Ads

Monday, September 3, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 047

◄◄◄◄ Kembali

Siapa yang pernah naik kereta ditarik kuda yang berjalan di atas jalan berbatu-batu di tempat yang amat sunyi, tentu akan mengalami kesenangan yang nikmat. Suara kaki kuda, beradunya besi tapal kaki kuda dengan batu, menimbulkan irama yang amat sedap didengar, apa lagi di tempat sunyi. Hal ini adalah karena jalannya empat buah kaki kuda itu amat tetap, menimbulkan irama tenang.

"Plik .... plak ..... plak keteplik-keteplak .... plik ..... plak" Enak sekali irama itu sehingga tidak jarang tukang-tukang gerobak kuda tertidur sambil memegangi kendali, lenggat lenggut dibuai irama suara kaki kuda.

Di atas jalan pegunungan berbatu, tempat yang amat sunyi di kaki Gunung Lu-liang-san, terdengar pula irama ini, memecahkan kesunyian di sekelilingnya. Udara cerah.
Segera terlihat kuda yang menarik sebuah gerobak kecil dan orang akan tertawa kalau melihatnya. Memang pemandangan yang lucu. Kusir gerobak ini bukanlah manusia, melainkan seekor monyet kecil yang duduk di atap gerobak! Monyet itu dengan gaya yang lucu memegangi kendali, nyengar-­nyengir sambil mengeluarkan bunyi, "Ckk .... ckk .... ckk ....” dari mulut yang diruncingkan. Dia ini bukan lain adalah Siauw-ong, monyet peliharaan Han Sin yang sudah sembuh sama sekali dari pada luka di kakinya.

Han Sin duduk di dalam gerobak, di depan, dan di belakangnya duduklah si gendut Lie Ko Sianseng. Hati Han Sin agak gembira, pertama karena monyetnya sudah ditemukan dan sudah sembuh, kedua kalinya karena setelah jauh dari Bi Eng, ia tidak lagi menderita rasa tak enak berhubung dengan pengalamannya baru-baru ini dengan Tilana. Akan tetapi, harus diakuinya bahwa ia merasa amat rindu kepada Bi Eng.

Lie Ko Sianseng amat ramah dan baik padanya, dan kakek ini yang duduk di belakangnya tiada hentinya bicara dan mentertawakan Lai Sian.

"Aku amat berterima kasih kepadamu, lo-enghiong. Kalau tidak ada kau yang membawaku kepada kakek cebol itu, entah apa jadinya dengan Siauw-ong."

"Lai Sian itu memang lihai sekali. Semenjak kecil ia suka menangkapi binatang-binatang, bahkan ular-ular berbisa menjadi permainannya. la tahu betul akan racun-racun segala macam ular."

Tahulah kini Han Sin mengapa kakek cebol ini dapat menggunakan racun yang dapat meracuni Siauw-ong, agaknya racun itu hebat sekali, lebih hebat dari pada racun Pek-hiat-sin-coa. Diam-diam ia bergidik. Kepandaian si cebol itu tidak seberapa hebat, akan tetapi pengertiannya tentang penggunaan racun benar-benar berbahaya.

"Kau lebih lihai dari padanya, lo-enghiong. Budimu besar sekali, bahkan boleh dibilang Siauw-ong berhutang nyawa kepadamu."

"Ha ha ha, manusia hidup harus saling tolong-menolong, orang muda. Aku dapat menolongmu, tentu kaupun dapat menolongku, bukan?"

Han Sin tergerak hatinya. Teringat ia akan pesanan Li Hoa, bahwa ia harus berhati-hati menghadapi kakek ini. Ia sudah tahu akan kecerdikan saudagar ini, yang demikian lihai sehingga dapat mempermainkan Lai Sian dengan tipu muslihatnya.

"Apakah yang dapat kulakukan untukmu, lo-enghiong? Kalau saja aku dapat melakukannya tentu akan kuusahakan membantumu."

Lie Ko Sianseng terbatuk-batuk kecil di belakang Han Sin. "Orang muda pernahkah kau mendengar tentang ...... surat wasiat Lie Cu Seng .......?"

Berdebar jantung Han Sin. Eh, kiranya orang ini menuju ke situ! Beberapa tahun yang lalu, banyak orang kang-ouw mendesaknya untuk memperebutkan surat wasiat itu yang berisi pelajaran Ilmu Silat Thian-po-cin-keng! Dan kiranya kakek ini menolong Siauw-ong dengan maksud ini pula. Herannya bagaimana kakek ini tahu akan segala hal yang terjadi di dunia kang-ouw.

Akan tetapi Han Sin pura-pura bersikap tenang saja. "Aku tahu, lo-enghiong, bahkan surat wasiat itu adalah peninggalan ayahku Cia Sun kepadaku. Kenapa kau menanyakannya?"

"Heh heh heh, tidak apa-apa. Aku adalah seorang saudagar, banyak sudah aku menjual-belikan barang-barang aneh dan indah. Orang muda, maukah kau menjual kitab itu kepadaku? Lima ratus tael perak kubeli..... eh, seorang pemuda banyak membutuhkan uang, biar kubayar seribu tael perak! Bagaimana?"

Han Sin menoleh sebentar sambil tersenyum. "Sayang sekali, lo-enghiong. Kitab itu sudah kubakar di dalam guha, karena banyak orang jahat hendak merampasnya dari tanganku."

"Apa ......?"

Suara yang tadi sabar itu sekarang menjadi kasar, dan tiba-tiba Han Sin merasa betapa jalan darah Tiong cu-hiat di belakang lehernya dan jalan darah Thai-yang-hiat di punggungnya telah disentuh oleh ujung-ujung jari tangan! Dua jalan darah itu adalah jalan-jalan darah terpenting dan penyerangan totokan yang tepat akan dapat mendatangkan maut. Orang telah "menodongnya" dengan ancaman mati! Akan tetapi ia dapat menekan perasaannya dan bersikap tenang sekali.

"Orang muda, kau tentu tidak begitu bodoh untuk membakar kitab tanpa membaca isinya. Kau tentu sudah membacanya, bukan?"

Han Sin mengangguk. "Tentu saja!" Pemuda ini merasa betapa jari-jari tangan yang mengancam jalan darahnya gemetar.

"Dan isinya tentu pelajaran ilmu silat dan ilmu perang, bukan?" kini suara kakek itu bergemetar pula malah.

Kembali Han Sin mengangguk. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Diam-diam Han Sin tersenyum lagi. Jari-jari tangan itu makin menggigil dan makin menekan tubuhnya.

"Orang muda ..... kau tadi bilang hendak membalas budi padaku, ....... nah, sekarang kutagih. Aku minta kepadamu supaya kau mengajarkan isi kitab itu seluruhnya kepadaku sebagai pembalasan jasaku terhadap kau dan monyetmu”

Kini Han Sin merasa betul betapa jari-jari tangan itu sudah menekan keras maka maklumlah ia bahwa kakek ini sebenarnya bukan meminta, melainkan memaksa dengan ancaman maut! Akan tetapi ia tetap tenang.

"Maaf, lo-enghiong. Permintaan ini tak dapat kupenuhi. Tadi kusanggupi permintaan yang kiranya dapat kulakukan, akan tetapi hal ini tak mungkin dapat kulakukan. Isi kitab merupakan rahasia bagiku, tak boleh diberitahukan kepada siapapun juga."

"Orang muda tak ingat budi! Kau harus menuruti kemauanku, karena nyawamu berada di ujung jariku."

Han Sin tertawa geli. "Ha ha, kau aneh sekali, lo-enghiong. Mana bisa nyawa orang berada di ujung jarimu? Nyawaku berada di tangan Tuhan, dan kalau Tuhan belum menghendakinya, siapapun juga takkan mungkin dapat membunuhku!"

"Bodoh kau! Sekali saja jari-jari tanganku menotok, nyawamu akan melayang!"

"Kau cobalah! Apa kau merasa lebih berkuasa dari pada Tuhan?" Han Sin mengejek.

Lie Ko Sianseng menjadi gemas. Ia tidak bermaksud membunuh pemuda ini, akan tetapi karena melihat Han Sin berkeras kepala tidak mau memberikan isi kitab kepadanya, cepat ia lalu menotok jalan darah di punggung pemuda itu, bukan untuk membunuh, hanya untuk membikin pemuda itu lemas agar ia dapat memaksanya. Ia mengerahkan tenaga ke arah ujung jari telunjuk dan jari tengah dari tangan kirinya, lalu menusuk,

"Takk!" Lie Ko Sian¬seng meringis! Tubuh itu tidak bergeming, malah jari-jari tangannya terasa sakit-sakit seperti menusuk baja saja!

Tanpa menoleh Han Sin tersenyum. Kalau saja tadi Lie Ko Sianseng menusuk jalan darah kematian, tentu pemuda ini takkan tinggal diam dan memberi hajaran. Akan tetapi, mendapat kenyataan bahwa yang ditotok hanya jalan darah yang tidak berbahaya, pemuda ini yang berhati welas asih, memaafkan perbuatan itu, apa lagi karena dia memang berterima kasih kepada kakek ini.

Di lain pihak, kakek saudagar itu merasa penasaran dan heran sekali. Sekali lagi tangannya menotok, kini di jalan darah belakang pundak untuk membuat pemuda itu kaku tanpa mengancam nyawanya.

"Cusssss ........!" Berteriaklah kakek itu saking kagetnya. Jari tangannya menusuk daging yang lunak dan empuk, akan tetapi yang mengandung hawa dingin membuat tulang-tulang jarinya serasa tertusuk ratusan jarum kecil-kecil. la cepat menarik tangannya, meringis kesakitan, akan tetapi memaksa diri tertawa bergelak!

"Ha ha, he he he ……! Tak salah sedikitpun juga dugaanku! Ternyata kau telah menjadi ahli waris ilmu hebat dari Tat Mo Couwsu .....! Kionghi, kionghi (selamat, selamat)!" Kakek ini memang seorang yang memiliki kecerdikan luar biasa, dan perhitungan masak seperti lazimnya seorang saudagar yang pandai. Karena itulah maka ia dijuluki Swi-poa-ong (si Raja Swipoa).

Seperti diketahui, swipoa adalah alat menghitung yang amat praktis dan cepat serta tepat, maka julukan Raja Swipoa ini dapat membayangkan betapa cerdik dan masak perhitungannya dalam melakukan segala macam hal. Ia memang sejak dulu merindukan kitab peninggalan Lie Cu Seng, maka bertemu dengan Han Sin tentu saja timbul keinginan hatinya untuk memiliki kitab itu atau setidaknya isinya.

Inilah sebabnya maka ia sengaja menolong pengobatan Siauw-ong dengan resiko besar, kemudian menuntut pembalasan budi dari Han Sin. Dasar ia cerdik, ia tidak mau mengancam Han Sin dengan totokan maut. Sekarang melihat bahwa ia tidak berdaya menghadapi pemuda yang ternyata telah memiliki kepandaian luar biasa ini, ia mengganti siasat.

"Kepandaian manusia tidak ada artinya kalau keliru mempergunakannya, lo enghiong. Pula, sampai di mana batas ilmu? Tiada habisnya dan setiap orang manusia memiliki, keistimewaan masing-­masing, maka aku tak perlu mengiri terhadap orang lain ......." Dengan ucapan ini Han Sin menyindir kakek itu.

"Ha ha ha, kau betul ..... kau betul ......! Benar-benar hebat dan pantas sekali menjadi putera Cia-­taihiap. Tampan halus, lihai dan berbudi baik, suka menolong dan ingat budi.........”

Diam-diam Han Sin mendongkol sekali. Ia sekarang dapat merasakan kelihaian kakek ini. Tipu muslihat adalah lebih berbahaya dari pada pukulan yang ampuh, karena ilmu silat dapat dilihat dan dihadapi, dapat dilawan. Sebaliknya tipu muslihat sukar sekali diduga apa macamnya dan dari mana datang penyerangannya.

Benar Li Hoa, pikirnya, aku harus berhati hati menghadapi si gendut ini. Kalau sudah menanam budi, orang macam ini tentu bukan menanam tanpa pamrih, tentu menghendaki balasan, bahkan dengan bunga-bunganya! Lebih baik cepat-cepat membereskan perhitungannya dengan kakek ini, pikirnya.

"Lie Ko Sianseng, aku takkan lupa akan pertolonganmu sampai Siauw-ong menjadi sembuh. Lekaslah kausebutkan, pekerjaan apa yang dapat kulakukan untuk membayar hutang budimu itu. Akan tetapi tentu saja sekali lagi kutekankan bahwa aku hanya akan melakukan pekerjaan yang tidak melanggar kebajikan, dan yang dapat kulakukan."

Merah wajah Lie Ko Sianseng. Akan tetapi dasar dia bermuka tebal, maka sambil menyengir kuda ia berkata,

"Tadi aku hanya main-main saja, Cia-taihiap." Kini ia menyebut "taihiap" untuk mengambil hati. "Aku sudah tua, untuk apa mempelajari lain ilmu silat? Selain tiada gunanya, juga belum tentu aku sanggup, tulang-tulangku yang tua sudah terserang penyakit encok, napasku sudah pendek! Aku hanya ingin mencoba kepandaianmu, taihiap, agar aku tidak ragu-ragu untuk menyerahkan tugas ini kepadamu, dan aku percaya kau akan suka menolongku."

"Tugas apa? Pertolongan bagaimana?" Han Sin bertanya, hati-hati.

"Begini Cia-taihiap. Aku telah membeli barang-barang berharga, perhiasan, sutera halus, kayu wangi, dan lain-lain berjumlah dua peti. Nah, barang-barang ini akan kuangkut ke kota Ta-tung ....."

"Kota di mana berkumpul orang-orang gagah, ke mana adikku telah pergi?" tanya Han Sin.

"Betul, hendak kujual di sana. Kau sendiri mengerti, dalam keadaan perang seperti sekarang ini, perjalanan amat tidak aman, dan aku..... aku merasa takut untuk membawanya sendiri ke sana......."

"Hemm, Lie lo-enghiong memiliki kepandaian tinggi, takut apa?"

Merah muka Lie Ko Sianseng. "Ahhh, kalau aku berkepandaian tinggi, kiranya aku takkan berani menyusahkanmu. Aku mohon pertolonganmu, karena kau sendiripun hendak pergi menyusul adikmu ke Ta-tung, tolonglah kaukawal dua buah peti itu menggunakan gerobak ini. Maukah kau menolongku?"

Han Sin berpikir sebentar. Ia memang harus pergi ke Ta-tung menyusul Bi Eng. Apa salahnya dititipi dua peti? Laginya, ia dapat melakukan perjalanan dengan gerobak, lebih enak dari pada berjalan kaki.

"Baiklah, lo-enghiong. Untuk membalas budimu, aku akan mengawalnya. Padahal dengan adanya kau, kata-kata mengawal itu tidak tepat lagi ........”

"Jangan salah duga, taihiap. Aku sendiri sih tidak ikut ke Ta-tung. Masih banyak urusan yang harus kuselesaikan ..... eh, urusan perdagangan tentunya ........"

Han Sin diam saja, namun di dalam hatinya ia tidak percaya. Orang seperti ini bukanlah pedagang biasa, amat cerdik dan lihai. Entah barang apa yang berada di dalam dua buah peti. Akan tetapi hal itu bukan urusannya, lebih cepat ia mengirimkan barang-barang itu ke Ta-tung lebih baik lagi.

"Dan di mana adanya barang-barang itu? Setelah sampai di Ta-tung, kepada siapa harus kuserahkan?"

"Barang-barang itu berada di luar hutan ini, kusimpan dalam sebuah guha. Setelah kau tiba di Ta­tung, akan ada orangku menerimanya. Dia akan membawa surat kuasa dariku, semua sudah kupersiapkan."

Lie Ko Sianseng membawa pemuda itu ke sebuah guha di tempat yang sunyi. Benar saja. si gendut ini setelah memasuki guha, lalu keluar membawa dua buah peti yang tidak berapa besar, akan tetapi cukup berat. Segera dua buah peti dimasukkan ke dalam gerobak.

"Dari sini kauikuti jalan besar menuju ke timur. Hati-hatilah, Cia-taihiap. Perjalanan ini biarpun tidak berapa jauh, akan tetapi cukup berbahaya. Setelah kau ke timur sampai di kota Tai-goan, kau membelok ke utara. Jalan antara Tai-goan dan Ta-tung inilah yang berbahaya, kadang-kadang muncul perampok-perampok lihai."

"Akan kulindungi barang-barangmu dengan sekuat tenaga. Jangan khawatir, lo-enghiong," jawab Han Sin singkat.

Mereka lalu berpisahan, Han Sin bersama Siauw-ong naik gerobak itu menuju ke timur, sedangkan Lie Ko Sianseng memandang sambil tersenyum-senyum puas.

SENANG juga rasanya melakukan perjalanan dengan gerobak bersama Siauw ong. Sayang, pikir Han Sin. Kalau Bi Eng ikut melakukan perjalanan ini, tentu ia akan girang sekali! Teringat akan Bi Eng, berkerut kening Han Sin, karena sekaligus ia teringat akan sikap Bi Eng mengenai urusannya dengan Tilana.

Ia maklum benar bahwa Bi Eng bermaksud baik. Gadis itu ingin sekali melihat kakaknya berbahagia, mendapatkan seorang isteri cantik jelita dan pandai. Memang, siapa dapat menyangkal bahwa Tilana adalah seorang gadis yang amat cantik dan jarang dapat dicari bandingnya? Dia sendiri, terus terang saja, akan menerima Tilana dengan kedua tangan terbuka, akan merasa berbahagia sekali mengambilnya sebagai isteri yang tercinta..... andai kata...... di dunia ini tidak ada Bi Eng!

Bi Eng bersusah payah dan bertekad hendak menjodohkan kakaknya dengan Tilana, karena sebagai adik kandung gadis itu hendak memenuhi tugasnya, membahagiakan kakaknya. Akan tetapi, sebaliknya, Han Sin yang sudah tahu bahwa Bi Eng bukan adik kandungnya, bahkan bukan sanak ­kadang, dia yang sudah jatuh cinta sepenuh jiwa raganya kepada Bi Eng, bagaimana dapat memperisteri gadis lain?

Han Sin merenung. Kasihan Tilana ......! Kau ampunkan aku, Tilana. Aku sudah berbuat dosa di luar kesadaranku. Kau sendiri yang memancing malapetaka. Aku sudah melakukan hal terkutuk..... dan sebagai seorang jantan, seperti kata-kata Bi Eng, sudah seharusnya aku bertanggung jawab terhadap perbuatanku. Menurut patut, aku harus bertanggung jawab dan suka menjadi suamimu, harus melindungimu selama hidupku. Akan tetapi ..... ah, ...... Bi Eng, aku cinta padamu ......

Pada saat itu, Han Sin dengan gerobaknya dikawani Siauw-ong sudah melewati kota Tai-goan dan sudah membelok ke utara. Daerah ini mulai berubah penuh dengan daerah yang kering dan sunyi. Mulai jaranglah orang berjalan, malah akhirnya, beberapa puluh li lagi, Han Sin sudah tak dapat melihat orang di atas jalanan yang amat sunyi. Hanya kadang-kadang saja ada orang-orang menunggang kuda, sikap mereka gagah seperti orang-orang pejuang, atau orang-orang kang-ouw. Malah ada pula yang bersikap seperti perampok-perampok, akan tetapi kesemuanya tergesa-gesa dan tidak memperdulikan pemuda bersama monyet di dalam gerobak kecil itu.

Diam-diam Han Sin geli sendiri. Lie Ko Sianseng terlalu penakut. Kenapa untuk mengantar dua buah peti itu harus merasa takut sampai minta bantuannya? Buktinya dia sudah melakukan perjalanan jauh dan tak seorangpun mengganggu perjalanannya!

Tiba-tiba ia mendengar suara berisik dari depan. Suara itu makin lama makin jelas dan dapatlah ia menduga bahwa dari depan datang iring-iringan kereta. Roda-roda kereta itu mendatangkan suara gemuruh. Setelah melalui tikungan, benar saja dugaannya.

Dari jauh ia melihat empat buah kereta atau gerobak yang besar dan aneh bentuknya. Gerobak ini tertutup dengan kain tebal, tiap gerobak ditarik dua ekor kuda yang tinggi besar. Yang mengusiri gerobak adalah laki-laki semua, rata-rata bertubuh tinggi besar, berwajah tampan gagah dengan kepala diikat kain kepala yang lebar. Di depan gerobak-gerobak itu terdapat seorang penunggang kuda.

Ketika Han Sin memandang ke arah penunggang kuda di depan iring-iringan kereta ini, berdenyutlah jantungnya, pucat mukanya. Tak salahkah penglihatannya? Penunggang kuda itu adalah seorang wanita, berpakaian sebagai wanita Bangsa Hui dan biarpun sebagian muka di bagian bawah tertutup kain sutera, akan tetapi mata itu ....! Jidat itu ......! Dia Tilana, tak bisa salah lagi!

Mereka sudah berhadapan. Mata yang indah bening itu memancarkan cahaya aneh ketika melihat Han Sin, kemudian menjadi berapi-api. Han Sin pura-pura tidak mengenal Tilana, lalu turun dari gerobaknya, menuntun kuda supaya minggir dan memberi jalan kepada iring-iringan gerobak itu.

Akan tetapi gadis berkerudung mukanya itu memberi aba-aba dalam bahasa Hui yang dimengerti Han Sin. Gadis itu menyuruh orang-orangnya berhenti. Kemudian gadis itu sendiri melompat turun dari kuda, sekali melompat ia telah berdiri di depan Han Sin dan merenggut kerudung dari mukanya.

"Laki-laki berhati kejam! Kau masih berpura-pura tidak mengenal aku lagi?" bentak perempuan itu yang bukan lain adalah Tilana! Gadis ini wajahnya agak pucat, mungkin karena pakaiannya yang terbuat dari pada kain berwarna putih seperti orang berkabung itu.

Han Sin merasa tertusuk hatinya.

"Tilana ..... aku ..........”

"Tilana sudah mati! Kau tidak lihat pakaianku, aku berkabung untuk kematian Tilana, gadis malang yang menyerahkan jiwa raganya kepala laki-laki yang kejam, yang tidak mengenal kasihan dan tidak mengenal cinta kasihnya. Tilana sudah mati dan sudah sepatutnya ia mati karena membiarkan kerudungnya dibuka orang, membiarkan dirinya dihina orang .......” Suaranya menjadi terganggu sedu-sedan yang naik dadanya, akan tetapi ditahannya sehingga tidak sampai menangis.

Orang-orang lelaki bangsa Hui yang gagah? nampaknya itupun sudah pada turun dari gerobak. Mereka ternyata ada dua belas orang banyaknya, sikap mereka keren sekali. Seorang di antara mereka, yang kumisnya yang paling lebat dan tubuhnya paling besar, bertanya dalam bahasa Hui,

"Nyonya Cia, siapakah orang ini, yang berani menyebut nama kecil nyonya?"

Merah muka Tilana mendengar sebutan "nyonya Cia" ini, dan Han Sin seperti ditikam belati hatinya. Ia terharu sekali. Pemuda yang memiliki kecerdikan luar biasa ini segera mengerti atau dapat menduga bahwa Tilana malah sudah mempergunakan sebutan nyonya Cia atau mengaku menjadi isterinya, isteri Cia Han Sin!

"Kau..... kau menggunakan nama...... nyonya Cia....??" tanyanya gagap dan wajahnya menjadi pucat.

Tilana mengangkat dadanya, sikapnya angkuh. "Seorang wanita sejati harus memiliki kesetiaan. Memang aku isteri Cia Han Sin, kenapa tidak menyebut diri nyonya Cia? Tapi, Cia Han Sin, seperti juga Tilana, telah mati! Kau ini laki-laki berhati keji, yang dengan kejam telah menghancurkan hidup seorang gadis, malah sudah berpura-pura tidak mengenalku!"

"Nyonya, kalau dia jahat, biarlah hamba memberi hajaran kepadanya!" seru laki-laki tinggi besar berkumis itu sambil menggerak-gerakkan cambuk di tangannya.

Han Sin makin perih hatinya. Makin jelas terbayang di depan matanya betapa ia telah berlaku tidak adil kepada Tilana yang betul-betul mencintanya. Ia merasa amat terharu dan kedua kakinya menjadi lemas. Kemudian ia menjatuhkan diri berlutut di depan Tilana!

"Tilana....., Tilana....... aku mengaku telah berbuat dosa besar. Kau boleh siksa aku, boleh bunuh aku...., memang aku laki-laki kejam .......!"

Orang Hui tinggi besar itu mencabut pedangnya dan hendak membacokkan senjatanya ke leher Han Sin. Akan tetapi Tilana membentak, "Jangan bunuh dia! Boleh cambuki dia laki-laki kejam ini!"

Orang Hui itu menyeringai, menyimpan pedangnya lalu mengayun cambuknya. "Tar! Tar! Tar!" cambuk menari-nari di atas tubuh Han Sin. Pemuda ini hendak menebus dosa. Ia rela disiksa. Kalau dia mau, tentu saja dengan pengerahan tenaga lweekangnya ia dapat menerima cambukan itu tanpa merasa sakit, malah kalau ia mau, sekali renggut saja ia mampu merampas cambuk atau mengelak.

Akan tetapi hatinya terlalu sedih dan pada saat itu ia hendak menebus dosanya, maka tanpa mengerahkan tenaga ia menerima datangnya cambukan. Pakaiannya cabik-cabik, malah kulit tubuhnya pecah berdarah. Cambuk menghantam terus ke punggung, ke muka, sampai mukanya berdarah, bibirnya pecah pada ujungnya. Ia terguling dan dipukul terus.

Pada saat itu, terdengar pekik dan Siauw-ong melompat turun, terus meloncat ke atas pundak si pemukul, menggigit pundak dan merampas cambuk. Orang Hui itu berseru kesakitan, cambuknya terampas dan ia terhuyung ke belakang. Siauw-ong melompat turun dengan cambuk di tangan, berdiri di depan majikannya, sikapnya mengancam, memperlihatkan gigi dan mengayun-ayun cambuk dengan pekik menantang!

"Siauw-ong, jangan! Lepaskan cambuk, pergilah ke gerobak!" Han Sin masih sempat mencegah.

Monyet itu menoleh kepada majikannya, ragu-ragu, akan tetapi bertemu pandang dengan Han Sin, monyet itu mengeluarkan keluhan panjang melemparkan cambuk ke atas tanah lalu berlari-lari ke gerobaknya.

Orang Hui itu mengambil cambuknya lagi, lalu mencambuki Han Sin lebih hebat pula, agaknya untuk melampiaskan kemendongkolannya karena penyerangan monyet tadi. Sampai bergulingan Han Sin dicambuki, tubuhnya sakit-sakit namun ia tidak melawan, juga tidak mengeluh. Akhirnya ia jatuh pingsan di atas tanah yang berdebu, tubuhnya kotor terkena darah dan debu.

Ketika ia siuman kembali, ia mendapatkan dirinya berada di dalam sebuah gerobak besar. Gerobak-­gerobak lain berada agak jauh dari tempat itu, dan ia berbaring dengan kepala di atas pangkuan......... Tilana! Gadis itu menangis, membersihkan mukanya, mendekap kepalanya pada dada yang berdebar-debar itu.

"Kau suamiku ...... bagaimana aku dapat membunuhmu .......?" Air mata bercucuran dan menjatuhi muka Han Sin, air mata yang hangat dan bening.

Makin terharu hati Han Sin. Tak dapat disangkal lagi, Tilana adalah seorang wanita yang amat cantik jelita, yang berwatak aneh, keras sekali, akan tetapi...... amat mencintainya. Wanita lain mungkin akan membunuhnya. Ia telah menolak cinta kasih wanita ini, malah sudah menghinanya, sudah mengusirnya. Akan tetapi Tilana malah mengaku sebagai isterinya, kini malah agaknya tidak tega melihat dia disiksa.

"Tilana......, kau terlampau baik bagiku...... menerima cintamu....... aku sudah berbuat dosa kepadamu, kalau kau mau bunuh aku, bunuhlah Tilana........"

Tilana terisak, mempererat pelukannya.

"Tidak....., tidak.....! Kau laki-laki perkasa, kau terlalu baik hati. Aku tahu, kau lihai dan kalau kau kehendaki, sepuluh orang aku dibantu seratus orangku masih takkan mampu melukaimu seujung rambut. Akan tetapi kau sengaja mengalah, kau sengaja membiarkan dirimu disiksa...... ah, Han Sin......... Han Sin, aku tidak mengerti, bukankah ini berarti bahwa kau..... kau cinta kepadaku? Kenapa kau menolak cinta kasihku? Kenapa kau menolak kehendak Tuhan bahwa kita ini berjodoh......? Kenapa? Kenapa.........?"

Han Sin menggelengkan kepalanya. lalu bangun duduk sambil tersenyum sedih.

"Tak mungkin, Tilana........, tak mungkin aku mencintai wanita lain. Memang kau baik sekali, kau cantik jelita, halus budi, dan gagah perkasa, akan tetapi...... sayang sekali..... aku tak dapat mencintaimu "

Tilana menyusuti air matanya, lalu dengan mata merah ia memandang Han Sin dan bertanya,

"Kau tidak bisa mencinta wanita lain ..... berarti kau telah mencinta seorang wanita?"

Han Sin mengangguk.

"Siapa dia?" pertanyaan ini memperdengarkan kepanasan hati, membayangkan cemburu yang besar.

Han Sin menggeleng kepala. Bagaimana ia bisa menyatakan kepada Tilana bahwa ia mencinta Bi Eng?

"Kau bohong. Kalau betul ucapanmu tadi, kau harus mengaku siapa dia yang kaucinta. Barulah aku akan puas, baru aku mau mengalah ........"

Han Sin berpikir sebentar. Kalau ia diam saja tidak mengaku, tentu ia akan membuat Tilana makin penasaran dan sengsara hatinya lagi.

"Aku mencinta...... Bi Eng .......”

"Plak! Plak!" Dua kali tangan Tilana menampar pipi Han Sin, sampai panas terasa oleh pemuda itu yang hanya tersenyum sedih.

Lanjut ke jilid 048 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment