Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 056

◄◄◄◄ Kembali

Namun tiga orang kosen itu tetap membayanginya terus dan tiap kali ia tentu tersusul untuk mengalami keroyokan dan tak dapat dicegah lagi ia tentu terkena pukulan-pukulan yang amat berbahaya dari tiga orang itu.

Amat payah keadaan Ciu-ong Mo kai. Apa lagi pukulan terakhir dari Hoa Hoa Cinjin yang tepat mengenai siku lengan kanannya, membuat guci arak di tangannya terlempar dan tangan itu sendiri menjadi lumpuh karena sambungan tulang pada siku terlepas. Ciu-ong Mo-kai memindahkan tubuh Han Sin ke atas pundak kanan dan ia masih terus melawan dengan tangan kiri sambil tertawa-tawa mengejek! Dan hebatnya, selama itu kakek ini masih terus berhasil melindungi tubuh Han Sin sehingga belum sekali juga tubuh pemuda pingsan ini terkena serangan tiga orang pengeroyoknya.

"He he, Hoa Hoa Cinjin pengecut curangl" Ia masih sempat mengejek. "Kalau satu lawan satu mana kau mampu mengalahkan aku?"

Hati Hoa Hoa Cinjin panas sekali. Kalau menurut nafsunya, ingin ia mengandalkan serangan maut untuk membunuh kakek pengemis itu. Namun ia takut akan Bhok-kongcu atau Pangeran Galdan yang amat berpengaruh dan berkuasa. Sekali pangeran itu bilang ”tangkap hidup-hidup", ia harus dapat melaksanakannya.

Memang tentu saja amat sukar untuk menundukkan kakek pengemis ini tanpa melakukan serangan-­serangan maut. Beberapa kali sudah ia melakukan penyerangan hebat, akan tetapi begitu melihat bahwa serangannya ini akan merenggut nyawa Ciu-ong Mo-kai, ia menarik kembali serangannya dan tentu saja hal ini membuat pertempuran menjadi amat lama.

Demikian pula halnya dengan Tung-hai Siang-mo. Mereka lebih lebih tidak berani melanggar perintah Pangeran Galdan. Memang harus diakui kehebatan Ciu-ong Mo-kai yang benar-benar amat "ulet". Pukulan-pukulan hebat yang biarpun mengenai tubuh orang lain sebetulnya sudah cukup untuk merobohkan orang itu. Namun kakek ini tetap melawan dan bahkan pada saat ia menyemburkan arak yang terakhir, yang masih tersimpan di mulut, dan melihat tiga orang lawannya mengelak, kakek ini masih dapat meloncat jauh dan lari lagi sambil tertawa-tawa.

"Hayo kejar aku! Hayo, kejar dan keroyok. Ha ha ha."

Hoa Hoa Cinjin menjadi penasaran bukan main. Kalau orang-orang kang-ouw melihat dia bersama Tung-hai Siang-mo tak dapat menangkap seorang pengemis bangkotan yang sudah terluka di beberapa tempat, malah sambungan siku kanannya sudah terlepas, alangkah akan malunya!

"Siang-mo, kita maju bareng dan tangkap dia!" katanya marah.

Dua orang kawannya itu menyanggupi dan cepat-cepat mereka mengejar kakek itu yang kini larinya biarpun masih cepat, namun sudah terhuyung-huyung, napasnya empas-empis dan mukanya penuh keringat menahan nyeri yang hebat.

Ciu-ong Mo-kai maklum bahwa kali ini ia takkan dapat tertolong lagi. Dia tidak perduli lagi. Dia tidak perdulikan keselamatan sendiri. Aku sudah tua, pikirnya, tidak penasaran mati dalam pengeroyokan Hoa Hoa Cinjin dan Tung-hai Siang-mo, akan tetapi sayang kalau Han Sin sampai tewas. Dia adalah harapan kita untuk memimpin orang-orang gagah kelak ......

Pada saat itu, secara tiba-tiba saja muncullah dari sebuah tikungan seorang laki-laki gendut menuntun dua ekor kuda yang besar lagi kuat. Ciu-ong Mo-kai melihat bahwa orang itu yang menyeringai aneh bukan lain adalah ..... Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng si tukang catut! Biarpun kakek pengemis ragu-ragu akan diri Raja Swipoa itu, namun ia cepat menghampiri dan berkata,

"Lekas ...... kau selamatkan dia ini ....... aku tak kuat lagi .......”

Lie Ko Sianseng cepat menerima tubuh Han Sin, akan tetapi ia tidak lupa untuk memandang cerdik dan bertanya,

"Berapa upahnya?"

Mau tak mau Ciu-ong Mo-kai melotot kepadanya. "Tukang catut sialan! Nyawaku upahnya!"

Lie Ko Sianseng biarpun bicara namun ia tidak membuang waktu. Ia sudah meloncat ke atas kuda sambil mengempit tubuh Han Sin.

"Pengemis bangkotan, nyawamu dan doamu supaya aku selamat. Pakai kuda ini!"

Ciu-ong Mo-kai yang sudah lelah sekali meloncat ke atas punggung kuda kedua dan sekali tepuk saja dua ekor kuda itu sudah meloncat dan berlari cepat. Akan tetapi, melihat dua orang buronan mereka kabur, Hoa Hoa Cinjin tentu saja tidak mau membiarkan. Terpaksa sekarang ia melanggar pantangan Pangeran Galdan dan secepat kilat ketika tangannya bergerak, sinar hijau menyambar ke arah Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng.

"Lie Ko Sianseng, kaupun menjadi pengkhianat?" Ji Kong Sek, orang pertama dari Tung-hai Siang­mo berseru terheran-heran. Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng sudah lama membantu Mongol, malah dipercaya oleh Pangeran Galdan. Kenapa sekarang menolong Ciu-ong Mo-kai?

Melihat sinar hijau menyambar, Ciu ong Mo-kai yang kudanya berada di belakang, cepat mengebutkan tangan kiri ke arah Lie Ko Sianseng. Ia berhasil menyampok runtuh sinar hijau ini, akan tetapi sinar hijau yang tertuju ke arah dirinya tak sempat ia elakkan lagi. Bawah pundak kirinya tertancap beberapa buah Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) yang terus memasuki daging dan jalan darah.

Rasa nyeri yang hebat menyerang diri Ciu-ong Mo-kai. Kakek ini menggigit bibirnya dan berkata kepada Lie Ko Sian¬seng. Menahan rasa nyeri,

"Lekas balapkan kuda, bawa dia kepada Yok-ong Phoa Kok Tee ....... di ........"

"Aku tahu. Di Tai-hang-san, bukan?" jawab Lie Ko Sianseng yang segala tahu itu.

"Betul ..... biar aku menahan mereka, tosu-tosu bangsat itu ......"

"Ciu-ong ....... mari kau ikut lari. Kau sudah terluka hebat, kau takkan menang, kau akan mati ......"

"Ha ha ha, apakah artinya mati? Membantu Mancu atau Mongol hanya main-main belaka, akan tetapi kali ini... menyelamatkan dia... hemm, sama dengan menyelamatkan bangsa, dia harapanku.... dan untuk menyelamatkan bangsa, untuk membela tanah air.... aku ingin mati seribu kali ...."

Tiba-tiba Ciu-ong Mo-kai menampar tubuh belakang kuda yang ditunggangi oleh Lie Ko Sianseng. Kuda itu terkejut, kesakitan dan membalap secepat keempat kakinya mampu lari! Adapun Ciu-ong Mo-kai sendiri lalu memutar kuda, menanti datangnya tiga orang pengeroyoknya. Dengan senyum mengejek ia menanti sampai mereka dekat, lalu berkata,

"Kalian mau tangkap aku? Tangkaplah. Akan tetapi jangan mengejar Lie Ko Sianseng, kalau kalian mengejar, terpaksa aku melawan kalian sampai mati di tangan kalian. Hasilnya, kalian takkan dapat menangkap Han Sin, juga kalian takkan dapat menangkapku hidup-hidup sehingga kalian akan dihukum oleh Pangeran Galdan. Ha ha ha!"

Hoa Hoa Cinjin dan dua orang kawannya saling pandang. Mereka tahu bahwa biarpun sudah terluka hebat, kakek pengemis ini masih tak boleh dipandang ringan dan kalau benar-benar hendak menghalang mereka bertiga mengejar Han Sin, tentu akan terjadi pertempuran lagi. Pula, kuda yang ditunggangi Lie Ko Sianseng luar biasa cepat larinya, tak mungkin mereka yang sudah lelah itu dapat menyusulnya.

"Pangeran akan menyiksamu!" Hanya demikian Hoa Hoa Cinjin dapat berkata untuk melampiaskan kemendongkolan hatinya. Mereka bertiga lalu kembali ke Yin-san membawa "tawanan" yang menunggang kuda sambil tertawa-tawa dan kadang-kadang bernyanyi-nyanyi sajak To-tik-keng untuk menyindir tiga orang "pengawal" itu.

Ketika mereka berempat itu tiba di kaki Gunung Yin-san, terkejutlah mereka melihat betapa di lereng tempat markas besar Pangeran Galdan itu ternyata telah terjadi perang hebat. Nampak asap bergulung-gulung naik dan sorak-sorai gemuruh menandakan bahwa ada pihak yang menang. Pihak mana yang kalah mudah diduga karena markas besar itu telah menjadi lautan api! Bukit itu penuh dengan pasukan dan kini nampaklah nyata betapa pasukan Mongol cerai-berai dan lari turun gunung dari segala jurusan, dikejar-kejar oleh pasukan-pasukan yang bukan lain adalah pasukan Mancu!

Ciu-ong Mo-kai yang melihat ini tiba-tiba tertawa bergelak lalu meloncat dari kudanya dan sekuat tenaga ia menghantam dada Hoa Hoa Cinjin! Kakek ini tadi sedang terheran-heran dan terkejut melihat peristiwa hebat di atas gunung, maka kini dapat dibayangkan betapa kagetnya ketika ia diserang secara tiba tiba oleh Ciu-ong Mo-kai.

Cepat ia mengelak dan menangkis, akan tetapi terlambat dan tentu ia akan terkena pukulan maut itu apabila dua orang saudara Tung-hai Siang-mo tidak bertindak cepat. Dua orang saudara ini melihat Ciu-ong Mo¬kai meloncat turun, sudah dapat menduga bahwa kakek ini akan melawan, maka mereka lalu menyerang dari kanan kiri menggunakan senjata rahasia Toat-beng-cui (semacam bor pencabut nyawa).

Senjata-senjata ini datang lebih cepat dari pada pukulan Ciu-ong Mo-kai pada Hoa Hoa Cinjin, maka sebelum pukulan itu mengenai tubuh Hoa Hoa Cinjin, kakek pengemis yang sakti ini telah lebih dulu "termakan" senjata rahasia dan terhuyung-huyung, Hoa Hoa Cinjin marah sekali, tangannya bergerak menghantam dada dan ...... robohlah Ciu-ong Mo-kai dengan isi dada remuk. Nyawanya melayang pada saat ia roboh.

Hoa Hoa Cinjin bertiga lalu berlari lari cepat mendaki bukit. Benar saja kekhawatiran mereka. Ternyata markas besar tentara Mongol itu telah diserbu secara tiba-tiba oleh barisan Mancu. Hal ini benar-benar amat mengherankan. Bagaimana bala tentara Mancu sampai bisa muncul secara tiba-­tiba di situ tanpa dapat diketahui lebih dahulu?

Sebetulnya hal ini adalah jasa dari "dua peti batu" yang dulu dibawa oleh Han Sin. Batu-batu itu setelah diatur oleh Pangeran Yong Tee, merupakan sebuah peta yang menggambarkan kedudukan tentara Mongol di Yin-san, bahkan semua tempat-tempat di mana ditaruh barisan pendam dan tempat-tempat penjagaan para penyelidik Mongol, terdapat dalam peta itu! Karena inilah maka menurutkan petunjuk peta, Pangeran Yong Tee berhasil menyelundupkan bala tentaranya yang besar dan kuat sampai ke kaki Gunung Yin-san dan melakukan penyerbuan serentak.

Hoa Hoa Cinjin dan kawan-kawannya ikut pula mengamuk, akan tetapi akhirnya mereka harus melindungi Pangeran Galdan dan bersama tokoh-tokoh lain yang berkepandaian tinggi, di antaranya Pak-thian-tok Bhok Hong, mereka terpaksa lari turun gunung mengambil jalan belakang. Di antara rombongan yang berhasil melarikan diri ini terdapat Hoa-ji, si gadis berkedok, anak angkat Hoa Hoa Cinjin.

Bala tentara Mancu yang memperoleh kemenangan besar lalu mengadakan pembersihan dan pengejaran sehingga boleh dibilang bala tentara Mongol yang tadinya amat kuat, kini sudah cerai-­berai merupakan kelompok-kelompok pasukan yang tidak ada artinya, terlepas dari pada induk pasukan, tidak memliki pimpinan lagi.

**** ****
Lanjut ke jilid 057 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment