Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 055

◄◄◄◄ Kembali

"Memang hebat dia ......" kata Ciu ong Mo-kai yang sedang duduk bercakap-cakap dengan para tokoh kang-ouw yang membantu bala tentara Mancu.

Mereka ini sedang membicarakan Lie Ko Sianseng yang mengirim dua peti batu dan diterima oleh utusan Pangeran Yong Tee seperti telah dituturkan di bagian depan. Memang tadinya Ciu-ong Mo-kai dan tokoh-tokoh lain merasa terheran-heran mengapa Pangeran Yong Tee agaknya mementingkan barang-barang yang ternyata hanyalah batu-batu kasar belaka. Juga mereka terheran kalau memikirkan bagaimana Han Sin mau membawakan dua peti itu dan malah membela dengan gagahnya.

Baru sekarang, beberapa hari kemudian mereka mendengar berita dari kota raja bahwa batu-batu kasar itu sebenarnya merupakan sebuah peta! Kalau batu-batu itu dijajar-jajar dan disusun menurut rahasia yang ditentukan, akan tergambarlah sebuah peta daerah utara, peta yang menunjukkan rahasia pertahanan bala tentara Mongol!

"Memang lihai si tukang catut. Entah berapa dia mendapatkan hadiah dari Pangeran Yong Tee untuk usahanya itu," kata pula Ciu-ong Mo-kai setelah menenggak araknya.

"Kabarnya mengumpulkan keterangan-keterangan untuk membuat peta seperti itu bukannya pekerjaan mudah," sambung seorang tosu. "Di bagian utara, bala tentara Mongol sedang membangun sebuah benteng, dan Li Ko Sianseng memasukkan beberapa orang mata-mata sebagai pekerja-pekerja di benteng ini. Mereka inilah yang membuat guratan-guratan pada batu-batu yang kemudian mengumpulkan lalu mengirim batu-batu bergurat itu kepada Lie Ko Sianseng ........"

"Memang tukang catut banyak akalnya ........ ha ha ha, betapapun juga, dia orang gagah," kata pula Ciu-ong Mo-kai dengan kagum.

Pada saat itu, datang Phang Yan Bu pemuda putera Ang-jiu Toanio. Pemuda itu memberi isyarat kepada Ciu-ong Mo kai, minta bicara berdua. Ciu-ong Mo kai lalu bangkit berdiri, meninggalkan kawan-kawannya dan pergi keluar bersama Yan Bu.

"Ada apakah, Phang-hiante? Kau kelihatan gelisah."

Dengan kening berkerut Phang Yan Bu berkata, "Lo-enghiong, saya amat menggelisahkan kepergian muridmu, nona Cia Bi Eng ......"

Ciu-ong Mo-kai Tang Pok memandang tajam. Sebagai seorang tua yang sudah berpengalaman banyak, tentu saja ia sudah mendengar tentang perasaan pemuda ini yang dulu mencinta Bi Eng, akan tetapi sekarang melihat pula betapa Yan Bu agaknya dekat dengan Li Goat puteri mendiang Thio-ciangkun.

"Ada apa dengan Bi Eng?" tanyanya pendek.

"Malam kemarin ketika nona Cia bercakap-cakap dengan saya dan teman-teman lain, tiba-tiba muncul seorang gadis asing yang tidak kami kenal. Akan tetapi, agaknya nona Cia mengenalnya dengan baik gadis berbangsa Hui itu. Kemudian, entah apa yang mereka bicarakan, nona Cia lalu ikut pergi bersama gadis Hui yang ia sebut namanya Tilana, katanya tidak lama perginya, tidak tahunya ....... sampai sekarang belum juga pulang."

Biarpun di luarnya tidak kentara, malah lalu menenggak araknya, akan tetapi di dalam hatinya Ciu­ong Mo-kai tertarik dan kaget juga. Disebutnya nama seorang gadis Hui sekaligus mengingatkan kepadanya akan Balita puteri Hui itu, musuh besar keluarga Cia.

"Lalu bagaimana?" desaknya karena dari wajahnya, pemuda itu kelihatan masih mempunyai penuturan yang menarik.

"Itulah yang menggelisahkan hati saya, lo-enghiong. Tadi gadis Hui itu muncul pula, hanya sebentar. Kebetulan sekali aku yang melihatnya dan ia berkata kepadaku bahwa nona Cia Bi Eng takkan kembali lagi ke sini, karena sudah berkumpul dengan ibunya. Di samping pemberitahuan ini ia bertanya di mana adanya Han Sin. Ketika kuberi tahu bahwa saudara Cia Han Sin pergi ke utara, ia berkelebat dan pergi. Gerakannya cepat sekali, dan aku merasa curiga, ingin menahannya. Akan tetapi bagaimana aku dapat melakukan hal itu terhadap seorang gadis? Karena tidak berdaya maka kuberitahukan lo-enghiong."

Ciu-ong Mo-kai makin terkejut. Celaka, pikirnya. Jangan-jangan Bi Eng terjatuh ke dalam tangan Balita!

"Kau tunggu saja di Ta-tung, Phang hiante. Kalau sewaktu-waktu Han Sin muncul, beritahu bahwa aku hendak mencari Bi Eng, mungkin ke utara. Kudengar dua orang suheng dari Balita juga membantu Bhok Kian Teng. Bukan tak mungkin kalau Balita dan orang-orang Hui juga membantu pasukan Mongol."

Setelah meninggalkan pesan ini, Ciu¬ong Mo-kai lalu berangkat ke utara untuk mencari Bi Eng dan sekalian menyusul Han Sin. Kakek ini maklum bahwa kepandaian Han Sin jauh lebih tinggi dari padanya maka lebih baik lagi memberi tahu pemuda itu tentang hilangnya Bi Eng sehingga mereka berdua dapat mencari gadis itu.

Seperti juga Han Sin, kakek raja arak ini melakukan perjalanan cepat dan hati-hati sekali agar jangan sampai ketahuan orang-orang Mongol. Namun, dia memandang orang-orang Mongol terlalu rendah kalau mengira bahwa perjalanannya tidak dilihat orang. Semenjak dia meninggalkan Ta­tung dan menginjak daerah Mongol, perjalanan kakek sakti ini sudah diketahui oleh para mata-mata Mongol yang amat cerdik.

Pada suatu hari, ketika tiba di daerah yang berhutan selagi Ciu-ong Mo kai berjalan di tempat sunyi ini, tiba tiba terdengar suara kaki kuda dan dari belakangnya muncul seorang pemuda menunggang kuda. Cepat bagaikan kilat kakek ini meloncat dan tubuhnya sudah lenyap bersembunyi di dalam semak-semak. Penunggang kuda itu nampaknya tidak tergesa-gesa, kudanya berjalan perlahan saja malah setelah memasuki hutan, pemuda yang berdandan seperti orang terpelajar dari selatan itu bernyanyi!

"Melihat pengemis mabok malas berkeliaran sungguh membuat orang jadi penasaran! Mengejar cita-cita itulah tugas seorang perkasa! Warisan nenek moyang takkan terbuang sia-sia. Bumi kuinjak, langit kuraih demi terlaksana cita-cita!"

Nyanyian itu dinyanyikan dengan suara yang nyaring gagah penuh semangat dan Ciu-ong Mo-kai tersenyum mengejek ketika mengenal bahwa penunggang kuda itu bukan lain adalah Bhok-kongcu, Bhok Kian Teng atau Pangeran Galdan pemimpin pemberontak Mongol! Tak perlu kakek itu bersembunyi lagi karena dalam nyanyiannya tadi, Bhok-kongcu sudah menyindirnya, berarti sudah melihat dan mengetahui tempat persembunyiannya.

"Bagus memang nyanyian cucu Jenghis Khan! Memang bersemangat dan bagus, tapi bagus untuk siapa? Untukmu dan untuk bangsamu! Ha ha ha, kau memang seorang bun-bu-coan-jai (ahli silat dan sastera), Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan!" kata Ciu-ong Mo-kai sambil melompat keluar dari tempat persembunyiannya.

Pemuda itu memang Bhok-kongcu yang sudah kita kenal. Dia adalah Bhok Kian Teng putera Pangeran Bhok Hong ong, seorang pemuda tampan yang penuh rahasia, pandai ilmu silat, pintar dalam hal kesusasteraan, pesolek, pemuda cabul yang pandai main suling, main thioki (catur), dan pandai pula dalam hal racun. Kini, biarpun pakaiannya masih seperti seorang pemuda Han terpelajar, dia sebetulnya adalah Pangeran Galdan, pemimpin pemberontak Mongol yang amat ditakuti orang. Dengan senyum menghias bibirnya, pangeran itu menganggukkan kepalanya tanda menghormat, tanpa turun dari kudanya.

"Eh, kiranya si raja arak yang sakti berada di sini. Ciu-ong Mo-kai, kau jauh jauh dari selatan sampai tersesat di sini, apa yang kau cari? Apakah kau sudah begitu rendah untuk melakukan pekerjaan mata-mata dari pemerintah penjajah Mancu? Mana sifat patriotmu dahulu?" Pangeran itu tertawa mengejek dan tiba-tiba saja wajah yang tampan tadi berubah menyeramkan.

"Tidak ada pekerjaan yang buruk, apapun juga pekerjaan itu. Yang buruk hanya tujuannya, yang jahat adalah pamrihnya, heh heh ....." jawab Ciu-ong Mo-kai sambil menenggak araknya tanpa perdulikan pangeran yang ditakuti puluhan ribu orang ini.

Pangeran Galdan mengerutkan alisnya yang hitam panjang. "Ciu-ong Mo-kai, tak perlu kau berpura-pura dan membohongi aku. Siapa tidak tahu bahwa kau tadinya berada di Ta-tung membantu bala tentara Mancu? Apa kau hendak menyangkal bahwa kau telah menjadi kaki tangan Mancu?"

Kakek itu kembali tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di hutan itu. "Siapa hendak menyangkal? Tidak ada yang perlu disangkal karena tidak ada yang perlu disembunyikan. Memang aku berada di Ta-tung, memang aku membantu tentara Mancu! Apa salahnya? Siapa membantu siapa apa bedanya? Di mana ada arak wangi, di situlah ada Ciu-ong! Tapi, ketahuilah, Pangeran Mongol, kali ini aku datang ke sini bukan karena perang yang sedang berlangsung antara bangsamu dan bangsa Mancu. Aku tersesat ke sini karena hendak mencari muridku. Hemmm, kebetulan sekali bertemu denganmu, kau tentu tahu di mana adanya Bi Eng yang sudah tertawan oleh Balita si perempuan Hui. Ayoh kau kembalikan muridku!"

Bhok-kongcu tersenyum kecil. "Setan arak, kau selalu memandang rendah dan menyangka buruk kepadaku. Kalau saja aku tidak memandang kepandaianmu dan tidak sayang kepada orang selihai engkau mana aku sudi bertemu dan bercakap-cakap denganmu? Perkara muridmu Bi Eng itu, mudah kita urus belakangan, kalau memang betul dia berada di wilayah ini, aku yang tanggung bahwa dia takkan ada yang mengganggu. Akan tetapi, yang terpenting sekarang, bagaimana kalau kau membantu aku? Kau seorang patriot, apa kau suka melihat bangsa dan tanah airmu dijajah oleh orang Mancu? Bantulah aku, mari kita membasmi penjajah itu dan mengusir orang-orang Mancu dari tanah airmu. Bagaimana?"

Di dalam hatinya Ciu-ong Mo-kai mendongkol sekali. Hemm, orang Mongol ini betul-betul gila, mengira aku seorang bocah. Membantumu mengusir orang Mancu sama artinya dengan membantumu menjajah tanah airku! Akan tetapi, apa bedanya? Biarlah orang-orang Mongol dan orang-orang Mancu berkelahi sendiri, berperang sendiri sampai habis. Membantu yang manapun sama saja, yang penting ia harus berusaha menyelamatkan Bi Eng. Ia tertawa bergelak.

"Pangeran yang cerdik! Sudah kukatakan tadi, di mana ada arak wangi di situ ada Ciu-ong (Raja Arak). Pangeran Yong Tee dari Mancu tahu akan kesukaanku itu, apakah kau juga dapat menyediakan arak wangi yang paling baik?"

Pangeran Galdan atau Bhok-kongcu tertawa senang. "Kalau kau ikut bersamaku, kau boleh minum sampai pecah perutmu."

"Dan kau akan bersikap penuh hormat seperti Pangeran Yong Tee? Dan tidak akan mengganggu wanita seperti Pangeran Yong Tee?"

Bhok-kongcu mengerutkan kening. "Pengemis kelaparan kaukira aku boleh kau banding-­bandingkan dengan segala macam pangeran cilik seperti si Yong Tee itu? Huh, Kau tidak mau membantuku juga tidak apa!" Setelah berkata demikian, Bhok-kongcu menarik kendali kudanya, memutar tubuh kuda itu dan membalapkan kuda itu meninggalkan Ciu-ong Mo-kai.

"He he, nanti dulu, pangeran! Belum selesai kita bercakap-cakap!" seru Ciu¬ong Mo-kai sambil mengejar.

Bhok-kongcu mempercepat larinya kuda, menarik kendali dan mengempit perut kuda. Kuda itu adalah kuda utara yang kuat sekali, larinya kencang seperti angin. Memang pangeran ini hendak mencoba atau menguji kepandaian Ciu-ong Mo-kai yang hendak ditarik menjadi pembantunya itu.

Sebaliknya, Ciu-ong Mo¬kai yang melihat kesempatan baik baginya untuk menyelamatkan Bi Eng, tentu saja merasa menyesal mengapa Bhok Kian Teng hendak pergi meninggalkannya. Kesempatan baik ini tak boleh disia-siakan, pikirnya, maka ia lalu mengerahkan tenaga ginkangnya dan cepat mengejar.

Baru saja Bhok-kongcu keluar dari hutan itu, tiba-tiba tubuh kudanya tersentak berhenti. Ketika ia menengok, ia melihat Ciu-ong Mo-kai sambil tertawa-tawa sudah berada di belakangnya dan sudah mencekal ekor kuda yang tebal dan panjang itu. Ternyata kakek aneh itu sudah berhasil menyusul larinya kuda! Terpaksa kuda itu berhenti dan tak dapat lari lagi.

"Heh heh heh, Bhok-kongcu ..... eh, Pangeran Galdan. Kalau lohu (aku) menghendaki, bukan buntut kuda yang kucekal, melainkan nyawa orang yang menunggangi kudanya. Kau lihat, aku tidak mempunyai maksud buruk, heh heh heh .......!”

Bhok-kongcu tersenyum mengejek. "Kau salah duga, Ciu-ong Mo-kai. Bukan kau yang memperlihatkan maksud baik, melainkan aku yang sengaja tidak mau mencelakaimu, karena memang aku mempunyai maksud bersahabat dengan engkau. Lihat!"

Bhok-kongcu mengeluarkan sebuah bendera kuning dan melambaikan bendera itu. Tiba-tiba, seperti iblis-iblis di siang hari, bermunculan tentara Mongol dari segenap penjuru dan dalam beberapa puluh detik saja tempat itu sudah dikurung oleh ratusan orang tentara Mongol yang sudah siap dengan anak panah di gendewa masing-masing!

Diam-diam Ciu-ong Mo-kai melengak dan kagum. Kiranya kemunculan Bhok-kongcu ini bukan secara kebetulan, melainkan sengaja diatur dan lebih dulu sudah ada ratusan orang tentara Mongol yang melindungi kongcu itu sehingga andaikata terjadi hal yang tidak beres, tentu dia sudah dihujani anak panah!

"Ha ha ha ha! Pangeran Galdan benar-benar hebat sekali. Asal ada arak wangi, pengemis bangkotan macam aku ini tentu saja suka membantu memukul orang-orang Mancu!"

Girang hati Bhok-kongcu. Ia memang sudah mendengar dan menyaksikan sendiri akan kelihaian pengemis aneh ini yang kepandaiannya kiranya tidak kalah, atau hanya sedikit selisihnya, dengan Hoa Hoa Cinjin. Tentu saja kalau dia bisa mendapat bantuan tenaga seperti Ciu-ong Mo-kai, keadaannya akan menjadi lebih kuat, selain itu, juga ia melemahkan keadaan pasukan Mancu yang kehilangan Ciu-ong Mo-kai.

"Bagus, Ciu-ong Mo-kai. Kalau benar-benar kau suka bekerja sama, jangan khawatir, arak wangi telah tersedia untukmu. Akan tetapi kau harus bersumpah."

Pangeran ini cerdik dan sudah mengenal watak orang-orang kang-ouw dari selatan. Orang-orang kang-ouw ini menjunjung tinggi kegagahan, selalu memegang janji, apa lagi sumpah takkan dilanggarnya biarpun harus mengorbankan nyawa!

"Aku, Ciu-ong Mo-kai, bersumpah bahwa aku selalu akan memusuhi penjajah tanah airku!"

"Dan sekarang kau memusuhi orang-orang Mancu!" sambung Bhok-kongcu yang masih belum puas.

"Aku bersumpah memusuhi orang orang Mancu sekarang!" Ciu-ong Mo-kai bersumpah tanpa ragu-­ragu.

Memang, di dasar hatinya ia memusuhi semua bangsa yang menjajah Tiongkok, mengapa tidak? Baik Mancu maupun Mongol, adalah musuhnya.

Girang dan puas hati Bhok-kongcu. Segera ia mengajak Ciu-ong Mo-kai menuju ke Pegunungan Yin-san, markas besarnya. Juga ia berjanji untuk membebaskan Bi Eng apabila benar-benar ternyata bahwa gadis itu ditawan oleh Balita.

"Jangan khawatir, dua orang suheng dari Balita bekerja sama dengan kami. Biarkan mereka menghadapi Balita untuk minta Bi Eng, tentu akan diserahkan dengan baik," kata pangeran ini.

Rombongan ini tak lama kemudian sudah tiba di Yin-san dan di dalam sebuah istana darurat yang indah dan mewah, Ciu-ong Mo-kai dijamu dengan sebuah pesta. Benar saja, Bhok-kongcu mempunyai simpanan arak yang baik. Dengan gembira Ciu-ong Mo-kai makan minum dan sama sekali ia tidak berkeberatan untuk duduk bersama-sama dengan Hoa Hoa Cinjin, Tung-hai Siang­mo, Huang-ho Sam-ong, dan beberapa orang tokoh kang-ouw yang cukup terkenal dan yang ternyata menjadi kaki tangan Bhok-kongcu!

Selagi Bhok-kongcu dan orang-orangnya berpesta gembira, tiba-tiba datang laporan bahwa ada sepasukan tentara utusan Pak-thian-tok mengantar seorang tawanan untuk minta keputusan Pangeran Galdan!

Kedengarannya memang aneh bagaimana Bhok Hong sebagai ayah Pangeran Galdan, tidak berani memutuskan sendiri atas diri seorang tawanan, melainkan minta keputusan puteranya. Memang demikianlah. Entah bagaimana, Bhok Hong ternyata amat bangga akan puteranya.

Malah mengabarkan di antara bangsanya bahwa puteranya itu, Pangeran Galdan, adalah pemimpin besar Bangsa Mongol, penjelmaan Raja Besar Jenghis Khan dan karenanya adalah kekasih dewata yang harus ditaati, oleh siapapun juga, bahkan oleh dia sendiri! Tentu saja di balik keanehan sikapnya yang seakan-akan taat dan tunduk kepada putera sendiri ini, ada maksud tersembunyi di dalam hati Bhok Hong sebagai seorang bapak yang ingin melihat anaknya menjadi raja besar seperti Jenghis Khan.

Dia sendiri sudah tua, pula tidak ada minat tentang pemerintahan, biarlah puteranya yang menjadi Jenghis Khan kedua! Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang sedang bergembira karena berhasil menarik tenaga baru yang amat kuat, mengerutkan kening. Kalau bukan tawanan yang amat penting, tak nanti ayahnya sampai mengirimnya pada saat seperti itu.

"Bawa dia masuk akan kutanyai!" katanya dengan sikap agung kepada tentara pelapor.

"Ampun, pangeran. Tawanan itu terluka dan pingsan tak dapat ditanyai lagi ......."

"Jangan cerewet, bawa dia masuk kataku! Biar kulihat siapa dia!" bentak Pangeran Galdan marah.

Tentara itu cepat memberi hormat dan mundur. Tak lama kemudian masuklah empat orang tentara yang tinggi besar, menyeret tubuh seorang laki-laki yang berada di dalam jala, menggeletak dengan muka pucat seperti mayat. Sukar diduga siapa yang lebih kaget di antara Ciu-ong Mo-kai dan Bhok-­kongcu ketika melihat siapa adanya tawanan yang pingsan seperti mati itu.

"Han Sin ........!" Ciu-ong Mo-kai tak dapat menyembunyikan kagetnya, malah kakek yang sudah kenyang makan asam garam dunia ini seperti sengaja memamerkan kagetnya.

Pangeran Galdan menoleh ke arah kakek itu sambil tersenyum, matanya menatap tajam.

"Ehem, kau tentu mengenalnya, Ciu-ong Mo-kai ......." katanya penuh sindir.

"Tentu saja!" jawab Ciu-ong Mo-kai dengan suara wajar. "Untuk apa aku harus berpura-pura tidak mengenalnya kalau dia itu adalah kakak dari muridku, atau hampir boleh dibilang dia itupun muridku karena pernah belajar teori silat dariku?"

Tiba-tiba Bhok-kongcu tertawa terbahak dengan muka geli, "Dia itu belajar teori silat dari padamu? Ha ha ha, menggelikan sekali! Ciu-ong Mo-kai, apakah kau pura-pura tidak tahu bahwa dia itu sepuluh kali lebih lihai darimu? Ha ha, hanya ayahku yang sakti saja dapat mengalahkannya dan menawannya!"

"Tentu saja aku tahu, Pangeran Galdan. Memang sekarang dia telah menjadi amat lihai, dan agaknya ayahmu yang terhormat itupun belum dapat mengalahkannya dalam pertandingan terbuka dan jujur."

Setelah berkata demikian, Ciu-ong Mo-kai menenggak araknya. Orang-orang yang berada di situ diam-diam merasa heran sekali atas keberanian dan kelancangan mulut si pengemis bangkotan ini yang sama sekali tidak menghormat kepada "Pangeran Keturunan Dewata"!

Adapun Bhok-kongcu sudah tidak memperdulikan Ciu-ong Mo-kai lagi. Dia mendengar laporan dari pengawal yang membawa Han Sin tentang ditangkapnya Cia Han Sin oleh Pak-thian-tok Bhok Hong. Kemudian dengan amat marah Bhok-kongcu mendengar laporan pula betapa di mana-mana pasukannya dipukul hancur atau dipukul mundur oleh pasukan-pasukan Mancu yang amat kuat.

"Keparat!" bentak Pangeran Galdan sambil membanting kakinya. "Sampai titik darah terakhir dalam tubuhku, aku harus melawan dan menghancurkan Mancu!" Ia lalu memandang ke arah tubuh Han Sin yang masih menggeletak terbungkus jala.

"Keluarkan dia dari jala, belenggu kaki tangannya tapi jangan bunuh dia. Aku harus memaksanya untuk membantuku kalau dia masih belum bosan hidup. Hanya ada dua jalan baginya." Pangeran itu menoleh kepada Ciu-ong Mo-kai seakan-akan kakek itu dijadikan wakil Han Sin untuk mempertimbangkan keputusannya, "Membantuku melawan Mancu atau kupenggal kepalanya!"

Ciu-ong Mo-kai pura-pura tidak melihat atau mendengar ini. Ia terus saja menenggak araknya dan menyambar makanan yang paling enak di atas meja. Agaknya keadaan Han Sin yang tertawan dan berada dalam keadaan mengenaskan, entah hidup atau mati itu sama sekali tidak diperdulikannya.

Empat orang pengawal yang kuat kuat itu sudah membuka jala dan menarik tubuh Han Sin yang sudah tak berdaya dan lemas itu keluar dari jala. Mereka mengeluarkan tali otot kerbau yang kuat untuk mengikat kaki tangan pemuda Min-san itu.

Akan tetapi, tiba-tiba terdengar gerengan keras sekali dan tahu-tahu hujan arak menyembur ke arah muka keempat orang pengawal. Hujan arak yang tersembur dari mulut Ciu-ong Mo-kai sama lihainya dengan hujan jarum. Empat orang itu menutupi muka dengan kedua tangan sambil mengaduh-aduh karena mata mereka sudah seperti buta dan muka mereka sakit seperti ditusuk ratusan jarum!

"Aduh ..... aduh ..... Aduh ...........!"

Sebelum semua orang hilang kaget mereka, tubuh Ciu-ong Mo-kai berkelebat dan tahu-tahu ia sudah menyambar tubuh Han Sin dan dipanggulnya tubuh pemuda yang pingsan itu.

"PENGKHIANAT busuk!"

Hoa Hoa Cinjin membentak marah sekali. Semenjak tadi, melihat Ciu­ong Mo-kai diterima sebagai pembantu oleh Bhok-kongcu, Hoa Hoa Cinjin sudah merasa tak senang dan curiga. Dia sudah mengenal baik-baik pengemis tua ini, yang berjiwa patriotik sampai ke rambut-rambutnya. Paling gigih, pengemis ini melawan penjajah, malah secara rahasia memimpin seluruh perkumpulan pengemis di selatan untuk bangkit melawan penjajah. Bagaimana orang seperti dia itu bisa membantu orang-orang Mancu yang sekarang menjajah tanah airnya dan bagaimana mungkin lagi dapat menghambakan diri kepada Bhok-kongcu, seorang Pangeran Mongol?

Kalau dia datang membantu, tentu di belakangnya terselip maksud-maksud lain yang tidak baik. Akan tetapi tentu saja la tidak berani membantah kehendak Bhok-kongcu karena iapun maklum bahwa makin banyak orang pandai seperti Ciu-ong Mo-kai dapat membantu mereka, betul-betul membantu dengan setia, akan makin baiklah. Maka Hoa Hoa Cinjin yang duduk tak jauh dari Bhok­kongcu, selama pesta berjalan, hanya diam saja dan hanya mengawani makan minum. Namun diam diam matanya yang tajam seperti mata burung rajawali itu selalu menaruh perhatian dan mengawasi setiap gerak-gerik Ciu-ong Mo-kai.

Maka begitu ia melihat Ciu-ong Mo kai menyemburkan arak menyerang empat orang Mongol yang hendak membelenggu Han Sin, kemudian kakek pengemis itu menyambar tubuh Han Sin, Hoa Hoa Cinjin mengeluarkan teriakan marah lalu menyerang dengan hebat.

Ciu-ong Mo-kai bukan seorang yang ceroboh. la memang berlaku nekat ketika menolong Han Sin, maklum bahwa perbuatannya kali ini bukan main-main dan nyawalah taruhannya. Maka sebelum melakukan perbuatan itu, ia telah lebih dulu menghitung-hitung dan tahu bahwa ia akan berhadapan dengan orang-orang kosen dan lihai, terutama Hoa Hoa Cinjin. Hal ini membuat dia berlaku waspada dan tak pernah mengalihkan perhatiannya dari sai-kong ini.

Serangan dari Hoa Hoa Cinjin amat dahsyat datangnya, merupakan sebuah pukulan tangan kanan ke arah lambung Ciu-ong Mo-kai dibarengi dengan cengkeraman ke arah tubuh Han Sin yang dipanggul kakek pengemis itu. Sambaran angin serangan ini sudah membuat pakaian Ciu-ong Mo­kai di bagian lambung dan baju Han Sin di bagian pundak robek!

Ciu-ong Mo-kai kaget juga, akan tetapi tidak gugup. la maklum bahwa cengkeraman ke arah tubuh Han Sin itulah yang lebih berbahaya karena pemuda itu sedang pingsan tak dapat menjaga diri. Cepat ia mengangkat tangan menangkis cengkeraman, sedangkan pukulan ke arah lambungnya ia hindarkan dengan sebuah gerakan mengegos yang lincah dari langkah kaki Ilmu Silat Liap hong­sin-hoat.

Ilmu silat ciptaan Ciu-ong Mo-kai ini, sesuai dengan namanya, yaitu Liap-hong-sin-hoat (Ilmu Sakti Mengejar Angin), memang mengandalkan kecepatan dan gerakan-gerakan kaki teratur yang amat cepat perubahannya. Dengan ilmu silat ini, tanpa balas menyerang Ciu-ong Mo-kai akan dapat menghadapi serangan serangan orang dengan enak saja, tubuhnya menjadi licin bagaikan belut dan trengginas, cepat bagaikan burung walet.

Akan tetapi sekarang ia menghadapi serangan Hoa Hoa Cinjin, seorang tokoh besar ilmu silat yang tingkat kepandaiannya tidak kalah tinggi olehnya. Memang ia berhasil menangkis cengkeraman ke arah Han Sin, akan tetapi pukulan ke arah lambungnya itu biarpun sudah dapat ia elakan, namun sebuah terdangan kaki yang boleh dibilang berbarengan saatnya dengan pukulan itu sendiri, tak dapat dihindarkannya lagi. Tendangan itu mengenai perut Ciu-ong Mo-kai.

Tubuh kakek pengemis ini terpental, namun hebat sekali, dia masih dapat meminjam tenaga tendangan ini untuk terus meloncat lari dari tempat itu sambil memanggul tubuh Han Sin dan membawa lari pula luka ringan di bagian dalam perutnya akibat tendangan tadi!

"Tangkap dia! Kejar!" Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan memerintah dengan suara marah sekali.

"Tangkap hidup-hidup!"

Masih untung bagi Ciu-ong Mo-kai bahwa pangeran itu saking marahnya dan saking bernafsu hendak melampiaskan amarahnya kepada Ciu-ong Mo-kai dan Han Sin, mengeluarkan perintah supaya menangkap mereka hidup-hidup. Andaikata tidak demikian, mana kakek ini mampu keluar dari kepungan dengan tubuh masih bernyawa? Serangan senjata-senjata rahasia dan anak panah tentu akan merenggut nyawanya dan nyawa Han Sin yang masih pingsan.

Betapapun juga, bukanlah hal mudah bagi Ciu-ong Mo-kai untuk dapat melarikan diri. Biarpun ia sudah berlari secepatnya, tetap saja tiga orang dapat menyusulnya, yaitu Hoa Hoa Cinjin dan kedua saudara Tung-hai Siang-mo. Seperti telah dikenal dalam cerita yang lalu, dua orang saudara Tung­hai Siang-mo ini amat lihai, dengan maju bersama tingkat kepandaian mereka hampir menandingi tingkat Hoa Hoa Cinjin. Maka dengan majunya dua orang ini, sekarang Ciu-ong Mo-kai dikejar tiga orang yang amat lihai!

"Pengemis kelaparan, kauhendak pergi ke mana?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah datang dekat sambil menyerang lagi dengan pukulan dahsyat ke arah punggung kakek pengemis itu. Juga dua orang kakek Tung-hai Siang-mo (Sepasang Iblis Laut Timur) sudah menyerang dari kanan kiri sehingga Ciu-ong Mo-kai kini dikeroyok tiga!

"Ha ha ha, pentolan-pentolan kang-ouw main keroyok. Tak tahu malu!"

Kakek itu tertawa mengejek, mainkan Ilmu Silat Liap-hong-sin-hoat sambil mempergunakan guci araknya sebagai senjata. Dengan gagah sekali kakek ini sambil menggendong tubuh Han Sin di pundak kiri, melakukan perlawanan mati-matian. Kadang-kadang ia menenggak arak dan menggunakan semburan-semburan araknya sebagai senjata rahasia yang ampuh.

Setiap kali mendapat kesempatan, Ciu-ong Mo-kai lari lagi untuk menjauhkan diri dari pada kepungan tentara Mongol. Dengan cara begini, terutama sekali karena Hoa Hoa Cinjin tidak berani melanggar perintah Pangeran Galdan, yaitu tidak mau membunuh Ciu-ong Mo-kai, pengemis ini dengan menderita beberapa luka di tubuhnya dapat melarikan diri sampai turun Gunung Yin-san! 

Lanjut ke jilid 056 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment