Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 053

◄◄◄◄ Kembali

Sesosok bayangan putih bergerak perlahan memasuki kota Ta-tung. Bayangan seorang wanita muda yang cantik jelita. Tilana! Wajah gadis ini pucat bagaikan mayat hidup, sinar matanya aneh sekali, sayu dan terbenam dalam kedukaan hebat, rambutnya yang panjang dan tertutup kerudung agak kusut, demikianpun pakaiannya yang berwarna putih. Sinar bulan yang menerangi mukanya yang cantik menimpa sepasang pipi yang basah, basah air mata.

Siapa orangnya yang takkan merasa hancur hatinya, takkan merasa perih dan sakit kalbunya, seolah-olah tertusuk ratusan jarum berbisa? Dia telah menjadi isteri...... kakak kandungnya sendiri! Dia telah mencintai kakak kandungnya. Cia Han Sin, orang yang dicintainya, orang yang telah menjadi suaminya biarpun secara tak sadar ternyata adalah kakaknya sendiri!

Dan Bi Eng, nona yang dianggapnya amat baik hati, yang membantu menjadi isteri Han Sin, yang ia anggap sebagai adik ipar yang ia sayang, ternyata malah bukan adik kandung Han Sin, tepat seperti yang dikatakan oleh pemuda itu. Benar-benar Bi Eng adalah puteri Balita yang selama ini ia anggap sebagai ibunya.

Dunia serasa hancur bagi Tilana kalau ia teringat akan semua ini. Untuk ke sekian kalinya, dua butir air mata berlinang lalu menetes ke atas kedua pipinya perlahan-lahan mengalir ke bawah. Tak diusapnya, tak diperdulikan.

Dan Han Sin mencinta Bi Eng! Bi Eng sudah begitu baik terhadapku. Dan sekarang keadaan berbalik. Bi Eng puteri Balita, dicinta Han Sin. Dia sendiri adik kandung Han Sin sekarang tiba gilirannya untuk membalas budi Bi Eng dengan Han Sin! Kemudian, ah.... untuk apa lagi hidup di dunia? Dia telah melakukan sesuatu yg amat hina. Menjadi isteri kakak kandung sendiri. Dia harus mati!

Bi Eng sedang bercakap-cakap dengan Li Goat dan Yan Bu di ruangan dalam, ketika seorang pelayan memberi tahu bahwa ada seorang wanita Hui mencari Bi Eng.

"Tilana ....." berkata Bi Eng girang dan berdebar hatinya. Cepat ia berlari keluar dan..... benar saja. Tilana berdiri di depan rumah seperti sebuah patung dari marmer.

"Cici Tilana ....!" Bi Eng menubruk dan memeluknya. Girang bukan main hatinya dapat melihat gadis ini dan tidak melihat gadis ini membunuh diri karena perbuatan Han Sin.
Makin terharu hati Tilana melihat sikap Bi Eng. Benar-benar seorang gadis yang berhati tulus dan jujur. Tak terasa lagi air matanya bercucuran ketika ia membalas pelukan Bi Eng. Bi Eng sendiri mengira bahwa Tilana masih merasa berduka karena penolakan Han Sin, maka cepat ia menghiburnya,

"Cici Tilana, harap kau jangan berduka. Aku senang sekali kau datang, biarlah kau tinggal dulu dengan aku di sini. Sin-ko sedang ke utara, tak lama lagi tentu ia datang kembali dan ......,

"Bi Eng, kau mulia sekali....., tapi aku mempunyai sebuah urusan yang amat penting, yang akan kubicarakan denganmu. Bi Eng, maukah kau ikut dengan aku ke luar kota, ke tempat yang sunyi di mana kita bisa bicara secara enak tak terganggu?"

"Tentu saja, cici Tilana. Biar aku pamit dulu ke dalam .....”

"Tak usahlah, urusannya penting sekali, adikku ......”

Kebetulan sekali pada saat itu Li Goat dan Yan Bu keluar. "Li Goat dan saudara Yan Bu, aku akan pergi sebentar bersama cici ini ......." Bi Eng tak melanjutkan kata-katanya karena Tilana sudah menggandeng dan menariknya pergi dari situ.

Li Goat dan Yan Bu saling pandang dan heran. "Siapakah wanita cantik yang aneh itu?"

"Entahlah......." Yan Bu mengangkat pundak lalu termenung, penuh kekhawatiran, akhirnya ia menghibur hati sendiri dan berkata, ”Tentu seorang kenalan yang baik, orang-orang seperti dia itu memang amat terkenal di dunia kang-ouw dan banyak hubungannya. Tadi kulihat sikap mereka amat mesra, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.”

Sementara itu, Bi Eng dan Tilana berlari-lari cepat di malam hari itu menuju ke luar kota, kalau ada yang melihat mereka, yang melihat ini takkan heran karena di kota ini adalah pusat tempat orang-orang kang-ouw yang aneh dan lihai, hanya mungkin mereka akan kagum sekali melihat dua orang gadis yang amat cantik jelita ini.

DI TEMPAT yang sunyi, tempat terbuka sehingga takkan ada orang dapat mengintai dan mendengarkan percakapan mereka, Tilana berhenti dan gadis ini duduk di atas rumput. Bi Eng juga duduk di depannya sambil tersenyum dan berkata,

"Cici Tilana, kau amat aneh. Bercakap-cakap saja mengajak di tempat yang begini sunyi. Kalau kita tadi pergi ke rumah makan sambil makan-makan kita mengobrol, kan lebih enak?"

Tilana menatap wajah Bi Eng yang cemerlang dan berseri ditimpa sinar bulan purnama itu, lalu menarik napas. Kasihan, pikirnya. Gadis ini begini jujur, terbuka hati baik budi. Baru sekarang ia melihat betapa mata dan bibir Bi Eng ini sama benar bentuknya dengan mata dan bibir ...... ibunya, Balita.

Makin terharu hati Tilana. Gadis ini senasib dengan dirinya, semenjak kecil tak mengenal ibu sendiri, dipermainkan oleh nasib yang ditimbulkan oleh orang-orang tua yang tak bertanggung jawab. Tak terasa lagi Tilana merangkul Bi Eng dan menangis.

"Aduh, adikku, Bi Eng ......, kasihan sekali kau ......”

Bi Eng makin terheran, tak enak hatinya, ia melepaskan rangkulan Tilana dengan halus, menentang pandangnya lalu bertanya sungguh-sungguh,

"Cici Tilana harap jangan berlaku penuh rahasia, kau membikin gelisah. Sebetulnya, ada apakah yang terjadi? Kenapa kau malah menaruh kasihan kepadaku?"

"Adikku Bi Eng, tak tahukah engkau bahwa..... bahwa kanda Han Sin sebetulnya hanya mencinta kau seorang? Kaulah yang dicintanya, bukan wanita lain .......”

Merah muka Bi Eng. "Aahhh, kau ini aneh-aneh saja cici Tilana. Kalau tidak mencinta aku habis bagaimana? Akukan adiknya!" la mencoba bergembira.

Akan tetapi Tilana memegang tangannya dan berkata sungguh-sungguh, ”Aku tidak main-main, Bi Eng. Ketahuilah sesungguhnya kau bukanlah adik kandung kanda Han Sin, kau malah bukan apa-­apanya, bukan sanak, bukan kadang ......"

"Apa...... apa artinya ini..... Jangan kau main gila!" Bi Eng menjadi pucat, hatinya berdebar.

"Aku bicara sesungguhnya, dan aku berterus terang karena aku suka kepadamu. Kanda Han Sin sendiri yang berkata kepadaku tentang dirimu ketika akhir-akhir ini aku bertemu dengan dia. Malah Siauw-ong pun di tinggalkan di tempatku. Bi Eng, kau bukanlah adik kandungnya, apakah selama ini kau tidak merasanya? Apakah sikapnya terhadapmu sewajarnya?"

Makin pucatlah wajah Bi Eng, jantungnya berdebar tidak karuan. Dia bukan adik kandung Han Sin? Pemuda itu bukan kakaknya? Mana mungkin? Sejak ia dapat mengingat ia selalu berada di sisi kakaknya itu.

"Tak mungkin! Kau bohong!" katanya dengan bibir menggigil. "Sejak aku dapat mengingat, dia selalu berada di sisiku, menjadi kakakku ......”

Tilana mengangguk. "Aku mengerti, demikianpun aku, adikku. Orang yang kukira ibuku, yang semenjak kecil kusangka ibu kandung sendiri, ternyata orang lain dan bukan apa-apaku. Semenjak kecil kau berada di sisi kanda Han Sin, akan tetapi tahukah kau apa yang terjadi ketika kau masih bayi? Kau bukan adik kandungnya, Bi Eng dan hal ini aku yakin benar karena aku tahu anak siapa kau ini, malah ibumupun masih hidup .......”

Bi Eng mengeluarkan jerit tertahan dan ia memegang tangan Tilana erat-erat seakan-akan hendak menghancurkan tangan itu dalam cengkeramannya. Baiknya Tilana adalah seorang gadis berilmu, kalau tidak, bisa remuk tulang tangannya dicengkeram seperti itu oleh Bi Eng.

"Tilana! Awas kau kalau bohong ....!"

Tilana menentang pandang mata itu dan menggeleng kepala.

"Kalau begitu, siapa ibuku yang betul? Ayoh bilang, siapa dia? Aku anak siapa?"

"Ibumu adalah orang yang selama ini kuanggap ibuku. lbumu adalah Balita, Puteri Hui......."

"Tak mungkin .....! Tak mungkin .....! Aku anak Jim-cam-khoa si iblis betina ........?"

"Memang banyak sekali hal yang kelihatan tak mungkin telah terjadi di masa kita masih kecil, adikku. Kau memang anak tunggal Balita dan hal ini sudah diakui secara terang-terangan oleh Balita. Lihat matamu, bibirmu, serupa benar dengan Balita. Dan kanda Han Sin juga sudah tahu akan hal ini ....."

"Tidak bisa!! Tidak bisa jadi! Aku harus mendengar sendiri dari wanita Hui itu! Harus mendapat keterangan yang jelas! Tak mungkin......" Bi Eng lalu menangis terisak-isak.

Tiba-tiba ia teringat akan keterangan Han Sin tentang tahi lalat merah di dekat telinga Tilana, tentang kenyataan bahwa Tilana ini puteri Ang-jiu Toanio. Tanpa disadarinya, tangannya menyingkap rambut di dekat telinga Tilana dan benar saja, ia melihat tanda merah...... Bi Eng menjerit lirih dan merangkul Tilana lalu menangis terisak-isak lagi di pundak Tilana. Hati Bi Eng tidak karuan rasanya. Terharu, sedih, bingung dan anehnya.... ada juga rasa girang! Ibunya masih hidup. Dan..... dia bukan adik kandung Han Sin!

"Bi Eng, adikku yang baik. Memang kau harus mendengar sendiri dari ibumu, dari Balita. Mari kubawa kau ke sana, biar kupertemukan ibu dan anak yang sudah berpisah semenjak kau masih bayi ......”

Seperti dalam mimpi, Bi Eng digandeng bangun dan diajak berlari-lari oleh Tilana. la bingung dan gelisah. Kalau Han Sin sudah mengetahui akan hal itu, kenapa diam saja tidak memberi tahu kepadanya? Pantas saja sikap Han Sin aneh sekali. Dan menurut Tilana, Han Sin hanya mencinta dirinya seorang! Bi Eng menjadi panas mukanya dan berdebar jantungnya.

Dan Tilana...... ah, kalau ia ingat betapa ia sudah mendorong-dorong Han Sin supaya mengawini Tilana...... peristiwa di Min-san itu....... pedih, sakit rasa hatinya. Han Sin...... Han Sin......, kenapa kau diam saja? Kalau dia betul anak Balita dan Tilana ini anak Ang-jiu Toanio, di mana adik kandung Han Sin? Apa yang telah terjadi sesungguhnya?

Di tengah perjalanan Tilana diam saja. Wajahnya yang cantik amat pucat seperti mayat dan wajah itu layu dan murung, diliputi kedukaan maha besar. Bi Eng mencoba untuk memancing keterangan, akan tetapi Tilana hanya menggeleng kepala, menarik napas panjang dan ...... menangis.

Tentu saja Bi Eng tidak tahu apa yang terkandung dalam hati Tilana. Gadis ini merasa dunia sudah kiamat, matahari sudah tak bersinar lagi baginya. Ia hanya ingin hidup untuk bertemu dengan Han Sin, untuk bertanya kepada pemuda yang sebetulnya adalah kakaknya sendiri ini, kenapa Han Sin tidak berterus terang saja dahulu, sehingga terjadi peristiwa memalukan itu.

Kalau Han Sin dulu berterus terang bahwa dia adalah adik kandungnya, lebih baik dia mati dari pada melakukan perbuatan yang memalukan. Kenapa Han Sin tidak mau mengaku terus terang? Malah akhir-akhir ini di padang pasir, mengapa pemuda itu malah bersikap mesra kepadanya?

Apakah Han Sin orang serendah itu, yang tega hati mempermainkan adik sendiri? Demikian hinakah tabiat pemuda yang menjadi kakak kandungnya itu?

Dengan masing-masing tenggelam ke dalam lautan pikiran sendiri, dua orang gadis itu melakukan perjalanan cepat dan akhirnya tibalah mereka di tempat tinggal Balita, di perkampungan orang-orang Hui.

Begitu tiba di tempat itu, dari sebuah pohon meloncat seekor monyet, yang langsung meloncat ke pundak Bi Eng.

"Siauw-ong ....!" Bi Eng berseru girang, akan tetapi hanya untuk dua detik saja karena pikirannya segera dipengaruhi oleh urusan dirinya. Ia terus mengikuti Tilana yang membawanya ke sebuah pondok besar.

Tilana bersuit keras dan segera dari dalam pondok muncul seorang wanita setengah tua. Wanita itu berdiri di depan pintu, memandang kepada Bi Eng dengan mata terbelalak. Sebaliknya Bi Eng juga terpaku di atas tanah, menatap wajah Balita, wanita Hui itu, dengan muka pucat, mata terbelalak lebar, kedua kaki lemas dan gemetar dan bibir menggigil. Entah bagaimana, bertemu dengan wanita ini mendatangkan getaran aneh dalam tubuhnya, seakan-akan ia sering bertemu dengan wanita aneh ini, entah di mana ....."

“Bi Eng, dia inilah ibumu, ibu kandungmu. Dia inilah orangnya yang menukar-nukar kita, ketika kita masih bayi, dia yang membikin celaka hidupku, yang sengaja menjebloskan aku ke dalam jurang penghinaan. Balita, di balik semua kebaikan budimu terhadap aku semenjak aku kecil, ternyata kau menyembunyikan maksud yang amat jahat terhadap aku. Sekarang terimalah pembalasanku!" Secepat kilat Tilana yang sudah mencabut pedangnya itu menyerang Balita.

Balita yang semenjak tadi berdiri mematung seperti kena sihir, hanya berbisik berkali-kali,

"Ini .. anakku ...? Anakku ...? Ahh ... anak kandungku ..."

Karena keadaannya seperti orang linglung inilah maka ketika serangan Tilana datang, ketika pedang di tangan gadis itu menusuk dadanya, ia terlambat mengelak, sehingga biarpun ia sudah berusaha mengelak, tetap saja pundaknya tertikam pedang. Darah muncrat keluar membasahi pakaiannya dan pada saat itu terdengar jerit Bi Eng,

"Jangan bunuh dia .......!"

Pada saat itu Tilana sudah mengirim tusukan kedua, akan tetapi pedangnya terpental kembali karena sudah ditangkis oleh Bi Eng yang berdiri menghadapinya dengan wajah keren.

"Cici Tilana! Setelah kau membawaku ke sini, setelah kau membuka rahasia ini, apakah kau hanya ingin menyuruh aku melihat kau membunuh orang yang kausebut ibu kandungku? Tidak boleh!"

Tilana sadar dan memandang Bi Eng dengan mata terbelalak. Ia mengeluh dan berkata,

"Selamat tinggal!" Kemudian segera ia lari meninggalkan tempat itu. Sebentar saja bayangan Tilana lenyap di antara pondok-pondok yang berdiri di kampung itu.

"Kau ..... kau anakku ...... tak salah lagi ......”

Mendengar bisikan ini, Bi Eng menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia membalikkan tubuhnya. Balita sudah berdiri di dekatnya, memegang kedua lengannya dan mata itu memandang kepadanya penuh selidik. Akhirnya, bagaikan besi dengan besi semberani, keduanya saling tubruk, saling peluk dan keduanya menangis. Siauw-ong berdiri bingung dan menyeringai.

"Kau anakku! Ha ha, hi hi, kau anakku!"

Bi Eng kasihan melihat orang tua ini dan tanpa berkata apa-apa ia lalu membalut luka di pundak Balita. Kemudian ia menekan perasaan dan berkata,

"Kalau betul apa yang dikatakan Tilana bahwa aku adalah anakmu, harap kausuka ceritakan sejelasnya mengapa semenjak kecil aku berada di Min-san."

"Aduuhh...... anakku.... anakku...., nasib buruk menimpaku, semua gara-gara Cia Sun......." Balita lalu menarik tangan Bi Eng, memasuki rumah dan sambil memangku anaknya dengan penuh kasih sayang dan membelai-belai rambut Bi Eng, ia bercerita, "Dulu di waktu aku masih muda sekali, aku telah dikawinkan oleh orang tuaku dengan seorang pemuda Hui. Aku tidak suka kepadanya, akan tetapi orang tuaku memaksaku, akhirnya kawinlah aku dengan dia. Lalu aku bertemu dengan Cia Sun ......" Balita berhenti lalu termenung, matanya yang masih indah itu memancarkan sinar ganjil. "....... dia menjatuhkan hatiku,..... aku...... aku cinta padanya dan..... diapun membalas cintaku.... aku tergila-gila kepadanya sampai akhirnya aku bunuh suamiku sendiri....." Kembali Balita termenung.

Bi Eng terkejut, kemudian teringat akan keadaan Tilana dengan Han Sin, kakaknya...... eh, bukan, bukan apa-apa malah!

"Apakah........ apakah kau menggunakan obat bubuk putih berbau wangi dicampur dalam minumannya?" Pertanyaan ini keluar begitu saja dari mulutnya tanpa disadarinya terbawa oleh renungannya tentang Tilana dan Han Sin.

Akan tetapi akibatnya membuat Balita kaget sekali. Wanita itu memegang pundaknya, memandang tajam dan bertanya,

"Bagaimana kau bisa tahu?"

Bi Eng menarik napas panjang. "Tilana pun menggunakan obat itu terhadap.... Han Sin......”

Balita tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya girang sekali. "Sejarah terulang.... heh heh heh, sejarah terulang pembalasan....... pembalasan......! Biarlah arwah Cia Sun melihat betapa dua orang anaknya sekarang melakukan perbuatan hina, hi hi hi, kakak dan adik menjadi suami isteri ........."

Bi Eng melengak, merasa bulu tengkuknya berdiri.

"...... apa.....? Apakah Tilana itu adik..... adiknya ......?"

Mata Balita berkilat-kilat. "Siapa lagi kalau bukan adiknya? Tilana puteri Cia Sun, dan kau anakku .....”

Jantung Bi Eng berdebar tidak karuan. Ya Tuhan, apakah yang telah ia lakukan. la telah membantu Tilana, telah mendorong-dorong Han Sin, ia telah berusaha mati-matian menjodohkan mereka. Mereka, kakak beradik saudara kandung!

"Bagaimana bisa begitu? Ceritakan ... ceritakan ....!" ia mendesak Balita.

"Aku bunuh suami sendiri karena cintaku kepada Cia Sun. Tapi..., dasar laki-laki tak berbudi. Dia meninggalkan aku, aku mengejarnya, akan tetapi dia menolakku...., ketika kau terlahir aku lagi-lagi mencarinya dan mohon supaya dia menerimaku, baik sebagai pelayan atau penjaga....., akan tetapi dia menolakku ....."

"Kejam .......!" Tak terasa seruan ini keluar dari mulut Bi Eng.

Balita senang mendengar ini dan memeluk anaknya. "Laki-laki memang jahat, tidak setia ......”

Tiba-tiba Bi Eng tersentak kaget. "Kalau begitu ..... aku ini anakmu bersama ...... dia?"

"Bukan, anakku. Kau telah satu bulan dalam kandunganku ketika aku tergila-gila dalam pertemuanku dengan Cia Sun. Kau anak suamiku yang kubunuh dengan terpaksa karena cinta kasihku kepada Cia Sun. Dapat kaubayangkan betapa marah dan sakit hatiku ketika aku diusir oleh Cia Sun, disaksikan oleh isterinya. Waktu itu isteri Cia Sun sudah mempunyai seorang anak laki-­laki ......."

"Sin-ko .......”

"Ya, yang bernama Cia Han Sin itulah. Anak siluman, entah bagaimana sekarang dia bisa begitu lihai, jauh melebihi ayahnya dulu. Dendamku tak dapat kutahankan lagi. Melihat bayi perempuan, dan mengingat aku takkan dapat membunuh Cia Sun karena aku begitu mencintanya sampai tidak tega membunuhnya, maka aku lalu menggunakan lain jalan. Aku menukarkan kau dengan anaknya yang kemudian menjadi Tilana itulah. Dan kau hidup sebagai adik Cia Han Sin ........."

"Dan kau membunuh Cia Sun dan isterinya?"

"Tidak........, tidak....." Balita menarik napas panjang, tiba-tiba menangis terisak-isak. "Kasihan Cia Sun......! Aku melihat dia menggeletak mandi darah....... Aku melepaskan kerudungku dan kuselimutkan padanya....... entah siapa yang membunuhnya ........"

Bi Eng tergerak hatinya. "Selimut kuning berkembang, halus sekali dan di ujungnya ada sulaman burung merpati?" tanyanya.

"Betul ......, betul ......, itulah kerudungku ......”

Kini tak ragu-ragu lagi hati Bi Eng. Memang betul dia anak Balita. Selimut itu memang berada di Min-san, di waktu kecilnya sering ia pakai kalau tidur.

"Ibu........., kau memang ibuku..... alangkah banyaknya penderitaan hidupmu .....” Bi Eng memeluk dan keduanya saling peluk sambil menangis.

Setelah mereda tangisnya, Balita melanjutkan ceritanya. "Karena masih mendendam, setelah Tilana menjadi dewasa, aku menyuruh membunuh Cia Han Sin putera Cia Sun. Tentu saja aku tidak mendendam kepada engkau, anak kandungku. Akupun benci kepada Tilana karena dia itu keturunan Cia Sun, akan tetapi oleh karena semenjak bayi berada di sisiku, aku tidak tega membunuhnya dengan tangan sendiri. Maksudku, aku hendak menanam permusuhan antara dia dan Cia Han Sin, biarlah kakak beradik sekandung itu saling bunuh!"

"...... tapi akhirnya mereka malah..... berjodoh....” Bi Eng berkata perlahan seperti dalam mimpi. "..... dan aku aku mendorong mereka .......”

"Bagus sekali! Kau betul-betul puteriku. Ha, biarlah mereka menderita, anak Cia Sun itu. Menderita lahir batin!" Tiba-tiba Balita menangis lagi dan entah bagaimana, Bi Eng merasa sedih sekali dan ikut menangis.

**** ****
Lanjut ke jilid 054 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment