Ads

Tuesday, September 4, 2012

Kasih Diantara Remaja Jilid 060

◄◄◄◄ Kembali

"Nah, begitulah, Pak-thian-tok. Aku sudah membuktikan kepadamu tentang adanya Tuhan, apakah kau masih tidak mengerti?"

Bhok Hong melengak heran. "Mana dia, Tuhanmu itu? Apa maksudmu?"

Hui-kiam Koai-sian mengelus-elus jenggotnya yang putih. "Kau tadi minta aku mengeluarkan Tuhan. Aku akan dapat mengeluarkan Tuhan untuk kaulihat dan raba. Pak-thian-tok, asal saja kaupun bisa mengeluarkan pikiran dan nyawamu untuk kulihat dan kuraba! Bukankah kau mengaku bahwa aku mempunyai pikiran dan nyawa? Nah, akupun mengaku bahwa aku mempunyai Tuhan. Kau keluarkanlah pikiran dan nyawamu, dan aku akan mengeluarkan Tuhanku. Bagaimana?"

Pak-thian-tok tak dapat menjawab. "Itu..... hal itu..... ah, kau telah menipu dan menjebakku!"

Hui-kiam Koai-sian menggeleng kepala. "Tidak sama sekali. Kau harus mengakui bahwa memang ada hal-hal yang tidak kelihatan, tidak dapat diraba oleh panca indera, namun yang dapat dirasa oleh hati kita. Dan rasa itulah yang mengenal adanya pikiran dan nyawa atau hal-hal lain yang tidak mempunyai wujud yang dapat dilihat atau dirasa oleh panca indera."

Pak-thian-tok Bhok Hong merasa terpukul dan terdesak. Ia mendengarkan saja uraian Hui-kiam Koai-sian yang sedang memberi "kuliah" kepadanya tentang Ketuhanan. Ia maklum bahwa di dalam suaranya, Hui-kiam Koai-sian telah mengerahkan khikang yang takkan mungkin ditembusi oleh penyerangan gelap dari pengaruh suara lain. Diam-diam Pak-thian-tok Bhok Hong mengerahkan tenaga ke dalam sepasang lengannya dan bersiap siaga untuk melakukan penyerangan tiba-tiba.

Hui-kiam Koai-sian agaknya tidak melihat akan tetapi Han Sin yang dapat menduga, karena pemuda ini melihat betapa Pak-thian-tok Bhok Hong memusatkan perhatian, mengatur napas dan kedua lengannya perlahan-lahan berubah hitam, tanda bahwa kakek itu menyalurkan tenaga Hek­tok-sin-kang. Pemuda ini merasa khawatir sekali. Ia sudah mendengar nama Hui-kiam Koai-sian sebagai pencipta ilmu Lo-hai Hui-kiam yang ia pelajari dari Giok Thian Cin Cu, maka secara tidak langsung kakek ini boleh dibilang masih terhitung gurunya sendiri dalam ilmu silat itu. Akan tetapi iapun maklum bahwa dalam perang tanding antara dua orang tokoh besar ini amat tidak baik kalau ia ikut-ikut, kecuali kalau melihat kakek itu dikeroyok. Maka ia hanya memandang dengan hati berdebar sambil mendengarkan uraian Hui-kiam Koai-sian tentang sifat sifat Ketuhanan.

”....... mau tahu kekuasaan Tuhan?" Kakek itu melanjutkan uraiannya dengan mata setengah berkatup. "Lihatlah di sekelilingmu...... pasir, batu, rumput, kembang, awan, matahari..... dan apa saja yang dapat kaulihat. Alangkah hebatnya, alangkah indahnya semua itu. Semua itu sudah terang ada dan semua yang ada tadinya dari tiada, karena itu yang ada tentu ada yang Mengadakan! Dia yang Mengadakan inilah Yang Maha Kuasa. Betapa gaibnya kembang-kembang itu, dengan warna tertentu, bentuk tertentu, lihat burung-burung terbang bersayap, ikan-ikan berenang di dalam air, semua sudah sempurna semenjak tercipta. Itulah Kuasa Tuhan!"

Hui-kiam Koai-sian berhenti sebentar, menarik napas panjang, wajahnya berseri. "Mau tahu akan kemurahan hati Tuhan? Lihat, semua yang tampak di dunia ini diberikan kepada kita! Setiap benda di dunia ini ada gunanya, hanya terserah kepada kemampuan kita untuk menyelidiki apa kegunaan tiap benda itu. Dan semua itu diberikan kepada kita tanpa minta balasan! Tidak, memilih dulu. Bangsa apapun juga, mahluk apapun juga, yang jahat maupun yang baik, semua disamakan, semua mendapat bagian, semua diberi anugerah itu.......”

Pada saat itu, secara tiba-tiba Bhok Hong mengirim serangannya dari jauh, dengan memukulkan kedua tangannya yang penuh hawa beracun Hek-tok-sin-kang itu ke depan, sepenuh tenaga. lnilah penyerangan gelap yang amat berbahaya. Biarpun jarak di antara tempat mereka duduk ada tiga meter lebih, namun penyerangan ini tak kalah berbahayanya dari pada pukulan yang menghantam kulit dan daging secara langsung. Tenaga pukulannya mendatangkan angin yang hebat, yang sebelum sampai pada sasarannya sudah membawa angin pukulan yang panas dan bersuara seperti pedang diayun.

Hui-kiam Koai-sian adalah seorang ahli silat tinggi yang banyak pengalamannya. Tentu saja, biarpun perhatiannya tadi ditujukan kepada pembicaraannya, namun angin pukulan itu tidak terlepas dari pendengarannya.

"Manusia curang .....!" keluhnya, maklum akan bahaya maut yang mengancamnya. Ia mengempos semangatnya, menggerakkan tangan kiri setengah lingkaran di depan dada untuk menjaga bagian tubuh ini sedangkan dua jari tangan kanannya ia tusukkan ke depan mengarah dada lawan untuk menangkis atau menggempur serangan Pak-thian-tok Bhok Hong.

Han Sin membelalakkan kedua matanya. Ia mengenal gerakan yang dilakukan oleh kakek itu. Itulah jurus Hui-kiam-kan-goat (Pedang Terbang Mengejar Bulan), jurus ke tujuh belas dari Ilmu Silat Lo­hai Hui-kiam yang tiga puluh enam jurus banyaknya. Indah dan hebat gerakan itu dan ia maklum pula bahwa memang jurus-jurus itulah yang paling tepat untuk menangkis serangan gelap yang dahsyat dari Bhok Hong itu.

Pemuda ini seakan-akan mendengar suara bertumbuknya dua tenaga dahsyat itu di tengah udara dan maklum pula bahwa Hui-kiam Koai-sian menderita kerugian dalam bentrokan pertama ini. Dia kalah persiapan dan kalah dulu, maka sebagian tenaga penyerangan Bhok Hong dapat mendobrak pertahanan Hui-kiam Koai-sian dan terus menyerang dada kakek itu. Baiknya Hui-kiam Koai-sian sudah menjaga diri sehingga biarpun tenaga pukulan Hek-tok-sin-kang itu mengenai dadanya, namun sudah tertahan oleh tangan kiri yang dilingkarkan di depan dada. Betapapun juga, kakek ini menjadi pucat seketika dan ..... muntahlah darah segar dari mulutnya!

Wajah Pak-thian-tok Bhok Hong membayangkan kegembiraan, akan tetapi mulutnya tertutup. Ia hanya mengirim serangan lagi secara bertubi-tubi, semua dilakukan dengan tangan yang mengandung cengkeraman-cengkeraman maut!

Biarpun Hui-kiam Koai-sian sudah terluka dan muntah darah, namun dengan tenang kakek ini masih dapat menangkis semua serangan, malah kini mulai balas menyerang dengan Ilmu Silat Lo­hai Hui-kiam yang amat lihai itu. Han Sin yang menonton pertandingan mati-matian yang dilakukan dengan tenaga dalam sepenuhnya, dilakukan tanpa mengeluarkan suara karena semua tenaga dikerahkan dalam pertandingan ini, diam-diam merasa amat kagum akan Ilmu Silat Lo-hai Hui­kiam yang dimainkan kakek itu.

Ia baru tahu bahwa ilmu silat ini benar-benar hebat, kalau sudah dilatih secara sempurna, ternyata yang tiga puluh enam jurus itu sudah cukup kuat untuk menghadapi serangan sedahsyat serangan Pak-thian-tok Bhok Hong, malah dapat membalas dengan serangan yang tidak kalah ampuhnya.

Makin lama serang menyerang antara dua orang kakek yang duduk bersila sejauh jarak tiga meter itu, makin hebat. Akan tetapi anehnya, gerakan mereka makin lambat. Jangan dikira bahwa mereka kehabisan tenaga atau kelelahan, tidak sama sekali, pukulan-pukulan yang dilakukan makin lambat ini sebetulnya malah makin berbahaya karena itulah tanda bahwa pukulan itu mengandung tenaga dalam yang sepenuhnya. Seakan-akan tergetar udara sekeliling dua orang kakek itu. Tanpa diketahui dan tanpa dilihat pula, tempat duduk mereka tergeser makin dekat tanpa mereka menggerakkan kedua kaki yang bersila!

Sementara itu, sorakan-sorakan orang yang berperang di dekat gunung masih terdengar sayup sampai dari tempat itu. Han Sin tak dapat membedakan lagi suara-suara itu dan tidak tahu bagaimana kesudahan perang antara barisan Mongol dan barisan Mancu. Perhatiannya amat tertarik oleh perang tanding antara dua orang tokoh di dunia persilatan yang pada masa itu kiranya sudah boleh dianggap dua orang yang paling tinggi kedudukannya, tentu saja di bawah Pek Sin Niang­niang yang memiliki kesaktian luar biasa.

Tiba-tiba Han Sin dikejutkan oleh suara lengking yang luar biasa, serak seperti suara burung gagak, seperti suara ketawa, akan tetapi lebih patut disebut ketawa iblis dari pada ketawa manusia.

"Hoa Hoa Cinjin ......" Han Sin segera mengenal suara ini dan jantungnya berdebar. Teringat ia akan Hoa-ji dan ia mengharapkan tokoh jahat ini akan muncul bersama anak angkatnya, Hoa-ji.

Tepat seperti dugaannya. Dari jauh mendatangi dua bayangan yang cepat larinya dan tak lama kemudian muncullah Hoa Hoa Cinjin, tosu jahat yang bermata luar biasa itu, bersama nona berkedok, Hoa-ji! Tosu ini begitu melihat keadaan Pak-thian-tok Bhok Hong yang sedang bertempur mati-matian melawan Hui-kiam Koai-sian, maklum bahwa dia sendiri tidak mungkin dapat campur tangan dalam pertandingan antara dua orang tokoh besar yang kepandaiannya masih beberapa tingkat lebih tinggi dari pada kepandaiannya sendiri.

Akan tetapi, dasar orang jahat, tiba-tiba dan sayangnya Han Sin terlalu memperhatikan Hoa-ji yang membuat jantungnya berdebar kalau teringat bahwa di bawah kedok itu bersembunyi wajah adik kandungnya sehingga pemuda ini tidak melihat gerakan Hoa Hoa Cinjin, tosu itu mengayun tangannya dan sinar hijau menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian!

Pada saat itu, jarak antara Hui-kiam Koai-sian dan Pak-thian-tok hanya tinggal dua meter lagi. Pertandingan antara mereka sedang terjadi dengan hebatnya. Dua pasang lengan itu bergerak-gerak, saling serang dan saling desak, angin pukulan mereka membuat rambut dan pakaian mereka bergerak-gerak seperti tertiup angin puyuh.

Pada saat sinar hijau dari beberapa batang Cheng-tok-ciam (Jarum Racun Hijau) itu menyambar ke arah tenggorokan Hui-kiam Koai-sian, kakek ini kaget sekali akan tetapi ia tak sempat mengelak karena sedang menghadapi desakan Bhok Hong. Anehnya jarum-jarum itu sebelum mengenai leher, sudah runtuh semua ke bawah, seakan-akan tertolak semacam hawa yang ajaib. Hanya ada dua batang yang terbangnya agak ke bawah, tepat menancap di pundak Hui-kiam Koai-sian yang mengeluarkan rintihan perlahan. Gerakan kakek ini menjadi lambat karenanya, dan kini ia berada dalam keadaan berbahaya, terdesak hebat oleh Bhok Hong, bahkan terkurung oleh rangkaian penyerangan racun utara itu.

"Manusia curang .....!" Han Sin tak dapat menahan kemarahannya ketika menyaksikan hal ini dan cepat ia melompat ke depan sebelum Hoa Hoa Cinjin sempat menggunakan jarum-jarumnya lagi.

Dapat dibayangkan betapa kagetnya Hoa Hoa Cinjin ketika melihat pemuda yang sakti dan aneh itu muncul. Dia sudah tahu akan kelihaian Han Sin, maka begitu melihat pemuda ini muncul, cepat ia mencabut pedangnya dan berteriak kepada Hoa-ji,

"Hoa-ji, ayoh kita gempur bocah siluman ini!"

Tanpa menjawab nona berkedok itupun mencabut pedangnya. Dua sinar gemilang berkeredepan ketika ayah dan anak angkat itu maju menyerang Han Sin. Pemuda inipun tidak tinggal diam, cepat meloloskan Im-yang-kiam yang dibelitkan di pinggangnya. Pertandingan seru terjadi di dekat dua orang kakek yang masih mengadu ilmu secara mati-matian itu,

"Nona Hoa-ji, harap jangan ikut menyerangku. Aku.... aku membawa pesan Pangeran Yong Tee untukmu....." kata Han Sin sambil menangkis pedang Hoa Hoa Cinjin dan mengelak dari tusukan Hoa-ji. Nona itu nampak ragu-ragu, akan tetapi karena tidak dapat melihat wajahnya, sukarlah untuk menduga apa reaksi kata-kata yang diucapkan Han Sin ini.

Setelah ragu-ragu sebentar, nona itu menoleh ke arah Hoa Hoa Cinjin dan ..... menyerang Han Sin lagi lebih sengit. Pemuda itu amat cerdik, dapat menduga bahwa andaikata benar ada hubungan antara nona berkedok ini dengan Pangeran Mancu, tentu gadis ini takut kepada ayah angkatnya, maka setelah ragu-ragu sejenak mendengar disebutnya nama Pangeran Mancu itu, setelah memandang kepada ayah angkatnya lalu menyerang kembali.

Hoa Hoa Cinjin menyerang lagi, bahkan kini tangan kirinya ikut pula menyerang dengan ilmu pukulannya yang ampuh, yaitu Cheng-tok-ciang (Tangan Racun Hijau) sedangkan tangan kanannya menyerang dengan pedangnya yang cepat dan dahsyat gerakannya. Namun Han Sin selalu dapat menghindarkan diri, malah sekali memutar pedang ia selalu dapat menangkis pedang dua orang pengeroyoknya, membuat tangan Hoa-ji tergetar dan seperti lumpuh sedangkan Hoa Hoa Cinjin juga tergetar telapak tangannya.

"Hoa Hoa Cinjin, kau dulu bersusah payah hendak membunuhku. Kalau aku menghendaki, apa susahnya membalas semua itu? Akan tetapi aku tidak akan membalas ..... traaangggg!" Pedang di tangan Hoa Hoa Cinjin terpukul hampir terlepas dari genggaman, sedangkan pedang Hoa-ji yang menyambar leher Han Sin, dielakkan dengan menundukkan kepala secara mudah saja.

"Yang kukehendaki hanya pengakuanmu. Apakah nona Hoa-ji ini anak yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang si pemelihara macan?"

Hoa Hoa Cinjin nampak kaget dan marah. "Setan! Mau apa kau tanya-tanya urusan orang lain? Hoa-ji adalah anak angkatku, kalau benar aku menyelamatkannya dari tangan pemelihara macan, habis kau mau apa?"

Hampir saja Han Sin bersorak girang mendengar ini. Tak salah lagi, Hoa-ji adalah adik kandungnya! Akan tetapi ia bergidik juga kalau teringat akan pertemuannya dengan gadis berkedok ini dahulu. Gadis ini sedikit banyak sudah mewarisi sifat kejam dan liar dari ayah angkatnya.

"Hoa Hoa Cinjin, apakah kau dulu membunuh ayah bundaku di Min-san? Kau yang menghendaki kitab wasiat, tentu kau menyerang mendiang ayahku pula!"

Keder juga hati Hoa Hoa Cinjin. Pemuda ini begini lihai, kalau saja tidak begini lihai tentu ia akan menyombong dan mengaku saja membunuh Cia Sun dan isterinya, sungguhpun ia sama sekali tidak melakukan hal itu dan sungguhpun ia tahu akan hal kematian mereka, akan tetapi untuk menyangkal sama sekalipun ia merasa malu.

"Benar dulu aku datang ke Min-san. Aku tidak membunuh mereka, tapi aku tahu bagaimana mereka tewas!" katanya kembali sambil menyerang lagi. Pada saat itu pedang di tangan Hoa-ji juga sudah datang menusuk ke arah punggung Han Sin.

Pemuda ini kaget dan girang mendengar pengakuan Hoa Hoa Cinjin, maka cepat bagaikan kilat ia menggunakan pedang Im-yang-kiam untuk "menempel" pedang Hoa Hoa Cinjin sehingga pedang tosu itu tak dapat ditariknya kembali. Tangan kiri tosu itu yang memukul dengan Cheng-tok-ciang, diterima oleh sambaran tangan Han Sin, dibarengi dengan tendangan ke arah kedua lutut tosu itu yang serentak menjadi lemas, pedangnya terlepas dan ia jatuh berlutut. Pada saat itu, pedang Hoa-ji sudah tiba, tepat menusuk punggung Han Sin. Alangkah kagetnya gadis itu ketika pedangnya menusuk punggung yang seperti karet uletnya dan seperti baja kerasnya. Pedangnya meleset, telapak tangannya lecet dan sakit! Cepat ia meloncat mundur dengan muka pucat.

"Hoa Hoa Cinjin, aku tidak akan membunuhmu. Tapi kau harus mengaku bagaimana matinya ayah bundaku."

"Kenapa kau memaksaku? Mau apa kau?" bentak Hoa Hoa Cinjin yang sudah tak berdaya itu.

"Orang tua, ketahuilah. Hal itu amat penting bagiku. Juga ketahuilah bahwa Hoa-ji ini, anak angkatmu yang dulu kaurampas dari tangan Kalisang, dia ini bukan lain adalah anak ayah bundaku juga, adik kandungku yang hilang semenjak kecil, ditukar oleh Ang-jiu Toanio ....."

Terdengar jerit tertahan dan Hoa ji yang berdiri di belakangnya hampir roboh terguling, pedang di tangannya terlepas. Gadis berkedok itu menekan dadanya, kemudian lari pergi dari tempat itu.

"Hoa-ji, tunggu! Aku kakakmu sendiri, kakak kandungmu ......" Han Sin meninggalkan Hoa Hoa Cinjin yang masih berlutut dengan mata terbelalak heran. Pemuda itu lalu mengejar Hoa-ji yang berlari sambil menangis.

Hoa Hoa Cinjin teringat akan Bhok Hong. Kalau kakek Mongol itu tidak senang menghadapi Hui­kiam Koai-sian, tentu dapat membantunya tadi menghadapi Cia Han Sin. Ia cepat menengok dan alangkah kagetnya ketika melihat bahwa pertandingan antara dua orang kakek itu sudah mencapai puncak yang paling berbahaya, tegang dan menentukan.

Dua orang kakek itu kini sudah duduk berhadapan dalam jarak dekat sekali, malah dua pasang tangan itu sudah saling menempel, dua pasang telapak tangan saling tempel dan saling dorong. Seluruh tenaga dalam dikerahkan, wajah mereka kerut-merut, penuh peluh, dari kepala mereka nampak uap mengepul, mata mereka saling pandang tanpa berkedip, dan napas mereka sudah terengah-engah!

Hoa Hoa Cinjin adalah seorang ahli silat tinggi, ia tahu akan arti pertandingan ini. Pertandingan mati-matian dan seorang di antara mereka pasti akan tewas. Siapa menang dia mungkin hidup. Keadaan mereka berimbang, keduanya berada dalam bahaya. Hui-kiam Koai-sian sudah amat tua, namun nampaknya lebih tenang, kalau aku tidak bantu Pak-thian-tok, bagaimana Racun Utara itu dapat menang?

Dengan keputusan ini, Hoa Hoa Cinjin yang kedua kakinya lumpuh karena tendangan Han Sin tadi, tiba-tiba menggerakkan kedua pahanya dan tubuhnya melayang ke arah Hui-Kiam Koai-sian dari belakang. Tangan kanannya berkelebat menghantam punggung Hui-kiam Koai-sian dengan pukulan Cheng-tok-ciang.

"Bukkk!" Terdengar teriakan ngeri dan tubuh Hoa Hoa Cinjin terlempar ke belakang, dari mulutnya keluar darah segar dan tosu jahat ini terbanting dengan mata mendelik, pingsan!

Perubahan hebat terjadi karena kecurangan Hoa Hoa Cinjin ini. Biarpun dengan sinkangnya yang luar biasa Hui-kiam Koai-sian dapat merobohkan penyerang gelapnya, namun karena sebagian tenaganya molos keluar, pertahanannya kurang kuat. Saat baik itu dipergunakan oleh Pak-thian-tok Bhok Hong untuk menarik tangan kanannya yang tertempel pada tangan kiri lawan dan secepat kilat jari jari tangannya mencengkeram leher Hui-kiam Koai-sian. Seketika itu juga jari-jari tangannya amblas ke dalam leher lawan!

Akan tetapi dia sendiri yang menjerit karena pada saat itu juga yaitu dalam saat maut hendak merenggut nyawanya, kakek gagah itu sudah berhasil menggunakan jari-jari tangan kirinya dengan gerak tipu Hui-kiam-thian-sia (Pedang Terbang Turun dari Langit) menusuk ke arah jidat Bhok Hong. Jari tangan itu menancap ke dalam jidat, merusak otak dan pada saat yang hampir bersamaan nyawa kedua orang tua yang kosen ini melayang meninggalkan tubuh mereka.

Keduanya mati dalam keadaan masih duduk bersila, berhadapan dan dalam sikap yang mengerikan. Tangan kanan Bhok Hong masih mencengkeram leher Koai-sian sebaliknya jari tangan kiri Koai­sian menancap ke jidat Bhok Hong! Hoa Hoa Cinjin masih rebah dengan mata mendelik, telentang pingsan di dekat tempat itu. Suasana menjadi sunyi-senyap .....!

Han Sin terus mengejar Hoa-ji yang berlari cepat memasuki hutan, melompati jurang dan mendaki gunung-gunung batu yang licin berbahaya. Akan tetapi Han Sin terus mengejarnya sambil memanggil,

"Hoa-ji, kau adik kandungku .... tunggulah ......!”

Akhirnya ia kehilangan Hoa-ji dan matahari sudah tenggelam, malam segera tiba dan keadaan amat gelap. Terpaksa Han Sin menunda pengejarannya karena udara tiba-tiba menjadi amat gelapnya dan melakukan perjalanan di daerah yang penuh jurang ini amat berbahaya. Semalam suntuk ia tidur, mengaso di bawah batu besar. Pada keesokan harinya, pagi pagi sekali begitu terang tanah ia sudah melanjutkan pekerjaannya, mencari-cari.

Akhirnya, alangkah girang hatinya ketika ia melihat tubuh Hoa-ji berbaring miring di bawah pohon, tidur bertilamkan sehelai saputangan lebar. Agaknya gadis itupun terhalang larinya oleh udara yang gelap malam tadi, kemudian tertidur di situ. Han Sin cepat meloncat menghampiri dan pada saat ia menjatuhkan diri berlutut di dekat gadis itu, Hoa-ji terjaga dan membalikkan tubuhnya terlentang. Alangkah kagetnya ketika ia melihat pengejarnya sudah berada di situ, berlutut di dekatnya.

"Pergi kau ......! Pergi ......!" teriaknya.

"Tidak, Hoa-ji. Sudah lama kau kucari, kau..... kaulah Cia Bi Eng, kaulah adik kandungku yang sebenarnya. Kau anak ayah bunda kita, adikku. Buktinya ada, yaitu ada tanda tahi lalat di mata kaki kirimu. Coba kaulihat kau bukalah kedokmu itu aku kakak kandungmu sendiri!"

Han Sin menggerakkan tangan kirinya hendak merenggut kedok di depan muka Hoa-ji, akan tetapi tiba-tiba tangannya gemetar karena ia teringat akan pengalamannya dengan Tilana! Juga hanya karena membuka kedok ia terlibat dalam urusan yang memusingkan dengan Tilana.

Adapun Hoa-ji ketika mendengar ucapan Han Sin ini, mengeluarkan suara keluhan perlahan, lalu bangun duduk dan suaranya terdengar gemetar,

"..... apa kau bilang ......? Tanda di kaki kiri ......?"

Dengan kedua tangan menggigil gadis berkedok itu lalu membuka sepatu kaki kirinya, terus membuka kaos kakinya. Han Sin tentu saja malu untuk memandang, lalu membuang muka tidak mau memandang ke arah kaki gadis itu. Pada waktu itu, kaki gadis yang selalu tertutup rapat oleh kaos kaki dan sepatu, merupakan bagian tubuh yang amat dirahasiakan, merupakan bagian yang tak boleh dipandang sembarang orang apa lagi laki-laki.

Tak lama kemudian Han Sin merasa dirinya dipeluk orang dan ia mendengar gadis itu menjerit perlahan,

"Kau benar.....! Kau benar....., aku adik kandungmu..... ah, kakakku..... saudaraku tidak mimpikah aku ....?"

Ketika Han Sin menengok, ia melihat seorang gadis cantik, tidak tertutup lagi mukanya, menangis di pundaknya. Han Sin cepat memegang kedua pundak gadis itu, mendorongnya sedikit untuk dapat memandang muka itu lebih nyata lagi. Mereka berpandangan, dua pasang mata bertemu, saling selidik, mata kakak beradik kandung yang semenjak masih bayi dipisahkan orang. Keduanya seakan-akan tertarik oleh sesuatu yang gaib, seakan akan merasa bahwa mereka sudah kenal baik muka masing-masing, seperti orang yang dulu sudah kenal baik baru bertemu kembali.

"Kau...... kau Bi Eng adik kandungku....! Ayah...., ibu..... akhirnya anakmu berdua dapat saling bertemu dan berkumpul kembali....." Tak tertahankan pula air mata menetes turun dari sepasang mata Han Sin ketika ia memeluk adik kandungnya.

"...... kakakku Han Sin......, Sin ko, alangkah lamanya aku menanti-nanti saat seperti ini....... alangkah besarnya rinduku terhadap ayah ibu..... tidak kira..... ayah ibuku adalah ayah bundamu juga yang sudah lama meninggal dunia..... ibu......!” Dan gadis itu menangis menjerit-jerit sampai akhirnya pingsan dalam pelukan kakaknya.

Hancur hati gadis itu ketika mendapat kenyataan bahwa ayah bundanya sudah meninggal. Semenjak kecil ia maklum bahwa dia hanyalah anak angkat Hoa Hoa Cinjin, bahwa dia mempunyai ayah bunda kandung. Akan tetapi Hoa Hoa Cinjin tak pernah mau mengaku, hanya menyatakan bahwa ayah angkatnya itu menemukannya di dalam hutan, tidak tahu anak siapa. Alangkah besarnya rindu hatinya kepada ayah bundanya, sering kali ia bermimpi bertemu dengan ayah bundanya. Sekarang, ia bertemu dengan kakak kandungnya dan ternyata bahwa ayah bundanya sudah meninggal dunia.

Han Sin segera dapat mengendalikan perasaannya yang tadi terpengaruh oleh keharuan. Ia teringat akan Hui-kiam Koai-sian yang sedang mengadu nyawa dengan Pak-thian-tok Bhok Hong, teringat pula akan Hoa Hoa Cinjin yang terluka. Tiba-tiba ia menarik lengan adiknya.

"Ayoh kita cepat menemui ayah angkatmu itu dan minta penjelasan tentang kematian ayah bunda kita."

Hoa-ji yang sebetulnya bernama Cia Bi Eng yang "tulen" ini, tidak membantah, berlari di samping kakaknya menuju ke dalam hutan di mana terjadi pertempuran antara dua orang tokoh besar itu. Ketika mereka tiba di tempat itu, Hoa-ji mengeluarkan jerit tertahan melihat ayah angkatnya menggeletak dengan wajah pucat dan merintih-rintih, terluka hebat. Betapapun juga, Hoa Hoa Cinjin adalah ayah angkatnya yang sudah menaruh kasih sayang kepadanya semenjak ia kecil, yang mendidiknya.

"Ayah ....." Ia menubruk, maju dan berlutut, Hoa Hoa Cinjin tersenyum pahit.

"Hoa-ji....., habislah..... aku kali ini......" bisik Hoa Hoa Cinjin. Kemudian ia memandang wajah gadis itu penuh kekaguman. "Kau..... sudah membuka kedokmu...... sudah terbuka rahasiamu ....?"

Sambil terisak Hoa-ji mengangguk. Sementara itu, Han Sin yang sekelebatan memeriksa keadaan dua orang kakek sakti, menarik napas panjang dan merasa kagum sekali. Dua orang kakek itu tewas dalam keadaan duduk bersila dan saling serang! Kemudian iapun menghampiri Hoa Hoa Cinjin yang sudah payah pula keadaannya.

"Ayah, dia ini adalah kakak kandungku....." Ia mendengar Hoa-ji menangis sambil memeluk ayahnya. "Aku adalah anak dari Min-san ........"

"Sudah kuduga..... sudah kusangka demikian.... Ang-jiu Toanio memang kejam, menukar-nukar anak!" Hoa Hoa Cin¬jin terpaksa menghentikan kata-katanya karena menderita nyeri bukan main.

"Ayah, katakanlah sekarang, siapa yang membunuh ayah bundaku? Apakah yang menyebabkan kematian mereka?" Hoa-ji bertanya, mendesak.

Hoa Hoa Cinjin menggeleng kepala. "Tidak ada.... tidak ada yang membunuh...... isteri Cia Sun..... cemburu kepada Balita...... marah-marah, bunuh diri.... dan Cia Sun yang mencintai isterinya..... menjadi kalap dan bunuh diri pula.... aduhhh, selamat tinggal......" Hoa Hoa Cinjin menghembuskan napas terakhir dalam pelukan anak angkatnya.

"Sin-ko, apa yang menyebabkan kematiannya?" tanya gadis itu kepada Han Sin sambil memandang penuh kedukaan karena gadis ini mengira bahwa ayah angkatnya tewas akibat pertempuran melawan Han Sin tadi.

Han Sin dapat menangkap isi hati adiknya. "Ayah angkatmu terkena pukulan yang hebat sekali. Tadi ketika aku meninggalkannya, aku hanya merobohkannya dengan menendang kedua lututnya. Agaknya ia terkena luka hebat oleh seorang di antara dua kakek sakti itu."

Suara perang di lereng gunung sudah tak terdengar lagi. Agaknya sudah selesai. Memang demikian halnya, pasukan-pasukan Mongol sudah dihancurkan dan sedang dikejar-kejar ke barat oleh pasukan Mancu. Keadaan sunyi sekali.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan keras dan dari balik gunung-gunung batu yang besar berlompatan beberapa orang. Yang terdepan adalah orang jangkung pembantu Bhok Kian Teng yang lihai itu, yang dulu mengeroyok Han Sin bersama Bhok Kian Teng dan Bi Eng. Kini manusia aneh yang tinggi seperti pohon bambu itu muncul lagi, bersama beberapa orang pembantu Bhok Kian Teng.

Bahkan Bhok Kian Teng sendiri tampak muncul di belakang orang-orang itu. Beberapa orang di antara mereka yang terdepan menunggang kuda, agaknya mereka ini tadi bersembunyi karena kalah perang dan sekarang siap hendak mengawal Bhok Kian Teng pergi dari situ. Melihat mereka datang, Han Sin diam-diam terkejut dan khawatir.

”Kalau mereka melihat ayah angkatmu dan Pak-thian-tok tewas, tentu mengira aku yang melakukannya dan kau disangka mengkhianati mereka. Adikku, kau tunggulah di sini, biar aku merampas seekor kuda dan kita kabur dari sini. Perjalanan ke selatan amat jauh, lebih baik kalau kita mempunyai seekor kuda yang besar dan kuat.”

Hoa-ji hanya mengangguk saja, lalu bersembunyi. Han Sin dengan langkah lebar menghampiri rombongan orang yang sudah melihatnya itu. Si jangkung itu begitu melihat musuh lamanya yang dulu terlepas dari tangannya ketika ditolong Pek Sin Niang-niang, mengeluarkan suara aneh lalu langsung menyerang dengan kedua tangannya yang berlengan panjang.

Han Sin tidak mau memberi hati lagi. Sekarang setelah tenaganya pulih semua, mana ia takut menghadapi si jangkung ini? Serangan itu ia sambut dengan tangannya sambil mengerahkan tenaga. 

Lanjut ke jilid 061 ►►►►
◄◄◄◄ Kembali

No comments:

Post a Comment