Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 058

◄◄◄◄ Kembali

Han Sin mengelak, hampir tidak percaya kepada mata dan telinganya sendiri. Apa boleh jadi ada gadis yang menyerupai Bi Eng, baik wajah maupun suaranya? Akan tetapi...... tak mungkin, gadis ini mainkan Ilmu Silat Thian-po-cin-keng dan hanya tiga jurus yang dimainkannya! Siapa lagi kalau bukan Bi Eng?

"Eng-moi...... ingatlah..... aku Han Sin....." serunya sambil melompat mundur.

".......tutup mulutmu! Tak perlu banyak bicara......!" gadis itu membentak lagi dan mengirim serangan ke tiga. Tak salah lagi, inilah gerakan Ciu-po-thian-keng yang pernah ia ajarkan kepada gadis itu di Min-san! Aduh, Bi Eng ...... Bi Eng, apakah yang telah terjadi? Bagaimana kau bisa menjadi begini?

"Nona Tilana, jangan ladeni dia, mari kita serang dan bikin mampus anak penjahat Cia Sun ini!" terdengar Bhok Kian Teng berkata kepada gadis itu.

Han Sin menjadi bingung. Bagaimana Bhok Kian Teng menyebut Bi Eng dengan nama Tilana? Apakah pendengarannya sudah rusak, ataukah otaknya yang sudah menjadi gila karena luka-luka hebat yang dideritanya? Karena tubuhnya memang masih lemah, ditambah keadaan yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya ini, apa pula para pengeroyoknya memang orang yang berkepandaian tinggi, maka Han Sin tak dapat mengelak lagi ketika ujung pedang nona itu menusuk ke arah perutnya! Han Sin sudah menerima nasib, ingin mati di tangan nona yang ia yakin tentu Bi Eng ini. Akan tetapi, heran sekali ujung pedang itu tidak terus menusuk perut, melainkan diselewengkan ke bawah dan hanya melukai kulit pahanya!

"Bi Eng...... kau......" Han Sin berseru girang kini tidak ragu-ragu lagi bahwa gadis ini tentulah Bi Eng. Bagaimana tusukan yang sudah tepat akan mengambil nyawanya itu sengaja diselewengkan ke bawah?

Akan tetapi pada saat itu, sebuah tombak dari Bhok Kian Teng menyambar ke arah lehernya. Baiknya Han Sin masih dapat mendengar sambaran ini dan cepat ia menggerakkan tubuhnya dimiringkan dan terhindarlah ia dari bahaya maut. Pada saat itu, karena perhatiannya masih penuh dengan Bi Eng yang hanya bergerak mengancam dengan serangan baru di depannya, Han Sin tidak dapat menghindar serangan si jangkung yang mencengkeram pundaknya!

Han Sin mengerahkan sinkang, tapi ia mengeluh. Biasanya, kalau saja keadaannya tidak seperti itu dan tenaganya sudah pulih semua, dengan pengerahan sinkang ini pasti orang takkan kuat mencengkeramnya terus. Akan tetapi kali ini, si jangkung makin memperkuat cengkeramannya sehingga lima jari tangan si jangkung itu seakan-akan tertanam ke dalam pundaknya dan tak mungkin bagi Han Sin untuk melepaskan diri lagi.

Tiba-tiba terdengar suara halus menyebut, "Siancai ..... siancai ....." dan disusul suara bercuitan yang nyaring dibarengi sinar kuning emas berkelebatan bagaikan ular panjang menyambar. Sinar kuning emas ini ternyata adalah sehelai tambang sutera panjang kecil yang melayang dari atas, ujungnya menyentuh tangan si jangkung yang mencengkeram pundak Han Sin.

Si jangkung mengeluarkan keluhan kesakitan, pegangannya terlepas karena begitu tangannya tersentuh ujung tali sutera itu, ia merasa seluruh tubuh seperti tersambar kilat. Tali sutera itu tidak berhenti, terus melayang dan melibat kaki Han Sin. Sebelum Bhok Kian Teng dan dua orang kawannya sempat menyerang lagi, tahu-tahu tubuh Han Sin sudah melayang ke atas, ditarik tambang sutera yang dipegang oleh seorang wanita yang berpakaian sebagai seorang pendeta dan berdiri di atas puncak bukit batu kecil.

"Kurang ajar!" Bhok Kian Teng berseru marah ketika melihat calon korbannya tertolong oleh seorang wanita setengah tua berpakaian pendeta dan kelihatannya amat lemah.

Melihat Han Sin sudah berlutut di depan wanita itu di atas batu, pangeran ini lalu menggerakkan tangannya. Jarum-­jarum hitam menyambar ke arah Han Sin dan wanita pendeta itu. Akan tetapi, ia berdiri bengong ketika melihat betapa hanya dengan mengibaskan lengan bajunya yang lebar, wanita itu telah membuat semua jarum runtuh di tengah jalan, jauh sebelum sampai di tempatnya.

Si jangkung juga marah, menggerakkan kedua tangan yang sudah mengangkat sebuah batu besar, dilontarkan ke arah pendeta wanita itu. Sekali lagi wanita itu mengebutkan lengan baju dan batu itu hancur di tengah jalan. Ketika Bhok Kian Teng dan kawan-kawannya memandang lagi, ternyata wanita itu bersama Han Sin telah lenyap dari atas batu. Dengan amat penasaran mereka meloncat-­loncat ke atas, akan tetapi tidak kelihatan bayangan wanita itu lagi, juga Han Sin tidak nampak.

Dengan marah dan penasaran, mereka lalu pergi dari situ. Bhok Kian Teng tidak berani lama-lama tinggal di tempat itu karena ia maklum bahwa dirinya sedang dikejar-kejar oleh orang-orang Mancu. Ia ingin mencari kawannya yang lari cerai-berai, untuk menyusun kekuatan baru.

Siapakah pertapa wanita yang amat sakti dan yang sudah menolong Han Sin tadi? Mari kita ikuti Han Sin untuk mengenal wanita itu. Ketika Han Sin merasa dirinya dilibat tali sutera dan ditarik ke atas, ia maklum bahwa ada orang pandai menolongnya. Ia menurut saja karena dia sendiri sedang bingung dan gelisah melihat keadaan gadis itu setelah berada di atas batu, pertapa wanita itu mengajaknya pergi.

Han Sin menurut saja dan ia mengerahkan ginkangnya untuk mengimbangi kecepatan larinya pertapa wanita itu. Ia merasa sukar untuk dapat menandingi pertapa itu. Kalau saja tenaganya sudah pulih semua, kiranya ia takkan kalah dalam berlari cepat, sungguhpun harus ia akui bahwa selama ini baru sekarang ia menyaksikan kepandaian yang begini tinggi.

Pertapa wanita itu beberapa kali melirik kepadanya dan sinar mata yang melembut dan halus itu bersinar gembira. Nyata pertapa itu kagum sekali menyaksikan cara Han Sin berlari cepat. Di lain pihak, apabila ada kesempatan, Han Sin mengerling ke arah pertapa itu. Ia mendapatkan kenyataan bahwa pertapa itu belum tua benar, atau setidaknya belum kelihatan tua benar. Wajahnya berkulit putih orang gadis remaja. Sukar untuk menaksir usianya. Diam-diam ia tercengang dan kaget kalau ia teringat. lnikah Pek Sin Niang-niang?

Pertapa wanita itu mengajaknya mendaki sebuah puncak dan berhenti di depan sebuah pondok kecil. Keadaan di tempat itu indah sekali, bersih dan hening, tepat benar untuk tempat bertapa. Tanpa ragu-ragu Han Sin menjatuhkan diri di depan pertapa itu dan berkata,

"Teecu sekali lagi menghaturkan terima kasih atas budi pertolongan cianpwe."

Pertapa itu tersenyum ramah. "Orang muda, kau siapakah? Bagaimana kau bisa sampai di tempat seperti ini?"

"Teecu bernama Cia Han Sin dari Pegunungan Min-san. Teecu sengaja datang ke Go-bi-san untuk mencari dan menghadap Pek Sin Niang-niang. Teecu mohon petunjuk cianpwe di mana kiranya teecu dapat bertemu dengan Pek Sin Niang-niang."

"Orang muda she Cia, ada keperluan apakah kau hendak mencari Pek Sin Niang-niang?"

Han Sin mempunyai dugaan bahwa wanita ini tentu mempunyai hubungan baik dengan Pek Sin Niang-niang, atau mungkin bahkan dia sendirilah pertapa itu, maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu menuturkan maksudnya mencari pertapa itu sesuai dengan pesanan Yok-ong Phoa Kok Tee.

"Siancai......, siancai........" Pertapa wanita itu memuji. "Kok Tee dapat bersikap demikian di hari tuanya, benar-benar menyenangkan sekali! Orang muda, Phoa Kok Tee itu menyuruhmu datang mencari Pek Sin Niang-niang di sini, sebetulnya sama sekali bukan karena hendak mintakan obat akan guna dirinya sendiri, melainkan bermaksud mintakan obat untukmu! Orang seperti kami ini, mana masih hendak terikat oleh budi dan dendam? Kok Tee sudah kehilangan ilmunya karena mempergunakan It-yang-ci, di dunia ini siapa bisa memulihkannya? Diapun sama sekali tidak menghendaki pembalasanmu karena dia tidak pernah mau menanam perasaan sudah menolongmu. Orang muda, hanya manusia yang masih mau menghambakan diri kepada pengaruh budi dan dendam, dialah yang selalu akan menjadi barang permainan Karma. Bagi kami, tidak ada lagi istilah menolong, yang ada hanyalah kewajiban yang harus dipenuhi, seperti kewajiban pinni (aku) sekarang ini memenuhi pesan Phoa Kok Tee menyembuhkanmu."

Han Sin menjadi girang sekali, juga amat terheran. Sekali lagi ia memberi hormat sambil berlutut.

"Mohon ampun bahwa teecu masih ragu-ragu tadinya bahwa teecu benar berhadapan dengan Pek Sin Niang-niang."

"Memang pinni sendiri yang mempunyai sebutan Pek Sin Niang-niang. Phoa Kok Tee adalah murid keponakanku. Cia-sicu, sebelum aku melanjutkan usaha Kok Tee menyembuhkanmu, perlu aku tahu lebih dulu apa yang menyebabkan kau terluka demikian hebat sampai-sampai Kok Tee harus mempergunakan It-yang-ci ilmu keturunan kami itu untuk menyembuhkanmu."

Dengan jujur dan jelas Han Sin menuturkan tentang tugasnya yang sudah ia janjikan kepada Pangeran Yong Tee untuk mencari dan melindungi Hoa-ji, kemudian menuturkan betapa ia bertemu dan bentrok dengan Pak-thian-tok Bhok Hong sampai ia terjebak dan dilukai secara curang dan betapa dalam keadaan pingsan ia tertolong oleh Ciu-ong Mo-kai dan Lie Ko Sianseng dibawa ke tempat kediaman Yok-ong Phoa Kok Tee.

Pek Sin Niang-niang mendengarkan sambil mengangguk-angguk, juga kelihatan agak heran mendengar bahwa pemuda ini sudah berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong.

"Ciu-ong Mo-kai sudah lama pinni dengar sebagai seorang yang bersemangat gagah perkasa. Tentang Lie Ko Sianseng, tidak banyak pinni mendengar. Pak-thian-tok Bhok Hong adalah seorang pandai yang amat berbahaya, heran kau semuda ini sudah berurusan dengan dia, Cia-sicu. Tapi, sudahlah, urusan dunia memang amat menyulitkan hidup dan meruwetkan hati dan pikiran. Harap sicu kerahkan sinkang untuk melawan tekananku untuk mencoba dan melihat keadaanmu."

Setelah berkata demikian, dengan gerakan perlahan dan halus, pertapa wanita itu menggunakan jari telunjuk kanannya menekan pundak Han Sin. Pemuda ini tanpa ragu-ragu mengerahkan sinkang di dalam tubuhnya untuk melawan tekanan yang halus itu. Biarpun ia mengerahkan seluruh tenaga, namun yang keluar hanyalah setengah bagian saja. Betapapun juga, ia mendengar pertapa itu mengeluarkan seruan perlahan, seruan terheran.

"Siancai......, siancai......." Pantas saja kau berani menentang Pak-thian-tok Bhok Hong. Tak tahunya kau telah mewarisi ilmu yang hebat sekali, orang muda .........!"

Diam-diam Han Sin kagum sekali. Hanya dengan menekan pundaknya saja pertapa ini dapat mengetahui keadaannya, benar-benar harus diakui bahwa pertapa ini sakti dan pandai, setidaknya ahli dalam ilmu pengobatan kalau bukan sakti dalam ilmu silatnya yang memang sudah dibuktikan ketika menolongnya tadi.

"Ilmu It-yang-ci yang dikorbankan oleh Phoa Kok Tee sudah menyelamatkanmu, orang muda, sungguhpun demikian, namun sebagian tenaga sinkangmu tenggelam dan Phoa Kok Tee tidak sanggup untuk menyembuhkan ini. Itulah sebabnya ia menyuruh kau pergi menemui pinni."

"Mohon belas kasihan Niang-niang, mohon Niang-niang sudi menolong," kata Han Sin.

Pertapa itu tersenyum. "Kau telah berada di sini, sudah menjadi kewajibanku untuk coba memulihkan keadaanmu. Memang sayang kalau kepandaian yang telah kaumiliki itu tenggelam setengah bagian. Akan tetapi, untuk menyembuhkan sama sekali, kau harus tinggal di sini sedikitnya satu bulan, melakukan samadhi menurut petunjuk-petunjukku ........"

Kagetlah Han Sin. "Mana bisa begitu lama ......?" Ia lalu menuturkan keadaannya, betapa ia harus memenuhi janjinya kepada Pangeran Yong Tee untuk cepat menemukan Hoa-ji yang ia yakin adalah adik kandungnya sendiri, betapa ia harus dapat membebaskan Bi Eng dari cengkeraman Bhok Kian Teng, betapa ia amat cemas melihat sikap Bi Eng yang aneh.

Kesemuanya itu ia ceritakan kepada Pek Sin Niang-niang, tanpa tedeng aling-aling lagi, malah soal Tilana pun ia ceritakan. Entah bagaimana, terhadap pertapa wanita yang berwajah lembut ini Han Sin menaruh kepercayaan ikhlas dan tidak ragu-ragu atau malu-malu lagi untuk membuka semua rahasia hatinya.

"Karena semua itulah, Niang-niang, saya mengharap belas kasihanmu agar supaya saya dapat segera pulih kembali untuk pergi mengejar Bhok Kian Teng, menolong Bi Eng dan mencari Hoa-ji”. akhirnya Han Sin menutup penuturannya dengan suara memohon.

Pertapa wanita itu mendengarkan semua penuturan Han Sin dengan penuh perhatian, kadang-­kadang mengangguk-angguk, kadang-kadang menggeleng-geleng, tersenyum atau menarik napas panjang. Kemudian mendengar permohonan Han Sin, ia nampak diam termenung, seakan-akan ia sedang mengenangkan hal-hal yang sudah lama berlalu.

"Orang muda, kau terombang-ambing dalam lautan asmara, menjadi permainan cinta kasih yang ruwet membelit-belitmu."

Kemudian tanpa memandang Han Sin dan dengan suara perlahan seperti sedang bicara kepada diri sendiri, pertapa wanita itu berkata,

"Memang, cinta adalah hal yang amat pelik, amat ruwet dan penuh rahasia. Semenjak jaman dahulu, cinta menjadi bahan tulisan para sasterawan, bahkan menjadi sebab-sebab permusuhan, pertengkaran, ya...... malah pernah cinta menimbulkan perang besar! Bagi orang orang muda, cinta kasih bisa membikin orang sebahagia-bahagianya, bisa membikin orang sesengsara-sengsaranya, bisa menciptakan sorga dan bisa menciptakan neraka. Karenanya, cinta kadang-kadang dipuji puji ada kalanya dimaki-maki. Padahal, Yang Maha Kuasa menurunkan cinta kasih di hati manusia bukan sekali-kali untuk dijadikan alat atau sebab perusak. Cinta kasih antara dua jenis muda menimbulkan daya tarik satu kepada yang lain, mempersatukan mereka dan dari sinilah timbulnya kembang biak sesuatu makhluk. Cinta kasih antara sesama manusia pada umumnya mempertebal prikemanusiaan, menimbulkan setia kawan, welas asih, dan membangkitkan pribadi-pribadi suci. Akan tetapi, sayang seribu kali sayang .... setelah bersemayam di dalam hati manusia, cinta kasih yang suci murni telah dikotori oleh pengaruh nafsu ......"

Han Sin mendengarkan sambil menundukkan kepala. Dia sendiri masih hijau dalam hal ini, dia diombang-ambingkan cinta tanpa ia sendiri merasa. Dia jatuh bangun dengan cinta, suka menderita karenanya.

"Cia Han Sin, pinni tidak tega membiarkan kau bergelisah tentang orang-orang yang kaucari. Memang ada jalan untuk memulihkan tenagamu. Kau terimalah sian-tan (obat dewa) ini dan setelah kau telan, kau harus bersamadhi mengumpulkan semua tenaga sampai pulih kembali. Dengan bakat dan kemampuanmu, kurasa dalam waktu satu, dua hari kau akan sembuh kembali. Setelah sembuh kau boleh terus keluar dan tinggalkan tempat ini, jangan mencoba mencari pinni, karena pinni sekarang juga akan turun gunung."

Han Sin menerima sebutir obat pil berwarna putih mengkilap seakan-akan terbuat dari pada perak, dan sebelum ia sempat menghaturkan terima kasih kepada Pek Sin Niang-niang, pertapa wanita itu sudah berjalan pergi dari situ, tidak menoleh lagi!

**** ****
Lanjut ke jilid 059 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment