang mau tertawa atau menangis, bibir yang mungil tersenyum-senyum malu.

"Cantik sekali ......!" Kata-kata ini keluar dari mulutnya Han Sin seperti bukan atas kehendaknya sendiri, begitu saja terloncat. Telinganya sendiri yang mendengar ini membuatnya amat kaget, namun melihat Tilana tersenyum memperlihatkan deretan gigi yang seperti mutiara, senang juga hati Han Sin.

Pemuda ini sudah terpengaruh obat yang benar-benar amat mukjijat, membuat ia merasa dirinya ringan dan enak, senang sekali. Pengaruh obat membuat pikirannya tertutup uap kemabokan dan menonjolkan perasaan panca inderanya. Mulutnya menikmati masakan dan minuman buatan Tilana, matanya menikmati kecantikan Tilana dan sekaligus timbul kasih sayang kepada gadis Hui itu.

Bi Eng yang juga mendengar pujian Han Sin "cantik sekali!" tadi, tersenyum penuh arti kepada Tilana, lalu berdiri dan mengundurkan diri dari situ sambil berkata,

"Aku akan mencuci mangkok piring dulu."

Han Sin sudah mabok betul-betul, tidak sadar lagi apa yang diperbuatnya. Tilana, di lain fihak, yang sudah jatuh hati kepada Han Sin, yang sudah melanggar sumpah sendiri bahwa dia harus menjadi isteri Han Sin atau mati, mempergunakan kesempatan ini untuk mencuri hati pria pilihannya itu.

Ketika bangun berdiri, Han Sin terhuyung-huyung dan kiranya ia akan jatuh kalau saja tidak cepat-­cepat digandeng lengannya oleh Tilana. la tertawa-tawa kecil, memandang muka gadis di sebelahnya itu dengan kepala bergoyang goyang.

"Kau cantik ..... he-he, Tilana, kau cantik dan baik .......”

Tilana hanya tersenyum. "Kanda Han Sin, kau mengasolah......", Dan digandengnya pemuda itu memasuki kamarnya.

Semalam suntuk Bi Eng tak dapat tidur di dalam kamarnya. Hatinya tidak karuan rasanya. la sendiri tidak tahu apakah malam itu ia merasa marah, sedih kecewa ataukah merasa girang, bahagia dan puas! Ia sendiri tidak mengerti mengapa hatinya begini risau dan tak karuan.

Ia menghendaki agar kakaknya memilih Tilana sebagai isteri. Malah tidak segan-segan ia membantu Tilana mempergunakan obat bubuk yang mukjizat sekali, sampai-sampai kakaknya itu menjadi mabok dan lupa diri. Ia merasa amat suka dan kasihan kepada Tilana dan ia merasa bahwa memang gadis itu cocok sekali kalau menjadi isteri kakaknya. Akan tetapi...... entah bagaimana, ia sekarang merasa hatinya kosong......!

Tiba-tiba ia kaget mendengar suara ribut-ribut di dalam kamar kakaknya. Hari telah menjelang pagi. Cepat Bi Eng meloncat keluar dari kamarnya, berlari menuju kamar kakaknya. Dan alangkah kagetnya ia mendengar kakaknya memaki maki! Hal yang belum pernah dilakukan kakaknya seumur hidupnya.

"Perempuan rendah, perempuan hina! Jahanam tak tahu malu, kenapa kau berada di kamarku? Kenapa kau..... ah, setan, kubunuh engkau!"

Terdengar gedebag-gedebug dan badan terjatuh. Agaknya Tilana sudah dipukuli Han Sin! Bi Eng menjadi pucat sekali dan ia makin mendekati kamar. Terdengar Tilana menangis.

"Kanda Han Sin..... bunuhlah..... aku akan bahagia sekali kalau mati di tangan..... suamiku......"

"Suami......? siluman betina! Kau mempergunakan akal busuk, kau siluman jahat. Kemarin kau hendak membunuh diri, nah.... lekaslah kau bunuh diri. Aku tak sudi mengotori tangan membunuh seekor siluman....." terdengar Han Sin memaki-maki lagi dan suara pemuda itu terdengar keras dan marah sekali.

Bukan main marahnya hatinya Bi Eng mendengar ini. Keterlaluan sekali kakaknya menghina orang. Sekali melompat ia sudah mendorong pintu kamar dan memasuki kamar itu. Ia melihat Tilana menangis sambil berlutut di atas lantai, rambutnya kusut terurai, keadaannya amat mengenaskan. Pipinya bengkak dan bibirnya yang indah itu berdarah, agaknya ia telah ditampari Han Sin. Pemuda itu kelihatan berdiri di depan Tilana dengan mata berapi dan muka merah.

"Sin-ko, kau kejam!" bentak Bi Eng. "Kau tidak menghargai cinta kasih orang, kau malah menghina dan memukul! Laki laki macam apa bersikap demikian?" Gadis ini marah sekali, dadanya membusung, kepala dikedikkan dan matanya berapi api menatap wajah Han Sin, kakak yang biasanya amat ia takuti dan taati itu.

"Bi Eng....." Bagaikan diloloskan semua urat dari tubuh Han Sin ketika ia melihat gadis ini muncul.

"Dia .... dia itu ....., perempuan tak bermalu ......"

"Kaulah laki-laki tak bermalu! Berani berbuat tak berani bertanggung jawab!" Bi Eng memotong.

Tilana yang amat merasa terhina, dengan hati hancur melihat dan mendengar ini semua. Kemudian terdengar ia menjerit lirih, tubuhnya berkelebat dan ia sudah meloncat lalu lari meninggalkan rumah itu, meninggalkan puncak Min-san, lenyap di dalam kabut kegelapan pagi.

"Sin-ko! Kau telah merusak hatinya, kau telah menghancurkan perasaannya. Kenapa kau begitu kejam?"

"Tidak...., tidak, Eng-moi. Dialah yang mencelakai aku, dia..... dialah yang merusak dan menghancurkan hati dan perasaanku ....."

"Kenapa? Dia cinta kepadamu, dia menganggap dirinya sebagai isterimu. Sin-ko, kau harus mengawini dia!"

"Tidak mungkin! Tak mungkin aku bisa mengawininya, Eng-moi ......"

"Sin-ko, bagaimana kau bisa bilang begitu? Kau seorang laki-laki, harus berani bertanggung jawab. Kau dan dia sudah sekamar..... bagaimana kau bisa mengingkari hal ini?"

"Eng-moi......” wajah Han Sin pucat sekali, tanda bahwa ia amat menderita batinnya, "kau tidak tahu....... dia menggunakan akal siluman! Aku tidak sadar apa yang telah kulakukan........ aku seperti mabok, mungkin aku telah gila ....."

"Apapun juga alasannya, kau harus mengawini dia, Sin-ko. Apa kau mau disebut pengrusak kehormatan? Apakah kau mau dianggap penjahat keji pengganggu wanita? Tilana seorang gadis terhormat, cantik dan pandai. Setelah ia sudi merendahkan diri sedemikian rupa, demi cinta kasihnya kepadamu, Sin-ko ...... apakah kau begitu tega?"

"Eng-moi......, kau tidak tahu.......”

Bi Eng membanting kakinya dengan gemas. Gadis ini marah dan mendongkol bahwa rencananya telah gagal, usaha pertolongannya kepada Tilana dan usahanya untuk menjodohkan kakaknya gagal sama sekali.

"Aku tahu! Aku tahu segala-galanya! Tilana telah menceritakan kesemuanya kepadaku! Cocok dengan cerita uwak Lui dahulu. Puteri Hui, Balita, telah jatuh cinta kepada mendiang ayah, dan ayah menyia-nyiakannya pula. Balita sakit hati, sampai tua tidak dapat melupakan dendamnya. Sekarang menyuruh puterinya datang membalas dendam kepadamu, kepada keturunan ayah ....."

"Keji!" Han Sin mencela.

"Siapa bilang keji?" Bi Eng dalam marahnya tanpa disadari membela Balita.

"Aku lebih tahu watak wanita. Memang sakit hati sekali kalau cinta ditolak. Sekarang, usaha Tilana membalaskan dendam ibunya gagal, malah kau membuka kerudung mukanya yang menjadi sumpahnya. Dia harus kawin dengan laki-laki yang membuka kerudungnya, atau...... mati. Kau tidak mau membunuhnya, Tilana mengira kaupun sayang kepadanya. Sekarang, setelah apa yang terjadi malam tadi..... kau...... kau menghina, mengeluarkan makian kotor, memukulnya pula. Sin­ko.... kalau kau tidak mau mencari dia, lalu mengawini dia, aku..... aku tak mau mengaku kau sebagai kakakku lagi!” Bi Eng lalu menangis.

Pucat wajah Han Sin mendengar ini. Aduh, Bi Eng..... Bi Eng...... keluh hatinya. Kau tidak tahu..... kau tidak mengerti segalanya. Kau tidak tahu bahwa cinta kasihku hanya untukmu seorang. Dan sekarang kau malah mendorong-dorongku, membujuk-bujukku mengawini orang lain. Tanpa disadari dua titik air mata meloncat keluar di atas kedua pipinya. Cepat Han Sin mengusapnya dan berkata,

"Bi Eng, sudahlah. Jangan kau berduka dan marah. Agaknya sudah tiba saatnya kita turun gunung. Mari kita tinggalkan tempat ini, aku harus memenuhi permintaan yang telah kusanggupi dari Pangeran Yong Tee ........."

Bi Eng mengangkat mukanya. Tentu pernyataan ini akan amat menggirangkan hatinya kalau saja ia tidak begitu marah dan kecewa.

"Dan kita juga mencari cici Tilana?" desaknya.

Sambil menarik napas panjang Han Sin mengangguk. "Baiklah, kita akan mencari dia karena..... karena dia harus mengakui segala yang telah terjadi malam tadi. Harus memberi penjelasan kepadamu."

Watak Bi Eng memang aneh sekali. Seperti watak udara di musim hujan. Sebentar mendung, sebentar hujan, sebentar terang benderang. Hanya beberapa jam kemudian ia sudah bisa tertawa-­tawa ketika bersama kakaknya ia menuruni Gunung Min-san, menuju ke dunia ramai.

Hanya Han Sin yang terus-menerus murung. Hatinya pepat, serasa ada batu besar berat sekali menindih jantungnya. Bagaimana bisa terjadi hal hebat sedemkian antara dia dan Tilana? Dan hal itu tidak saja disetujui oleh Bi Eng, malah agaknya gadis ini mendorong-dorongnya. Celaka dua belas! Dan dia amat mencinta Bi Eng!

Ia mencoba membayangkan lagi apa yang telah terjadi antara dia dan Tilana. Wajahnya menjadi merah sekali kalau ia membayangkannya. Kenapa dia sudah seperti gila? Kenapa dia dapat membelai-belai, mencumbu rayu Tilana gadis asing itu? Ia membayangkan lagi sikap Tilana yang amat mesra dan manis, dan kemudian, tiba-tiba Han Sin mencekal lengan tangan Bi Eng erat sekali.

"Aduhhh!" Bi Eng berteriak. "Aduh sakit lenganku, Sin-ko. Kau ini apa-apaan sih? Aneh benar kelakuanmu. Ada apakah?"

Han Sin tersadar dan melepaskan pegangannya. "Eng-moi, aku teringat sekarang........ tanda merah di dekat telinganya......, ya......., tanda merah, jelas sekali kulihat di dekat telinga ......."

"Apa artinya ini? Sin-ko, kau seperti orang ngelindur!" tanya Bi Eng yang terheran-heran melihat kakaknya memandangi langit sambil merenung dan mencubit-cubit hidung sendiri.

Tiba-tiba Han Sin menatap wajah Bi Eng matanya bersinar-sinar ganjil. Untuk ke sekian kalinya Bi Eng harus menghindar dari pandang mata kakaknya. Pandang mata kakaknya luar biasa sekali, tajam seperti pisau, seakan-akan dapat menembus jantung.

"Eng-moi, tak salah lagi. Gadis itu..... yang bernama Tilana itu....... dia itulah..... anak Ang-jiu Toanio yang dulu lenyap! Pernah kuceritakan kepadamu, bukan? Sebelum meninggal dunia, Ang­jiu Toanio menceritakan kepadaku......" la menahan ceritanya, kaget karena sekarang baru ia teringat bahwa ia belum menceritakan hal itu kepada Bi Eng. Menceritakan hal itu berarti membuka rahasia bahwa Bi Eng bukanlah adik kandungnya!

Melihat sikap kakaknya yang ragu ragu, Bi Eng bertanya, "Cerita apa? Kau belum pernah bercerita kepadaku tentang pesan Ang-jiu Toanio."

"Eh...... eh......, kalau begitu aku yang lupa. Begini, Eng-moi. Ketika aku bertemu dengan Ang-jiu Toanio, sebelum dia meninggal dia pernah minta tolong kepadaku agar supaya aku mencarikan anaknya yang hilang ketika masih bayi. Anak perempuannya itu, adik Phang Yan Bu, ada tanda merah di dekat telinganya. Dan pada..... diri Tilana kulihat tanda merah itu ..... yang tadinya tertutup rambutnya ......"

Merah muka Bi Eng dan ia masih sempat menggoda, "Eh, eh, bagaimana kau bisa melihatnya kalau tanda itu tertutup rambutnya, Sin-ko?"

Bingung dan gugup Han Sin menerima pertanyaan ini. "Aku... eh..... aku.... hanya kebetulan saja aku melihatnya....." Mukanya menjadi merah sekali. Cepat-cepat disambungnya, "Baru sekarang aku teringat. Tak salah lagi, dialah anak Ang-jiu Toanio yang hilang. Rupanya dahulu dicuri oleh Balita dan ......."

Kembali ia berhenti dan mukanya tiba tiba menjadi pucat, matanya terbelalak memandang kepada Bi Eng. Tentu saja gadis ini menjadi makin heran, malah agak takut. Jangan-jangan otak kakaknya ini menjadi tak beres.

"Kau kenapa, Sin-ko? Kenapa memandang padaku seperti itu?"

Han Sin kembali dapat menindas perasaannya. Siapa orangnya yang takkan gelisah dan kaget seperti dia ketika mendapat dugaan sekarang. Dugaan yang hampir tak salah lagi. Kalau Balita menukarkan anak Ang-jiu Toanio di rumah mendiang ayahnya di Min-san, kalau begitu..... tak salah lagi, Bi Eng yang berdiri di hadapannya sekarang ini tentu anak..... Balita! Pusing ia menghadapi kenyataan ini. Bi Eng anak Balita! Bagaimana mungkin ini? Dan di mana adanya adik kandungnya sendiri? Betulkah sudah dimakan harimau, dijadikan umpan harimau oleh pemelihara harimau?

"Bi Eng....." suaranya gemetar, "apakah..... betulkah bahwa kau tidak mempunyai tahi lalat hitam di mata kaki sebelah kiri ......?"

Bi Eng melengak, kembali mukanya merah. "Sudah belasan kali sejak kita naik kembali ke Min-san kautanyakan hal yang gila itu. Aku sudah bilang tidak ada, apa kau penasaran dan hendak melihatnya?"

Bi Eng membungkuk hendak membuka sepatu dan kaos kakinya. Cepat Han Sin mencegah, dadanya berdebar.

"Tak usah, Bi Eng, tak usah. Hanya..... barangkali saja kau teringat bahwa di waktu kecil dahulu, ada tanda itu di kakimu....”

Bi Eng berdiri lagi, cemberut. "Kau ini apa-apaan lagi, koko? Masa tiada hujan tiada angin mengurus soal....... tahi lalat! Menurut seingatku, tak pernah ada tahi lalat pada kakiku. Laginya, siapa sih yang suka mengingat-ingat tentang tahi lalat?"

Han Sin terdiam, terpukau dan merenung. Bingung memikirkan. Tak salah lagi, Tilana yang sekarang menjadi puteri Balita, dia itulah anak Ang-jiu Toanio yang dulu meninggalkan dan menukarkan anaknya itu dengan anak ibunya, adik kandungnya. Kemudian adik kandungnya yang dicuri dan ditukar oleh Ang-jiu Toanio itu terampas oleh seorang Mongol pemelihara harimau. Entah bagaimana nasibnya.

Dan Ang-jiu Toanio sendiri bilang bahwa anaknya itu telah ditukar lagi oleh lain orang, dan mempunyai tanda merah pada dekat telinganya. Tentulah Balita yang menukarnya, mengira bahwa anak Ang-jiu Toanio itu anak mendiang ibunya. Tentu dengan maksud yang sama dengan Ang-jiu Toanio, maksud keji karena dendam!

Dengan demikian Bi Eng ini tentu anak Balita, anak musuh besar ayahnya, yang sampai sekarang masih mendendam, buktinya mengirim Tilana untuk membunuhnya. Celakanya, ia terlibat dalam urusan asmara yang serba membingungkan dan memalukan dengan Tilana itu! Hebat .......!

Dengan hati tidak karuan, wajah selalu murung dan hanya menjawab ocehan-ocehan Bi Eng dengan singkat saja. Han Sin bersama adiknya itu melanjutkan perjalanannya, menuju ke timur, ke Lu­liang-san, karena hendak mencari Siauw-ong yang mereka rasa pasti berada di daerah pegunungan itu.

Perjalanan menuju ke Lu-liang-san dilakukan cepat oleh Han Sin dan Bi Eng. Di sepanjang perjalanan, dua orang muda ini mendengar hal-hal yang amat aneh. Sepanjang jalan mereka mendengar bahwa orang-orang gagah di dunia kang-ouw, sebagian besar telah bergabung dengan bala tentara Mancu untuk membantu kerajaan ini menggempur para pemberontak di utara, membantu melawan orang-orang Mongol! Alangkah janggalnya ini. Membantu penjajah? Benar-­benar mengherankan sekali dan berita ini mendatangkan kemarahan dan kemendongkolan di hati mereka, terutama di hati Han Sin!

"Tak tahu malu menyebut diri patriot! Membela penjajah!" gerutu Han Sin.

Bi Eng diam saja, biarpun ia merasa juga betapa janggalnya hal ini.

Ketika mereka tiba di lereng Gunung Lu-liang-san, tiba-tiba dari sebuah hutan terdengar pekik seekor monyet. Han Sin dan Bi Eng keduanya terkejut dan girang.

"Suara Siauw-ong ........" Bi Eng segera mengenal suara itu. la sudah hendak memanggil, akan tetapi Han Sin cepat mencegahnya dengan isyarat tangan.

"Ssttt, jangan memanggilnya. Apa kau tidak mendengar tadi? Suaranya adalah suara keluhan dan kemarahan. Tentu dia terancam bahaya. Hayo kita cepat pergi mencarinya, suaranya dari hutan itu ........"

Cepat keduanya berlari-lari memasuki hutan kecil dan tibalah mereka di daerah yang berbatu. Gunung-gunungan batu berderet di tempat itu dan pemandangan indah di pegunungan ini, pemandangan indah dan aneh. Sekarang suara Siauw-ong terdengar jelas dan monyet itu merintih-­rintih. Han Sin dan Bi Eng menghampiri tempat itu sambil berindap-indap. Tiba-tiba mereka mendengar suara seorang wanita,

"Diamlah kau, monyet yang baik. Lukamu memang parah, racun sudah menjalar jauh, aku sudah berusaha sedapatku. Ah, sayang sekali..... kalau dia berada di sini......... ah, di manakah sekarang Han Sin berada?"

"Li Hoa ......!"

Han Sin dan Bi Eng berseru hampir berbareng dan mereka segera meloncat ke atas batu. Dari tempat ini terlihatlah oleh mereka di mana adanya Siauw-ong. Memang betul monyet itu berada di situ bersama Thio Li Hoa, gadis cantik manis bergelung tinggi, puteri Thio-ciangkun, gadis yang gagah perkasa dan yang jatuh cinta kepada Han Sin!
Li Hoa terkejut dan bukan main kaget dan girangnya ketika ia melihat orang yang dikenang-­kenangnya, orang yang selama ini ia rindukan, ternyata telah berada di situ bersama Bi Eng.

"Kau..... kalian....... di sini........?" la bertanya gagap, merah sekali mukanya karena baru saja ia menyebut-nyebut nama Han Sin.

Akan tetapi Han Sin segera meloncat turun dan mengangkat tubuh Siauw ong.

"Dia kenapa .......?" tanyanya gelisah.

Ternyata monyet kecil itu kedua kakinya dibalut, nampak pucat dan biru kehitaman kakinya. Monyet itu meringis-ringis ketika melihat Bi Eng dan Han Sin, lalu....... dari kedua matanya keluar air mata. Monyet itu bisa menangis!

"Siauw-ong......, Siauw-ong..... kau kenapa?" Bi Eng mengusap-usap kepala monyetnya, penuh kasih sayang, sedangkan Han Sin cepat memeriksa luka di kedua kaki. Luka itu kecil saja, seperti tusukan jarum, akan tetapi membuat kedua kaki hitam agak mengembung. Tanda luka karena racun.

Diam-diam Han Sin terheran. Siauw-ong pernah minum darah ular Pek-hiat-sin-coa, kenapa terpengaruh oleh racun? Tentu racun luar biasa sekali, kalau tidak begitu, tentu racun itu akan tertolak oleh racun Pek-hiat-sin-coa.

"Nona Li Hoa, bagaimana kau bisa berada di sini bersama Siauw-ong?" Akhirnya Han Sin bertanya setelah memeriksa luka di kaki monyet itu.

Li Hoa sejak tadi mernandang kepadanya, dan makin lama memandang, makin mendalam cinta kasihnya. Setelah banyak mengalami penderitaan karena berpisah dari ayahnya, perpisahan badan dan pendapat, setelah banyak menemui orang-orang gagah, makin yakin hati gadis ini bahwa pilihan hatinya, yaitu Han Sin pemuda gunung yang luar biasa itu, adalah tepat. Sukar mencari seorang Han Sin ke dua di dunia ini.

Sementara itu, Han Sin dan Bi Eng juga melihat banyak perubahan pada diri Li Hoa. Gadis ini masih cantik manis seperti dulu, akan tetapi lebih sederhana, tidak pesolek seperti dulu. Kalau dulu ia merupakan seorang gadis bangsawan yang angkuh, sekarang ia lebih merupakan seorang gadis kang-ouw, seorang yang gagah dan sederhana.

Lanjut ke jilid 046 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment