Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 057

◄◄◄◄ Kembali

Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng membalapkan kudanya tak pernah berhenti. Akhirnya, menjelang senja, kudanya terjungkal roboh dan..... mati. Baiknya kakek gendut ini cukup sigap untuk melompat turun sebelum ia ikut terguling, sambil mengempit tubuh Han Sin. Ia menarik napas lega ketika mendapatkan dirinya sudah berada dekat dengan Bukit Tai-hang-san yang dituju. Sudah cemas hatinya kalau melihat keadaan Han Sin. Pemuda ini sepucat mayat, napasnya lemah hampir berhenti, tubuhnya sudah dingin!

Lie Ko Sianseng yang maklum bahwa ia tidak boleh lambat-lambatan, memaksa tubuhnya yang gendut dan sudah lelah itu untuk berlari cepat mendaki Bukit Tai hang-san. Dia tahu di mana tempat tinggal Yok-ong Phoa Kok Tee si Raja Obat. Tidak ada tempat kediaman tokoh kang-ouw yang tidak diketahui oleh Raja Swipoa ini.

Kebetulan sekali si Raja Obat, Yok-ong Phoa Kok Tee, berada di atas bukit itu, tidak sedang pergi berkelana. Tokoh kang-ouw yang kenamaan ini memang semenjak terjadi perang antara Mongol dan Mancu, tidak meninggalkan tempat kediamannya. Dia sendiri tidak mau mencampuri perang antara dua bangsa asing itu, akan tetapi ia tidak keberatan, malah menganjurkan ketika muridnya, Phang Yan Bu menghadap dan minta ijin untuk ikut menggempur Mongol yang merupakan bahaya besar yang mengancam keselamatan rakyat.

Ketika Yok-ong Phoa Kok Tee melihat bahwa orang yang terluka parah yang dibawa Lie Ko Sianseng adalah Cia Han Sin, cepat-cepat ia memeriksanya. Setelah meraba nadi, memeriksa dada dan membuka pelupuk mata yang terpejam itu, kakek ini mengerutkan keningnya, lalu menggeleng­-geleng kepala.

"Hebat .... memang keji Pak-thian-tok, bekas tangannya mengerikan ...."

Lie Ko Sianseng nampak gelisah. "Yok-ong kau tolonglah dia .....ini pesanan terakhir Ciu-ong Mo­kai dan aku sendiri, aku amat suka orang muda ini. Berapa ongkos pengobatannya sampai sembuh, aku bersedia menguras semua milikku untuk memberikannya kepadamu."

Yok-ong Phoa Kok Tee tersenyum. "Orang seperti kau ini, Swi-poa-ong, di sorga atau neraka sekalipun tentu akan berusaha membujuk penjaga-penjaga di sana untuk menuruti kehendakmu dengan cara menyogok!"

Merah muka Swi-poa-ong. "Sesukamulah kau mengatakan, akan tetapi dia ini bukan sanak bukan kadang kita semua. Meskipun begitu, Ciu-ong Mo-kai sudah rela mengorbankan nyawa untuknya. Akupun sudah menyaksikan kepandaiannya dan kegagahannya, dia inilah harapan kita kaum tua. Terserah kepadamu kausuka mengobati atau tidak, aku hendak kembali mencari si Raja Arak ....... eh, setidaknya mencari jenasahnya untuk diurus ....."

Yok-ong Phoa Kok Tee tidak menjawab, hanya memandang bayangan yang gendut itu sambil menggeleng-geleng kepala dan menarik napas panjang. Banyak manusia aneh di dunia ini, manusia aneh yang sukar diduga wataknya, yang kadang-kadang kelihatan jahat tapi kadang-kadang membayangkan watak manusia sejati, seperti Swi-poa-ong Lie Ko Sianseng itu. Teringatlah ia akan muridnya yang terkasih, Phang Yan Bu dan kembali kakek ini menarik napas panjang sambil menggerutu,

"Semua orang mengaku patriot .... semua orang ingin bertindak sebagai patriot ...."

Ia maklum bahwa memang pada dasar hati setiap orang yang berbangsa dan bertanah air, sudah ada watak patriotik ini, watak cinta nusa bangsa, berbakti kepada tanah air. Seperti juga pada dasar hati setiap orang memang sudah ada watak cinta orang tua, berbakti kepada orang tua. Akan tetapi, tebal tipisnya cinta dan bakti ini, baik kepada tanah air maupun kepada orang tua, tergantung kepada tebal tipisnya orang itu mencintai diri sendiri. Makin tebal cintanya kepada diri sendiri, makin tipislah cintanya kepada yang lain. Namun demikian, setiap sikap, setiap tindakan yang menyatakan jiwa patriotik memang amat mengagumkan, amat mengharukan.

Yok-ong Phoa Kok Tee memandang tubuh Han Sin yang terlentang di atas tanah di hadapannya. Pemuda yang hebat, pikirnya. Keturunan seorang pahlawan besar. Masih begini muda sudah mewarisi ilmu yang amat tinggi. Hal ini sudah ia ketahui karena pernah ia bertemu dan menyaksikan kelihaian Han Sin beberapa waktu yang lalu.

"Dia masih begini muda ..., dan aku sudah amat tua .... apa salahnya kalau aku tolong dia, biarpun harus menukar nyawa?"

Dengan keputusan bulat kakek raja obat itu lalu mengangkat tubuh Han Sin, mendudukkan tubuh yang masih pingsan itu di bawah sebatang pohon, dan menyandarkannya di pohon itu. Kemudian Yok-ong yang tadi ketika bertemu dengan Lie Ko Sianseng sedang membawa sebuah pikulan keranjang obat, mengeluarkan beberapa bungkus obat dari keranjangnya.

Tubuh Han Sin yang luka-luka lalu diobati, ada yang sengaja ia buka kulitnya dengan pisau untuk mengeluarkan darahnya. Han Sin sama sekali tidak merasa apa-apa, masih tetap pingsan. Akan tetapi, setelah banyak darah yang terkena racun dikeluarkan, wajahnya mulai bersinar kembali.

"Hebat ......" terdengar Yok-ong bicara seorang diri penuh kekaguman, "Hek-tok dan Cheng-tok (Racun Hitam dan Hijau) yang amat berbahaya tertahan saja di bawah kulit tidak dapat menjalar, benar benar luar biasa! Darah orang muda ini mengandung sesuatu yang dahsyat."

Ia memeriksa lagi dengan amat teliti. "Hemmm, semua tenaganya berkumpul di dada dan perut, melindungi semua isinya...... tenaga sinkang yang gaib berputaran terus...... amat kuatnya sehingga melumpuhkan semua syaraf....."

Kakek itu bicara terus, kadang-kadang terdengar, kadang-kadang tidak, keningnya berkerut. Kemudian ia merasa puas dengan pemeriksaannya dan mundur sambil berkata,

"Cia Han Sin, tidak ada lain jalan. Hanya It-yang-ci (Totokan Satu Jari) yang akan dapat membuka lubang hawa yang tertutup sehingga hawa sinkang dapat pulih dan menyembuhkan hawa beracun yang membekukan semua syarafmu."

la menarik napas panjang lalu duduk bersila tak jauh dari Han Sin. Kakek ini maklum bahwa ilmu totok It-yang-ci yang dimilikinya adalah ilmu yang luar biasa dan sekali dipergunakan untuk menolong nyawa Han Sin, mungkin sekali hal itu berarti akan mengorbankan nyawa sendiri, atau setidaknya merusak sumber sinkang di dalam tubuhnya sendiri. Hanya dengan pengerahan tenaga dalam yang luar biasa menggunakan It-yang-ci ia akan dapat menyembuhkan pemuda ini. Dan sekali sumber sinkang di tubuhnya rusak oleh pengerahan tenaga yang berlebihan ini, kepandaiannya akan lenyap pula.

Yok-ong menenteramkan batinnya, mengumpulkan semangat dalam samadhi. Setelah merasa diri kuat betul-betul, ia membuka mata dan tiba-tiba meloncat berdiri. Sepasang matanya memancarkan cahaya berapi, topinya yang lebar terlepas di atas tanah. Dengan gerakan lambat ia melonggarkan, semua ikatan pakaiannya, malah membuka baju sehingga ia bertelanjang sebatas perut.

Kemudian kakek ini mengeluarkan suara aneh dan tubuhnya bergerak cepat sekali menotok dengan jari telunjuk kanannya ke arah leher Han Sin. Totokan ini disusul oleh telunjuk kiri yang menotok ke arah ulu hati. Kemudian disusul totokan-totokan yang amat cepat, bertubi-tubi dan dilakukan dengan kecepatan yang membuat tubuh kakek itu seakan-akan tampak menjadi empat lima orang! Makin lama makin cepat totokan totokan itu dilakukan dan mulailah terdengar napas terengah-­engah dari kakek itu.

Seperti juga pada permulaannya yang tiba-tiba, kakek itu tiba-tiba menghentikan totokan-­totokannya. Ia nampak pucat, keringatnya membasahi seluruh tubuhnya, napasnya terengah-engah seperti hendak putus. Ia masih berdiri dalam sikap bersilat, matanya masih tajam menatap tubuh Han Sin. Babak pertama dari usaha penyembuhan dengan It-yang-ci sudah ia lakukan.

Lalu perlahan-lahan kakek ini duduk bersila lagi, meramkan mata dan bersamadhi, mengumpulkan tenaga dan mengatur napas. Ada setengah jam ia duduk diam, kemudian ia meloncat bangun lagi dan untuk kedua kalinya ia "menyerang" Han Sin bertubi-tubi dengan totokan It-yang-ci. Masih cepat seperti tadi penyerangannya, hanya bedanya, kalau tadi ia menggunakan tenaga Im-kang sehingga totokannya itu biarpun cepat kelihatannya tidak memakai tenaga.

Padahal sebenarnya pengerahan tenaga dalam kali ini jauh lebih berat dari pada tadi! Sebentar saja napasnya sudah terdengar seperti kerbau disembelih dan ketika tiba-tiba bayangan tubuhnya yang berkelebatan itu berhenti, mukanya menjadi pucat sekali, tubuhnya menggigil dan dari muka dan dadanya keluar keringat besar-besar. la berdiri meramkan mata, mengatur napas.

Ada perubahan pada diri Han Sin. Pemuda ini mengeluarkan rintihan perlahan, tubuhnya bergerak-­gerak sedikit, pelupuk matanya terbuka. Biarpun Yok-ong sendiri meramkan mata, namun ia dapat menangkap gerakan pemuda itu, maka dengan suara lirih seperti orang berbisik, lemah sekali, ia berkata,

"Jangan bergerak ......"

Han Sin mengerling ke arah kakek itu dan otaknya yang cerdas segera dapat menangkap apa yang sedang terjadi. Sinar matanya penuh keharuan dan terima kasih. Di dalam kitab Thian-po-cin-keng ia merasa pernah membaca tentang penyembuhan secara ini, dan ia maklum pula bahwa usaha ini akan mendatangkan bencana kepada Yok-ong!

Hanya sebentar saja ia dapat menggunakan pikirannya karena tiba-tiba kepalanya pening sekali dan ia tak dapat memikirkan apa-apa lagi. Hal ini adalah karena yang sudah terbuka hanya jalan-jalan hawa di tubuh, sedangkan urat-urat syaraf yang menuju ke kepala masih tertutup oleh hawa beracun yang tadinya menyerang dari banyak luka di tubuhnya.

Sampai satu jam kali ini Yok-ong duduk diam, bersila sambil memulihkan tenaganya. Kemudian ia berdiri, tidak meloncat seperti tadi, melainkan perlahan sekali. Namun tubuhnya mengejang, dan setiap gerakannya mengeluarkan bunyi berkerotokan di tulang-tulangnya, matanya bersinar tajam menakutkan bahkan rambut kepalanya ada sebagian yang berdiri.

Dengan langkah perlahan sekali ia menghampiri Han Sin, kemudian dengan gerakan amat lambat dan perlahan kelihatannya namun sesungguhnya mengandung tenaga yang berlipat kali lebih dahsyat dari pada babak pertama dan ke dua tadi, kakek raja obat itu menotok dengan jari-jari telunjuk kanan kiri bergantian ke arah leher, pelipis, dan ubun-ubun kepala Han Sin!

Setelah menotok dua puluh tujuh kali, keadaan kakek ini makin lama makin lemah, akhirnya selesai juga ia melakukan pengobatannya, tubuhnya limbung terhuyung-huyung ke belakang, akan tetapi mulutnya tersenyum lalu terdengar suaranya,

"Sembuh.... sembuh.... sembuh...." Ia roboh terguling dan muntahkan darah sambil duduk bersila.

Han Sin merasa betapa hawa murni di tubuhnya sudah berjalan normal kembali, malah dengan hawa sinkangnya ia dapat mengusir semua sisa racun yang menguasai kulit dan urat-urat tubuhnya. la membuka mata dan melihat keadaan Phoa Kok Tee, ia mengeluarkan seruan kasihan dan cepat ia meloncat menghampiri. Yok-ong masih duduk bersila, pangkuan dan bibirnya penuh darah yang tadi ia muntahkan, napasnya senin kemis dan mukanya pucat, tubuhnya menggigil.

Han Sin menitikkan dua butir air mata. Orang yang sama sekali tidak ada hubungan dengan dia, bukan sanak, bukan kadang, bukan pula sahabatnya telah rela mengorbankan diri untuk menolongnya. Bukan main besarnya budi ini.

Pemuda itu lalu duduk bersila pula di belakang Phoa Kok Tee menempelkan telapak tangannya kepada punggung kakek itu untuk mengisi tubuh orang dengan hawa sinkangnya yang disalurkan melalui kedua telapak tangan. Berkat pelajaran Thian-po-cin-keng di dalam tubuh pemuda ini memang terkandung hawa sinkang yang luar biasa.

Yok-ong merasa betapa dari punggungnya muncul semacam hawa hangat yang membangkitkan kembali sumber tenaga lweekangnya yang sudah habis, maka ia dapat menggunakan kembali tenaga yang sudah amat lemah di dalam tubuhnya itu untuk meratakan jalannya napas.

Ia menarik napas panjang dan tahu bahwa pemuda itu yang kini membalasnya, menolongnya terhindar dari pada kematian. Namun, iapun maklum bahwa sejak saat itu ia sudah kehilangan kepandaiannya, menjadi orang biasa yang hanya akan dapat mengobati orang dengan daun-daun dan akar-akar obat. Tak dapat lagi menggunakan ilmu It-yang-ci, tak dapat lagi mengerahkan tenaga dalam.

Yok-ong membuka matanya, menoleh dan tersenyum. "Cukuplah, aku tidak akan mati....., dan kau sudah sembuh ........”

Han Sin cepat bangun, lalu melangkah ke depan kakek itu, cepat ia menjatuhkan diri berlutut dan berkata,

"Locianpwe telah menolong nyawaku tanpa menghiraukan keselamatan sendiri. Budi sebesar ini sampai matipun aku Cia Han Sin takkan melupakan dan bagaimana aku dapat membalasnya?"

Phoa Kok Tee tersenyum pahit. "Siapa bilang bahwa aku mengobatimu karena ingin dibalas?"

"Tentu tidak, karena in-jin (tuan penolong) memang seorang yang berwatak mulia. Akan tetapi, locianpwe telah kehilangan kepandaian, malah hampir kehilangan nyawa, bagaimana aku dapat berhati lega lagi kalau tidak berusaha membalas budi. Katakanlah, locianpwe, budi apakah yang dapat kulakukan kepadamu untuk membalasmu? Kalau locianpwe tidak mau memberi petunjuk, biarlah selama hidupku aku mengabdi kepada locianpwe untuk membalas budi, akan kurawat dan kulayani locianpwe ......"

"Hush, bocah gila! Siapa sudi dengan pelayananmu? Pula, bukan aku yang menolongmu, melainkan Lie Ko Sianseng. Dialah yang membawamu dalam keadaan pingsan ke tempat ini. Si Raja Swipoa itulah yang menolong nyawamu, karena kalau tidak dia menolongmu, pasti kau takkan bernyawa lagi sekarang sudahlah, lekas kau pergi dari sini, jangan mengganggu aku lagi!"

Akan tetapi Han Sin tidak mau bangun dari situ, tetap berlutut di depan Yok-ong. "Biarlah locianpwe akan membunuhku, aku takkan pergi meninggalkan locianpwe kecuali kalau locianpwe memberi perintah sesuatu untuk dapat kulaksanakan sebagai pembalasan budi."

YOK-ONG menarik napas panjang. "Hemmm, berkepandaian atau tidak apa sih artinya bagiku. Mati atau hidup apa pula bedanya bagi seorang yang sudah setua aku? Akan tetapi, karena kau memaksa, baiklah. Kau pergilah menghadap Pek Sin Niang-niang yang kini bertapa di Gobi-san. Beliau adalah guruku dalam hal pengobatan. Kalau kau berhasil memintakan petunjuk kepadanya untuk penyembuhanku karena penggunaan It-yang-ci tadi, berarti kau sudah membalasku dan menyembuhkan aku kembali. Akan tetapi jangan kaukira akan mudah menjumpai Pek Sin Niang­niang. Beliau sudah menjadi manusia setengah dewa dan Pegunungan Gobi adalah tempat yang amat luas. Tidak mudah mencarinya .......“

"Aku akan mencarinya sampai dapat!" Setelah berkata demikian, baru Han Sin mau bangun.

Yok-ong Phoa Kok Tee lagi-lagi tersenyum, lalu kakek inipun bangkit berdiri dengan perlahan dan lemah. Diambilnya topi dan pakaiannya, dipakainya semua itu dengan gerakan lemah, gerakan seorang petani tua biasa, kemudian Dipikulnya keranjang-keranjang obatnya dan dengan langkah gontai ia meninggalkan tempat itu, meninggalkan Han Sin yang berdiri memandang dengan hati penuh keharuan.

"Manusia budiman ........ dia inikah yang oleh Nabi Khong Cu disebut kuncu? Betul Yok-ong Phoa Kok Tee inilah orang yang patut disebut seorang kuncu, bukankah Nabi Khong Cu pernah bersabda bahwa:

"Seorang Budiman berhati penuh cinta kasih terhadap sesama manusia, tidak mau mencari keuntungan diri sendiri dengan jalan merusak cinta kasihnya itu, sebaliknya malah rela mengorbankan diri sendiri demi cinta kasihnya terhadap sesama manusia."

Demikian Han Sin berkata di dalam hatinya penuh kagum. Kakek itu menderita karena dia, kehilangan kepandaiannya, malah mungkin pengerahan lweekang yang dahsyat dalam menggunakan Ilmu It-yang-ci tadi berakibat lebih hebat lagi, yaitu melukainya. Mungkin sekali kalau tidak mendapat obat yang cocok, kakek itu akan menderita sakit dan tewas!

Kagetlah hati Han Sin ketika jalan pikirannya sampai di sini. Dia telah menolongku, bagaimana aku dapat berpeluk tangan saja melihat dia menderita? Harus kucarikan obatnya, pada Pek Sin Niang­niang, sekarang juga. Urusan lain boleh ditunda!

Keputusan dalam hati dan pikiran Han Sin ini membuat pemuda itu cepat meninggalkan tempat itu, langsung menuju ke Pegunungan Go-bi-san di utara untuk mencari Pek Sin Niang-niang. Dalam perjalanan ini, di sepanjang perjalanan ia mendengar tentang kekalahan yang diderita oleh pihak Mongol.

Diam-diam ada juga kelegaan dalam hati Han Sin karena bukankah kemenangan pihak Mancu berarti selamatnya orang-orang yang dekat dengannya seperti Bi Eng, Li Hoa, Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain? Juga kalau ditimbang-timbang, andaikata kedua pihak, Mongol dan Mancu, berperang bukan karena berebutan tanah airnya, tentu ia seratus persen akan berdiri di pihak Mancu!

Baru membandingkan pribadi Bhok-kongcu sebagai wakil Mongol dan pribadi Yong Tee sebagai wakil Mancu saja, tidak sukar bagi Han Sin untuk memilih. Sayangnya kedua pihak itu perang karena memperebutkan Tiongkok, inilah yang menjengkelkan hati Han Sin dan membuat pemuda itu tidak mau mencampurinya.

Pegunungan Go-bi-san memang merupakan daerah yang amat luas, penuh dengan gunung dan padang pasir. Han Sin yang masih lemah tubuhnya karena baru saja sembuh dari pada luka-luka hebat, melakukan perjalanan yang amat sukar. Namun semua ini ia tempuh dengan senang, malah ia melakukan dengan tergesa-gesa karena ingin lekas-lekas bisa bertemu dengan pertapa wanita itu untuk mintakan obat bagi Yok-ong Phoa Kok Tee.

Kalau ia teringat akan Lie Ko Sianseng, iapun tersenyum. Ternyata banyak juga manusia baik di dunia ini. Benar-benar tak pernah disangkanya. Lie Ko Sianseng yang tadinya ia sangka licin, cerdik dan penuh tipu muslihat busuk, ternyata malah menolongnya seperti yang diceritakan oleh Yok-ong. Bagaimanakah Lie Ko Sianseng dapat menolongnya? Seingatnya, ia tertawan oleh Pak­thian-tok Bhok Hong, bagaimana tahu-tahu ia bisa dibawa oleh Lie Ko Sianseng kepada Yok-ong untuk diobati?

Pada suatu senja, ia memasuki sebuah kampung atau bekas tempat perkemahan bangsa Mongol yang sudah kosong. Agaknya tentara Mancu sudah sampai di tempat ini dan mengusir penduduknya, buktinya ada bekas-bekas pertempuran di kampung ini, dan bekas-bekas kebakaran. Lumayan juga tempat ini untuk bermalam, pikir Han Sin, dari pada tidur di tempat terbuka. Ia menghampiri sebuah bangunan sederhana yang masih utuh, dengan maksud bermalam di tempat itu. Sudah jelas bahwa tempat ini tidak ada manusianya lagi.

Akan tetapi, ketika ia membuka daun pintu rumah itu, ia mendengar suara orang mengerang kesakitan. Cepat ia melompat masuk dan di antara meja kursi yang malang-melintang, ia melihat tubuh seorang laki-laki dan sekali pandang saja maklumlah Han Sin bahwa orang ini sudah tak ada harapan disembuhkan lagi. Cepat ia berlutut di dekat orang itu dan ....

”Lie Ko Sianseng ......! Ah, bagaimana kau sampai menjadi begini ........?"

Lie Ko Sianseng membuka matanya. Mulut yang tadinya berkerinyut menahan sakit itu tiba-tiba tersenyum lebar ketika ia melihat Han Sin.

"Kau..... kau sudah sembuh.......? Bagus...... tidak sia-sia..... Ciu-ong mengorbankan nyawa untukmu......." Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan amat susah payah, kakek gendut itu pingsan.

Hati Han Sin berdebar tidak karuan. Apa artinya Ciu-ong Mo-kai berkorban nyawa untuknya?

"Lie Ko Sianseng ......” la mencoba menyadarkan kakek gendut itu namun sia-sia belaka.

Kurang lebih satu jam kemudian, keadaan Lie Ko Sianseng payah sekali, akan tetapi ia siuman kembali, bibirnya bergerak-gerak. Han Sin mendekatkan telinganya ke bibir kakek itu.

"........ adikmu dibawa ........ dia ......."

Terkejut sekali Han Sin. "Dibawa siapa?"

"Bhok-kongcu ...."

"Siapa membunuh Ciu-ong Mo-kai ....?"

"..... Bhok-kongcu ...."

"Siapa melukaimu sampai begini?"

".... Bhok-kongcu ...." Tak kuat lagi Lie Ko Sianseng menahan, tubuhnya mengejang dan di lain saat nyawanya sudah melayang keluar dari tubuhnya.

Han Sin mengertak giginya sampai berbunyi. Dapat ia membayangkan sekarang. Tentu ketika ia tertawan oleh Bhok Hong, ia dibawa ke tempat Bhok-kongcu. Kemudian, entah cara bagaimana, muncul Ciu-ong Mo-kai, mungkin bersama Lie Ko Sianseng, menolongnya. Ciu-ong terbinasa dalam usaha ini oleh Bhok-kongcu dan Lie Ko Sianseng berhasil mengantarnya ke tempat Yok-ong. Sekarang Lie Ko Sianseng bertemu dengan Bhok-kongcu dan dilukai sampai tewas pula. Dan Bi Eng .... Bi Eng juga dibawa Bhok-kongcu.

"Awas kau, Bhok Kian Teng! Sekali ini kalau aku bertemu denganmu, sebelum membalas dendam orang-orang ini, aku tidak mau sudah!"

Dengan hati penuh keharuan dan dendam Han Sin mengubur jenasah Lie Ko Sianseng. Seorang patriot, pikirnya. Seperti juga Ciu-ong Mo-kai. Biarpun dalam kehidupan sehari-hari merupakan seorang pedagang yang kadang kala kelihatan licik dan curang dalam mengejar untung, namun tiba saatnya tidak segan untuk mengorbankan nyawa untuk menolong bangsa sendiri dari tangan kaum penjajah.

Mungkin pendirian Lie Ko Sianseng mengenai peperangan antara Mancu dan Mongol sama dengan pendirian Ciu-ong Mo-kai dan yang lain-lain, hanya bedanya kalau Ciu-ong Mo-kai sengaja membantu Mancu agar Mongol cepat hancur, sedangkan Lie Ko Sianseng bekerja untuk kedua belah pihak, mempermainkan mereka dan mengadu mereka ke arah kehancuran bersama, kehancuran dua bangsa penjajah, musuh-musuhnya!

Setelah selesai mengubur jenasah itu, ia memberi penghormatan terakhir.

"Lie Ko Sianseng, harap kau mengaso tenang, akulah yang akan membalaskan kejahatan Bhok Kian Teng," katanya seperti sumpah.

Kemudian ia melanjutkan perjalanannya menuju ke Go-bi-san. Kalau Han Sin teringat akan Ciu­ong Mo-kai, makin besar kemarahannya kepada Bhok-kongcu, dan juga besar penyesalannya kalau ia mengingat betapa dalam pertemuan terakhir dengan bekas gurunya, ia berselisih dengan kakek pengemis sakti itu.

Han Sin melakukan perjalanan cepat karena ia selain ingin segera bertemu dengan Pek Sin Niang­niang untuk mintakan obat Yok-ong Phoa Kok Tee, juga ia ingin mengejar Bhok Kian Teng. Lie Ko Sianseng baru saja dilukai orang itu, tentu Bhok Kian Teng belum lari jauh. Biarpun tubuhnya masih agak lemah dan belum pulih kembali seluruh tenaganya, namun untuk menghadapi Bhok Kian Teng saja ia masih sanggup.

Tiga hari kemudian, sampailah ia dilereng Gunung Go-bi-san, sebuah di antara puncak yang terbesar, penuh dengan batu-batu yang aneh bentuknya. Dari bawah tadi ia sudah melihat bayangan orang berlari-lari ke atas, kadang-kadang kelihatan hanya seorang, kadang-kadang ada dua dan tiga orang.

Ia mempercepat larinya dan akhirnya pada siang hari itu dapatlah ia menyusul. Dapat dibayangkan betapa girang hatinya ketika ia melihat Bhok Kian Teng dan seorang gadis yang bukan lain orang adalah Bi Eng sendiri! Bhok Kian Teng nampak kurus dan pucat, pakaiannya sudah kotor dan di tangannya pemuda ini membawa sepasang siang-kek (sepasang tombak pendek) yang agak aneh bentuknya, satu panjang dan satu pendek. Bi Eng juga nampak pucat dan kusut rambut dan pakaiannya, seperti orang sedang dalam susah.

Yang membuat Han Sin terheran heran adalah sikap gadis ini terhadap Bhok Kian Teng. Sama sekali tidak kelihatan seperti seorang tawanan, melainkan seperti seorang sahabat pemuda itu. Mereka bercakap-cakap sambil berjalan, akhirnya kelihatan mereka duduk mengaso di bawah batu karang yang mendoyong untuk berlindung dari terik panas matahari siang. Dan mereka duduk bersanding sambil bercakap-cakap, nampaknya dalam suasana bersahabat!

Timbul cemburu yang hebat dalam hati Han Sin, membuat ia menjadi makin membenci Bhok Kian Teng. Ia mempercepat larinya dan begitu tiba di tempat itu, ia segera membentak,

"Bhok Kian Teng manusia keji, bersiaplah kau menerima binasa!"

Pangeran Mongol itu nampak kaget bukan main, wajahnya yang pucat menjadi makin pias, dan cepat ia meloncat bangun. Ia maklum bahwa tidak ada gunanya bicara lagi dengan Han Sin, tidak ada gunanya mencoba untuk menggunakan akal membujuknya supaya berdamai. Pemuda Mongol ini memberi tanda dengan bersuit keras dan tahu-tahu dari balik batu tinggi itu muncul seorang manusia yang membuat Han Sin menjadi kaget dan heran bukan main.

Orang itu tinggi sekali, hampir dua kali orang biasa, kurus kelihatannya seperti tengkorak saking tingginya. Tanpa banyak cakap si tinggi ini menyerang Han Sin dengan dua tangannya yang berlengan panjang sekali. Han Sin cepat mengelak, akan tetapi kedua lengan itu seperti dapat mulur panjang, terus mengejarnya dengan pukulan yang amat keras. Han Sin cepat menangkis dengan lengannya.

"Plakk!"

Terkejutlah Han Sin ketika mendapat kenyataan bahwa kesehatannya belum pulih benar sehingga pertemuan lengan ini membuat ia hampir terpelanting, biarpun ia melihat orang tinggi itupun kaget dan gempur kuda-kuda kakinya. Han Sin bukan gentar karena si tinggi itu bertenaga besar, akan tetapi gelisah karena merasa bahwa tenaganya sendiri baru pulih setengah bagian saja. Andaikata ia tidak selemah ini, tentu sekali tangkis ia sanggup membikin si tinggi terlempar.

Sementara itu, Bhok Kian Teng tidak tinggal diam. Sambil tersenyum mengejek ia lalu menggerakkan sepasang senjatanya yang aneh, melakukan serangan kilat yang bertubi-tubi, Han Sin kembali mengelak sambil berusaha merobohkan pangeran Mongol itu. Namun si tinggi tidak memberi kesempatan, ia maju dengan serangan serangan susulan yang terpaksa menuntut seluruh perhatian Han Sin. Kakek tinggi itu benar-benar lihai dan dia sendiri belum pulih kekuatannya, maka sebentar saja Han Sin terdesak oleh Bhok-kongcu dan pembantunya yang aneh.

Selagi Han Sin kerepotan, tiba-tiba ia berseru kaget dan wajahnya pucat. Apa sebabnya? Ia melihat Bi Eng mencabut pedang, meloncat ke dalam pertempuran dan........ menyerang dia dengan tusukan tusukan hebat menggunakan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng yang telah dilatihnya di Min-san, yaitu tiga jurus yang amat berbahaya. Hampir saja ujung pedang Bi Eng menembus dadanya biarpun Han Sin sudah mengelak, tetap saja bajunya di bagian dada tertusuk bolong oleh pedang itu saking hebatnya jurus Heng-pai Kwan Im yang dimainkan oleh Bi Eng.

"Eng-moi ...... kenapa kau serang aku .......??"

"Siapa Eng-moimu .........?" jawab gadis itu sambil menyerang lebih hebat lagi.

Lanjut ke jilid 058 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment