Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 054

◄◄◄◄ Kembali

Kita tinggalkan dulu Bi Eng yang baru saja bertemu kembali dengan ibu kandungnya dan mari kita mengikuti perjalanan Cia Han Sin yang menuju ke utara untuk mencari Hoa-ji, anak angkat Hoa Hoa Cinjin. Kini ia mencari Hoa-ji bukan semata-mata untuk memenuhi permintaan Pangeran Yong Tee kekasih gadis itu, melainkan terutama sekali karena timbul dugaan keras di dalam hatinya bahwa Hoa-ji itulah adik kandungnya! Kiranya takkan keliru lagi kalau menurut penuturan yang didengarnya dari Ang-jiu Toanio, kemudian munculnya Tilana dan penuturan Kalisang. Dengan kecerdikan otaknya Han Sin dapat merangkai semua peristiwa dahulu dalam bayangannya.

Ang-jiu Toanio bersakit hati kepada ayahnya, seperti juga Balita. Kedua orang wanita itu karena agaknya tidak berdaya menghadapi ayahnya, lalu mengambil jalan keji untuk membalas dendam, yaitu dengan jalan menukarkan anak.

Agaknya Ang-jiu Toanio yang lebih dulu menukarkan anaknya dengan adik kandungnya, kemudian muncul Balita yang kemudian menukarkan anaknya dengan anak Ang-jiu Toanio, tentu saja yang dikiranya anak Cia Sun. Dengan demikian, anak kandungnya berada di tangan Balita dan anak Balita ditinggal di Min-san!

Tegasnya, Bi Eng adalah anak Balita, Tilana anak Ang-jiu Toanio dan adik kandungnya sendiri, dari tangan Ang-jiu Toanio dirampas Kalisang kemudian dari tangan Kalisang dirampas Hoa Hoa Cinjin dan menjadi seorang gadis berkedok, Hoa-ji!

Dalam penyelidikannya, ia mendengar bahwa Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan bermarkas besar di Pegunungan Yin-san. Han Sin berlaku sangat hati-hati. Ia maklum bahwa dengan memasuki daerah Mongol ini, ia seperti telah memasuki gua harimau dan naga.

Maka ia melakukan penyelidikan secara bersembunyi. Tidak mau ia bentrok dengan orang-orang Mongol, karena kalau sampai diketahui ia berada di daerah ini, tentu Bhok-kongcu takkan tinggal diam dan ia akan ditangkap atau dibunuh. Dengan adanya banyak orang-orang pandai, kalau sampai dikeroyok, mana dia dapat menang? Pula, kalau sampai ketahuan maksud kunjungannya ini, tentu akan makin sukar baginya untuk mencari Hoa-ji.

Pada suatu pagi Han Sin berjalan di daerah pegunungan di kaki Gunung Yin-san. Sudah semenjak beberapa hari ia mulai bertemu dengan orang-orang Mongol dan tentara-tentara Mongol. Selalu pemuda ini menghindarkan pertemuan dan memilih jalan sunyi untuk mendaki Gunung Yin-san.

Selagi ia berjalan dan diam-diam mengagumi pemandangan alam yang masih bebas dan asli itu, tiba-tiba ia mendengar suara perlahan di belakangnya. Cepat ia menengok, namun tidak kelihatan sesuatu. Ia merasa ragu-ragu dan berjalan terus. Tiba-tiba terdengar pula suara langkah orang di belakangnya. Cepat Han Sin memutar tubuh dan seperti juga tadi, tidak kelihatan orangnya. Salahkah pendengarannya? Tiba-tiba terdengar langkah kaki di sebelah kiri, ketika ia menengok ke kiri, langkah itu berpindah ke kanan.

"Celaka, apakah ada setan di pagi hari?" gerutunya dengan mendongkol, akan tetapi juga terheran­-heran.

Ia tidak perduli dan berjalan terus. Ketika ia tiba di sebuah tebing jurang, tiba-tiba dari kanan muncul begitu saja, seakan-akan melayang dari dalam jurang, dua orang laki-laki yang luar biasa sekali. Mereka ini merupakan dua orang laki laki kembar, kembar segala-galanya sampai rambut­-rambut dan jenggotnya.

Tubuh mereka besar dan nampak kuat sekali, dengan kepala yang besar pula. Rambut tak terpelihara, riap-riapan, hidung seperti paruh burung kakatua, mulut besar dengan gigi besar-besar seperti bertaring, pakaian mereka juga aneh, seperti jubah luar yang amat panjang, diikat tali pinggang yang panjang pula. Kaki mereka memakai sepatu yang tinggi, sepatu dari kulit. Amat menarik, kulit tubuh mereka berwarna putih sekali, putih dengan totol-totol merah.

Lebih mengherankan lagi, tangan mereka hanya berjari satu, atau tegasnya, empat buah jari tangan telah lenyap, buntung tinggal ibu jarinya saja pada masing-masing tangan. Tapi ibu jari ini berkuku runcing. Benar-benar makhluk yang amat mengerikan, melihatnya saja cukup membuat orang lari ketakutan!

Han Sin terkejut juga, akan. tetapi ia segera dapat menenangkan hatinya. la maklum bahwa ia berhadapan dengan dua orang yang tak boleh dipandang ringan. Gerakan mereka kelihatan ringan sekali, gerak kaki mereka biarpun bertubuh besar, amat cepat dan tidak mengeluarkan suara. Ini saja sudah membuktikan bahwa dua orang yang seperti raksasa berkulit putih dengan mata agak kebiruan ini amat lihai. Dugaannya memang terbukti karena sambil mengeluarkan suara aneh, dua orang itu bergerak dan tahu-tahu Han Sin sudah dikurung dari kanan kiri!

Han Sin adalah seorang pemuda yang suka sekali mempelajari bahasa asing, akan tetapi ketika dua orang itu bersuara, ia sama sekali tidak mengerti bahasa apakah yang mereka gunakan. Melihat bentuk pakaian mereka, ia menduga bahwa tentu mereka ini ada hubungannya dengan orang-orang Hui, maka ia segera memberi hormat dan bertanya dalam bahasa Hui,

"Tuan berdua ini siapakah dan ada keperluan apa menghadang perjalananku?"

Dua orang raksasa itu saling pandang, lalu tertawa bergelak. "Kau bisa bicara Hui? Bagus....., bagus......!” kata seorang di antara mereka dalam bahasa..... Han! Biarpun suara mereka kaku dan janggal, namun cukup dapat dimengerti.

"Maaf, kiranya ji-wi (tuan berdua) dapat berbahasa Han. Tidak tahu siapakah ji-wi yang terhormat dan ada keperluan apa gerangan menahan perjalananku?" Han Sin mengulang dengan sikap hormat.

"Kau orang Han berkeliaran di sini, tentu mata-mata bangsa Mancu. Ayoh lekas mengaku siapa kau dan apa keperluanmu di tempat ini!" mereka membentak dengan sikap keren dan mengancam.

Han Sin mengerutkan kening. Ia maklum bahwa setelah ia dilihat orang, tentu akan timbul pelbagai kesukaran. Apa lagi dua orang ini kelihatan aneh dan lihai, mungkin tokoh-tokoh besar pembantu Bhok-kongcu. Melihat mereka mengerti bahasa Hui dan pakaian merekapun seperti orang Hui, Han Sin lalu memancing untuk membaiki mereka,

"Aku bernama Han Sin, she Cia. Apakah ji-wi sudah mengenal seorang puteri Hui bernama Balita dan anak perempuannya bernama Tilana? Aku kenal baik mereka itu."

Dua orang itu kembali saling pandang. "Cia Han Sin? Apa hubungannya dengan Cia Sun dari Min-­san?"

Celaka, pikir Han Sin. Lagi-lagi ada orang mengenal mendiang ayahnya dan melihat sikap mereka, ia sangsi apakah mereka ini sahabat-sahabat ayahnya. Akan tetapi, bukan watak Han Sin untuk menyangkal ayahnya sendiri. Apapun akan terjadi atas dirinya, tak mungkin ia menyangkal ayahnya. Tidak mengakui ayah sendiri hanya untuk menyelamatkan diri adalah perbuatan pengecut dan rendah.

"Cia Sun adalah mendiang ayahku...."

Baru saja Han Sin berkata sampai di sini, seorang raksasa yang berdiri di sebelah kirinya menyerang dengan hebat, memukul menggunakan tangan kanan yang berjari satu itu. Pukulan ini hebat sekali, mendatangkan angin bersiutan dan datangnya cepat bukan main, hampir saja mengenai kepala Han Sin. Baiknya pemuda ini sudah memiliki gerakan yang otomatis sehingga begitu pukulan menyambar, otomatis ia sudah menarik diri dan mengelak sambil mengibaskan tangan kiri menangkis.

"Plakk!"

Han Sin terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan betapa tangan kirinya terasa panas dan sakit ketika bertemu dengan tangan lawan. Cepat ia melompat mundur karena raksasa di kanannya sambil tertawa-tawa juga sudah menyerangnya dengan sama hebat dan cepatnya.

"Eh, kalian mengapa menyerangku? Apa salahku?" tanyanya, penasaran. Raksasa itu terkejut dan heran juga melihat pemuda itu dapat menghindarkan pukulan-pukulannya.

"Kau bukan orang sembarangan," kata seorang di antara mereka. "Baiklah kauketahui agar jangan mati penasaran. Jin-cam-khoa Balita adalah adik seperguruan kami. Nah, bocah she Cia, siaplah untuk binasa!" Kembali mereka menyerang dengan pukulan-pukulan aneh yang datangnya cepat dan kuat sekali.

Namun kali ini Han Sin sudah bersiap sedia. Dengan langkah-langkah Liap hong-sin-hoat ajaran Ciu-ong Mo-kai, tubuhnya bergerak ke sana ke mari menghindarkan diri dari ancaman pukulan dua orang pengeroyoknya. Tidak demikian saja, malah kini telunjuk tangannya dipergunakan untuk mainkan ilmu silat Lo-hai Hui-kiam yang amat sakti.

Bukan main herannya dua orang raksasa itu ketika berkali-kali serangan mereka hanya mengenai angin kosong belaka. Dan lebih-lebih kaget hati mereka ketika dua buah jari telunjuk pemuda itu menyerang mereka dengan totokan yang luar biasa hebatnya sehingga angin serangannya saja sudah terasa amat berbahaya seperti ujung dua batang pedang runcing!

Mereka berusaha mempertahankan diri, namun terhadap Lo-hai Hui-kiam, mereka benar-benar mati kutu. Baru belasan jurus saja mereka telah terkena tusukan hawa totokan jari tangan Han Sin, cepat mengenai pundak membuat mereka mengeluarkan gerengan kesakitan lalu melarikan diri tunggang langgang!

"Bhok Hong-ong......, tolong kami......!" Mereka berseru ketakutan dan dalam anggapan mereka, Han Sin bukanlah manusia biasa, tentu sebangsa siluman. Kalau tidak, mana bisa seorang muda memiliki kepandaian demikian hebat dan anehnya?

Tadinya Han Sin hanya tersenyum saja membiarkan mereka pergi. Akan tetapi demi mendengar teriakan mereka minta tolong kepada Bhok Hong-ong, hatinya tergerak. Bhok Hong adalah Pak­thian-tok ayah Bhok-kongcu. Kalau ayahnya berada di situ, tentu Bhok-kongcu juga berada di situ, dan bukan tak mungkin kalau Hoa Hoa Cinjin berada di situ pula bersama anak angkatnya, Hoa-ji yang ia cari-cari? Maka ia lalu cepat meloncat dan mengikuti larinya dua orang raksasa kembar itu dari jauh. Mereka berdua itu ternyata dapat berlari cepat sekali, namun tidak sukar bagi Han Sin untuk mengikuti mereka.

Setelah berlari-larian setengah hari lamanya, dua orang raksasa itu memasuki sebuah pondok kecil di tengah lapangan yang kering. Nampaknya tempat itu sunyi saja. Pondok itu sendiri tidak besar, terbuat dari papan dan gentengnyapun atap. Heran hati Han Sin. Rumah siapakah ini? Masa Bhok Hong tinggal di dalam rumah seperti itu? Namun ia terus mengikuti dan menyelinap di belakang rumah secara cepat dan tidak mengeluarkan suara.

Tiba-tiba ia melihat betapa tanah di sekeliling pondok itu dalam jarak dua tiga ratus meter, bergerak-gerak dan tiba-tiba tersembul kepala-kepala orang dari dalam tanah. Makin lama makin banyak dan dalam sekejap mata saja pondok itu, atau lebih tepat dirinya, telah terkurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang bersenjata lengkap! Bukan main hebatnya baris pendam ini.

Baru sekarang Han Sin sadar bahwa dia memang dipancing oleh dua orang raksasa lihai itu dan diam-diam ia kagum sekali melihat rapinya barisan pendam dari bala tentara Mongol. Ketika ia menuju ke pondok itu, tidak terlihat sesuatu, tidak terdengar sesuatu. Tidak tahunya ratusan orang serdadu bersembunyi di dalam lubang-lubang di tanah yang tertutup batu-batu, demikian indah dan hebat tempat persembunyian itu.

Di samping kekagumannya, Han Sin menjadi panas hatinya. Apa orang mengira dia takut? Sekarang tahulah dia bahwa Bhok-kongcu memang lihai sekali. Kiranya perjalanannya ini sudah diketahui orang orang Mongol dan siang-siang ia telah diikuti orang.

Tiba-tiba ia mendengar suara orang bicara di dalam pondok ketika barisan itu sudah siap mengurung rapat tanpa membuka suara, dengan sikap yang angker seperti patung batu, agaknya menanti perintah atasan. Ia mengenal suara itu seperti suara dua orang kakek raksasa tadi yang berkata dengan nada gelisah,

"Akan tetapi, Ong-ya, bagaimana bisa menangkap dia hidup-hidup? Dia lihai sekali dan kami ingin membunuhnya untuk membalas sakit hati sumoi (adik seperguruan) kami Balita ....."

Terdengar suara yang dalam dan besar, suara yang gagah dan juga segera dikenal Han Sin sebagai suara Pak-thian-tok Bhok Hong! Suara Bhok Hong menjawab si raksasa tadi, mengejek nadanya,

"Bocah macam itu saja mengapa diributkan? Tentara pendam sudah mengepungnya, dia bisa terbang ke mana lagi? Dia sudah menjadi antek Pangeran Yong Tee, ini kesempatan baik. Tangkap dia hidup-hidup, jadikan umpan untuk menangkap Yong Tee sendiri. Bukankah ini kesempatan baik sekali? Tentang menangkap dia, serahkan saja kepadaku kalau kalian tidak sanggup. Ha, ha, ha, anak patriot itu sudah menjadi anjing Mancu, apa sih hebatnya?"

Han Sin boleh dianggap lihai sekali ilmu silatnya, malah mungkin pada masa itu jarang ada tokoh persilatan yang dapat menandinginya. Akan tetapi ia masih bisa dibilang hijau dalam pengalaman kalau dibandingkan orang-orang seperti Pak-thian-tok Bhok Hong, masih hijau dan kalah jauh menghadapi tipu-tipu muslihat di dunia kang-ouw yang sebetulnya jauh lebih lihai dan berbahaya dari pada tajamnya pedang runcingnya tombak.

Mendengar ucapan yang keluar dengan nada mengejek dari mulut Pak-thian-tok Bhok Hong, pemuda ini menjadi naik darah. Dia dimaki sebagai antek Pangeran Mancu, malah sebagai anjing Mancu, bagaimana dia tidak akan menjadi naik darah? Apalagi ketika ia mendengar dua orang kakek raksasa yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) Balita kemarahan Han Sin tak dapat dipertahankan lagi. Ia menjadi nekat.
Memang, kalau dia mau, biarpun dikepung rapat oleh para tentara Mongol, agaknya mempergunakan kepandaiannya ia masih akan dapat lolos, asal saja tokoh-tokoh di dalam pondok itu tidak keluar menghalanginya. Akan tetapi, melarikan diri adalah soal kedua baginya pada saat itu. Soal terpenting adalah menghadapi orang-orang yang menghinanya sedemikian rupa.

"Pak-thian-tok iblis sombong, jangan sembarangan membuka mulut!" bentaknya dan tubuh pemuda ini meloncat ke atas lalu menerobos memasuki pondok dengan menggerakkan kedua tangan digerakkan melakukan pukulan dengan jurus Cio-po thian-keng dari Ilmu Silat Thian-po Cin keng.

"BRAKKKKK!" Papan dari pondok itu pecah berantakan ketika tubuh pemuda ini melayang ke dalam. Ia melihat di antara asap-asap hitam yang memenuhi kamar itu, muka sepasang raksasa dan muka seorang tua tertawa bergelak. Ia tidak mengenal orang tua bertopi seperti seorang yang berpangkat itu, yang dicarinya adalah muka Pak-thian-tok Bhok Hong yang tidak nampak.

Saking marahnya, Han Sin berlaku ceroboh, tidak mengira bahwa ia sengaja dipancing. Tubuhnya melayang ke dalam pondok, napasnya menjadi sesak, bau yang amat keras menyengat hidungnya!

Seketika Han Sin menjadi pening kepalanya. Cepat-cepat ia menahan napas, lalu mengerahkan lweekangnya untuk menghembuskan keluar hawa beracun yang telah disedotnya. Ia berhasil, akan tetapi pada saat itu ia merasa ada dua serangan menyambar dari kanan kiri. la maklum bahwa raksasa kembar itu telah menyerangnya dari kanan kiri.

Cepat digerakkannya kedua tangan melindungi tubuh dengan gerak tipu Khai-peng-twi-san (Pentang Sayap Mendorong Bukit) dari Ilmu Silat Thian-po Cin-keng! Hebat tangkisan ini, terdengar dua orang raksasa itu mengeluh perlahan dan roboh bergulingan. Ternyata tangkisan ini sekaligus membuka jalan darah mereka sehingga obat pemunah racun asap hitam yang mereka telah pakai pemberian Pak-thian-tok menjadi hilang khasiatnya.

Mereka telah terpukul oleh pukulan sendiri yang membalik, ditambah terluka oleh hawa sinkang yang keluar dari tangkisan Han Sin, kini menjadi lebih parah oleh karena mereka telah menyedot asap hitam oleh hidung mereka yang sudah tak terlindung pula. Dua orang itu bergulingan dan dalam keadaan sekarat!

Akan tetapi, karena mereka berdua bukan orang sembarangan, pukulan-pukulan mereka yang dilakukan secara tiba-tiba dan hebat sekali kepada Han Sin yang repot menghadapi asap hitam, sedikit banyak mendapatkan hasilnya pula. Pemuda itu memang betul dapat menangkis pukulan-­pukulan itu, namun pergerakan yang membutuhkan pergerakan sinkang ini "membocorkan" penutupan napasnya sehingga tanpa ia sadari, sedikit asap hitam beracun telah memasuki dadanya. Hal ini diketahui setelah ia merasa napasnya sesak sekali dan kepalanya pening, hendak muntah­muntah rasanya.

Terkejutlah hati Han Sin, maklum bahwa tubuhnya kemasukan racun. Ia mencurahkan seluruh perhatian. Sedikit gerakan saja yang dibuat oleh orang berpakaian seperti pembesar tadi telah menarik perhatiannya. Benar saja, "pembesar" itu yang ternyata adalah seorang Han yang menjilat, mengekor kepada orang-orang Mongol dan sudah puas karena diberi janji akan diberi kedudukan sehingga belum apa-apa dia sudah berpakaian sebagai pembesar, menyerangnya dengan sebatang pedang. Dari gerakan orang ini, Han Sin dapat menduga bahwa ia berhadapan dengan seorang ahli pedang dari Kun-lun-pai.

Namun, Han Sin sedang marah sekali, apalagi ia sedang menderita bahaya besar dari racun, maka ia tidak sudi membuang banyak waktu. Pada saat itu, siapa yang menyerangnya dia itulah musuhnya. Tanpa menoleh, tangannya bergerak ke belakang diikuti tubuhnya yang diputar dan di lain saat, lima jari tangan Han Sin sudah berhasil mencengkeram pedang yang tajam itu!

Benar-benar pemuda ini sudah mendapatkan ilmu yang sakti, sudah memperoleh kemajuan yang luar biasa. Siapa akan mengira bahwa dalam waktu singkat, setelah berturut-turut ia mewarisi ilmu silat yang tinggi, ia akan seberani dan sekuat itu. Orang itu tentu saja akan membelalakkan kedua matanya saking herannya, lalu berusaha membetot pedang agar tangan pemuda itu terbabat putus.

Akan tetapi jangan harap akan terjadi demikian, malah ketika ia cabut, pedang itu sama sekali tidak bergeming seakan-akan sudah terpegang oleh sebuah tanggem yang kuat dan besar.

Han Sin mengerahkan tenaga pada tangannya, disentakkannya sedikit dan "krekk!" pedang itu patah menjadi dua potong! Ujungnya berada di tangan Han Sin sedangkan pangkal dan gagangnya berada di tangan "pembesar" itu. Murid Kun-lun-pai yang menyeleweng itu kaget dan penasaran, terus membentak dan menyerang lagi.

Han Sin sudah mulai gelap matanya karena pengaruh racun, namun ia masih dapat melihat berkelebatnya pedang buntung ke arah perutnya. Cepat ia miringkan tubuh, mengebutkan tangan kiri yang tepat mengenai pergelangan tangan lawan sehingga pedang buntung terlepas, lalu kakinya menendang ke depan. Orang itu menjerit ngeri, tubuhnya terpelanting keluar pondok melalui lubang yang tadi dibuat oleh Han Sin.

Di luar pondok terdengar ia memekik kesakitan ketika tubuhnya terbanting ke atas batu-batu yang keras. Kulitnya lecet-lecet, babak belur, dagingnya biru-biru, pakaiannya koyak-koyak, tidak patut lagi ia menjadi pembesar, lebih menyerupai seorang pengemis gila!

"Bocah, jangan menjual lagak di sini!" terdengar bentakan keras.

Han Sin yang sudah pening itu cepat membuang diri ke kiri ketika dari kanan menyambar angin pukulan yang luar biasa dahsyatnya. Ia maklum bahwa Pak-thian tok Bhok Hong sudah keluar dari tempat sembunyinya dan mengirim serangan dengan tangan yang mengandung Hek-tok sin-kang.

Han Sin tidak takut akan Hek tok-sin-kang karena darahnya sudah mengandung racun pek-tok dari darah ular Pek-hiat-sin-coa. Akan tetapi, tenaga pukulan kakek berbaju perang itu amat hebat, juga ilmu silatnya luar biasa ganas dan kuatnya, selain ini kepalanya sendiri sudah amat pening, pandang matanya berkunang-kunang dan ia sudah terlalu lama menahan napas.

Di dalam keadaan pening dan seperti mabok itu, Han Sin masih ingat bahwa satu kali saja ia menarik napas, tentu paru-parunya akan penuh racun dan ia akan celaka. Dia harus lari dari tempat ini, kalau ingin selamat. Akan tetapi Pak-thian-tok Bhok Hong sudah menyerangnya, mengurungnya rapat-rapat dengan hawa pukulan-pukulan yang amat dahsyat. Sampai berdesing­-desing angin pukulan menyambar ke arahnya dari segala jurusan! Akan tetapi, di dalam kepusingannya, panca indera Han Sin malah dapat bekerja baik sehingga kemanapun juga lawan menyerangnya, selalu ia dapat menangkisnya dengan tepat.

Beberapa jurus lewat dengan cepatnya dan selalu terdengar suara tangan beradu, suaranya keras menggetarkan pondok. Bhok Hong untuk kesekian kalinya terheran-heran. Bocah ini terlalu hebat, terlalu lihai dan harus disingkirkan dari muka bumi. Kalau tidak, nama besarnya tentu akan rusak. Sambil mengerahkan semangat dan tenaga, Bhok Hong mendesak terus dan pada suatu saat yang amat baik, ia memukulkan tangan kanannya ke arah ulu hati Han Sin. Pukulan yang keras, cepat, dan mengandung tenaga maut sukar untuk dihindarkan lagi!

Namun Cia Han Sin murid tak langsung dari Tat Mo Couwsu sendiri setelah pemuda ini mempelajari Thian-po-cin keng. Di samping ini, ia sudah pula mempelajari ilmu silat aneh dan sakti seperti Lo-hai Hui-kiam maka tentu saja serangan maut ini tidak membuatnya kehilangan akal. Malah menghadapi serangan maut ini Han Sin melihat jalan terbuka baginya untuk membebaskan diri dari kepungan serangan Bhok Hong.

Ia menanti pukulan sudah datang dekat sehingga hawa pukulan sudah menghantam ulu hatinya, cepat ia menggerakkan tangan menerima kepalan tangan lawan dengan telapak tangan, menggunakan hawa "menyedot" sehingga tenaga pukulan itu amblas ke dalam tangannya, akan tetapi tenaga dorongnya yang mengandung tenaga gwakang (kasar) itu diterimanya. Berkat dorongan tenaga kasar yang amat kuat ini tubuhnya terlempar ke belakang dan memang sudah ia perhitungkan, tepat sekali tubuhnya itu melayang melalui lubang di papan dinding pondok tadi.

Ia mendengar Bhok Hong berseru kaget dan heran, kemudian disusul suara ketawa bergelak dari kakek itu. Han Sin terkejut dan menduga adanya jebakan lain, namun sudah terlambat baginya. Kepalanya terlampau pening dan begitu mendapatkan hawa segar, ia membuka penahanan napasnya. Hal ini membuat matanya menjadi berkunang dan ia tidak dapat menjaga diri lagi ketika tiba-tiba dari sekelilingnya banyak orang melemparkan jala ke arah tubuhnya.

Tanpa dapat mengelak lagi pemuda ini roboh terbungkus jala yang ternyata terbuat dari pada bahan yang amat kuat, yaitu otot-otot binatang yang sudah dimasak dengan minyak sehingga ulet dan tak mungkin dapat putus! Ketika Han Sin mencoba memberontak, ia merasa leher belakangnya sakit, gatal-gatal dan pedih sekali, ia terkejut, maklum bahwa Bhok Hong sudah keluar dan melukainya. Matanya gelap dan sebelum pingsan, Han Sin masih sempat mendengar suara ketawa Bhok Hong ......!

**** ****
Lanjut ke jilid 055 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment