Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 046

Lanjut ke jilid 047 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

"Secara kebetulan saja aku mendapatkan dia," Li Hoa bercerita setelah menarik napas panjang. "Kebetulan aku lewat di hutan ini dan aku melihat monyetmu ini bergulingan di tanah terkena lemparan jarum rahasia seorang kakek cebol yang aneh. Aku segera mengenal monyet ini dan aku menegur orang itu. Dia marah marah dan kami bertempur. Akhirnya ia melarikan diri dan aku menolong monyet ini."

"Keparat! Siapakah iblis cebol itu? Di mana dia sekarang? Biar kucekik lehernya!" Bi Eng berseru marah.

Li Hoa tersenyum mendengar ini. Masih galak, pikirnya. Dia tidak tahu bahwa Bi Eng sekarang berbeda dengan Bi Eng dahulu. Mana dia bisa melawan kakek cebol itu?

"Aku sendiri tidak mengenalnya dan tidak tahu di mana rumahnya. Akan tetapi dia lihai sekali, apa lagi jarum-jarum beracunnya," katanya.

Kemudian atas pertanyaan Han Sin tentang orang-orang gagah yang ikut membantu Kerajaan Mancu melawan orang-orang Mongol, Li Hoa bercerita. Apa yang didengar oleh Bi Eng dan Han Sin memang betul adanya. Para tokoh kang-ouw sebagian besar membantu pergerakan pemerintah Mancu memerangi orang-orang Mongol yang dipimpin oleh Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu di utara itu.

Bahkan Ciu-ong Mo-kai, guru pertama Han Sin dan Bi Eng, Phang Yan Bu putera Ang-jiu Toanio, orang-orang gagah Cin-ling-pai dan orang-orang gagah lain juga sudah bergabung menjadi satu membantu pemerintah Ceng! Mendengar ini Han Sin dan Bi Eng kaget bukan main.

Li Hoa melihat keheranan mereka, lalu berkata, "Tadinya aku sendiripun merasa heran. Mungkin kalian belum tahu bahwa aku sendiri sudah bentrok dengan ayah. Ayah membantu Pangeran Yong Tee atau tegasnya membantu pemerintah Ceng, akan tetapi aku tidak suka melihat penjajah. Akan tetapi, setelah melihat pemerintah Ceng, apa lagi berkat pengaruh Pangeran Yong Tee yang amat baik, dan mengingat betapa kejamnya orang-orang Mongol kalau sampai mereka berhasil menjajah tanah air kita, maka akupun membenarkan tindakan mereka, orang-orang gagah itu. Lebih baik sekarang kita membantu pemerintah untuk mengalahkan bala tentara Mongol yang amat kuat. Kemudian, soal menghalau penjajah dari manapun juga keluar dari tanah air, adalah soal ke dua. Kalau sekarang kita menghadapi dua musuh, orang-orang Mancu dan orang-orang Mongol, kiranya usaha perjuangan para patriot takkan berhasil."

Dengan panjang lebar Li Hoa menjelaskan kepada Han Sin yang mulai dapat mengerti mengapa orang-orang gagah itu sekarang "tampaknya" membantu pemerintah Mancu, padahal hanya membantu pemerintah yang berkuasa sekarang untuk mengusir bahaya yang lebih besar, yaitu orang-orang Mongol. Setelah orang-orang Mongol berhasil dihancurkan, barulah kelak berusaha menggulingkan pemerintah penjajah, tentu akan lebih ringan! Han Sin mulai belajar mengerti tentang perkembangan politik.

"Akan tetapi tidak mudah," kata Li Hoa. "Selain ada pertentangan-pertentangan sendiri di dalam, banyak pula orang-orang pandai yang membantu Bhok-kongcu. Kekuatan mereka sungguh tak dapat dipandang ringan. Maka sekarang bertemu dengan kau, aku banyak mengharapkan bantuanmu agar kita cepat-cepat menghancurkan bahaya yang datang dari utara itu." Ia mengerling kepada Han Sin penuh harapan.

"Tentu saja kita harus membantu mereka. Apa lagi kalau suhu sudah berada di sana pula!" kata Bi Eng tegas.

Akan tetapi, Han Sin menghela napas, ia masih ragu-ragu. Tidak ada nafsu untuk membantu pemerintah penjajah. Betapapun juga, ia masih tidak rela kalau harus berjuang untuk membantu penjajah, sungguhpun pada hakekatnya itupun merupakan perjuangan menyelamatkan bangsa dari pada ancaman penjajah baru yang lebih buas dan jahat.

"Bagaimana nanti sajalah, paling perlu sekarang aku harus mencarikan pengobatan untuk Siauw­ong. Kulihat keadaannya parah sekali ........"

Tiba-tiba Han Sin menghentikan kata-katanya dan berpaling ke belakang.

"Ada orang......" bisiknya.

Li Hoa dan Bi Eng yang tidak mendengar sesuatu cepat menengok dan.... benar saja, di atas sebuah batu yang tinggi, entah dari mana dan kapan datangnya, di sana telah berdiri seorang laki-laki setengah tua yang bertubuh gendut, berpakaian sebagai seorang saudagar dan sedang tersenyum menyeringai. Matanya yang tajam bergerak-gerak lihai dan cerdik. Li Hoa segera mengenalnya.

"Lie Ko Sianseng ........”

MEMANG benar. Orang ini adalah Lie Ko Sianseng yang berjuluk Swi-poa-ong (si Raja Swipoa), seorang tokoh kang-ouw kenamaan yang berilmu tinggi, cerdik banyak akal. Sesuai dengan julukannya, dia adalah seorang saudagar yang berdagang segala macam barang, segala macam benda hidup atau mati!

"Ha ha ha, nona Thio benar bermata awas. Seorang patriot wanita yang muda dan gagah. Tentu kawan-kawannya inipun orang-orang gagah belaka. Ha ha ha! Alangkah senangnya bertemu dengan orang-orang muda yang pandai. Sayang...... kulihat monyet cerdik itu sudah mau mampus."

Bi Eng tak senang mendengar ucapan ini, akan tetapi Li Hoa yang tahu akan kecerdikan "saudagar" ini, segera berkata dengan suara manis,

”Lie Ko Sianseng, kau yang banyak pengalaman, banyak kenalan dan banyak akal, tentu dapat menolongnya. Katakanlah, siapa kiranya dapat menolong mengobati monyet ini?"

Kembali Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng tertawa terbahak. "Kumendengar tadi bahwa monyet itu terluka oleh jarum berbisa. Siapa lagi kalau bukan perbuatan si tukang tangkap binatang berotak miring? Kalau dia yang melukai, siapa lagi kalau bukan dia pula yang menyembuhkannya?"

Berseri wajah Han Sin mendengar ini. Cepat ia berdiri dan menjura penuh hormat. "Orang tua yang baik budi, harap kau sudi menolong, tunjukkanlah di mana rumahnya orang pandai itu."

”Ha ha ha ha, ayahnya gagah perkasa dan halus tutur sapanya, anaknyapun begitu. Pantas menjadi putera Cia Sun taihiap!"

Kagetlah Han Sin, akan tetapi segera ia dapat menindas perasaannya. Malah ia bangga sekali. Agaknya semua orang kang-ouw kenal belaka siapa ayahnya!

"Jadi lo-enghiong mengenal mendiang ayahku?"

"Aku seorang saudagar. Pergi datang, ke mana saja membawa untung bagi orang lain dan bagi diri sendiri. Bagaimana tidak mengenal orang? Lai Sian si tukang tangkap binatang berotak miringpun aku kenal, apa lagi ayahmu."

Sekali lagi Han Sin menjura. "Kalau begitu, Lie lo-enghiong yang budiman, sudikah kau menunjukkan tempat tinggalnya Lai Sian itu?"

Swi-poa-ong mengangguk-angguk. "Boleh,..... boleh......, siapa tahu lain kali kau akan dapat membantuku sebagai balasan."

Li Hoa yang sudah mengenal baik kakek penuh akal busuk itu hendak mencegah, namun Han Sin sudah mendahuluinya,

"Tentu sekali, lo-enghiong yang baik. Tidak ada budi baik yang tak terbalas."

"Hanya satu syaratnya. Kau boleh membawa monyet itu, ikut dengan aku ke tempat tinggal Lai Sian, akan tetapi dua orang nona ini tak boleh turut."

Bi Eng mengerutkan kening. "Orang gendut! Kau anti benar kepada wanita! Apa sih salahnya kalau aku ikut kakakku?"

"Ha ha ha ha! Itulah sebabnya! Apa lagi kalau ada gadis jelita galak seperti kau ini, waaahh, Lai Sian bisa lari terbirit-birit ketakutan. Dia amat takut kepada wanita, maka kalau dua orang nona ini ikut, biar dipaksa sampai mampus sekalipun dia takkan mau keluar, bahkan mungkin lari minggat sebelum kita menemui dia!"

Han Sin dan Bi Eng juga maklum akan adanya orang-orang kang-ouw yang bertabiat aneh luar biasa. Mereka lalu berunding. Han Sin memutar otak lalu bertanya kepada Li Hoa,

"Nona, di mana adanya suhu Ciu-ong Mo-kai Tang Pok?"

Sebelum Li Hoa menjawab, kakek itu sudah mendahuluinya, "Ha ha! Di mana lagi kalau tidak di kota Ta-tung? Semua orang berada di sana, membantu orang Mancu memukul orang Mongol. Di sana banyak arak wangi, di mana lagi si setan arak itu kalau tidak di sana?"

"Betulkah nona?" tanya Han Sin.

Li Hoa mengangguk.

"Kalau begitu, bukankah kau juga hendak ke sana?"

Kembali Li Hoa mengangguk.

"Sekiranya kau tidak keberatan, biarlah adikku ini pergi bersamamu ke Ta-tung. Kalau sudah selesai urusanku dengan Siauw-ong, tentu aku menyusul ke sana."

Dua orang gadis itu menyetujui. Memang, maksud kepergian Han Sin dan Bi Eng adalah untuk mencari Hoa-ji, dan tentu saja di tempat pertempuran itulah kemungkinan mendapatkan Hoa-ji. Setelah memesan baik-baik kepada Bi Eng agar supaya jangan pergi meninggalkan Ta-tung sebelum ia menyusul ke sana, Han Sin lalu memondong Siauw-ong dan pergi bersama Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng. Li Hoa sempat berbisik kepadanya,

"Hati-hatilah menghadapi dia itu ...."

Adapun Li Hoa lalu mengajak Bi Eng pergi meninggalkan Lu-liang-san, menuju ke Ta-tung, kota di mana berkumpul orang-orang gagah yang membantu pertahanan pemerintah terhadap pemberontakan orang-orang Mongol.

Lie Ko Sianseng mengajak Han Sin keluar masuk hutan-hutan di pegunungan Lu liang-san. Di dalam sebuah hutan besar, Han Sin melihat sebuah pondok yang aneh. Pondok ini dibangun di atas pohon besar, seperti sarang burung. Dan seperti seekor burung setan yang besar, kepala seorang kakek menongol keluar dari jendela rumah itu. Hanya kepalanya saja yang tampak, dengan lehernya yang panjang, mata yang sipit yang memandang penuh curiga ke bawah!

"Haiii, Lai Sian si otak miring! Turunlah kau, di sini ada seorang pemuda ingin bertemu."

Lai Sian, orang yang berada di pondok di atas pohon itu, melirik ke arah Siauw-ong di pondongan Han Sin. Adapun Siauw-ong yang sejak tadi merintih-rintih saja, begitu melihat kakek di atas itu, lalu meringis dan menggereng.

"Hi hi hi, monyet cerdik yang tolol! Ditangkap baik-baik tidak mau, dihadiahi jarum baru tahu rasa. Mau apa dibawa bawa ke sini?"

"Lai Sian, kau turunlah, biar kita bicara baik-baik. Kalau perlu, aku sanggup membeli obat penyembuh kaki monyet ini, biar dengan harga berlipat dari pada harga umum!"

"Makelar busuk! Tukang catut, tukang tipu! Siapa doyan uangmu yang bau keringat dan darah manusia? Rumahku selalu terbuka, mau ada keperluan naiklah. Hi hi hi, tentu saja tidak ada tangga, kalau mau boleh panjat pohon seperti monyet!"

Lie Ko Sianseng berbisik kepada Han Sin, "Kau lihat saja, aku akan paksa dia turun. Akan tetapi kalau sudah diobati monyetmu, jangan kau lupa akan janjimu untuk membalas budi padaku." Setelah berkata demikian, kakek ini tertawa bergelak, mengenjot kedua kakinya dan tubuhnya sudah meloncat ke atas.

"Tukang catut, apa kau sudah ingin mampus?" seru Lai Sian.

Tiba-tiba kedua tangan kakek cebol itu nampak diayun dan beberapa buah jarum kecil-kecil menyambar ke arah tubuh Lie Ko Sianseng yang sedang "melayang" naik.

Han Sin terkejut sekali dan mengeluarkan seruan kaget. Akan tetapi Lie Ko Sianseng hanya tertawa, menggunakan jubah luarnya yang lebar itu dikebutkan. Sekaligus semua jarum tertahan oleh "tameng" ini dan sebelum si kakek cebol sempat menyerang lagi, Lie Ko Sianseng sudah hinggap di atas sebuah cabang dekat pondok.

"Kau masih tidak mau turun?" Lie Ko Sianseng menggunakan tangannya mendorong pondok dan......... dengan suara keras pondok yang seperti sarang burung itu miring lalu terguling roboh ke bawah membawa penghuninya yang tak sempat ke luar!

Pondok itu menerbitkan suara hiruk pikuk ketika terjatuh ke atas tanah dan berbareng dengan jatuhnya terjadi hal hal yang aneh dan menggelikan. Lie Ko Sianseng berkaok-kaok dan mengaduh kesakitan, melompat turun terhuyung-huyung sampai terjengkang saking gugup dan bingung.

Ternyata ketika ia mendorong roboh pondok itu, sarang tawon yang rupanya dipelihara oleh Lai Sian ikut pecah dan ratusan ekor tawon kini beterbangan mengeroyok Lie Ko Sianseng, malah ada beberapa ekor yang sudah berhasil menyengat mukanya! Tidak heran apabila saudagar gendut ini tunggang-langgang dan mengaduh-aduh!

Sementara itu, di bawah terjadi hal yang aneh pula. Begitu rumah itu terjatuh dan pecah berantakan tidak hanya kepala kakek cebol itu yang nampak keluar merangkak, melainkan banyak pula binatang binatang buas yang menerjang keluar. Harimau, srigala, biruang, rusa dan lain lain. Malah seekor harimau besar segera maju dan menerkam Han Sin, sedangkan yang lain-lain saking kaget dan takutnya lari cerai-berai sambil mengeluarkan suara gaduh! Kiranya pondok kecil kakek itu penuh binatang-binatang hutan!

Han Sin terkejut sekali dan cepat mengelak. Lai Sian, kakek aneh itu kini merangkak keluar dan terdengar ia tertawa terkekeh-kekeh ketika melihat Han Sin sibuk menanggulangi macan sedangkan Lie Ko Sianseng kebingungan dikeroyok tawon-tawon yang marah.

"Hi hi hi, he he he, bagus bagus. Baru kalian tahu rasa sekarang, berani main-main dengan aku!"

Akan tetapi kegirangannya cepat berakhir karena dengan sebuah tendangan kilat, Han Sin berhasil membuat macan itu terlempar jauh, jatuh berdebuk lalu lari tunggang-langgang. Sedangkan Lie Ko Sianseng yang sudah bengkak-bengkak pipinya, berhasil pula mengusir tawon-tawon itu dengan melepaskan jubah dan mempergunakan jubahnya sebagai senjata. Kini Lie Ko Sianseng dengan marah menerjang Lai Sian.

"Orang gila, kau benar-benar keterlaluan!"

Segera terjadi pertempuran hebat antara si saudagar dan si cebol. Mereka sama-sama cepat gerakannya, sama-sama ahli silat yang pandai. Han Sin yang melihat mereka bertempur mati-matian merasa khawatir. Betapapun juga, sebetulnya tindakan Lie Ko Sianseng merobohkan rumah orang tadilah yang keterlaluan. Cepat ia melompat maju dan berkata,

”Harap ji-wi berhenti bertempur. Kedatangan kami sebetulnya bukan untuk memusuhi tuan rumah."

Teringatlah Lie Ko Sianseng akan urusan yang lebih besar. la datang membawa Han Sin ke tempat itu bukan semata-mata untuk mengobatkan monyet, apa lagi untuk menentang Lai Sian, ada hal yang lebih penting lagi. Maka ia melompat mundur dan berkata,

"Orang gila she Lai benar gagah!"

Lai Sian berdiri melototkan matanya. "Kalian ini datang-datang mengacau. Mau apa sekarang?"

Han Sin segera maju menjura dan berkata hormat, "Harap Lai-enghiong suka memaafkan kami. Sebetulnya kami datang untuk mohon pertolonganmu agar suka menyembuhkan luka di kaki monyetku ini."

Lai Sian membuang ludah. "Huh, monyet sialan! Aku suka mengumpulkan dan memelihara binatang-binatang hutan, karena binatang-binatang itu jauh lebih baik dari pada manusia-manusia. Monyet ini berbeda dengan monyet biasa, gerakan-gerakannya seperti mengandung ilmu silat. Aku berusaha menangkapnya, namun gagal. Terpaksa kulukai dia. Eh, muncul siluman wanita cantik membelanya. Kiranya monyet ini siluman!"

"Harap lo-enghiong suka bermurah hati dan memaafkan monyetku ini. Berilah obat, Lai-enghiong."

Kakek itu tertawa mengejek. "Di dunia ini mana ada obat dapat menyembuhkan, kau mau apa?"

Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, membuat Han Sin menjadi mendongkol. Orang tidak mau mengobati monyetnya, kenapa tukang catut ini malah tertawa bergelak?

"Ha ha ha, saudara Cia Han Sin, percuma saja kau minta dia mengobati. Orang pendek cebol macam si gila ini, mana bisa mengobati? Ha ha, Lai Sian. Bilang saja kau tidak becus, kenapa mesti aksi-­aksian bilang tidak mau?"

Han Sin menjadi geli hatinya. Tahulah ia sekarang akan kelihaian si Saudagar ini, yang jelas mempergunakan siasat memanaskan hati orang cebol yang aneh itu. Benar saja, Lai Sian melototkan matanya sampai hampir meloncat keluar dari pelupuk matanya, lalu ia membentak,

"Tukang catut busuk! Siapa percaya omonganmu yang bau? Monyet ini aku yang melukainya, masa aku tidak dapat menyembuhkannya?"

"Ha ha ha, omong sih gampang! Tapi buktinya, dong! Kalau kau sudah benar-benar bisa mengobati sampai sembuh, aku berani bertaruh kepala!"

Kaget sekali hati Han Sin mendengar ini. Apa Lie Ko Sianseng sudah menjadi gila? Masa mempertaruhkan kepalanya! Akan tetapi Lai Sian kelihatan girang sekali.

"Baik, baik.....! Kau lihat saja, aku akan menyembuhkannya dalam sekejap mata. Dan bocah ini menjadi saksi akan janji taruhanmu."

Seperti seekor tikus, kakek cebol itu lalu menyelinap memasuki rumahnya yang sudah berantakan, mencari ke sana ke mari, akhirnya membawa sebuah peti kecil. Dibukanya peti itu, dikeluarkannya beberapa bungkus obat. Kemudian ia membuka balutan kaki Siauw-ong, menggunakan sebatang jarum perak menusuk sana-sini, lalu tampaklah darah hitam keluar dari luka-luka di kedua kaki itu.

Han Sin memegangi Siauw-ong agar monyet yang marah-marah itu tidak banyak bergerak. Kemudian Lai Sian menaruh obat bubuk pada luka-luka itu dan ...... Siauw-ong tidak memberontak lagi, kelihatannya enak tidak sakit lagi. Warna hitam di kedua kakinya lenyap seketika! Ketika Han Sin melepaskan pegangannya, monyet itu meloncat loncat, cecowetan akhirnya melompat ke atas pundak Han Sin. Dia telah sembuh sama sekali!

Han Sin menjadi tegang hatinya ketika Lai Sian mengeluarkan sebatang golok dan menghadapi Lie Ko Sianseng.

"Heh heh heh, tukang catut, hayo kau berikan kepalamu kepadaku!"

Tiba-tiba Lie Ko Sianseng tertawa bergelak, tubuhnya berkelebat ke kiri dan tahu-tahu ia telah menangkap seekor kelinci, dipegangnya pada kedua telinganya. Entah darimana ia menyulapnya, tahu-tahu ia telah memegang sebatang pedang pendek yang agaknya ia cabut dari balik jubahnya yang panjang itu, diayunkannya pedang dan .......... sekali tabas saja putuslah leher kelinci yang masih menetes-netes darahnya itu, lalu diacungkannya ke depan muka Lai Sian.

"Nih taruhanku, ambillah!" la melemparkan kepala kelinci kepada Lai Sian dengan pengerahan tenaga.

Baiknya Lai Sian cepat-cepat miringkan kepala sehingga muka kepala kelinci itu tidak "mencium" mukanya. Ketika ia mengangkat kepala, ia melihat Lie Ko Sianseng sudah menarik tangan Han Sin dan berlari-lari pergi dari situ.

"Curang!Tak tahu malu! Kau tadi mempertaruhkan kepala!" Lai Sian lari mengejar.

"Eh, otak miring. Aku tadi mempertaruhkan kepala, tapi siapa bilang bahwa yang kupertaruhkan adalah kepalaku? Aku hanya bilang kepala, dan yang kumaksudkan adalah kepala kelinci itu. Sudah lunas!"

Lai Sian berhenti mengejar, berdiri bengong. Betul juga kata-kata saudagar yang licik itu.

"Setan, kenapa kau tadi tidak bilang kepala kelinci?" Ia membentak dengan suara hampir menangis.

"Siapa salah? Kenapa kau tadi tidak tanya kepala apa yang kumaksudkan?" jawab Lie Ko Sianseng sambil tertawa.

Han Sin menjadi geli hatinya. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng berjanji mempertaruhkan kepalanya, tentu dia tidak akan membiarkan Lie Ko Sianseng melanggar janjinya. Akan tetapi sekarang ternyata bahwa saudagar itu tidak menipu, hanya menggunakan siasat, tidak melanggar janji, maka ia yang ditarik diajak lari hanya tertawa-tawa dan ikut berlari pergi. Dari jauh terdengar Lai Sian memaki maki dan malahan menangis!

**** ****

Lanjut ke jilid 047 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment